Laki-laki yang berusia tiga puluhan warsa itu menatap semua orang. Para pendekar juga tengah menatap dirinya dengan raut tak percaya. Wajah yang tertutup topeng kayu separuh itu bertemu pandang dengan Sekar Pandan yang saat itu telah memegang pedangnya kembali. Bibirnya tersenyum dingin. Elang Gunung tidak menyangka kalau gadis itu masih hidup.
"Elang Gunung, dia Elang Gunung." Sebagian para pendekar berbisik-bisik. Mereka tidak menyangka ketua komplotan Elang Gunung yang terkenal dalam mengambil barang-barang pusaka itu ikut hadir di tempat ini."Rupanya Sang Hyang Widhi membantu kita, Sekar," ucap Raden Prana Kusuma.Sejak pertama bertemu laki-laki itu, Sekar Pandan sudah merasakan aura kejahatannya. Ternyata firasatnya benar. Orang inilah penyebab semua nasib buruk yang dia alami. Gadis itu mencoba mengingat kejadian di malam itu. Memang ada bayangan berkelebat di rumah warga desa yang dia tumpangi untuk bermalam saat itu. Akan tetapi, dia tidak bisa me"Apa yang kau lakukan, Tuan Paksi Jingga?" Elang Gunung tidak mengerti dengan tindakan Paksi Jingga yang malah menyerangnya. Pemuda yang kini bertangan satu itu dengan susah payah mengayunkan pukulan tangan kosong ke tubuh Elang Gunung. Kedatangan Paksi Jingga tidak membantu Sekar Pandan, justru merepotkan gerakannya. Dia tidak bisa leluasa menyerang Elang Gunung dengan pedangnya. Setiap menemukan celah untuk menyerang, Paksi Jingga datang dengan serangan tangan kosong. Gerakannya kaku dan penuh emosi. Mau tidak mau gadis itu mengurungkan serangannya.Sekar Pandan geram. Kini dia tidak hanya menyerang Elang Gunung, tetapi juga Paksi Jingga. Demikian pula dengan Elang Gunung. Ketua komplotan pencuri bayaran itu menghadapi dua lawan sekaligus, Sekar Pandan dan Paksi Jingga. Tiga orang itu saling serang dan hantam satu sama lain membuat para pendekar yang hadir berdecak kagum. Mereka menilai kemampuan Elang Gunung di atas rata-rata, sepadan dengan kemampuan
"Mungkin itu benar, tapi yang dilihat Tuan muda Zhang mungkin juga tidak salah," ucap Raden Prana Kusuma berusaha meyakinkan Mayang. Disisi lain, pemuda itu menaruh iba pada Mayang. Namun, gadis itu harus tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak semua jalan hidup itu indah dan mulus. Tidak indah seperti yang diberitahukan ayahnya."Kakang Manggala," lirih Mayang, matanya mulai berkaca-kaca. Mahisa Dahana melepaskan pundak Mayang dan membiarkan perempuan itu berjalan mendekati suaminya. "Mayang, " sapa Senayudha.Mayang berhenti tepat di depan Senayudha. Mata merah dan basah itu menatap tajam penuh kemarahan. "Kau tahu pembunuh ayah kita, tapi diam saja? Anak tidak tahu balas budi!"Plak!Tangan Mayang menampar pipi Senayudha dengan keras. Laki-laki bertangan buntung itu meraba pipinya yang terasa panas. Kalau bukan adiknya yang menampar, sudah ditampar balik orang itu."Mayang, dengarkan aku," ujar Senayudha dengan suara l
Dengan tangan satu, Senayudha ingin membalaskan rasa sakit hatinya pada Manggala. Dia sudah tidak peduli dengan apapun. Tujuannya hanya satu, membalaskan kematian ayahnya. Sekar Pandan menilai, Senayudha tidak akan bisa bertahan lama menghadapi Manggala yang ilmu kanuragannya jauh di atasnya. Gadis itu mengedarkan pandangan pada semua pendekar yang masih tetap ada di tempat ini. Dari semua tamu undangan, satupun tidak ada yang membela kematian Dewa Jari Maut.Itu membuat gadis berselendang sutera jingga ini mengerutkan alisnya. Jiwa kependekarannya meronta. Dia tidak bisa tinggal diam melihat Manggala menjadikan Senayudha bulan-bulanan.Senayudha memang jahat, tetapi dia dalam keadaan butuh bantuan. Tanpa pikir panjang, gadis itu melemparkan selendang jingga ke Manggala yang ingin menendang Senayudha. Raden Prana Kusuma ingin menghalangi, tetapi terlambat. Sekar Pandan telah bergerak karena tidak tahan dengan keadaan Senayudha yang butuh bantua
"Mayang ... Mayang, kenapa kau begini?" Senayudha menangis bagai anak kecil yang mainannya rusak. Diciuminya wajah adik kesayangannya itu dengan perasaan yang bercampur aduk antara sedih, marah, dan kecewa.Mayang menggerakkan bibir, tetapi suaranya tidak terdengar. Mata sembah itu menatap suaminya yang kini telah berada di depannya. Pemuda itu memang pembunuh ayahnya, dia juga membencinya, tetapi laki-laki itu suami yang sangat dicintai. Dia tidak sanggup melihat orang yang dicintai terbunuh di depan matanya.Manggala menggenggam tangan istrinya dengan hati hancur. Laki-laki itu tidak sanggup melihat keadaan Mayang. Sepanjang hidupnya, ratusan nyawa telah melayang di tangannya. Dia sangat kejam dalam menghabisi nyawa musuhnya. Sedikitpun tidak ada rasa welas saat musuh-musuhnya merintih dan memohon ampun padanya.Berbeda saat melihat keadaan perempuan yang dia cinta ini menderita dan kesakitan. Berkali-kali dia berteriak memanggil nama istrinya saat perem
Senayudha duduk di antara gundukan tanah kuburan adik dan ayahnya. Dia menyeka air matanya dengan punggung lengan. Hati laki-laki itu hancur berkeping-keping. Seluruh keluarganya telah pergi meninggalkan dunia ini. Meninggalkan dia sendiri dalam balutan kenestapaan.Hari itu semua orang yang masih bertahan di tempat itu ikut mengubur semua orang yang telah tewas. Setelah selesai, satu persatu mereka pulang ke perguruan masing-masing karena tidak ada yang perlu dibahas lagi. Paksi Jingga yang telah mengundang semua pendekar hanya berdiri terpaku di tempatnya. Caping yang selalu setia menemani kini jatuh ke tanah.Mahisa Dahana mendekati saudara kandungnya. Pemuda dengan wajah tidak bergairah itu berhenti tepat satu tombak di depan kakangnya. Mereka saling pandang."Kenapa kau tidak menghentikan mereka, Kakang? Bukankah keinginanmu tinggal di depan mata? Tapi kau biarkan para pendekar itu pergi tanpa kau cegah."Paksi Jingga menatap adiknya dengan t
"Tanda lahir itu," gumam Tuan muda Zhang tidak membiarkan sang resi lepas dari pandangan matanya. Semua hal yang berkenaan dengan kematian keluarganya terlintas kembali di hadapan. Salah satu dari ciri orang yang telah merampas nyawa orang tuanya adalah tanda lahir di perut. Resi Chamala memiliki tanda itu.Napas pemuda berpakaian putih bersih itu tersengal menahan amarah. Jari-jarinya mencengkeram kipas di tangannya dengan gemetar. Sebelum Resi Chamala jauh melewatinya, Tuan muda Zhang berteriak nyaring sambil melompat ke arah sang resi.Kipas itu dengan cepat terkembang menuju leher Resi Chamala. Merasakan desiran angin serangan dari arah belakang, laki-laki berpakaian resi itu merunduk rendah dan lewatlah kipas Tuan muda Zhang di atas kepalanya. Tangan kanan sang resi bergerak cepat balas menyerang lawan. Dengan sigap pemuda dari negeri tirai bambu itu berkelit. Kipas yang terkembang secepat kilat menutup dan memukul tangan Resi Chamala.Pertarungan s
Resi Chamala menatap pemuda yang berusia lebih tua dari Ranggapala itu demikian gencar menyerang muridnya. Jurus-jurus kipas yang dimainkan sungguh luar biasa. Gerakannya cepat dan berbahaya. Kipas itu memang hanya terbuat dari kayu pohon willow dan kain sutra, tetapi angin serangan yang dihasilkan bagai sabetan pisau tajamnya.Itu terbukti. Ranggapala yang tidak sempat menangkis kebutan kipas Tuan muda Zhang terpaksa harus merelakan ikat pinggangnya putus akibat terkena angin kebutan kipas. Pemuda tampan itu memekik keras seraya melompat mundur. Dia segera menyelamatkan kain penutup pinggang dan celananya yang akan melorot.Umang Sari dan Palasari sama-sama mengulum senyum dengan pipi bersemu merah. Kedua gadis itu memalingkan wajah ke arah lain saat Ranggapala menatapnya dengan wajah merah karena malu.Ranggapala mendengkus marah pada Tuan muda Zhang yang telah mempermalukan dirinya. Pemuda itu segera menyobek sebagian kain bawah-- yang menutupi pinggan
Benturan itu menciptakan gelombang kekuatan yang luar biasa. Tiga pemuda digdaya itu sama-sama terlempar keras ke tanah. Tuan muda Zhang menyemburkan cairan merah ke tanah. Dada pemuda berpakaian putih bersih itu seperti luluh lantak. Tidak lama kemudian dia memuntahkan cairan yang sama lagi. Kedua matanya terasa kabur."Oh, aku tidak boleh tewas sebelum berhasil membalas dendam," bisiknya.Jauh dari tempat Tuan muda Zhang, keadaan Paksi Jingga juga tidak jauh beda dengan pemuda dari Tiongkok ini. Dia berusaha bangkit, tetapi tubuh gagahnya ambruk kembali. Sekujur tubuhnya sakit luar biasa, seperti dihantam gada raksasa. Paksi Jingga melirik ke sana kemari mencari adiknya.Tidak jauh darinya, Mahisa Dahana diam terkapar di dekat pohon lontar."Mahisa," lirihnya.Hati pemuda itu tiba-tiba terasa tidak enak saat melihat keadaan adiknya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu dengan saudaranya itu. Perlahan dia bangkit untuk menghampiri Mahisa Dah