Jason Wijaya, usianya 36 tahun dan sudah menikah. Dalam kesehariannya ia bekerja sebagai kurir ekspedisi. Terkadang, pekerjaannya membuat dia merasa sangat bosan tapi tak ada lagi yang bisa dilakukannya saat ini selain menekuni pekerjaannya tersebut. Ia memiliki seorang istri yang bekerja sebagai perawat dan usianya lebih muda darinya yaitu Shani.
Kini Jason baru saja selesai mengirimkan semua barang kepada pelanggan dan tiba di kantor jasa ekspedisinya untuk membuat laporan. Kantor ekspedisi itu berlokasi di sebuah gedung besar dan berada di lantai dasar, di sana terdapat beberapa perkantoran dari perusahaan lain dan gedung itu diresmikan sekitar 10 tahun yang lalu.
Untuk ukuran pria yang pekerjaannya sebagai kurir, postur tubuh Jason malah terlihat seperti tentara yang tinggi tegap. Dia bahkan sering disangka sebagai petugas sekuriti oleh orang lain dikarenakan perawakannya yang tinggi besar dan berotot. Saat Jason selesai membuat laporan dia bertemu dengan rekan kerjanya, Radit di depan gudang penyimpanan.
"Mau langsung pulang lu?" kata Radit saat mereka hendak absen pulang menggunakan pemindai sidik jari.
"Ya iyalah. Gue kan nggak kayak lu. Gue udah punya istri." jawab Jason seraya ikut memindai sidik jarinya.
"Wah, wah, ngeledek lu ya." kata Radit tertawa saat mereka mulai berjalan keluar. "Eh, lu udah tahu kalau tadi sibos marah-marah karena lantai gudang retak?"
"Lantai retak aja marah-marah, ya diperbaiki lah. Repot amat. Lagi pula tuh gudang lantainya ditindih barang-barang yang berat mulu."
Saat sampai di luar gedung, Jason dan Radit melihat dua sosok pria berpakaian serba hitam dan keduanya bertampang sangar. Yang satu tampak lebih tinggi dari yang satunya dan rambutnya gondrong, sedangkan yang tubuhnya lebih pendek rambutnya tidak ada alias botak. Jason yang menatap mereka keheranan mulai merasa curiga.
Si gondrong berbicara pada mereka. "Siapa di sini yang namanya Jason?"
Mendengar perkataan itu, malah Radit yang terkesiap. "Jas, lu nggak bayar hutang pinjol?"
Jason mengabaikan pertanyaan Radit dan menjawab pertanyaan sipria berambut gondrong, "Saya Jason. Ada apa?"
"Lu harus ikut kita karena lu punya hutang yang belum dibayar sama bos!" kata sigondrong dengan suara menggelegar.
"Tunggu sebentar. Anda pasti salah orang. Saya tidak pernah punya hutang apapun yang belum dibayar." jawab Jason dengan tenang dan yakin.
"Jangan bohong dan jangan ngeles!" timpal sibotak yang suaranya lebih kecil seperti suara kucing kejepit hingga membuat Radit berusaha menahan tawa.
"Siapa sebenarnya kalian?" Jason yang bingung bertanya dan dia menepuk bahu Radit untuk segera menyingkir karena khawatir akan membahayakannya. Radit pun berjalan meninggalkan Jason dengan ragu-ragu namun akhirnya dengan cepat menjauh.
"Nanti lu bakal tahu. Cepat ikut kami!"
"Jangan paksa saya berbuat keributan. Siapa kalian?" Nada suara Jason kali ini meninggi.
Si botak maju selangkah ke hadapan Jason dan hendak menyentuh bahu pria itu dengan maksud untuk menyeretnya tapi dengan sigap Jason menyambar lengan sibotak dan menariknya lalu perut sibotak dipukul dengan tangan kiri Jason sampai pria botak itu memuntahkan sesuatu. Dengan kakinya, Jason menginjak punggung sibotak hingga seluruh tubuhnya mendarat ke tanah.
Sesaat kemudian giliran sigondrong yang berusaha memukul Jason, namun gagal karena kalah cepat dan kali ini Jason menarik dan menjambak rambut sigondrong sampai rambutnya rontok dari kepalanya dan sigondrong kesakitan karena kulit kepalanya yang terasa seperti terkelupas.
"Siapa kalian? Jawab!" Jason meraung keras, kehilangan kesabaran dan merasa berang saat dua preman itu tidak menjawabnya. Kedua pria itu kemudian bangun, gemetar ketakutan karena Jason yang galak. Mereka lari tunggang langgang meninggalkan Jason sendirian di tempat. Gaya keduanya yang mulanya sangar kini malah terlihat konyol dan seperti anak kecil yang kehilangan permen di mata Jason.
Kejadian itu membuat sebagian orang berkerumun dan penasaran dengan apa yang terjadi. Sebagian orang ada yang berbisik-bisik kalau itu adalah debt collector, sebagiannya lagi terlihat terkagum-kagum dengan apa yang dilakukan oleh Jason.
***
Saat kembali pulang ke rumahnya, Jason memarkirkan motornya dan masuk ke dalam. Mendapati istrinya, Shani yang baru saja selesai memasak, dia pun mengembangkan senyum. Usianya dan sang istri memiliki perbedaan nyaris sepuluh tahun dan mereka sudah dua tahun menikah tapi belum dikaruniai anak. Pertemuannya bersama sang istri terjadi tiga tahun yang lalu
Shani adalah seorang wanita keturunan Tionghoa, usianya 27 tahun dan sudah tak punya orang tua lagi karena pada usia enam tahun Shani sudah kehilangan ibunya yang tewas dalam kerusuhan 1998. Sedangkan ayahnya meninggal lima tahun kemudian karena kecelakaan mobil. Shani yang terbiasa mandiri dari kecil dan tinggal bersama kakeknya, bertemu dengan Jason saat usianya 24 tahun. Shani jatuh hati pada Jason karena mempunyai banyak kesamaan. Tak punya orang tua sejak kecil dan bahkan Jason harus kehilangan kedua orang tuanya sejak balita dan terpaksa tinggal bersama sang paman.
Di meja makan, Jason dan Shani makan bersama di ruangan itu. "Tadi aku kedatangan dua orang aneh pas pulang kerja. Orang itu bilang aku harus bayar hutang. Padahal aku nggak pernah punya hutang sama siapapun."
Shani yang berkacamata itu mengerutkan kening dan menanggapi, "Mungkin salah sasaran?"
"Mana mungkin. Jelas-jelas yang mereka car adalah aku. Siapa lagi memang yang namanya Jason selain aku di kantor?"
"Apa mungkin itu teman-teman kamu dulu yang pernah dendam sama kamu?"
"Bisa jadi. Itu yang aku pikirkan saat ini. Tapi aku berusaha tidak masuk lagi ke dunia itu, Shan. Tahu sendiri kan aku keluar dari dunia itu ya karena aku pengen hidup tenang sama kamu."
Shani tersenyum, kemudian memberi saran pada sang suami, "Kalau gitu kamu harus cari tahu siapa sebenarnya mereka, biar tenang."
"Ya, dan kalau mereka berani menyentuh kamu, aku pastikan mereka nggak bakalan bisa melihat matahari lagi." ujar Jason sungguh-sungguh dengan tampang serius.
Shani nyaris tersedak ketika dia minum saat mendengar perkataan Jason. "Kamu juga harus mengendalikan diri, Mas. Jangan bawa-bawa sifat kamu yang dulu."
"Seorang suami akan melakukan apapun demi melindungi istrinya, itu sudah kewajiban." kata Jason sambil mengangkat bahu.
Tiba-tiba ponsel Jason yang ditaruh di hadapannya berdering, terlihat di layar sebuah nama dan yang meneleponnya adalah Tommy. Ia pun mengangkatnya. "Iya, Tom. Ada apa?"
"Jas, sekarang lu bisa ke tempat gue nggak? Ada yang mesti dibicarakan. Ini penting." Nada suara Tommy terdengar serius.
"Ada apa emangnya, gue baru saja pulang ke rumah."
"Apa di jalan tadi lu ketemu sama orang yang mau nyerang lu? Ini ada hubungannya dengan itu."
Jason terkejut, sambil menatap Shani ia kemudian mengeraskan suara telepon di ponselnya. "Ya, gue tadi ketemu dua orang yang nyerang gue, kata mereka gue harus bayar hutang. Lu tahu mereka siapa?"
"Gue nggak bisa jawab lewat telepon, Jas. Ke sini lu sekarang, ke rumah gue. Sekarang juga."
"Jangan bilang lu mau ngajak gue bisnis itu lagi."
"Lu ke sini sekarang juga, itu yang paling penting!" kata Tommy tegas tidak mau dibantah.
"Oke. Oke, gue ke sana sekarang." Tanpa pilihan, Jason setuju datang.
Setelah panggilan ditutup, Jason menatap Shani lekat-lekat. "Sayang, aku harus pergi dulu. Sepertinya ini menyangkut masa lalu. Aku janji kembali secepatnya.
Shani bangkit berdiri. "Kalau begitu, aku ikut, Mas."
"Tidak, jangan. Kamu tetap di sini. Terlalu berbahaya kalau kamu ikut." Perintah Jason menolak permintaan sang istri. Dia mengenakan jaket berwarna hitamnya dan bergegas menuju pintu keluar.
Tommy adalah sahabat Jason sejak kecil. Sahabat ketika Jason masih berprofesi sebagai anggota gangster mafia paling ditakuti di ibu kota.
***
Jason mengetuk rumah Tommy yang bangunannya tampak besar. Di sini Tommy tinggal dengan para pelayannya. Dia disambut oleh asisten Tommy dan mengantarnya ke ruangan utama. Sudah cukup lama Jason tidak bertemu dengan Tommy dan sudah lama pula dia tidak masuk ke rumah ini. Rumah yang dulunya sering dijadikan markas pertemuan anggota gangster Valos ketika dia masih aktif sebagai salah satu anggota yang paling disegani.
Jason berjalan menuju ruangan utama itu yang agak sedikit gelap dan dia melihat Tommy yang berbicara dengan seseorang. Seorang pria berbadan gempal dan usianya sekitar 50 tahunan, mengenakan kemeja hitam. Jason mengenal baik pria berbadan gempal itu. Pria itu tak lain adalah mantan bosnya dulu, pemimpin Valos yang bernama Coki.
Jason terlihat kaget kembali bertemu dengan Coki, mengingat mereka bertemu terakhir kalinya sejak 5 tahun yang lalu ketika dia memutuskan berhenti dari dunia mafia.
"Selamat datang kembali, Jason. Sang jagoan!" Sambut Coki seraya berdiri.
"Pak Coki, anda di sini?" tanya Jason terheran-heran.
Coki melangkah ke arah Jason dan mengajaknya bersalaman. "Lama tak jumpa, anak kesayanganku." katanya sambil tertawa.
Jason melirik ke arah Tommy dan Tommy memberikan isyarat pada Jason untuk duduk di kursi dan sebuah meja panjang ada di tengah-tengah mereka. Ruangan itu biasa dia gunakan jika sedang melakukan rapat penting.
"Pasti lu kaget ngelihat gue ada di sini." ucap Coki memulai percakapan sambil menghisap rokok besarnya.
"Sejujurnya saya merasa bingung, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Tentang kedua orang yang menyerang lu." kata Tommy. "Kami sudah tahu siapa mereka."
Jason yang masih dalam kebingungan terus bertanya, "Dari mana kalian tahu gue diserang?"
"Jangan ragukan cara mafia bekerja, Jas. Lu kayak belum pernah jadi anggota saja. Ada orang kita yang melapor kalau ada kelompok yang menyerang lu. Makanya itu gue panggil lu ke sini." Tommy memberikan penjelasan dengan sabar.
"Siapa mereka?" Jason yang sudah sangat penasaran mengajukan pertanyaan berulang.
"Orangnya Satia Utama." jawab Coki mengambil inisiatif untuk memberitahu. "Orang yang pernah menyewa jasa kita buat mengantarnya jadi anggota parlemen dulu. Sekarang dia sudah terpilih untuk periode kedua. Ya, orang serakah itu mau mengincar lu."
"Salah saya apa?"
"Menurut informan kita," kata Coki. "dia mau menyewa jasa lu lagi."
"Apa?" Jason semakin bingung. "Menyewa jasa apa? Kenapa nggak ngomong baik-baik saja dan sayya pasti bakalan menolak karena saya udah berhenti."
"Justru itu." Potong Coki. "Karena lu udah berhenti, dia sepertinya tahu lu nggak bakalan nolak dan terpaksa menggunakan cara kekerasan."
"Sebegitu pentingnya keberadaan saya, sampai dia harus menyewa jasa saya? Orang itu mau saya berbuat apa? Bunuh orang?"
Coki menghela napas tak berdaya dan berkata, "Itulah yang jadi pertanyaan. Kenapa dia mengincar lu. Pasti ada alasan kuat dan itu juga yang kita cari tahu sekarang. Sepertinya mereka nggak akan menyerah begitu saja dan akan terus mengusik lu."
"Itulah sebabnya lu butuh bantuan kita." Tommy ikut menimpali. "Kita bakal melindungi lu dan Shani, kita bakal mengirim orang di rumah lu buat jaga-jaga."
"Ini tidak gratis?" tanya Jason dengan curiga.
"Jason." kata Coki. "Lu sudah banyak berjasa waktu lu masih aktif dan kontribusi lu sangat besar pada keluarga kita. Balas budi seperti ini tak ada artinya sama sekali. Coba lu hitung berapa kali lu sudah menyelamatkan nyawa gue?
Jason menghela napas panjang. “Saya berterima kasih, tapi saya masih bingung kenapa Satia Utama mengincar saya."
"Oke gue bakal cerita sedikit." Coki kemudian menjelaskan, " Satia Utama adalah politikus kotor yang sok jadi oposisi tapi menghalalkan segala cara. Beberapa tahun yang lalu dia menyewa kita buat melanggengkannya ke Senayan dan berhasil. Di periode kedua dia juga kembali berhasil tanpa bantuan kita. Tapi, 10 tahun yang lalu Satia Utama kehilangan sebuah benda kesayangannya dan benda kesayangannya itu adalah benda yang sangat diburu oleh para politikus lainnya. Sebuah benda yang katanya bakal mengubah negara ini. Sebuah koper."
"Maaf, apa hubungannya dengan masalah sekarang?" tanya Jason menyela.
"Ini hanya spekulasi." Jawab Coki. "Tapi ini ada kaitannya dengan itu, dengan koper sialan itu. Sebuah benda yang diincar oleh Satia Utama."
"Tapi saya tidak tahu apa-apa tentang itu?"
"Itu dia masalahnya, Jason. Satia Utama pernah membicarakan itu ke gue, tentang peristiwa 10 tahun yang lalu. Ketika koper itu hilang di perjalanan saat anak buahnya membawanya dan semua anak buah Satia tewas. Peristiwa tewasnya tiga orang di SPBU sempat membuat heboh pemberitaan nasional, lu ingat? Saat itu media memberitakan kalau yang terbunuh adalah korban perampokan dan polisi juga mengatakan demikian. Padahal bukan."
"Ya, saya masih ingat itu." Kata Jason. "Ternyata itu ada hubungannya dengan Satia."
Saat mereka berbicara tiba-tiba ponsel milik Coki berdering dan semua yang ada di ruangan itu tatapannya tertuju pada ponsel Coki yang ditaruh di meja. Coki mengangkat panggilan telepon itu.
"Ya." Kata Coki. Dia terdiam dengan seksama mendengarkan suara dalam telepon itu untuk beberapa detik. "Ternyata seperti itu? Oke. Kerja bagus. Hubungi lagi kalau ada informasi baru."
Raut muka Coki menjadi penuh gairah setelah menutup sambungan telepon itu. Dia melirik Jason dan Tommy secara bergantian. "Gue baru dapat info terbaru dari informan mata-mata orang kita. Ternyata Satia Utama sudah tahu di mana posisi koper itu. Pantas saja dia mengincar lu, Jason. Ternyata posisi koper itu terkubur tepat di bawah lantai kantor tempat lu bekerja. Dia tahu sulit untuk mengakses tempat lu dan ingin jalan pintas alih-alih membeli gedung itu. Dasar serakah."
Jason terkesiap. "Jadi, artinya?"
"Satia pengen lu bawa koper itu. Pekerjaan yang tak terlalu sulit, bukan?" Jelas Coki.
"Itu pekerjaan ringan sih." Tommy lagi-lagi menyahut.
Jason merasa masih ada kejanggalan di sini. Dirinya terlalu bingung "Artinya saya dipaksa buat melakukan itu?"
"Tepat. Kalau sudah seperti ini tidak jalan lain. Lu harus mau dan kembali sejenak ke dunia kita, toh ini pekerjaan mudah dan bukan membunuh." Kata Coki.
Dengan perasaan bingung, Jason berkata lagi, "Saya harus menghubungi Satia Utama kalau gitu. Tetapi apa isi koper itu sampai-sampai begitu pentingnya bagi dia?"
"Berlian? Emas?" Tebak Tommy. "Mana kita tahu. Dan apa itu penting?"
Setelah itu Coki memberikan nomor kontak Satia Utama untuk dihubungi. Dia terpaksa melakukannya agar tidak diganggu lagi karena akan membahayakan istrinya.
Pria berusia lima puluh tahunan itu memakai baju kaos oblong dan tengah bersantai di halaman belakang rumahnya. Di halaman itu terdapat kolam renang mewah dan halaman tersebut begitu luas. Pria bernama Satia Utama itu memakai kacamata minus yang besar, uban di rambutnya mulai terlihat sebagian.Satia Utama memulai karir politiknya sejak lulus kuliah, dia pandai dalam mengkritik pemerintah dan terus menjadi oposisi. Karena gaya bicaranya yang lantang dan berani, membuatnya mendapatkan dukungan yang besar. Wajah Satia Utama begitu tampan dan berkarisma sehingga tak hanya mendapatkan simpati dari masyarakat dia juga digilai oleh kaum wanita. Tak ayal ketika masa mudanya Satia disebut playboy dan berganti-ganti pasangan.Satia bukanlah orang miskin dari awal. Dirinya anak orang kaya, ayahnya pengusaha pertambangan terbesar di negeri ini. Sehingga karir politiknya terus meroket. Dia menyuap sana-sini untuk bisa memuluskan langkahnya. Sampai Satia berhasil duduk di parlemen seba
2013Malam itu hujan deras membasahi ibu kota Jakarta, kira-kira pukul setengah dua belas malam terdapat mobil range rover yang melaju dengan kecepatan sedang di sebuah jalan tol yang sepi. Hanya mobil itu yang berjalan di jalan tol tersebut. Di dalamnya terdapat tiga orang termasuk sang sopir. Ketiga orang itu berusia kira-kira tiga puluh tahunan dan semuanya memakai setelan jas yang sangat rapi. Nama mereka adalah Bams, Denny, dan Andika.Bams menyetir dan raut wajahnya menunjukan ketegangan begitu juga dengan Denny yang ada di sebelahnya dan Andika yang ada kursi belakang. Mereka menoleh ke sana kemari penuh dengan kegelisahan dan seakan perjalanan ini ingin segera berakhir secepatnya."Kenapa sih harus kita yang dapat tugas penting ini?" Kata Bams. "Gila aja cuma kita bertiga""Kan gue sudah bilang, supaya tidak mencolok dan pihak musuh tidak mendeteksi kita." Sahut Denny."Udah lu cepetan nyetirnya lah." Kata Andika,
Sekitar kurang dari 2 kilometer, mereka sampai di sebuah SPBU. Denny keluar dari mobil dengan lengan jasnya yang ditutupi oleh jas lain agar darah bekas yang ditembaknya tidak kelihatan. "Tunggu di sini gue nggak bakalan lama." Kata Denny kepada Bams dan Andika yang mobilnya terparkir cukup jauh letaknya dari kamar mandi dan toilet.Denny dengan cukup tegang namun berusaha santai mengganti pakaiannya dengan yang baru. Kemudian memasukan jas yang berdarah itu ke dalam tas. Tapi Denny tiba-tiba dikagetkan dengan suara tembakan dari luar. Denny dengan sigap mengeluarkan pistol desert eagle miliknya, dan berlari keluar dari kamar mandi SPBU.Dia melihat mobil Range Rover hitam itu melaju dikemudikan oleh Bams. Mobil itu diberondong oleh tembakan beberapa orang, kira-kira lima orang berpakaian preman. Sontak para pegawai SPBU berlarian dan berteriak ketakutan untuk melindungi diri.Denny juga melihat Andika yang sudah terbujur kaku dan bersimbah dar
Jason berusaha berpikir jernih, kegilaan apalagi yang harus dilewatinya setelah membobol tempat kerjanya sendiri, melompat dari gedung ke gedung seperti Spider-Man, dan kini si Penelepon itu malah menyuruhnya ke Bali seolah memerintahkannya untuk liburan. "Yang benar saja!" Gerutu Jason dalam kegelapan di tempat yang sepi itu. "Gue sudah melakukan hal yang lu mau.""Sabar." Kata si Penelepon dengan nada yang sangat tenang. "Ini hanya perjalanan biasa. Tapi dengan cara yang tak biasa bawa koper itu besok pagi ke titik koordinat yang gue kasih. Lebih tepatnya di Pulau Bali. Tempat yang aman untuk koper itu.""Kenapa nggak lu ambil saja di suatu tempat di di sini, di Jakarta! Hah?""Ini rumit, Jason." Terdengar kalau si Penelepon sedang menghembuskan nafas dalam-dalam. "Koper itu sekarang sedang diburu oleh banyak orang. Lu yang punya kemampuan buat bawa kabur. Alasan lainnya, gue belum kasih tahu.""Lu minta gue bawa besok?" Tanya Jason se
Jason melangkah keluar dari ruangan kamar hotel itu dan melihat di lorong untuk memastikan apakah ada orang lain atau tidak, lorong itu begitu sepi dan berkata pada Tommy yang sedang mengintrogasi orang asing yang menyerang mereka, "Kita harus pergi dari sini, sekarang juga."Tommy mengangguk dan mendorong orang asing itu sampai terjatuh dan wajahnya sudah berdarah-darah. Jason dan Tommy berlari menuruni tangga hotel dan menuju tempat parkir untuk menaiki mobil Tommy. Jason melihat jam tangannya saat dia masuk ke dalam mobil, pukul 02:00 dinihari. "Kita dikejar, kita harus lari sejauh mungkin." Kata Jason saat Tommy menyalakan mesin mobil dan melaju dengan cepat meninggalkan pelataran Hotel Verizon yang tampak sepi. Tommy yang menyetir dengan sangat kencang bertanya, "Kenapa Satia Utama bisa tahu lu ada di mana, ada di hotel?""Pasti ada yang memata-matai, apa ada orang lain tahu kalau lu keluar menemui gue?"Tommy menggeleng, "Tidak ad
Seorang wanita yang berbaring di tempat tidur terbangun dari tidurnya ketika waktu menunjukan sekitar tiga pagi dan dia menyalakan lampu kamar, nama wanita itu adalah Diandra. Di sebelahnya terdapat seorang pria yang usianya sebelas tahun lebih tua darinya. Diandra melangkah ke sebuah lemari es dan mengambil gelas yang ada di atasnya, menuangkan air ke gelas itu dan kembali duduk di tempat tidurnya untuk meminum air dalam gelas tersebut. Pria di sebelahnya, Rehan, terbangun, memicingkan mata dan memandang Diandra yang sedang meletakan gelasnya di meja. "Kebangun ya? Udah jam berapa ini?""Jam tiga " Jawab Diandra. Rehan yang tampaknya masih telanjang dada bangun dan duduk yang lalu bergeser mendekati Diandra. Rehan menyentuh dan mengusap punggung lalu bahu Diandra dan memeluknya dari belakang. Rehan membisikan sesuatu pada Diandra, "Daripada diam bagaimana kalau kita lakukan sekali lagi?"Diandra hanya diam dan tak melakukan apa-apa. Saat Reha
Tommy menutup sambungan teleponnya saat itu dan berada di dalam kamar mandi, memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan memakai kembali kemejanya. Dengan penuh senyum kemenangan dia membuka pintu dan berjalan menuju ruangan tengah. "Jas, Diandra. Di mana kalian?" Tommy melihat ruangan itu tidak ada siapa-siapa dan berjalan menuju dapur, juga tidak menemukan siapa-siapa. Lantas dia berlari ke kamar Diandra, juga tidak ada. Tommy pun mulai curiga dan berlari menuju halaman depan. Mobil jenis sedan milik Diandra yang terparkir sudah tidak ada. Mereka sudah pergi. "Bangsat, sialan!" Gerutu Tommy yang kemudian menggaruk dan memegangi kepalanya sendiri. Dia panik sendiri dan mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. ***Jason yang menyetir mobil pagi itu menyusuri jalan raya untuk keluar dari Jakarta dan Diandra berada di sampingnya. "Gue nggak menyangka Tommy akan berkhianat. Hampir saja terjadi kesalahan fatal. Gue nggak tahu harus bilang apa.""Tomm
Saat Tommy mengerang kesakitan dan memegangi kakinya, dia berusaha menjangkau pistol miliknya yang ikut terjatuh, namun Benny menendang pistol itu hingga jauh. "Bodoh sekali jika orang sepertimu membodohi kami, lu kira lu bakal punya tempat istimewa di tim ini? Lu salah besar. Apa maksud lu membodohi kita?""Gue," kata Tommy sambil menahan kesakitan. "Gue akan balas kalian."Benny mengayunkan kakinya tepat ke arah dada Tommy dengan sekeras-kerasnya. "Kemana mereka?"Tommy tersengal-sengal dan batuk-batuk. "Untuk apa gue memberi tahu kalian?"Benny sudah sangat kesal, dia menarik senjatanya dan menaruh moncong pistolnya ke dahi Tommy. "Sampai jumpa!""Tunggu!" Teriak seseorang yang ada di belakang Benny. Salah seorang anak buahnya. "Pak, sebaiknya kita jangan bunuh dia, karena dia anak kesayangannya bos. Kita belum punya perintah untuk membunuhnya. Kalau dia mati bisa saja bos marah besar."Benny berpikir sejenak, dia melepaskan m