2013Malam itu hujan deras membasahi ibu kota Jakarta, kira-kira pukul setengah dua belas malam terdapat mobil range rover yang melaju dengan kecepatan sedang di sebuah jalan tol yang sepi. Hanya mobil itu yang berjalan di jalan tol tersebut. Di dalamnya terdapat tiga orang termasuk sang sopir. Ketiga orang itu berusia kira-kira tiga puluh tahunan dan semuanya memakai setelan jas yang sangat rapi. Nama mereka adalah Bams, Denny, dan Andika.Bams menyetir dan raut wajahnya menunjukan ketegangan begitu juga dengan Denny yang ada di sebelahnya dan Andika yang ada kursi belakang. Mereka menoleh ke sana kemari penuh dengan kegelisahan dan seakan perjalanan ini ingin segera berakhir secepatnya."Kenapa sih harus kita yang dapat tugas penting ini?" Kata Bams. "Gila aja cuma kita bertiga""Kan gue sudah bilang, supaya tidak mencolok dan pihak musuh tidak mendeteksi kita." Sahut Denny."Udah lu cepetan nyetirnya lah." Kata Andika,
Sekitar kurang dari 2 kilometer, mereka sampai di sebuah SPBU. Denny keluar dari mobil dengan lengan jasnya yang ditutupi oleh jas lain agar darah bekas yang ditembaknya tidak kelihatan. "Tunggu di sini gue nggak bakalan lama." Kata Denny kepada Bams dan Andika yang mobilnya terparkir cukup jauh letaknya dari kamar mandi dan toilet.Denny dengan cukup tegang namun berusaha santai mengganti pakaiannya dengan yang baru. Kemudian memasukan jas yang berdarah itu ke dalam tas. Tapi Denny tiba-tiba dikagetkan dengan suara tembakan dari luar. Denny dengan sigap mengeluarkan pistol desert eagle miliknya, dan berlari keluar dari kamar mandi SPBU.Dia melihat mobil Range Rover hitam itu melaju dikemudikan oleh Bams. Mobil itu diberondong oleh tembakan beberapa orang, kira-kira lima orang berpakaian preman. Sontak para pegawai SPBU berlarian dan berteriak ketakutan untuk melindungi diri.Denny juga melihat Andika yang sudah terbujur kaku dan bersimbah dar
Jason berusaha berpikir jernih, kegilaan apalagi yang harus dilewatinya setelah membobol tempat kerjanya sendiri, melompat dari gedung ke gedung seperti Spider-Man, dan kini si Penelepon itu malah menyuruhnya ke Bali seolah memerintahkannya untuk liburan. "Yang benar saja!" Gerutu Jason dalam kegelapan di tempat yang sepi itu. "Gue sudah melakukan hal yang lu mau.""Sabar." Kata si Penelepon dengan nada yang sangat tenang. "Ini hanya perjalanan biasa. Tapi dengan cara yang tak biasa bawa koper itu besok pagi ke titik koordinat yang gue kasih. Lebih tepatnya di Pulau Bali. Tempat yang aman untuk koper itu.""Kenapa nggak lu ambil saja di suatu tempat di di sini, di Jakarta! Hah?""Ini rumit, Jason." Terdengar kalau si Penelepon sedang menghembuskan nafas dalam-dalam. "Koper itu sekarang sedang diburu oleh banyak orang. Lu yang punya kemampuan buat bawa kabur. Alasan lainnya, gue belum kasih tahu.""Lu minta gue bawa besok?" Tanya Jason se
Jason melangkah keluar dari ruangan kamar hotel itu dan melihat di lorong untuk memastikan apakah ada orang lain atau tidak, lorong itu begitu sepi dan berkata pada Tommy yang sedang mengintrogasi orang asing yang menyerang mereka, "Kita harus pergi dari sini, sekarang juga."Tommy mengangguk dan mendorong orang asing itu sampai terjatuh dan wajahnya sudah berdarah-darah. Jason dan Tommy berlari menuruni tangga hotel dan menuju tempat parkir untuk menaiki mobil Tommy. Jason melihat jam tangannya saat dia masuk ke dalam mobil, pukul 02:00 dinihari. "Kita dikejar, kita harus lari sejauh mungkin." Kata Jason saat Tommy menyalakan mesin mobil dan melaju dengan cepat meninggalkan pelataran Hotel Verizon yang tampak sepi. Tommy yang menyetir dengan sangat kencang bertanya, "Kenapa Satia Utama bisa tahu lu ada di mana, ada di hotel?""Pasti ada yang memata-matai, apa ada orang lain tahu kalau lu keluar menemui gue?"Tommy menggeleng, "Tidak ad
Seorang wanita yang berbaring di tempat tidur terbangun dari tidurnya ketika waktu menunjukan sekitar tiga pagi dan dia menyalakan lampu kamar, nama wanita itu adalah Diandra. Di sebelahnya terdapat seorang pria yang usianya sebelas tahun lebih tua darinya. Diandra melangkah ke sebuah lemari es dan mengambil gelas yang ada di atasnya, menuangkan air ke gelas itu dan kembali duduk di tempat tidurnya untuk meminum air dalam gelas tersebut. Pria di sebelahnya, Rehan, terbangun, memicingkan mata dan memandang Diandra yang sedang meletakan gelasnya di meja. "Kebangun ya? Udah jam berapa ini?""Jam tiga " Jawab Diandra. Rehan yang tampaknya masih telanjang dada bangun dan duduk yang lalu bergeser mendekati Diandra. Rehan menyentuh dan mengusap punggung lalu bahu Diandra dan memeluknya dari belakang. Rehan membisikan sesuatu pada Diandra, "Daripada diam bagaimana kalau kita lakukan sekali lagi?"Diandra hanya diam dan tak melakukan apa-apa. Saat Reha
Tommy menutup sambungan teleponnya saat itu dan berada di dalam kamar mandi, memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan memakai kembali kemejanya. Dengan penuh senyum kemenangan dia membuka pintu dan berjalan menuju ruangan tengah. "Jas, Diandra. Di mana kalian?" Tommy melihat ruangan itu tidak ada siapa-siapa dan berjalan menuju dapur, juga tidak menemukan siapa-siapa. Lantas dia berlari ke kamar Diandra, juga tidak ada. Tommy pun mulai curiga dan berlari menuju halaman depan. Mobil jenis sedan milik Diandra yang terparkir sudah tidak ada. Mereka sudah pergi. "Bangsat, sialan!" Gerutu Tommy yang kemudian menggaruk dan memegangi kepalanya sendiri. Dia panik sendiri dan mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. ***Jason yang menyetir mobil pagi itu menyusuri jalan raya untuk keluar dari Jakarta dan Diandra berada di sampingnya. "Gue nggak menyangka Tommy akan berkhianat. Hampir saja terjadi kesalahan fatal. Gue nggak tahu harus bilang apa.""Tomm
Saat Tommy mengerang kesakitan dan memegangi kakinya, dia berusaha menjangkau pistol miliknya yang ikut terjatuh, namun Benny menendang pistol itu hingga jauh. "Bodoh sekali jika orang sepertimu membodohi kami, lu kira lu bakal punya tempat istimewa di tim ini? Lu salah besar. Apa maksud lu membodohi kita?""Gue," kata Tommy sambil menahan kesakitan. "Gue akan balas kalian."Benny mengayunkan kakinya tepat ke arah dada Tommy dengan sekeras-kerasnya. "Kemana mereka?"Tommy tersengal-sengal dan batuk-batuk. "Untuk apa gue memberi tahu kalian?"Benny sudah sangat kesal, dia menarik senjatanya dan menaruh moncong pistolnya ke dahi Tommy. "Sampai jumpa!""Tunggu!" Teriak seseorang yang ada di belakang Benny. Salah seorang anak buahnya. "Pak, sebaiknya kita jangan bunuh dia, karena dia anak kesayangannya bos. Kita belum punya perintah untuk membunuhnya. Kalau dia mati bisa saja bos marah besar."Benny berpikir sejenak, dia melepaskan m
Dua orang pria turun dari mobil di depan halaman rumah Diandra. Salah satunya masih berusia sekitar dua puluh tahunan dan salah satunya lagi pria berusia empat puluh tahunan. Pria yang lebih muda itu bernama Erick, dia bersama dengan seorang dokter yang membawa tas yang berisi peralatan medis. Wajah Erick tampak panik dan terburu-buru, diikuti oleh si dokter, Erick membuka pintu rumah Diandra. Mereka melihat Tommy yang terbaring di sebuah sofa,bagian atas kakinya diikat dengan kain tebal dan penuh dengan darah. Wajah Tommy penuh keringat dan menahan rasa sakit. "Cepatlah!"Sejenak Erick tampak bengong sampai ia berkata pada dokter, "Cepetan dok!"Dokter itu dengan sigap menaruh tasnya tepat di meja ruang tamu itu dan membuka sejumlah peralatan bedah yang dibawanya. Meraih jarum suntik dan memasukan sebuah cairan ke dalamnya dan menyuntikan itu ke kaki Tommy. "Kenapa bisa terjadi bang?" tanya Erick ketika dokter memulai pekerjaannya mengangk