Sekitar kurang dari 2 kilometer, mereka sampai di sebuah SPBU. Denny keluar dari mobil dengan lengan jasnya yang ditutupi oleh jas lain agar darah bekas yang ditembaknya tidak kelihatan. "Tunggu di sini gue nggak bakalan lama." Kata Denny kepada Bams dan Andika yang mobilnya terparkir cukup jauh letaknya dari kamar mandi dan toilet.
Denny dengan cukup tegang namun berusaha santai mengganti pakaiannya dengan yang baru. Kemudian memasukan jas yang berdarah itu ke dalam tas. Tapi Denny tiba-tiba dikagetkan dengan suara tembakan dari luar. Denny dengan sigap mengeluarkan pistol desert eagle miliknya, dan berlari keluar dari kamar mandi SPBU.
Dia melihat mobil Range Rover hitam itu melaju dikemudikan oleh Bams. Mobil itu diberondong oleh tembakan beberapa orang, kira-kira lima orang berpakaian preman. Sontak para pegawai SPBU berlarian dan berteriak ketakutan untuk melindungi diri.
Denny juga melihat Andika yang sudah terbujur kaku dan bersimbah darah di bagian dada dan kepala.
Denny menyadari ada seseorang dari mereka yang mendapati keberadaannya. Dia lalu sembunyi di sebuah tiang tembok yang cukup besar untuk berlindung. Tembakan memberondong ke dirinya tapi tidak ada yang kena.
Denny berusaha membidik sambil berlindung tapi dia kesulitan karena kalah jumlah. Terlebih lagi mereka menggunakan senjata laras panjang.
Ketika akan membidik dan menembak, lengan Andika malah tertembak dan pistolnya terjatuh. Dia mengaduh kesakitan luar biasa saat tangannya penuh darah. Denny pun tersungkur.
Kelima gerombolan itu berlari ke arah Denny, semuanya memakai penutup kepala, dan salah satunya menendang kepala Denny. Orang bertubuh paling kekar mencekik Denny . "Di mana koper itu?"
"Di-di mobil. " Kata Denny sambil menahan kesakitan.
Seorang lagi memeriksa tas yang dibawa oleh Denny, tidak ada apa-apa selain jas yang ada darah begal tadi.
"Berapa kode pembukanya?"
"Mana gue tahu!" Denny meraung saat kaki orang itu menekan kepalanya.
Orang yang paling kekar tersebut memberikan kode pada salah satu anak buahnya dan kemudian anak buahnya memberondong Denny dengan senapan. Denny tewas seketika.
***
Bams terus memacu Range Rover yang dikendarainya dengan sangat kencang dan dia menyadari mobil di belakangnya terus mengejarnya. Mobil yang mengejarnya sejenis mobil sedan dan juga berkecepatan tinggi. Sesekali tembakan melesat ke arah Range Rover tapi tak ada yang mengenai Bams.
Dengan nafas menderu, Bams terus menghindari tembakan dan dia menyadari kalau sudah ada tiga mobil yang mengejar di belakangnya. Orang-orang yang menginginkan koper itu.
Saat menuju pertigaan, ada sebuah mobil lagi yang kini ada di depannya dan juga mengincarnya. Kini Bams tahu kalau yang mengincar koper itu ada banyak. Dia sempat mengerem di tengah tembakan peluru dan memilih jalan sebelah kanan.
Merasa putus asa, Bams ingin sekali meledakan diri. Tapi di depannya ada sebuah bangunan gedung yang belum selesai dibangun, belum ditembok sebagian dan masih dalam tahap pengerjaan. Tanpa pikir panjang Bams memacu mobilnya untuk berbelok dan masuk ke dalam gedung tersebut dan menabrak kayu-kayu penyangganya.
Dengan cepat Bams meraih sebuah kotak yang ditutupi kain berwarna hitam, itu adalah kopernya. Koper besi itu berwarna perak mengkilap dan berada di kursi belakang mobil. Dia keluar dari mobil dengan menggenggam koper tersebut.
Bams lantas berlari tidak karuan di dalam gedung tersebut dan berpacu dengan waktu. Di sebuah ruangan dia menemukan sebuah sekop, air di dalam gentong, dan semen. Bams berpikir cepat dan memutuskan untuk mengubur koper itu.
Dia menggali dengan sangat cepat, menaruh kopernya dan kemudian menyemennya. Dia sangat kelelahan setelah melakukan itu selama sekitar satu jam dan Bams lalu mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu. Setelah itu Bams mengeluarkan buku catatan kecil, menulis sesuatu dan menyimpannya lagi di saku yang ada di kemejanya.
Terdengar suara dari luar kalau gerombolan itu menemukan Bams dan bunyi langkah puluhan orang terdengar.
"Sialan, bangsat!" Bams dengan terhuyung naik ke tangga untuk menuju ke lantai atas gedung tersebut dan dia sampai di atas atap. Sebelum gerombolan itu menemukannya. Bram menangis sekaligus tertawa, dia mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya ke kepalanya sendiri.
"Terima kasih, Pak Satia." Dorr. Bams menembak kepalanya sendiri, nyawanya menghilang hampir bersamaan dengan datangnya para gerombolan.
Tak lama kemudian tim kepolisian datang yang membuat gerombolan tersebut kabur berhamburan sebelum dapat menemukan koper itu.
Jason berusaha berpikir jernih, kegilaan apalagi yang harus dilewatinya setelah membobol tempat kerjanya sendiri, melompat dari gedung ke gedung seperti Spider-Man, dan kini si Penelepon itu malah menyuruhnya ke Bali seolah memerintahkannya untuk liburan. "Yang benar saja!" Gerutu Jason dalam kegelapan di tempat yang sepi itu. "Gue sudah melakukan hal yang lu mau.""Sabar." Kata si Penelepon dengan nada yang sangat tenang. "Ini hanya perjalanan biasa. Tapi dengan cara yang tak biasa bawa koper itu besok pagi ke titik koordinat yang gue kasih. Lebih tepatnya di Pulau Bali. Tempat yang aman untuk koper itu.""Kenapa nggak lu ambil saja di suatu tempat di di sini, di Jakarta! Hah?""Ini rumit, Jason." Terdengar kalau si Penelepon sedang menghembuskan nafas dalam-dalam. "Koper itu sekarang sedang diburu oleh banyak orang. Lu yang punya kemampuan buat bawa kabur. Alasan lainnya, gue belum kasih tahu.""Lu minta gue bawa besok?" Tanya Jason se
Jason melangkah keluar dari ruangan kamar hotel itu dan melihat di lorong untuk memastikan apakah ada orang lain atau tidak, lorong itu begitu sepi dan berkata pada Tommy yang sedang mengintrogasi orang asing yang menyerang mereka, "Kita harus pergi dari sini, sekarang juga."Tommy mengangguk dan mendorong orang asing itu sampai terjatuh dan wajahnya sudah berdarah-darah. Jason dan Tommy berlari menuruni tangga hotel dan menuju tempat parkir untuk menaiki mobil Tommy. Jason melihat jam tangannya saat dia masuk ke dalam mobil, pukul 02:00 dinihari. "Kita dikejar, kita harus lari sejauh mungkin." Kata Jason saat Tommy menyalakan mesin mobil dan melaju dengan cepat meninggalkan pelataran Hotel Verizon yang tampak sepi. Tommy yang menyetir dengan sangat kencang bertanya, "Kenapa Satia Utama bisa tahu lu ada di mana, ada di hotel?""Pasti ada yang memata-matai, apa ada orang lain tahu kalau lu keluar menemui gue?"Tommy menggeleng, "Tidak ad
Seorang wanita yang berbaring di tempat tidur terbangun dari tidurnya ketika waktu menunjukan sekitar tiga pagi dan dia menyalakan lampu kamar, nama wanita itu adalah Diandra. Di sebelahnya terdapat seorang pria yang usianya sebelas tahun lebih tua darinya. Diandra melangkah ke sebuah lemari es dan mengambil gelas yang ada di atasnya, menuangkan air ke gelas itu dan kembali duduk di tempat tidurnya untuk meminum air dalam gelas tersebut. Pria di sebelahnya, Rehan, terbangun, memicingkan mata dan memandang Diandra yang sedang meletakan gelasnya di meja. "Kebangun ya? Udah jam berapa ini?""Jam tiga " Jawab Diandra. Rehan yang tampaknya masih telanjang dada bangun dan duduk yang lalu bergeser mendekati Diandra. Rehan menyentuh dan mengusap punggung lalu bahu Diandra dan memeluknya dari belakang. Rehan membisikan sesuatu pada Diandra, "Daripada diam bagaimana kalau kita lakukan sekali lagi?"Diandra hanya diam dan tak melakukan apa-apa. Saat Reha
Tommy menutup sambungan teleponnya saat itu dan berada di dalam kamar mandi, memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan memakai kembali kemejanya. Dengan penuh senyum kemenangan dia membuka pintu dan berjalan menuju ruangan tengah. "Jas, Diandra. Di mana kalian?" Tommy melihat ruangan itu tidak ada siapa-siapa dan berjalan menuju dapur, juga tidak menemukan siapa-siapa. Lantas dia berlari ke kamar Diandra, juga tidak ada. Tommy pun mulai curiga dan berlari menuju halaman depan. Mobil jenis sedan milik Diandra yang terparkir sudah tidak ada. Mereka sudah pergi. "Bangsat, sialan!" Gerutu Tommy yang kemudian menggaruk dan memegangi kepalanya sendiri. Dia panik sendiri dan mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. ***Jason yang menyetir mobil pagi itu menyusuri jalan raya untuk keluar dari Jakarta dan Diandra berada di sampingnya. "Gue nggak menyangka Tommy akan berkhianat. Hampir saja terjadi kesalahan fatal. Gue nggak tahu harus bilang apa.""Tomm
Saat Tommy mengerang kesakitan dan memegangi kakinya, dia berusaha menjangkau pistol miliknya yang ikut terjatuh, namun Benny menendang pistol itu hingga jauh. "Bodoh sekali jika orang sepertimu membodohi kami, lu kira lu bakal punya tempat istimewa di tim ini? Lu salah besar. Apa maksud lu membodohi kita?""Gue," kata Tommy sambil menahan kesakitan. "Gue akan balas kalian."Benny mengayunkan kakinya tepat ke arah dada Tommy dengan sekeras-kerasnya. "Kemana mereka?"Tommy tersengal-sengal dan batuk-batuk. "Untuk apa gue memberi tahu kalian?"Benny sudah sangat kesal, dia menarik senjatanya dan menaruh moncong pistolnya ke dahi Tommy. "Sampai jumpa!""Tunggu!" Teriak seseorang yang ada di belakang Benny. Salah seorang anak buahnya. "Pak, sebaiknya kita jangan bunuh dia, karena dia anak kesayangannya bos. Kita belum punya perintah untuk membunuhnya. Kalau dia mati bisa saja bos marah besar."Benny berpikir sejenak, dia melepaskan m
Dua orang pria turun dari mobil di depan halaman rumah Diandra. Salah satunya masih berusia sekitar dua puluh tahunan dan salah satunya lagi pria berusia empat puluh tahunan. Pria yang lebih muda itu bernama Erick, dia bersama dengan seorang dokter yang membawa tas yang berisi peralatan medis. Wajah Erick tampak panik dan terburu-buru, diikuti oleh si dokter, Erick membuka pintu rumah Diandra. Mereka melihat Tommy yang terbaring di sebuah sofa,bagian atas kakinya diikat dengan kain tebal dan penuh dengan darah. Wajah Tommy penuh keringat dan menahan rasa sakit. "Cepatlah!"Sejenak Erick tampak bengong sampai ia berkata pada dokter, "Cepetan dok!"Dokter itu dengan sigap menaruh tasnya tepat di meja ruang tamu itu dan membuka sejumlah peralatan bedah yang dibawanya. Meraih jarum suntik dan memasukan sebuah cairan ke dalamnya dan menyuntikan itu ke kaki Tommy. "Kenapa bisa terjadi bang?" tanya Erick ketika dokter memulai pekerjaannya mengangk
Flashback12 Tahun SebelumnyaSaat itu Jason masih berusia 24 tahun namun memiliki peranan dan posisi penting di dalam kelompoknya Coki yaitu selaku pemimpin eksekutor lapangan. Tugasnya seperti memeras dan menyuap pejabat, memantau aktivitas di daerah kekuasaan Coki, sampai dengan eksekutor permintaan dari klien. Jason melakukan itu bersama-sama dengan Tommy dan mereka selalu berhasil dalam tugasnya sehingga mendapatkan respek dari Coki. Coki memandang mereka sebagai dua orang yang pemberani dan tak takut mati. Saat itu Jason ditugaskan untuk mengancam seorang pengusaha muda bernama Wisnu agar perusahaan real estatenya tidak beroperasi di daerah kekuasaan milik Coki. Karena sudah ada pengusaha lain yang sudah menguasai daerah itu dan pengusaha itu adalah kliennya Coki yang sudah membayar Coki dengan harga yang sangat mahal. Kilas balik ini merupakan salah satu titik terpenting dalam jarir Jason yang berkecimpung sebagai orangnya Coki. Wisnu ada
Wisnu Aditya, kaya raya dari warisan dan punya bisnis di sana-sini termasuk stasiun televisi. Wisnu sudah menikah dengan artis ternama yang namanya Vera Andriana. Pernikahan keduanya disorot oleh media sekitar enam tahun yang lalu karena Vera hamil duluan, sorotan media saat itu begitu tajam walaupun belum ada media sosial. Kali ini Wisnu dihadapkan oleh masalah bisnisnya sendiri, dijegal oleh mafia. Bisnis propertinya yang kian pesat sekarang menghadapi masalah serius. Saat itu sore hari dan hujan yang rintik-rintik membasahi tanah Kota Jakarta dan jalanan dipenuhi oleh kendaraan orang-orang yang pulang dari aktivitas. Wisnu yang menaiki mobil Mercedes-Benz C200 dan dikemudikan oleh sopirnya melihat ke keluar dengan tatapan yang kosong. Jelas kalau dirinya masih kesal dengan kedatangan Jason dan Tommy yang mengancamnya, Wisnu tahu siapa Coki tapi dirinya percaya diri bisa menanganinya. Ponsel Wisnu berdering, ada seseorang yang menelepon. Wisnu mengangkat telep