‘’Papa jahat! Papa jahat!’’ Gia memukuli dada sang ayah dengan tangis yang tumpah. Orang yang dikenal setia nyatanya malah beristri dua. Vania tidak tahu bagaimana menenangkan buah hatinya itu. Dirinya hanya menatap sedih pada pemandangan memilukan hati tersebut.‘’Gia…’’ Suara Gavi melemah. Selain Vania, ternyata putrinya juga terluka atas pernikahannya.‘’Papa nggak sayang Gia lagi. Papa nggak sayang Gia!’’ Tangisan membanjiri kedua pipi gembulnya. Kecewa, tidak terima, merasa dikhianati membentuk gejolak di dalam diri. Menyebabkan tangis Gia tidak menemui batas.Gavi menoleh pada Vania, namun Vania pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan ketantruman Gia.‘’Oke, oke. Sekarang Gia maunya apa? Papa akan turuti,’’ ujar Gavi memegang kedua lengan Gia yang masih ingin bergerak.Berharap dengan begitu Gia tidak lagi menangis.Namun bukannya menjawab, Gia memandang Gavi dengan mata yang masih saja berair. Terlalu bingung untuk menyatakan.Gia hanya mau papa dan mamanya tetap be
Dijembatani oleh makan malam menyenangkan, Gavi berpikir bahwa Vania akan luluh dan memperbolehkan dirinya tidur sekamar lagi.Namun harapan itu hanyalah harapan kosong. Sebab, Vania malah mengunci pintu sehingga Gavi kembali ke kamar Sandra.Bersama rasa hampa menggelapi jiwa, Gavi meraih gagang pintu keemasan itu. Memutarnya hingga terbuka. Dalam hati sedikit lega karena setidaknya Sandra tidak menguncinya.Tetapi Gavi langsung dibuat heran, dikarenakan kamar sangatlah gelap tanpa ada cahaya menerangi.‘’Sandra.’’‘’San.’’Gavi membatin. Tidak biasanya Sandra tidak menjawab bila dipanggil. Apalagi dipanggil olehnya yang notabene seorang suami yang Sandra haus kasih sayang akannya.‘’San,’’ panggil Gavi lagi. Crek!Gavi kaget karena lampu yang tiba-tiba menyala.‘’Maaf aku tidak dengar. Sedang di kamar mandi tadi.’’ Sandra berdiri di dekat stop kontak lalu kembali ke tempat tidur.Tanpa menggubris Gavi, tanpa berusaha mendapatkan perhatian pria itu.Mungkin karena pertengkaran tadi
‘’Aku mohon, Gav. Aku mohon padamu,’’ lirih Sandra dengan tangis menyentuh relung hati.‘’Apa kamu tidak memikirkan dirimu dan anak kita?’’Sandra menggeleng lemah.‘’Aku hanya memikirkan dirimu,’’ jawab Sandra cepat. ‘’Aku ingin kamu bahagia. Mungkin jika bukan dengan aku, pastilah dengan Vania,’’ jelas Sandra pasrah. Dirinya sudah tidak memikirkan apapun termasuk bayinya. Hanya Gavi dan Gavi lah yang dirinya pikirkan.Gavi tatap wanita itu lamat-lamat. Menyingkirkan helaian rambut yang menutupi kecantikan Sandra. Sehingga membuat wanita itu terdiam ingin mendengar jawaban Gavi.
Pagi nan cerah, kicauan burung sampai di telinga Sandra. Membangunkannya dari indahnya mimpi. Semalam lebih dari indah untuk dikatakan sebagai bunga tidur.Sandra memijat tengkuk yang terasa pegal.Namun ketika melihat ke samping, Gavi sudah tidak ada ketika dirinya terbangun. Dalam hati merasa sedih karena Gavi meninggalkannya tanpa berusaha membangunkan.Apakah Gavi membohonginya?Kalaupun laki-laki itu pergi bekerja, seharusnya Gavi pamit padanya bila mengingat janji Gavi tadi malam.Tidak akan pilih kasih dan akan bersikap adil.Brak. Pintu terbuka.
‘’Bik Lia, Sandra mana?’’ Sepulangnya Gavi dari rumah sakit, dirinya tidak mendapati Sandra berada di kamar. Mencari ke mana-mana tetapi orang yang dicari tak kunjung ditemukan. Mengira bahwa Sandra mungkin saja ada di dapur. Namun bukannya Sandra, yang didapati Gavi malah Lia. ‘’Kayaknya ada di halaman belakang, Tuan. Mau saya panggilkan?’’ tawar Lia dengan sopan.‘’Tidak usah. Biar saya saja.’’ Benar saja. Gavi mendapati Sandra berada di sana. Duduk sendirian, termenung seperti orang linglung. Namun ternyata lebih dari itu.‘’Sand, kamu menangis? Kenapa? Ada apa?’’ cecar Gavi tidak mau ada air mata lagi. Membuatnya berpikiran yang tidak-tidak bahwa Sandra menangis dikarenakan dirinya.‘’Jangan bilang kamu masih ingin bercerai,’’ tebak Gavi.Sandra menoleh tanpa menghapus air mata yang jatuh. Wanita itu menggeleng. Lalu kembali menunduk.Melihat itu, Gavi berlutut di hadapan Sandra. Masih penasaran penyebab istrinya itu menangis.‘’Katakan, Istriku? Apa ada yang mengganggumu?’’So
‘’Papa kok nggak ngabarin mama, sih, kalau pulang?’’ Yura mencubit pinggang Dani dan menyebabkan mobil kehilangan keseimbangan beberapa detik.‘’Mama! Papa lagi nyetir!’’ seru Dani. Melirik Yura sekilas.‘’Iya, Oma. Kalau mau berantem, nanti saja di rumah. Gia nggak mau kecelakaan terus masuk rumah sakit.’’ Gia menimpali dari kursi belakang.Pasangan di kursi depan sontak tertawa. Vania mengusap kepala Gia kemudian bertanya. ‘’Bukannya Gia suka rumah sakit?’’ Karena setiap akhir pekan, Gavi biasanya mengajak Gia ke tempatnya bekerja. Timbul ketertarikan dan terbentuklah keinginan. Sehingga gadis cilik itu bercita-cita ingin jadi seperti sang ayah.Dokter yang hebat.Begitulah kala Gia mengatakannya pada Vania.‘’Sudah nggak, Ma. Gia nggak suka lagi. Soalnya, nanti Gia ketemu sama papa.’’‘’Loh, kenapa jadi nggak mau ketemu papa, Nak? Apa Gia sudah tidak sayang papa lagi?’’ ‘’Papa lebih sayang Tante Sandra dibandingkan Gia sekarang, Ma. Buktinya, papa nggak mau pergi sama kita ke mal
‘’El, apa menurut kamu aku salah?’’ Sandra memandangi anak kembar yang sedang bermain pasir di pantai itu. Terpaksa menemani Elsa sedang bertugas menjaga si kembar, sementara Alin dan Delia sedang berbelanja.Elsa yang duduk di sampingnya menoleh, ‘’Tentu saja salah. Mendekati pria beristri itu tidak ada benarnya,’’ tegas Elsa.‘’Aku mati-matian mendapatkannya dan sekarang aku telah menikah dengan Gavi, apa aku tidak boleh bahagia berkat usahaku?’’ Sandra membela diri.‘’Boleh saja. Tapi kamu bahagia di atas derita seorang wanita.’’ Elsa melirik Sandra sebelum kembali terfokus pada Raffi dan Rico.Sandra menunduk, merasa malu pada dirinya. Seakan bercermin dengan suara hati sendiri. Padahal selama ini memegang teguh membenarkan diri. Bahwa pernikahannya dan terajutnya cinta adalah buah dari kegigihannya mengejar seorang Gavi Ravindra.Melewati badai salju, angin topan beratapkan halilintar menggelegar. Menjadi selingkuhan, tak diinginkan, dinikahi tapi dicampakkan. Hingga akhirnya, mu
Walau tidak sepi, tetapi suasana hening ini sangat mencekam. Bukan karena adanya sepasang suami istri yang tengah dimabuk asmara. Melainkan karena Dani.Ayah mertua Vania itu sangat tegas namun sangat penyayang. Tapi, wajah Dani kini tidak menunjukkan itu semua. Dani terlihat marah.‘’Sekarang pilih, Vania atau Sandra?’’ Dani berkata tiba-tiba.‘’Maksud, Papa?’’ Gavi langsung menatap Dani padahal sebelumnya menunduk.Sandra di sebelah Gavi, Vania di sebelah Dani. Duduk bersebrangan layaknya dua kubu saling berlawanan.‘’Kamu yang meminta papa bicara begini?’’ tanya Gavi pada Vania.Selama ini Dani tidak pernah ikut campur urusan Gavi, apapun itu bentuknya. Tapi kini? Dani seperti sedang ikut campur. Karena Gavi sangat tahu sesayang apa Dani pada Vania, sehingga Gavi berpikir Vania lah yang meracuni sang ayah untuk menyidaknya.Vania menggeleng dengan mata membola. Kaget karena menjadi tertuduh.‘’Tidak ada sangkut pautnya dengan Vania. Ini murni dari papa.’’ Dani menengahi. Menolong
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu