Bagaimana agar Vania mau memaafkannya. Hanya itu yang Gavi pikirkan. Apapun dan bagaimanapun caranya, Gavi harus mencairkan sikap dingin sang istri.Tidak bisa hidup tanpa Vania. Semua kesalahan ini membawanya ke lubang nestapa tak berujung. ‘’Aku tidak ingin ada jarak di antara kita, Sayang. Aku tersiksa melihatmu begitu acuh,’’ lirihnya memeluk Vania erat. ‘’Karena itu, izinkan aku menceraikannya. Kalau dia memang mau mati, biarkan saja. Kita tidak bisa menghalangi takdir seseorang, bukan?’’Vania menjauhkan Gavi dan lekas menutupi tubuhnya dengan selimut.Vania seperti tidak mengenal Gavi lagi.‘’Jangan pernah lakukan itu. Hidupnya sudah hancur. Jangan membuatnya semakin kesulitan, Gavi. Apa kamu tidak berpikir kalau kita punya anak perempuan? Bagaimana jika dia bernasib buruk seperti Sandra?’’ Walau mengharapkan mereka berpisah, tetapi Vania masih punya hati.‘’Pikirkan anak kita. Karma itu ada Gavi.’’ Vania tak mau anaknya menjadi korban. Cukup dirinya yang mendapat karma karena
Dengan cepat Gia berlari memeluk Vania, begitu juga dengan Vania yang langsung menggendongnya.‘’Mama, Tante Sandra bilang, Vania harus panggil tante dengan sebutan mama. Karena, papa sudah menikah dengan tante, Ma,’’ ungkap Gia sembari sesegukan. ‘’Gia nggak mau, Ma. Gia nggak mau punya mama lagi. Gia nggak mau.’’‘’Maaf, Vania. Aku hanya menjelaskan apa adanya,’’ ujar Sandra membela diri. Berdiri dari duduknya.‘’Bicara dengan anak-anak bukan seperti itu, Sandra!’’ seru Vania dengan bola mata sebesar kemarahannya. ‘’Namun sampai kapan harus disembunyikan? Gia pasti akan bertanya mengapa aku masih di sini.’’Dada Vania benar-benar bergemuruh. Vania palingkan wajahnya pada Gia dan mengusap air matanya. Anak kecil itu tidak terima ayahnya punya istri dua.‘’Tidak perlu terburu-buru. Apa jangan-jangan kamu memang sengaja ingin diakui di rumah ini?’’‘’Bukankah seharusnya memang begitu? Apa aku tidak berhak mendapat penerimaan? Bahkan ART di rumah ini pun tidak melakukannya.’’ Telunjuk
‘’Papa jahat! Papa jahat!’’ Gia memukuli dada sang ayah dengan tangis yang tumpah. Orang yang dikenal setia nyatanya malah beristri dua. Vania tidak tahu bagaimana menenangkan buah hatinya itu. Dirinya hanya menatap sedih pada pemandangan memilukan hati tersebut.‘’Gia…’’ Suara Gavi melemah. Selain Vania, ternyata putrinya juga terluka atas pernikahannya.‘’Papa nggak sayang Gia lagi. Papa nggak sayang Gia!’’ Tangisan membanjiri kedua pipi gembulnya. Kecewa, tidak terima, merasa dikhianati membentuk gejolak di dalam diri. Menyebabkan tangis Gia tidak menemui batas.Gavi menoleh pada Vania, namun Vania pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan ketantruman Gia.‘’Oke, oke. Sekarang Gia maunya apa? Papa akan turuti,’’ ujar Gavi memegang kedua lengan Gia yang masih ingin bergerak.Berharap dengan begitu Gia tidak lagi menangis.Namun bukannya menjawab, Gia memandang Gavi dengan mata yang masih saja berair. Terlalu bingung untuk menyatakan.Gia hanya mau papa dan mamanya tetap be
Dijembatani oleh makan malam menyenangkan, Gavi berpikir bahwa Vania akan luluh dan memperbolehkan dirinya tidur sekamar lagi.Namun harapan itu hanyalah harapan kosong. Sebab, Vania malah mengunci pintu sehingga Gavi kembali ke kamar Sandra.Bersama rasa hampa menggelapi jiwa, Gavi meraih gagang pintu keemasan itu. Memutarnya hingga terbuka. Dalam hati sedikit lega karena setidaknya Sandra tidak menguncinya.Tetapi Gavi langsung dibuat heran, dikarenakan kamar sangatlah gelap tanpa ada cahaya menerangi.‘’Sandra.’’‘’San.’’Gavi membatin. Tidak biasanya Sandra tidak menjawab bila dipanggil. Apalagi dipanggil olehnya yang notabene seorang suami yang Sandra haus kasih sayang akannya.‘’San,’’ panggil Gavi lagi. Crek!Gavi kaget karena lampu yang tiba-tiba menyala.‘’Maaf aku tidak dengar. Sedang di kamar mandi tadi.’’ Sandra berdiri di dekat stop kontak lalu kembali ke tempat tidur.Tanpa menggubris Gavi, tanpa berusaha mendapatkan perhatian pria itu.Mungkin karena pertengkaran tadi
‘’Aku mohon, Gav. Aku mohon padamu,’’ lirih Sandra dengan tangis menyentuh relung hati.‘’Apa kamu tidak memikirkan dirimu dan anak kita?’’Sandra menggeleng lemah.‘’Aku hanya memikirkan dirimu,’’ jawab Sandra cepat. ‘’Aku ingin kamu bahagia. Mungkin jika bukan dengan aku, pastilah dengan Vania,’’ jelas Sandra pasrah. Dirinya sudah tidak memikirkan apapun termasuk bayinya. Hanya Gavi dan Gavi lah yang dirinya pikirkan.Gavi tatap wanita itu lamat-lamat. Menyingkirkan helaian rambut yang menutupi kecantikan Sandra. Sehingga membuat wanita itu terdiam ingin mendengar jawaban Gavi.
Pagi nan cerah, kicauan burung sampai di telinga Sandra. Membangunkannya dari indahnya mimpi. Semalam lebih dari indah untuk dikatakan sebagai bunga tidur.Sandra memijat tengkuk yang terasa pegal.Namun ketika melihat ke samping, Gavi sudah tidak ada ketika dirinya terbangun. Dalam hati merasa sedih karena Gavi meninggalkannya tanpa berusaha membangunkan.Apakah Gavi membohonginya?Kalaupun laki-laki itu pergi bekerja, seharusnya Gavi pamit padanya bila mengingat janji Gavi tadi malam.Tidak akan pilih kasih dan akan bersikap adil.Brak. Pintu terbuka.
‘’Bik Lia, Sandra mana?’’ Sepulangnya Gavi dari rumah sakit, dirinya tidak mendapati Sandra berada di kamar. Mencari ke mana-mana tetapi orang yang dicari tak kunjung ditemukan. Mengira bahwa Sandra mungkin saja ada di dapur. Namun bukannya Sandra, yang didapati Gavi malah Lia. ‘’Kayaknya ada di halaman belakang, Tuan. Mau saya panggilkan?’’ tawar Lia dengan sopan.‘’Tidak usah. Biar saya saja.’’ Benar saja. Gavi mendapati Sandra berada di sana. Duduk sendirian, termenung seperti orang linglung. Namun ternyata lebih dari itu.‘’Sand, kamu menangis? Kenapa? Ada apa?’’ cecar Gavi tidak mau ada air mata lagi. Membuatnya berpikiran yang tidak-tidak bahwa Sandra menangis dikarenakan dirinya.‘’Jangan bilang kamu masih ingin bercerai,’’ tebak Gavi.Sandra menoleh tanpa menghapus air mata yang jatuh. Wanita itu menggeleng. Lalu kembali menunduk.Melihat itu, Gavi berlutut di hadapan Sandra. Masih penasaran penyebab istrinya itu menangis.‘’Katakan, Istriku? Apa ada yang mengganggumu?’’So
‘’Papa kok nggak ngabarin mama, sih, kalau pulang?’’ Yura mencubit pinggang Dani dan menyebabkan mobil kehilangan keseimbangan beberapa detik.‘’Mama! Papa lagi nyetir!’’ seru Dani. Melirik Yura sekilas.‘’Iya, Oma. Kalau mau berantem, nanti saja di rumah. Gia nggak mau kecelakaan terus masuk rumah sakit.’’ Gia menimpali dari kursi belakang.Pasangan di kursi depan sontak tertawa. Vania mengusap kepala Gia kemudian bertanya. ‘’Bukannya Gia suka rumah sakit?’’ Karena setiap akhir pekan, Gavi biasanya mengajak Gia ke tempatnya bekerja. Timbul ketertarikan dan terbentuklah keinginan. Sehingga gadis cilik itu bercita-cita ingin jadi seperti sang ayah.Dokter yang hebat.Begitulah kala Gia mengatakannya pada Vania.‘’Sudah nggak, Ma. Gia nggak suka lagi. Soalnya, nanti Gia ketemu sama papa.’’‘’Loh, kenapa jadi nggak mau ketemu papa, Nak? Apa Gia sudah tidak sayang papa lagi?’’ ‘’Papa lebih sayang Tante Sandra dibandingkan Gia sekarang, Ma. Buktinya, papa nggak mau pergi sama kita ke mal