Harusnya hari ini istimewa. Tapi mood Kiara sedang tidak bagus. Jadilah hadiah yang rencananya dia serahkan pada Devan dia biarkan saja tergeletak di sudut dalam lemarinya.
Ini hari minggu, Devan tidak pergi ke kantor. Tapi lihatlah, dia sedari tadi menjahili Rara. Membuat Rara menjerit laporan pada mamanya."Mama! Papa gangguin Rara mulu nih!" Adunya."Ih, beraninya ngadu sama mama," ledek Devan."Biarin. Papa nakal.""Haha. Beneran nih papa nakal? Kalau gitu gak jadi papa beliin es krim ya?""Jangan. Pokoknya beliin.""Tadi katanya papa nakal, hm," Devan mengangkat sebelah alisnya. Senyam senyum."Ya papa jahil. Dari kemarin gangguin Rara terus.""Papa pengen kok. Rara gak terima?""Ya gak lah. Papa ngeselin.""Tapi sayang kan? Haha."Diam-diam Kiara tersenyum simpul melihat kebersamaan mereka berdua. Rara benar putrinya. Ah, pantas saja dia merasakan ikatan yang kuat dengan gadis cilik itu. Selama ini dia mengabaikanSetelah setengah harian tadi jalan-jalan. Mereka pulang ke rumah. Devan sedang bermain dengan Rara di ruang depan. Sedang Kiara di kamar. Memandangi kado yang sampai saat ini belum juga dia kasihkan ke Devan.Perkataan Rara tadi memberinya keyakinan untuk segera mengabarkan kabar gembira untuk Devan. Dia tersenyum membayangkan wajah bahagia Devan jika mengetahui dirinya hamil. Nanti setelah mengabari Devan, barulah dia menghubungi orang tua dan mertuanya. Sekaligus mengadakan syukuran setelah sekian lama. Dan masalah Rara, biarlah dia tunggu sampai Devan mengatakannya sendiri. Mungkin benar, Devan sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan padanya. Mungkin saja Devan berfikir pasti berat mendengar kabar seperti itu. Tapi memang, harus dia akui, berat dan tak percaya. Tapi itu kan kesalahan masa lalu. Lagipula yang dia lihat adam bertanggung jawab dan merawat Rara dengan baik. Dan uniknya takdir membawa mereka berjodoh tanpa sengaja. Setidaknya keinginan untuk melihat
Hari beranjak sore tanpa terasa. Mentari yang tadi bersinar garang kini bersiap kembali ke peraduannya. Eh, belum sih, masih dalam perjalanan menuju peraduannya. Berkas sinarnya masih memancar meski tak seganas tadi.Kiara sudah bersiap dengan memakai blush dan rok pendek selutut berwarna krem. Rambutnya yang panjang hanya di kuncir sebagian. Membiarkan sisanya menjuntai bebas. Wajah ayunya di oles make up tipis. Bibir mungilnya juga dipakaikan lipstik dengan warna soft.Setelah dandanan siap, dia mengambil tas kecilnya. Melewati kamar Devan yang masih tertutup. Kiara mendorongnya pelan, mengintip dari bagian kecil yang terbuka. Rupanya sang empunya sedang lelap. Kesempatan untuk pergi. Karena jika sampai Devan tahu, yang ada rencananya akan berantakan. Pasti Devan kepo dan bertanya macam-macam. Dia kan tak pandai berbohong.Dengan gerakan pelan, Kiara tutup pintunya lagi. Pelan, sangat pelan hingga tak menimbulkan suara sedikitpun.Dia lirik
Atap gedung yang luas terhampar. Tak ada apa-apa selain dirinya dan Indira. Di atas meja ada kue tart cantik dengan lilin berangka sesuai umurnya saat ini. Juga bunga segar dalam vas. Dan dua gelas biola kosong bersanding dengan sebotol minuman.Keputusan yang tepat. Karena memang seorang pria berbeda selera dengan wanita yang tak perlu muluk-muluk dengan keindahan dekorasi.Hembusan angin malam menerpa bebas. Pemandangan kota dengan gemerlap lampunya menambah keindahan tersendiri. Apalagi di atas sana langit cerah memayungi.Indira tersenyum lebar mendapati wajah kaget seorang Devan."Happy birthday to you... happy birthday to you..."Dia bernyanyi dan bertepuk tangan riang.Devan tersenyum tipis. Justru pikirannya melayang ke Kiara. Ada apa dengan istrinya tersebut. Apa karena Kiara tak tahu bahwa hari ini ulang tahunnya? Ah, mungkin iya. Mereka kan baru menikah beberapa bulan yang lalu. Tapi kenapa rasanya sesak. Bukankah biasanya wanita cenderung perhatian dengan urusan seperti it
Kiara tersentak kaget. Terbangun dari ketidurannya. Dia mengusap wajahnya. "Dia belum pulangkah?" gumamnya, lalu melihat jam di layar ponselnya. Pukul dua belas lebih beberapa menit."Yah... sudah lewat dong. Aish. Bagaimana bisa aku malah ketiduran," decaknya. Dia beranjak dari posisi tidurnya yang sama sekali tidak nyaman dan bergegas ke kamar samping, atau lebih tepatnya kamar Devan.Dia membuka pelan, mengernyitkan dahi begitu mendapati tak ada Devan di dalam."Belum pulang? Kemana dia?" Kiara memeriksa ke kamar Rara, tapi ternyata tak ada sosok pria itu. Kiara mengernyit. Rasa rasanya Devan tadi tidak izin untuk pergi kemana gitu. Atau jangan-jangan.Kiarabergegas kembali ke kamarnya. Memeriksa kotak chat. Benar, ada pesan dari Devan."By, aku pulang agak malam. Tadi ketemu sama teman lama, jadi keasikan ngobrol. Jangan tunggu aku. Tidurlah kalau sudah mengantuk. Love you."Kiara tersenyum tipis. Meletakkan ponsel tersebut ke nakas. Lalu melirik kue yang tersaji di atas meja."
Selesai membersihkan diri, Indira termenung di pinggiran ranjang. Pandangannya kosong. Sementara Devan, meski dia sebenarnya juga sedang pening, tapi dia mencoba bersikap seolah baik-baik saja. Sembari mengeringkan rambut basahnya dengan handuknya, dia melirik wanita itu. Perasaan tak tega dan bersalah menjadi satu. Meski begitu, ada perasaan mengganjal, tapi dia tidak bisa menjelaskan perasaan apa itu."Maaf..." ucapnya. Indira makin menunduk. Takut jika bulir bening kembali menetes di pipinya."Ini bukan kesalahanmu. Aku yang tidak bisa mengontrol diriku. Tenanglah, aku akan berbicara dengan Kiara nanti."Indira mengangguk. "Sekarang ayo kita pulang."Indira mengangguk. Dalam perjalanan pulang, tak ada lagi pembicaraan diantara mereka. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama Devan. Dia sebenarnya bingung dengan apa yang akan dia katakan pada Kiara nanti. Rasanya sangat berat. Apalagi dari kemarin Kiara mendiamkannya. Semakin Devan merasa
"Hm. Laporan apa?" tanya Devan ketus. Atau memang sedang moodnya."Ini pak. Mengenai proyek itu, sekarang sudah berjalan setengahnya. Namun masih ada beberapa orang yang sepertinya mencari gara-gara. Dan saya rasa itu dari perusahaan saingan. Ini bukti-buktinya."Satrio menyodorkan kertas-kertas yang dia print tadi. Devan meraihnya kasar. Sungguh, wajahnya terlihat menahan sesuatu.Matanya meniti tulisan tersebut satu persatu. Membuka lembar demi lembar. Gerahamnya mengerat. Brak!Dia membantingnya ke meja keras. Tapi tak sedikitpun Satrio terlonjak. Dia sudah menduga akan begini reaski Devan."Apa-apaan ini. Bagaimana bisa mereka menyeret para investor kita di saat sudah setengah jalan begini," geramnya."Sepertinya mereka mulai berani menggunakan cara licik, pak."Desah napas Devan menderu. Wajah putihnya memerah menahan marah. Terlihat dari tangannya yang mengepal kuat. Dia merenggangkan dasinya yang mendadak terasa sesak.
"Ma, kok tadi papa gak ada sih?"Pertanyaan Rara untuk sekian kalinya."Kan mama udah bilang tadi sayang. Papa nginep tempat temannya."Rara manggut-manggut lagi. Sebenarnya dia juga sudah tahu jawabannya. Tapi rasanya ingin menanyakan terus menerus."Maaf, ibu ini mamanya Rara ya?"Seorang guru muda yang sepertinya agak tua sedikit dari Dinda tiba-tib saja sudah ada di belakang mereka."Oh, iya bu. Saya mamanya Rara.""Sebenarnya saya mau bicara sama ibu dari kemarin. Tapi masih agak ragu. Soalnya dulu kan Rara sering diantar sama wanita yang saya pikir itu mama Rara. Hehe. Maaf ya bu. Jadi salah sangka.""Iya bu. Gak apa-apa. Itu baby sitter Rara. Dulu kan saya kerja bu, makanya Rara di antar sama baby sitternya.""Oh, iya. Perkenalkan nama Saya Juwita, kepala sekolah disini," ucapnya mengulurkan tangannya yang disambut Kiara."Saya Kiara. Mamanya Rara bu.""Mari bu, ke kantor dulu. Ada hal yang ingin saya katakan ke ibu."
"Ma, kayaknya punya kucing seru deh."Mereka sampai di rumah. Rara sedari tadi mengoceh menceritakan kucing salah satu temannya pada saat dia berkunjung beberapa hari yang lalu."Rara mau kucing?"Kiara meletakkan tas Rara di tempatnya."Pengen ma. Biar Rara ada temennya. Sepi tahu.""Kan ada mama sama kak Nina," ujar Kiara. Membantu melepaskan seragam Rara."Yaah. Kan beda ma. Mama sama kak Nina udah besar."Kiara tersenyum kecil. "Pakai dulu baju gantinya sayang," ucapnya.Sembari menunggu Rara ganti baju, Kiara memberesi kamar Rara. "Ya ma, boleh ya?" pintanya lagi."Iya nanti. Bilang sama papa dulu ya?"Rara sumringah. Kalau masalah izin sama papa sih gampang. Papanya kan enakan. Pasti di turuti."Oke ma. Siap." Dia mengacungkan jempolnya."Ya sudah. Makan siang dulu yuk," ajaknya.Rara mengangguk. Langsung menyambar tangan Kiaea dan mengikuti langkah mamanya. Tak henti dia mengataka