"Ma, kok tadi papa gak ada sih?"
Pertanyaan Rara untuk sekian kalinya."Kan mama udah bilang tadi sayang. Papa nginep tempat temannya."Rara manggut-manggut lagi. Sebenarnya dia juga sudah tahu jawabannya. Tapi rasanya ingin menanyakan terus menerus."Maaf, ibu ini mamanya Rara ya?"Seorang guru muda yang sepertinya agak tua sedikit dari Dinda tiba-tib saja sudah ada di belakang mereka."Oh, iya bu. Saya mamanya Rara.""Sebenarnya saya mau bicara sama ibu dari kemarin. Tapi masih agak ragu. Soalnya dulu kan Rara sering diantar sama wanita yang saya pikir itu mama Rara. Hehe. Maaf ya bu. Jadi salah sangka.""Iya bu. Gak apa-apa. Itu baby sitter Rara. Dulu kan saya kerja bu, makanya Rara di antar sama baby sitternya.""Oh, iya. Perkenalkan nama Saya Juwita, kepala sekolah disini," ucapnya mengulurkan tangannya yang disambut Kiara."Saya Kiara. Mamanya Rara bu.""Mari bu, ke kantor dulu. Ada hal yang ingin saya katakan ke ibu.""Ma, kayaknya punya kucing seru deh."Mereka sampai di rumah. Rara sedari tadi mengoceh menceritakan kucing salah satu temannya pada saat dia berkunjung beberapa hari yang lalu."Rara mau kucing?"Kiara meletakkan tas Rara di tempatnya."Pengen ma. Biar Rara ada temennya. Sepi tahu.""Kan ada mama sama kak Nina," ujar Kiara. Membantu melepaskan seragam Rara."Yaah. Kan beda ma. Mama sama kak Nina udah besar."Kiara tersenyum kecil. "Pakai dulu baju gantinya sayang," ucapnya.Sembari menunggu Rara ganti baju, Kiara memberesi kamar Rara. "Ya ma, boleh ya?" pintanya lagi."Iya nanti. Bilang sama papa dulu ya?"Rara sumringah. Kalau masalah izin sama papa sih gampang. Papanya kan enakan. Pasti di turuti."Oke ma. Siap." Dia mengacungkan jempolnya."Ya sudah. Makan siang dulu yuk," ajaknya.Rara mengangguk. Langsung menyambar tangan Kiaea dan mengikuti langkah mamanya. Tak henti dia mengataka
Devan mendongak kaget. "K-kamu tahu?" gugupnya."Oo.. yaya..atau bisa jadi ada Rara Rara lain di luar sana. Benar bukan?""Ka-kamu tahu, kebenaran itu? Kamu tahu kalau Rara putri kita?" Kiara mendesah, menyeringai mengejek. "Kalaupun aku tahu, tak lagi penting untukmu kan? Karena itu kamu sengaja tidak memberitahuku supaya aku tak membencimu? Haha ... benar. Awalnya aku sudah memaafkanmu. Tapi ... kau membuat kesalahan yang sama, Van. Dan rasanya sulit untuk kembali menerima permintaan maafmu. Basi!"Devan terdiam. Dia hendak berucap lagi, tapi Kiara memotongnya."Sudahlah. Aku mengantuk. Diamlah, atau kembali ke kamarmu sana," ucapnya lalu menuju seberang ranjang. Merebahkan dirinya dengan membelakangi Devan. Jujur perasaannya kalut. Sakit sekali, juga sesak. Rasanya dia ingin secepatnya tidur untuk melupakan hal buruk ini. Atau, semoga saja ini hanya bagian dari mimpi buruknya.Diam-diam air matanya mengalir. Tak ada isakan. Karena sebe
Memang benar. Wanita yang sudah terlanjur kecewa, dia akan cenderung tak peduli. Hatinya seolah mati rasa saja. Seperti halnya Kiara.Semenjak pengakuan Devan malam itu, dia berbicara seperlunya saja. Itu pun karena terpaksa, jika bukan karena ada Rara, dia juga malas. Devan juga tahu diri, dia memilih tidur di kamarnya. Dia tahu, Kiara butuh waktu untuk menerimanya kembali. Dan yang dibutuhkan wanita itu saat ini adalah ketenangan.Karena itu juga dia lebih sering menghabiskan waktunya di kantor. Apalagi sedang ada masalah pada proyeknya. Terserah, mau dikata dia bodoh, memang itu kenyataannya. Dia tidak ingin membiarkan masalah tersebut terlarut-larut. Tapi untuk saat ini biarlah, dia beri Kiara waktu untuk menenangkan pikirannya.Rara tentu saja merasa curiga dengan tingkah kedua orang tuanya. Tak biasanya mereka diam, biasanya meski Kiara cenderung pendiam, tapi mamanya itu akan tetap tersenyum. Tapi sekarang, jangan kan tersenyum. Mamanya lebih sering berdiam d
Memang benar, tak bisa selamanya seseorang itu menyembunyikan tingkah palsunya. Begitu pula dengan Indira. Setelah Devan mengatakan akan menikahinya selepas dirinya melahirkan, sikapnya pada Kiara berubah.Dia bahkan kini terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya pada istri sah Devan tersebut. Tentu saja saat mereka hanya berdua saja. Kalau ada Devan atau Rara, dia akan bersikap seolah baik-baik saja. Ramah dan seperti tak ada masalah.Kiara yang memang sudah curiga dengan Nina, menanggapinya dengan cuek. Dia juga sudah menduga kalau sebenarnya ada jebakan di baliknya. Dia mencium aroma kesengajaan dari Nina. Karena itulah dia bertekad tidak akan membiarkan Devan di ambil oleh wanita brengsek tersebut. Meski sikapnya pada Devan juga belum berubah. Dia masih mendiamkan Devan. Biar, biar Devan jera dan menyadari adanya kejanggalan di baliknya."Kamu tahu kan, siapa sebenarnya aku?"Kiara tak menanggapi. Dia sibuk berbalas pesan dengan
"Shooky... shooky... sini... empuss..."Kucing persia berbulu putih itu menggeyol-geyolkan ekornya dan menghampiri tuannya. Rara tertawa. Menggendong kucing kesayangannya itu."Eh, sayang. Kan belum mandi. Kasihan dong si Shooky. Ntar kebauan sama kamu. Hii..."Rara tertawa."Gak ah ma. Buktinya dia nempel nih," tunjuknya pada Shooky yang menempel anteng dalam dekapan Rara."Iya, tapi mainan kucingnya nanti lagi ya. Sekarang mandi dulu. Ya?""Oke ma."Rara meletakkan Shooky ke bawah dan berlari ke atas tangga, bersemangat.Kiara memandangi gadis kecilnya dari bawah. Menggeleng-gelengkan kepala. Lalu pandangannya teralih pada kucing kecil yang di belikan Devan beberapa hari yang lalu. Memang cantik dan lucu. Pantas saja putrinya sangat menyukainya.Kiara bermaksud menyusul Rara, tapi langkahnya terhenti saat melihat tatapan mengejek Nina.Dia hanya mendengkus, dan melanjutkan langkahnya.Lama-lama ngeselin juga
"Hentikan!"Kiara menghentikan keganasannya. Mereka menoleh ke sumber suara."Devan ..." gumamnya.Melihat Devan yang datang, Nina makin menangis meraung.Adam memandangi keduanya bergantian. Wajah yang sama-sama dalam kondisi buruk, dapur yang berantakan akibat ulah mereka. Juga... pisau di tangan Kiara!"Apa yang kau lakukan Raa! Lepas. Dan buang pisau itu!"Kiara bergeming. Devan merebut kasar pisau itu dari tangan Kiara dan menepis tangan Kiara dari rambut Nina. Nina langsung menghambur ke pelukan Devan."Kamu gila! Apa kamu berniat membunuhnya?"Kiara diam saja. Wajahnya tak berekspresi apapun."Jawab, Ra! Jangan diam saja!" Urat wajah Devan.bahkan kelihatan saking marahnya."Please, Ra. Jangan gila. Ini salahku. Jangan melampiaskannya pada Indira," ucapnya melunak. kiara bergeming. "Kediamanmu membuatku takut. Kalau memang kamu marah, lukai saja aku. Lampiaskan padaku, Ra. Bunuhlah aku ka
Disinilah Kiara sekarang. Rumah makan 'Asmoro', rumah makan sederhana di pinggiran jalan, bukan restoran mahal yang biasa dia kunjungan bersama Devan. Dia tadi naik taksi demi kesini.Sembari menyantap pesanannya, dia memandang kosong arah luar. Perasaan yang kacau dan berkecamuk mengurangi nafsu makannya. Tapi perutnya lapar, dan rasanya malas sekali menyantap makanan dari Devan setelah kejadian tadi. Mungkin dengan keluar begini, dia bisa mendapat udara segar. "Huft," hela nya berkali-kali.Otaknya memproses ingatan waktu dulu, saat dia pertama kali bertemu Devan. Saat akhirnya dia menerima tawaran paksa pria itu padanya. Hari-hari dimana semuanya mampu merubah perasaannya. Membuatnya jatuh cinta pada sosok pria tersebut. Dan kini, saat semuanya berubah membalik seratus empat puluh derajat. Membuat dadanya sesak. Dia pejamkan matanya, menghela napas berat. Menyorongkan paksa suap demi suap ke mulutnya. Mengunyahnya dengan tak ada selera.M
Satrio mengetuk-etukkan jemarinya di kemudi. Sesekali matanya melirik ke wanita di sampingnya. Kiara sedari tadi diam saja. Satrio pun sungkan untuk mengobrol. Jadi dia malah bersenandung kecil.Sampai di area perumahan mewah, Satrio agak melambatkan mobilnya."Turun di sini saja," pinta Kiara. Tapi Satrio tak menanggapi. Malah melihat deretan rumah-rumah bak istana tersebut."Sat, berhenti di sini saja," ulangnya."Nanggung," jawab Satrio.Kiara mendengkus kesal. Percuma juga dia memarahi pria ini, terlalu keras kepala kalau sudah bertekad.Akhirnya tepat di depan gerbang besar rumah, Satrio menghentikan laju mobilnya. Kiara cepat-cepat membuka pintu mobilnya."Makasih Sat," ucapnya. Lalu melangkah."Tunggu, Ra!"Kiara menghentikan langkahnya, menoleh."Apapun yang terjadi, maksudku, kalau saja kamu bertengkar dengan pak Devan karena Nina, bertahanlah. Jangan biarkan pak Devan lepas darimu. Apalagi sampai me