Kiara tersentak kaget. Terbangun dari ketidurannya. Dia mengusap wajahnya. "Dia belum pulangkah?" gumamnya, lalu melihat jam di layar ponselnya. Pukul dua belas lebih beberapa menit."Yah... sudah lewat dong. Aish. Bagaimana bisa aku malah ketiduran," decaknya. Dia beranjak dari posisi tidurnya yang sama sekali tidak nyaman dan bergegas ke kamar samping, atau lebih tepatnya kamar Devan.Dia membuka pelan, mengernyitkan dahi begitu mendapati tak ada Devan di dalam."Belum pulang? Kemana dia?" Kiara memeriksa ke kamar Rara, tapi ternyata tak ada sosok pria itu. Kiara mengernyit. Rasa rasanya Devan tadi tidak izin untuk pergi kemana gitu. Atau jangan-jangan.Kiarabergegas kembali ke kamarnya. Memeriksa kotak chat. Benar, ada pesan dari Devan."By, aku pulang agak malam. Tadi ketemu sama teman lama, jadi keasikan ngobrol. Jangan tunggu aku. Tidurlah kalau sudah mengantuk. Love you."Kiara tersenyum tipis. Meletakkan ponsel tersebut ke nakas. Lalu melirik kue yang tersaji di atas meja."
Selesai membersihkan diri, Indira termenung di pinggiran ranjang. Pandangannya kosong. Sementara Devan, meski dia sebenarnya juga sedang pening, tapi dia mencoba bersikap seolah baik-baik saja. Sembari mengeringkan rambut basahnya dengan handuknya, dia melirik wanita itu. Perasaan tak tega dan bersalah menjadi satu. Meski begitu, ada perasaan mengganjal, tapi dia tidak bisa menjelaskan perasaan apa itu."Maaf..." ucapnya. Indira makin menunduk. Takut jika bulir bening kembali menetes di pipinya."Ini bukan kesalahanmu. Aku yang tidak bisa mengontrol diriku. Tenanglah, aku akan berbicara dengan Kiara nanti."Indira mengangguk. "Sekarang ayo kita pulang."Indira mengangguk. Dalam perjalanan pulang, tak ada lagi pembicaraan diantara mereka. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama Devan. Dia sebenarnya bingung dengan apa yang akan dia katakan pada Kiara nanti. Rasanya sangat berat. Apalagi dari kemarin Kiara mendiamkannya. Semakin Devan merasa
"Hm. Laporan apa?" tanya Devan ketus. Atau memang sedang moodnya."Ini pak. Mengenai proyek itu, sekarang sudah berjalan setengahnya. Namun masih ada beberapa orang yang sepertinya mencari gara-gara. Dan saya rasa itu dari perusahaan saingan. Ini bukti-buktinya."Satrio menyodorkan kertas-kertas yang dia print tadi. Devan meraihnya kasar. Sungguh, wajahnya terlihat menahan sesuatu.Matanya meniti tulisan tersebut satu persatu. Membuka lembar demi lembar. Gerahamnya mengerat. Brak!Dia membantingnya ke meja keras. Tapi tak sedikitpun Satrio terlonjak. Dia sudah menduga akan begini reaski Devan."Apa-apaan ini. Bagaimana bisa mereka menyeret para investor kita di saat sudah setengah jalan begini," geramnya."Sepertinya mereka mulai berani menggunakan cara licik, pak."Desah napas Devan menderu. Wajah putihnya memerah menahan marah. Terlihat dari tangannya yang mengepal kuat. Dia merenggangkan dasinya yang mendadak terasa sesak.
"Ma, kok tadi papa gak ada sih?"Pertanyaan Rara untuk sekian kalinya."Kan mama udah bilang tadi sayang. Papa nginep tempat temannya."Rara manggut-manggut lagi. Sebenarnya dia juga sudah tahu jawabannya. Tapi rasanya ingin menanyakan terus menerus."Maaf, ibu ini mamanya Rara ya?"Seorang guru muda yang sepertinya agak tua sedikit dari Dinda tiba-tib saja sudah ada di belakang mereka."Oh, iya bu. Saya mamanya Rara.""Sebenarnya saya mau bicara sama ibu dari kemarin. Tapi masih agak ragu. Soalnya dulu kan Rara sering diantar sama wanita yang saya pikir itu mama Rara. Hehe. Maaf ya bu. Jadi salah sangka.""Iya bu. Gak apa-apa. Itu baby sitter Rara. Dulu kan saya kerja bu, makanya Rara di antar sama baby sitternya.""Oh, iya. Perkenalkan nama Saya Juwita, kepala sekolah disini," ucapnya mengulurkan tangannya yang disambut Kiara."Saya Kiara. Mamanya Rara bu.""Mari bu, ke kantor dulu. Ada hal yang ingin saya katakan ke ibu."
"Ma, kayaknya punya kucing seru deh."Mereka sampai di rumah. Rara sedari tadi mengoceh menceritakan kucing salah satu temannya pada saat dia berkunjung beberapa hari yang lalu."Rara mau kucing?"Kiara meletakkan tas Rara di tempatnya."Pengen ma. Biar Rara ada temennya. Sepi tahu.""Kan ada mama sama kak Nina," ujar Kiara. Membantu melepaskan seragam Rara."Yaah. Kan beda ma. Mama sama kak Nina udah besar."Kiara tersenyum kecil. "Pakai dulu baju gantinya sayang," ucapnya.Sembari menunggu Rara ganti baju, Kiara memberesi kamar Rara. "Ya ma, boleh ya?" pintanya lagi."Iya nanti. Bilang sama papa dulu ya?"Rara sumringah. Kalau masalah izin sama papa sih gampang. Papanya kan enakan. Pasti di turuti."Oke ma. Siap." Dia mengacungkan jempolnya."Ya sudah. Makan siang dulu yuk," ajaknya.Rara mengangguk. Langsung menyambar tangan Kiaea dan mengikuti langkah mamanya. Tak henti dia mengataka
Devan mendongak kaget. "K-kamu tahu?" gugupnya."Oo.. yaya..atau bisa jadi ada Rara Rara lain di luar sana. Benar bukan?""Ka-kamu tahu, kebenaran itu? Kamu tahu kalau Rara putri kita?" Kiara mendesah, menyeringai mengejek. "Kalaupun aku tahu, tak lagi penting untukmu kan? Karena itu kamu sengaja tidak memberitahuku supaya aku tak membencimu? Haha ... benar. Awalnya aku sudah memaafkanmu. Tapi ... kau membuat kesalahan yang sama, Van. Dan rasanya sulit untuk kembali menerima permintaan maafmu. Basi!"Devan terdiam. Dia hendak berucap lagi, tapi Kiara memotongnya."Sudahlah. Aku mengantuk. Diamlah, atau kembali ke kamarmu sana," ucapnya lalu menuju seberang ranjang. Merebahkan dirinya dengan membelakangi Devan. Jujur perasaannya kalut. Sakit sekali, juga sesak. Rasanya dia ingin secepatnya tidur untuk melupakan hal buruk ini. Atau, semoga saja ini hanya bagian dari mimpi buruknya.Diam-diam air matanya mengalir. Tak ada isakan. Karena sebe
Memang benar. Wanita yang sudah terlanjur kecewa, dia akan cenderung tak peduli. Hatinya seolah mati rasa saja. Seperti halnya Kiara.Semenjak pengakuan Devan malam itu, dia berbicara seperlunya saja. Itu pun karena terpaksa, jika bukan karena ada Rara, dia juga malas. Devan juga tahu diri, dia memilih tidur di kamarnya. Dia tahu, Kiara butuh waktu untuk menerimanya kembali. Dan yang dibutuhkan wanita itu saat ini adalah ketenangan.Karena itu juga dia lebih sering menghabiskan waktunya di kantor. Apalagi sedang ada masalah pada proyeknya. Terserah, mau dikata dia bodoh, memang itu kenyataannya. Dia tidak ingin membiarkan masalah tersebut terlarut-larut. Tapi untuk saat ini biarlah, dia beri Kiara waktu untuk menenangkan pikirannya.Rara tentu saja merasa curiga dengan tingkah kedua orang tuanya. Tak biasanya mereka diam, biasanya meski Kiara cenderung pendiam, tapi mamanya itu akan tetap tersenyum. Tapi sekarang, jangan kan tersenyum. Mamanya lebih sering berdiam d
Memang benar, tak bisa selamanya seseorang itu menyembunyikan tingkah palsunya. Begitu pula dengan Indira. Setelah Devan mengatakan akan menikahinya selepas dirinya melahirkan, sikapnya pada Kiara berubah.Dia bahkan kini terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya pada istri sah Devan tersebut. Tentu saja saat mereka hanya berdua saja. Kalau ada Devan atau Rara, dia akan bersikap seolah baik-baik saja. Ramah dan seperti tak ada masalah.Kiara yang memang sudah curiga dengan Nina, menanggapinya dengan cuek. Dia juga sudah menduga kalau sebenarnya ada jebakan di baliknya. Dia mencium aroma kesengajaan dari Nina. Karena itulah dia bertekad tidak akan membiarkan Devan di ambil oleh wanita brengsek tersebut. Meski sikapnya pada Devan juga belum berubah. Dia masih mendiamkan Devan. Biar, biar Devan jera dan menyadari adanya kejanggalan di baliknya."Kamu tahu kan, siapa sebenarnya aku?"Kiara tak menanggapi. Dia sibuk berbalas pesan dengan