Bab 1.
Gudang itu pengap, cahaya dari jendela kecil di ujung ruangan nyaris tak sanggup menembus tirai debu yang bergelantung di udara. Di sebuah dipan usang, Bu Aminah terkulai pasrah, tubuhnya telentang, dengan hanya tersisa pakaian bagian atas tubuhnya. Tangannya gemetar, memeluk dadanya seolah melindungi sesuatu yang tak terlihat. Nafasnya terputus-putus, sesekali rintihan pelan lolos dari bibirnya yang pucat. Matanya tertutup rapat, kepalanya bergerak perlahan seperti menahan sakit yang tak terlukiskan. Sesekali tubuhnya bergetar, menggeliat di atas dipan dingin yang berbau lembap dan tua. "Ingat dua hari lagi, aku minta lebih dari ini." Suara serak, setengah berbisik mengisi ruangan yang tampak sepi dari luar. Aminah hanya mengangguk, masih dengan posisi dan keadaan yang sama. *** Sementara itu, di rumah, Pak Taryo melempar pandangan ke arah putrinya, Renata, yang duduk bersandar malas di sofa dengan ponsel di tangan. Gadis itu asyik scroll layar tanpa peduli. “Ibumu ke mana?” tanya Pak Taryo, matanya sedikit menyipit karena merasa ada yang ganjil. Renata, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, menjawab seadanya, “Tadi kasih makan ayam, Yah.” Pak Taryo hanya mengangguk pelan, lalu melangkah menuju belakang rumah. Namun... Kreeet! Derit pintu tua membuat langkah Pak Taryo terhenti, sosok Bu Aminah muncul. Wajahnya pucat, rambutnya agak berantakan, keringat mengalir di pelipis meski dia mencoba mengatur napasnya agar tampak tenang. "Bu, beli sayuran sama bahan pokok, ini sudah siang," perintah Pak Taryo, tidak menyadari kegelisahan yang tersembunyi di balik tatapan istrinya. Aminah menarik napas panjang, mencoba tersenyum meski sangat lelah. “Nanti sore aja, ya Pak, sekarang mah masih ada urusan.” “Urusan? Ibu... Ibu, buat apa ngumpulin pembalut bekas warga? Apa gak jijik, Bu? Udah atuh, Ibu teh ulah aneh-aneh!” ejek Pak Taryo sambil melirik sinis ke arah istri yang masih terlihat linglung. Bu Aminah menatapnya tajam, mencoba menahan emosi. “Aku teh, kan lagi bantu warga, Pak. Biar kampung ini aman dari teror Kukun. Apa bapak tidak merasakan bedanya? Aku teh udah ngomong ini berkali-kali. Teu ngarti wae ari Bapak!” ucapnya pelan namun tegas, matanya masih menyiratkan kegelisahan. "Bu. Ibu teh sekarang lagi isi lagi. Kalau kata sepuh mah, lagi bau-bau nya kecium sama makhluk astral. Atuh kalau gitu mah, jadi nyelakain diri sendiri. Niat bantu orang, ngorbanin diri sendiri." "Udah ah Pak, ngobrol sama Bapak mah capek. Da ibu yang ngrasain, gak usah kudu ikutan repot, Bapak teh. Ibu mah baik-baik saja ko," sahut Aminah sambil berlalu ke tempat kantung kresek bekas, yang sengaja Aminah kumpulkan kalau dari berbelanja. Renata yang sedari tadi diam, mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Mata remajanya menelusuri penampilan ibunya yang sedikit berantakan. “Bu, itu bajunya kotor. Apa gak ganti dulu? Malu ih kelihatan orang-orang,” tegurnya, melihat ada bercak seperti tanah dan debu di baju Bu Aminah. “Gak usah. Nanti juga kotor lagi,” jawab Aminah singkat, nadanya datar dan tak peduli. Tiba-tiba ponsel di tangan Renata bergetar. Ia melihat layarnya sebentar lalu menyerahkan pada ibunya. “Eh, Teh Leha? Ada apa dia nelepon? Tumben." "Iya Teh. Aya naon?" tanya Renata pada sambungan telepon. "Kasih teleponnya ke, Ibu." Bu Aminah menerima ponsel itu dengan sedikit gemetar. “Halo, Leha. Kumaha kabar kamu?" Dari seberang, terdengar suara Leha yang ceria. “Aku baik, Bu. Oh ya, lusa aku pulang. Semua urusan kuliah udah selesai!” Bu Aminah terdiam sejenak, wajahnya yang tadi lelah kini berubah. Tatapannya tajam dan penuh pertimbangan, seolah tengah menyusun rencana yang tak terucap. "Leha... kamu gak perlu pulang dulu. Cari sekolah buat ngajar di kota aja. Dedikasiin ilmumu di sana." Leha terdiam sesaat, tak menyangka. “Tapi, Bu, aku kuliah juga buat memajukan kampung kita…” Aminah mendesah panjang. Tidak ada yang bisa ia katakan lagi untuk menahan Leha. “Kalau begitu, hati-hati, ya.” Setelah menutup telepon, Bu Aminah memandangi ponsel di tangannya. Pikirannya berputar cepat. Semuanya harus rapi sebelum Leha pulang, atau semuanya akan hancur. Tanpa banyak bicara, Bu Aminah melanjutkan tugasnya. Ia berkeliling kampung, mengetuk satu rumah ke rumah lain, mengumpulkan pembalut dari para wanita. Pembalut dengan darah haid yang masih segar, tidak dicuci. Setiap kali menerima, wajahnya serius, seperti merasakan sesuatu dari barang-barang itu. "Kamu ngapain ikut? Gak sabar banget," bisik Aminah saat berkeliling kampung. Orang lain tidak tahu bahwa Aminah tidak berjalan sendiri. Sesekali Aminah, mengusap tangan yang menjinjing kantung kresek yang berisi pembalut-pembalut. Seakan-akan ada orang yang menggelayut, menguntit tidak sabar menginginkan apa yang ada di dalam kantung itu. "Eh, Mak Aminah. Tugas Mak?" sapa salah seorang warga yang kebetulan ada di depan rumahnya. "Iya Bu. Ada tidak?" jawab Aminah, sambil menanyakan apakah di rumah ibu tersebut ada pembalut yang harus ia ambil. "Lagi gak ada nih, Mak. Anak-anak lagi pada libur di neneknya." "Oh... Mangga atuh." Saat sampai di rumah terakhir, seorang tetangga tersenyum sambil menggendong bayi perempuan yang baru lahir. Mata Bu Aminah menajam, senyumnya melengkung misterius. "Mak Aminah. Lagi tugas?" sapa ibu muda itu. "Iya, Neng." Bu Aminah menyahut sambil menghampiri. "Lahiran kapan ini Neng? Kok baru tahu," lanjutnya. "Kemarin malam, Mak." "Kebetulan bayi ini perempuan, ya," ucapnya dengan nada yang nyaris tak terdengar, menatap bayi itu dengan pandangan penuh arti. "Apa Mak?" sahut ibu muda itu, dia agak mendengar sesuatu yang diucapkan Aminah. Bersambung...Arti bahasa Sunda; 1. Mah, atuh = Kata pelengkap sebagai aksen. Tidak memiliki arti. 2. Teu/Hnteu = Tidak 3. Ulah = Jangan 4. Aya naon = Ada apa 5. Mangga atuh. Mangga = Mari
Bab 2 “Eh, em, m-maksud saya, anak ini perempuan ya?” Aminah gugup, takut ucapan yang pertama didengar oleh ibu muda yang masih berada di hadapannya. “Iya. Alhamdulillah perempuan. Yang diingkan A Dasep,” jawab Mentari, ibu muda tersebut. “Em, kalau gitu... ada kan ya?” tanya Bu Aminah seperti memberi kode. “Aduh, saya lupa. Langsung saya bersihkan. Asli, Mak, saya teh gak inget. Kebiasaan Cuma kalau haid ngasihnya. Gimana ini ya? Gak papa kitu?” terlihat guratan panik di wajah mentari. Aminah terlihat berpikir, darah nifas yang seharusnya ia dapatkan dari Aminah, tak ada. Jika hal ini diketahui Nyi Kukun piaraannya, sudah dapat dipastikan anak yang baru lahir itu tidak akan selamat. “Gimana, Mak? Aku jadi takut, nIh. Bantu saya atuh, Mak.” Aminah membuka sendalnya, tanpa mengatakan apa-apa dia duduk di teras rumah mentari. Tatapan Aminah seperti menerawang mencari jawaban. Mentari yang semula menggendong bayinya, menarik kursi yang ada di sana, digeser dan duduk d
Bab 3 Renata tak memedulikan kepergian si bapak yang menolongnya dan keberadaan anak kecil itu yang sudah menghilang. Sepeda motornya terus melaju, tak ada beban. Namun, tak lama dia baru sadar. Ada sesuatu yang janggal. Hatinya bimbang, antara terus melaju atau berhenti karena rasa penasaran. Akhirnya berhenti juga Renata, keningnya dikerutkan. Ingin menoleh, melihat tempat ia jatuh tadi, tapi ada rasa merinding, berdiri bulu kuduk. Meski 90% dia tidak meyakini hal-hal mistis, tapi dalam situasi ini cukup membuat tengkuknya berdesir, seperti tiupan angin berembus sejuk. Dia ingat sebuah tayangan horor dengan judul ‘Jangan Melihat Ke Belakang.’ ‘Ah, bodo amat.’ Dengan seketika Renata membalik kepalanya, dia menoleh pada jalan yang telah dilaluinya. Jalan desa yang lurus, masih dominan tanah dan bebatuan. “Aaakh!” Renata dikejutkan oleh penampakan orang gila berambut gimbal dan kulit gelap. Orang gila itu tepat di belakang Renata, sedang diam mengamati dirinya yang sejak
Bab 4 Keesokan harinya; Setelah empat tahun mengenyam pendidikan di kota, menjadi seorang mahasiswa keguruan, Saleha akhirnya kembali ke kampung halamannya, Kahuripan. Saat dia turun dari angkot, langit senja tampak diselimuti mendung tipis. Angin dingin menyapu tubuhnya, membawa perasaan yang aneh—suasana kampungnya terasa berbeda, mencekam. Di sepanjang jalan yang pernah begitu ia kenali, ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Tatapan warga yang menyapanya terasa kosong, meskipun bibir mereka tersenyum. Semua terasa terlalu diam, terlalu tenang, seolah menyembunyikan sesuatu di baliknya. “Leha? Ih ... Kamu leha ‘kan?” Seseorang menyapa. Dia adalah Mak Atih, yang biasanya jam segini baru dari rumah, habis istirahat. “Iya, Mak. Apa kabar?” jawab Leha. “Sae. Emak sae. Syukur kamu pulang.” “Mak, kok kampung kita kaya beda ya, Mak?” “Ah, beda kumaha?” “Em...” Leha celingukan, di mengusap tengkuknya pelan. “Kaya beda aja Mak. Jadi lebih sepi, terus ...” Leha tidak bisa menggambar
Bab 5 “Huek.” Hampir saja Saleha muntah. Aroma halaman belakang membuat isi perutnya ingin keluar. Dia kembali ke depan, tak sanggup menahan aroma itu. “Leha? Lagi apa?” “Eh, Ceu Sonah. Ini lihat ayam-ayam.” Saleha terkejut melihat kedatangan salah satu tetangganya yang tiba-tiba. “Ngapain lihat ayam? Di kota gak pernah lihat ayam.” Ce Sonah berkelakar. “Tadinya mau diemin ayam-ayam, malu atuh Ceu, ganggu yang lagi pada ngaji.” “Ah... ayam-ayamnya gak berisik kok.” Ce Sonah melangkah menuju pintu belakang. Saat pintu terbuka, angin malam dingin langsung menyergapnya. Di bawah cahaya lampu redup halaman, ayam-ayam mereka tampak berkerumun di satu sudut, saling mendekap, dan tatapan mereka terfokus pada sesuatu di tengah kegelapan. Mata-mata ayam itu berkilat aneh, hampir seperti bukan binatang yang ia kenali. “Tuh lihat, ayam kalau malam gak dimasukin kandang kaya gitu, Leha. Mereka ngumpul, kaya saling berdekapan, berbagi kehangatan. Gak berisik ‘kok.” “Oh .
Bab 6 “Udah, jangan dipikirin. Mungkin kamu Cuma capek,” kata Jaya sambil mengelus lembut pundak kekasihnya. “Aku pamit pulang dulu ya, besok kerja. Kamu istirahat yang cukup.” Leha hanya mengangguk lemah. “Kang, hati-hati ya,” lanjut Leha. “Iya... Akang udah gede. Kamu jangan over khawatir gitu, ih. Akang jadi kepikiran kalau gini.” “Kepikiran kenapa Kang? Leha kan cuma bilang hati-hati.” “Kamu tuh dari tadi kaya orang bingung. Tiba-tiba ngilang, terus malah lagi diem, bengong sendiri. Kamu gak mau cerita sama Akang? Ada apa?” “E-enggak kok, Kang. Aku baik-baik aja.” Leha menjawab dengan sedikit gugup, dia belum siap terbuka sekarang pada kekasihnya. “Ya udah atuh Kang. Sok mau pulangmah. Takut keburu malem,” lanjut Leha. Dia berusaha menutupi kegundahannya. Jaya tersenyum, kemudian menggenggam kedua tangan Leha. Diusapnya dengan lembut. “Akang pulang ya, Geulis,” ucap Jaya, kemudian pergi ( Geulis = Cantik) *** Setelah Jaya dan para tamu pulang, Leha kembali mengamati ib
Bab 7 “Leha!” panggil Nek Juju dari kamarnya. Dia mendengar langkah kaki Leha dan suaranya yang mencari Aminah. “Nini, ibu ke mana?” tanya Leha, di ambang pintu kamar Juju, sambil memegang gorden lusuh yang baru ia singkap. “Tenang... Ibumu tadi bilang mau belanja buat warung,” jawab neneknya dengan suara serak, sambil bersandar di ranjangnya. “Nggak usah khawatir, biarkan saja.” Leha menggigit bibirnya. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dihilangkan. “Nini... kenapa ayam-ayam itu nggak berhenti berisik dari semalam?” Nenek mengerutkan kening. “Jangan ganggu ayam-ayam itu, Leha. Biarkan ibumu yang urus.” Leha semakin heran. Sejak kapan ibunya mau mengurus ayam? Itu pekerjaan yang selalu ia hindari. Rasa takut mulai menggumpal dalam dirinya, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh. Saat akhirnya ibunya pulang, Leha sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia berencana pergi ke sekolah SMP di desa untuk melamar sebagai guru honorer. Namun, ketika ia berpapasan dengan ibunya yang baru sa
Bab 8 Sementara itu di tengah perjalanan, Leha tiba-tiba merasakan ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Seketika ia menghentikan motor dan menoleh. Kosong. Jalan itu sepi, tak ada siapa-siapa di belakangnya. “Hah… Cuma perasaan,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun, dari kejauhan, terdengar suara anak-anak yang tadi berlarian di jalan. Mereka tertawa lagi, tapi kali ini, suara mereka terdengar seperti bisikan yang memanggil-manggil namanya. “Kakak Leha… Kakak Leha… ikutlah… ayo ikut…” Leha merinding, suaranya bergetar ketika ia mencoba mengabaikan suara itu. “Ah, mungkin Cuma angin…” Namun, langkah kecil terdengar mendekat, dan bayangan anak-anak itu tampak berdiri di ujung jalan. Mereka tidak bergerak, hanya berdiri dengan mata yang kosong, mengawasinya. Leha menatap balik, mencoba memastikan apakah mereka benar-benar anak-anak atau hanya ilusi. Tiba-tiba, satu dari mereka melambai pelan ke arah Leha, senyum yang terpatri di wajahnya kaku dan dingin. “Kak Leha…
Bab 9 “Aminah, damang?” tanyanya, menyentuh lengan Aminah. “Sae, Ceu,” jawab Aminah dengan nada datar, mencoba menenangkan detak jantungnya. “Di mana jenazahnya?” Wanita itu menunjuk ruangan di belakang, di mana jenazah disemayamkan. “Di dalam… tapi hati-hati, Mak Aminah. Entah kenapa, dinginnya ruangan itu berbeda. Bahkan beberapa orang tadi enggan mendekat.” Aminah menarik napas panjang, menyesuaikan selendang yang melingkari punggung hingga dadanya. “Tidak apa-apa, saya udah biasa dengan hal seperti ini.” Wanita itu menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran sebelum berbalik ke arah kerumunan. Aminah lalu melangkah masuk ke dalam ruangan jenazah, setiap langkahnya seolah terasa semakin berat.### Di Ruang Jenazah Begitu memasuki ruangan, hawa dingin yang menggigit langsung menyambut. Suara bisikan pelan terdengar, entah dari mana datangnya. Aminah berhenti sejenak, merasakan bulu kuduknya berdiri. “Kenapa… dingin sekali di sini?” bisiknya pada diri sendiri, mencoba menguasai