Home / Horor / Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan / Tugas yang Menghantui

Share

Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan
Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan
Author: El Nurcahyani

Tugas yang Menghantui

Bab 1.

Gudang itu pengap, cahaya dari jendela kecil di ujung ruangan nyaris tak sanggup menembus tirai debu yang bergelantung di udara. Di sebuah dipan usang, Bu Aminah terkulai pasrah, tubuhnya telentang, dengan hanya tersisa pakaian bagian atas tubuhnya. Tangannya gemetar, memeluk dadanya seolah melindungi sesuatu yang tak terlihat.

Nafasnya terputus-putus, sesekali rintihan pelan lolos dari bibirnya yang pucat. Matanya tertutup rapat, kepalanya bergerak perlahan seperti menahan sakit yang tak terlukiskan. Sesekali tubuhnya bergetar, menggeliat di atas dipan dingin yang berbau lembap dan tua.

"Ingat dua hari lagi, aku minta lebih dari ini." Suara serak, setengah berbisik mengisi ruangan yang tampak sepi dari luar.

Aminah hanya mengangguk, masih dengan posisi dan keadaan yang sama.

***

Sementara itu, di rumah, Pak Taryo melempar pandangan ke arah putrinya, Renata, yang duduk bersandar malas di sofa dengan ponsel di tangan. Gadis itu asyik scroll layar tanpa peduli.

“Ibumu ke mana?” tanya Pak Taryo, matanya sedikit menyipit karena merasa ada yang ganjil.

Renata, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, menjawab seadanya, “Tadi kasih makan ayam, Yah.”

Pak Taryo hanya mengangguk pelan, lalu melangkah menuju belakang rumah. Namun...

Kreeet!

Derit pintu tua membuat langkah Pak Taryo terhenti, sosok Bu Aminah muncul. Wajahnya pucat, rambutnya agak berantakan, keringat mengalir di pelipis meski dia mencoba mengatur napasnya agar tampak tenang.

"Bu, beli sayuran sama bahan pokok, ini sudah siang," perintah Pak Taryo, tidak menyadari kegelisahan yang tersembunyi di balik tatapan istrinya.

Aminah menarik napas panjang, mencoba tersenyum meski sangat lelah. “Nanti sore aja, ya Pak, sekarang mah masih ada urusan.”

“Urusan? Ibu... Ibu, buat apa ngumpulin pembalut bekas warga? Apa gak jijik, Bu? Udah atuh, Ibu teh ulah aneh-aneh!” ejek Pak Taryo sambil melirik sinis ke arah istri yang masih terlihat linglung.

Bu Aminah menatapnya tajam, mencoba menahan emosi. “Aku teh, kan lagi bantu warga, Pak. Biar kampung ini aman dari teror Kukun. Apa bapak tidak merasakan bedanya? Aku teh udah ngomong ini berkali-kali. Teu ngarti wae ari Bapak!” ucapnya pelan namun tegas, matanya masih menyiratkan kegelisahan.

"Bu. Ibu teh sekarang lagi isi lagi. Kalau kata sepuh mah, lagi bau-bau nya kecium sama makhluk astral. Atuh kalau gitu mah, jadi nyelakain diri sendiri. Niat bantu orang, ngorbanin diri sendiri."

"Udah ah Pak, ngobrol sama Bapak mah capek. Da ibu yang ngrasain, gak usah kudu ikutan repot, Bapak teh. Ibu mah baik-baik saja ko," sahut Aminah sambil berlalu ke tempat kantung kresek bekas, yang sengaja Aminah kumpulkan kalau dari berbelanja.

Renata yang sedari tadi diam, mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Mata remajanya menelusuri penampilan ibunya yang sedikit berantakan. “Bu, itu bajunya kotor. Apa gak ganti dulu? Malu ih kelihatan orang-orang,” tegurnya, melihat ada bercak seperti tanah dan debu di baju Bu Aminah.

“Gak usah. Nanti juga kotor lagi,” jawab Aminah singkat, nadanya datar dan tak peduli.

Tiba-tiba ponsel di tangan Renata bergetar. Ia melihat layarnya sebentar lalu menyerahkan pada ibunya. “Eh, Teh Leha? Ada apa dia nelepon? Tumben."

"Iya Teh. Aya naon?" tanya Renata pada sambungan telepon.

"Kasih teleponnya ke, Ibu."

Bu Aminah menerima ponsel itu dengan sedikit gemetar. “Halo, Leha. Kumaha kabar kamu?"

Dari seberang, terdengar suara Leha yang ceria. “Aku baik, Bu. Oh ya, lusa aku pulang. Semua urusan kuliah udah selesai!”

Bu Aminah terdiam sejenak, wajahnya yang tadi lelah kini berubah. Tatapannya tajam dan penuh pertimbangan, seolah tengah menyusun rencana yang tak terucap. "Leha... kamu gak perlu pulang dulu. Cari sekolah buat ngajar di kota aja. Dedikasiin ilmumu di sana."

Leha terdiam sesaat, tak menyangka. “Tapi, Bu, aku kuliah juga buat memajukan kampung kita…”

Aminah mendesah panjang. Tidak ada yang bisa ia katakan lagi untuk menahan Leha. “Kalau begitu, hati-hati, ya.”

Setelah menutup telepon, Bu Aminah memandangi ponsel di tangannya. Pikirannya berputar cepat. Semuanya harus rapi sebelum Leha pulang, atau semuanya akan hancur.

Tanpa banyak bicara, Bu Aminah melanjutkan tugasnya. Ia berkeliling kampung, mengetuk satu rumah ke rumah lain, mengumpulkan pembalut dari para wanita. Pembalut dengan darah haid yang masih segar, tidak dicuci. Setiap kali menerima, wajahnya serius, seperti merasakan sesuatu dari barang-barang itu.

"Kamu ngapain ikut? Gak sabar banget," bisik Aminah saat berkeliling kampung. Orang lain tidak tahu bahwa Aminah tidak berjalan sendiri.

Sesekali Aminah, mengusap tangan yang menjinjing kantung kresek yang berisi pembalut-pembalut. Seakan-akan ada orang yang menggelayut, menguntit tidak sabar menginginkan apa yang ada di dalam kantung itu.

"Eh, Mak Aminah. Tugas Mak?" sapa salah seorang warga yang kebetulan ada di depan rumahnya.

"Iya Bu. Ada tidak?" jawab Aminah, sambil menanyakan apakah di rumah ibu tersebut ada pembalut yang harus ia ambil.

"Lagi gak ada nih, Mak. Anak-anak lagi pada libur di neneknya."

"Oh... Mangga atuh."

Saat sampai di rumah terakhir, seorang tetangga tersenyum sambil menggendong bayi perempuan yang baru lahir. Mata Bu Aminah menajam, senyumnya melengkung misterius.

"Mak Aminah. Lagi tugas?" sapa ibu muda itu.

"Iya, Neng." Bu Aminah menyahut sambil menghampiri. "Lahiran kapan ini Neng? Kok baru tahu," lanjutnya.

"Kemarin malam, Mak."

"Kebetulan bayi ini perempuan, ya," ucapnya dengan nada yang nyaris tak terdengar, menatap bayi itu dengan pandangan penuh arti.

"Apa Mak?" sahut ibu muda itu, dia agak mendengar sesuatu yang diucapkan Aminah.

Bersambung...

El Nurcahyani

Arti bahasa Sunda; 1. Mah, atuh = Kata pelengkap sebagai aksen. Tidak memiliki arti. 2. Teu/Hnteu = Tidak 3. Ulah = Jangan 4. Aya naon = Ada apa 5. Mangga atuh. Mangga = Mari

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status