Bab 5
“Huek.” Hampir saja Saleha muntah. Aroma halaman belakang membuat isi perutnya ingin keluar. Dia kembali ke depan, tak sanggup menahan aroma itu. “Leha? Lagi apa?” “Eh, Ceu Sonah. Ini lihat ayam-ayam.” Saleha terkejut melihat kedatangan salah satu tetangganya yang tiba-tiba. “Ngapain lihat ayam? Di kota gak pernah lihat ayam.” Ce Sonah berkelakar. “Tadinya mau diemin ayam-ayam, malu atuh Ceu, ganggu yang lagi pada ngaji.” “Ah... ayam-ayamnya gak berisik kok.” Ce Sonah melangkah menuju pintu belakang. Saat pintu terbuka, angin malam dingin langsung menyergapnya. Di bawah cahaya lampu redup halaman, ayam-ayam mereka tampak berkerumun di satu sudut, saling mendekap, dan tatapan mereka terfokus pada sesuatu di tengah kegelapan. Mata-mata ayam itu berkilat aneh, hampir seperti bukan binatang yang ia kenali. “Tuh lihat, ayam kalau malam gak dimasukin kandang kaya gitu, Leha. Mereka ngumpul, kaya saling berdekapan, berbagi kehangatan. Gak berisik ‘kok.” “Oh ...,” ucap Leha lirih, dia tak bisa berkata-kata. Tatapannya melongo melihat pemandangan ayam begitu anteng, jauh dari bayangannya, yang berisik berkeliaran. “Udah ah, Eceu tinggal ya. Ini Cuma mau bawa air di baskom.” Leha mengangguk, kemudian Ceu Sonah kembali ke depan. Dengan langkah perlahan, Leha mendekat ke pintu belakang, hati-hati sekali dia mengamati sekitar lahan yang tidak begitu terang. “Ada apa dengan kalian?” bisiknya pelan pada ayam-ayam, meskipun tahu tidak ada yang bisa menjawab. ‘Aromanya tidak sebau tadi? Aneh,’ ucap Leha dalam hatinya. Tiba-tiba, Nek Juju muncul di belakangnya. “Saleha, masuklah,” suaranya terdengar datar, tapi tegas. Saleha menelan ludah, merasakan bulu kuduknya berdiri. “Tapi, Ni... ayam-ayam itu...” Saleh memanggil Nini, pada neneknya. “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan,” potong neneknya. “Malam ini, lebih baik kamu tidak terlalu banyak keluar. Ayo, masuk.” Nenek Juju melangkah masuk, meninggalkan Saleha yang masih terpaku di ambang pintu. Ia memandangi ayam-ayam yang kini kembali diam, seperti tidak pernah ada yang terjadi. Namun, di balik keheningan malam, Saleha merasakan ketegangan yang tak bisa ia abaikan. Sesuatu yang jauh lebih gelap dan berbahaya sedang mengintai di sekitar mereka. Cicicit...! Cicicit...! Hihihi...! “Hah?” Seketika Leha menoleh ke pintu belakang yang masih terbuka. “Brak!” Leha menutup pintu itu sekenanya, setengah berlari dia kembali ke depan, tapi hanya berhenti di ambang pintu yang memisahkan dapur dan ruang tengah. Dia tidak mau ketakutannya kelihatan para tamu pengajian. “Enggak! Enggak. Aku salah lihat. Pasti salah lihat. Huft...,” gumam Saleha, dia terus memegangi dadanya yang masih naik turun. Malam tahlilan berlanjut dalam hening, namun Leha merasa tidak bisa fokus. Ada yang mengganggunya—sebuah firasat buruk yang kian menguat sejak suara ayam di belakang rumah terus-menerus berisik. Ia berusaha menenangkan diri, mengabaikan bisikan-bisikan aneh yang muncul di dalam kepalanya. “Kenapa rumah ini jadi terasa begitu horor. Apa karena aku terlalu lama tinggal di kota? Apa di kota, aku jarang mendengar suara ayam. Hingga merasa suara ayam-ayam di sini berbeda?” Leha terus bertanya-tanya dalam pikirannya. Dia bahkan mengingat beberapa waktu sebelum Lisna meninggal. Seakan flashback dari waktu ke waktu, Leha ingat-ingat perlahan secara mundur. “Saat aku pulang, De Lisna sangat ceria. Dia ketawa-ketawa, entah karena senang bertemu denganku, digendong olehku, atau ...,” perdebatan dengan dirinya menggantung. Ada sesuatu yang Leha berusaha hindari. Pemikiran buruk. “Tidak ... Ini hanya kebetulan. Ayam-ayam itu begitu gaduh, seperti sedang berpesta, saling bersahutan. Berlarian?” saat itu, Leha menduga ayam-ayam itu memang berlarian, dapat dirasakan dari suara gaduh dan cara mereka berkokok. Leha memang tidak melihat-lihat ayam-ayam itu, tapi imajinasinya tidak mungkin ngawur. Suara ayam berkokok dengan posisi diam dan bergerak atau berlarian, pasti berbeda. Leha seperti orang linglung, terus bengong seperti orang salah arah, padahal diamnya sedang mencerna kejadian di rumah. Menganalisa apakah ada hal aneh. Setelah acara tahlilan selesai, Jaya mencari Saleha. Dia merasa heran, pacarnya itu tiba-tiba menghilang di tengah acara. Wajahnya penuh perhatian dan kelegaan saat melihat Leha ternyata ada di ruang belakang, di balik lemari yang memisah ruang tengah dan dapur. Leha sedang duduk pada sebuah kursi kayu, dengan pandangan seperti kosong. “Leha, kamu teh kenapa? Dari tadi kok di belakang terus?” tanya Jaya, suaranya pelan namun terdengar cemas. “Enggak apa-apa Kang’ Cuma... ada yang terasa beda aja,” jawab Leha sambil menghela napas panjang. Ia melirik ke arah ibunya yang masih tampak tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bersambung...1. Sae = Baik 2. Aki = Sebutan Kakek untuk orang Sunda 3. Nini = Sebutan Nenek untuk orang Sunda 4. Eceu = Sebutan Mbak untuk wanita Sunda, atau wanita yang lebih tua usianya. 5. Atuh = Hanya kata pelengkap dalam dialog bahasa Sunda. ( tidak ada padanan arti dalam bahasa Indonesia) 6. Anteng = Tenang/gak rewel 7. Ngajurung = Ngadukung/mengerti keadaan 8. Ibu, Rama = Ibu dan ayah 9. Aya naon = Ada apa 10. Jurig = Hantu 11. Awewe = perempuan ( bahasa kasar) 12. Ongkoh = Tidak ada arti kata sesungguhnya Hanya menunjukkan kata yang mengartikan perbandingan. Contoh = - Gimana sih, menolong tapi tiba-tiba pergi. - Cuaca hujan, tapi kok panas ya. (Ongkoh hujan, tapi panas) 13. Kumaha = Bagaimana
Bab 6 “Udah, jangan dipikirin. Mungkin kamu Cuma capek,” kata Jaya sambil mengelus lembut pundak kekasihnya. “Aku pamit pulang dulu ya, besok kerja. Kamu istirahat yang cukup.” Leha hanya mengangguk lemah. “Kang, hati-hati ya,” lanjut Leha. “Iya... Akang udah gede. Kamu jangan over khawatir gitu, ih. Akang jadi kepikiran kalau gini.” “Kepikiran kenapa Kang? Leha kan cuma bilang hati-hati.” “Kamu tuh dari tadi kaya orang bingung. Tiba-tiba ngilang, terus malah lagi diem, bengong sendiri. Kamu gak mau cerita sama Akang? Ada apa?” “E-enggak kok, Kang. Aku baik-baik aja.” Leha menjawab dengan sedikit gugup, dia belum siap terbuka sekarang pada kekasihnya. “Ya udah atuh Kang. Sok mau pulangmah. Takut keburu malem,” lanjut Leha. Dia berusaha menutupi kegundahannya. Jaya tersenyum, kemudian menggenggam kedua tangan Leha. Diusapnya dengan lembut. “Akang pulang ya, Geulis,” ucap Jaya, kemudian pergi ( Geulis = Cantik) *** Setelah Jaya dan para tamu pulang, Leha kembali mengamati ib
Bab 7 “Leha!” panggil Nek Juju dari kamarnya. Dia mendengar langkah kaki Leha dan suaranya yang mencari Aminah. “Nini, ibu ke mana?” tanya Leha, di ambang pintu kamar Juju, sambil memegang gorden lusuh yang baru ia singkap. “Tenang... Ibumu tadi bilang mau belanja buat warung,” jawab neneknya dengan suara serak, sambil bersandar di ranjangnya. “Nggak usah khawatir, biarkan saja.” Leha menggigit bibirnya. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dihilangkan. “Nini... kenapa ayam-ayam itu nggak berhenti berisik dari semalam?” Nenek mengerutkan kening. “Jangan ganggu ayam-ayam itu, Leha. Biarkan ibumu yang urus.” Leha semakin heran. Sejak kapan ibunya mau mengurus ayam? Itu pekerjaan yang selalu ia hindari. Rasa takut mulai menggumpal dalam dirinya, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh. Saat akhirnya ibunya pulang, Leha sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia berencana pergi ke sekolah SMP di desa untuk melamar sebagai guru honorer. Namun, ketika ia berpapasan dengan ibunya yang baru sa
Bab 8 Sementara itu di tengah perjalanan, Leha tiba-tiba merasakan ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Seketika ia menghentikan motor dan menoleh. Kosong. Jalan itu sepi, tak ada siapa-siapa di belakangnya. “Hah… Cuma perasaan,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun, dari kejauhan, terdengar suara anak-anak yang tadi berlarian di jalan. Mereka tertawa lagi, tapi kali ini, suara mereka terdengar seperti bisikan yang memanggil-manggil namanya. “Kakak Leha… Kakak Leha… ikutlah… ayo ikut…” Leha merinding, suaranya bergetar ketika ia mencoba mengabaikan suara itu. “Ah, mungkin Cuma angin…” Namun, langkah kecil terdengar mendekat, dan bayangan anak-anak itu tampak berdiri di ujung jalan. Mereka tidak bergerak, hanya berdiri dengan mata yang kosong, mengawasinya. Leha menatap balik, mencoba memastikan apakah mereka benar-benar anak-anak atau hanya ilusi. Tiba-tiba, satu dari mereka melambai pelan ke arah Leha, senyum yang terpatri di wajahnya kaku dan dingin. “Kak Leha…
Bab 9 “Aminah, damang?” tanyanya, menyentuh lengan Aminah. “Sae, Ceu,” jawab Aminah dengan nada datar, mencoba menenangkan detak jantungnya. “Di mana jenazahnya?” Wanita itu menunjuk ruangan di belakang, di mana jenazah disemayamkan. “Di dalam… tapi hati-hati, Mak Aminah. Entah kenapa, dinginnya ruangan itu berbeda. Bahkan beberapa orang tadi enggan mendekat.” Aminah menarik napas panjang, menyesuaikan selendang yang melingkari punggung hingga dadanya. “Tidak apa-apa, saya udah biasa dengan hal seperti ini.” Wanita itu menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran sebelum berbalik ke arah kerumunan. Aminah lalu melangkah masuk ke dalam ruangan jenazah, setiap langkahnya seolah terasa semakin berat.### Di Ruang Jenazah Begitu memasuki ruangan, hawa dingin yang menggigit langsung menyambut. Suara bisikan pelan terdengar, entah dari mana datangnya. Aminah berhenti sejenak, merasakan bulu kuduknya berdiri. “Kenapa… dingin sekali di sini?” bisiknya pada diri sendiri, mencoba menguasai
Bab 10 Aminah terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tepat saat itu, Juju masuk ke dapur, menatap Leha dengan tatapan tajam yang penuh misteri. “Nanti malam, jangan tinggalkan kamar ya, Leha,” suara Juju terdengar pelan namun tegas. “Kunaon, Nini? Ada apa?” tanya Leha, bingung. “Kami Cuma ingin kamu aman, Nak,” jawab Juju singkat, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Leha mengangguk, masih bingung namun menurut saja. Ada sesuatu yang aneh dan mencekam di udara malam itu, dan ia merasa ada yang berubah di rumah ini. ### Malam harinya, Saleha sengaja ke kamar Renata. Di sana juga sudah ada Dede, adik kedua Leha. Ya, Leha memiliki tiga adik, termasuk yang baru meninggal. “Ada apa Teh? Tumben teteh mau kumpul bareng kami. Ya kan, De?” ucap Renata, meminta dukungan adiknya. “Iya. Teteh Leha kan kaya sok sibuk gitu. Di kamaaar... terus. Kaya gak inget punya kita,” celetuk Dede. Dia memang ngasal kalau bicara, tapi benar adanya. “Hehe, maafin Teteh. Gak maksud gitu loh. Teteh k
Bab 11 “Astagfirullah...!” Leha melonjak mundur. Dia memegang dadanya, nafasnya naik turun. “Bikin kaget aja.” Leha menghardik ayam yang tiba-tiba seperti menyerang dirinya. “Ada apa Leha?” Juju datang dari arah belakang. Leha menoleh, dia tidak menjawab. Karena Juju pasti tahu apa yang membuat Leha berteriak. “Kamu mau ke luar malam begini?” tanya Juju dengan suara berat dan santai. “Ini masih siang, Ni.” “Ini bukan kota, Leha.” “Cuma sebentar, Nini. Leha udah janji sama Kang Jaya.” “Sini, duduk dulu. Biar kamu tahu apa yang terjadi di kampung ini.” Leha terbengong sesaat. Dia tertarik ajakan dari neneknya. Itulah yang ia ingin tahu dari Renata dan Dede. Mungkin, neneknya akan menjelaskan secara jelas. “Duduklah, pewarisku.” Hah? Dalam hati Leha merasa aneh apa yang diucapkan neneknya. Sebutan itu sangat menggelikan tapi misterius. “Nini harap, kamu udah siap dengar cerita ini. Harusnya ibumu yang bilang, tapi dia terlalu lemah.” Leha mendengarkan dengan sak
Bab 12 Perlahan-lahan, sosok itu mulai berbalik, dan saat wajahnya tampak, Leha terperangah. Wajah pucat dengan mata kosong yang melotot menatap lurus ke arahnya. Tangan sosok itu terkulai dengan jari-jari yang kurus dan panjang, seakan-akan siap mencengkeram. Leha terhuyung ke belakang, berusaha melangkah mundur, tapi kakinya terasa kaku. Sosok itu terus mendekat, dengan langkah-langkah kecil namun pasti, suaranya mengerikan, seperti desahan berat yang tercekik. “K-kamu, p-pasti ha lu si na si,” gumam Leha, dia ketakutan, tapi tak bisa lepas tatapannya dari makhluk berambut panjang itu. Dalam kepanikan, Leha akhirnya menemukan kekuatan untuk berlari. Ia berlari secepat mungkin, menyusuri jalan setapak yang gelap. Di belakangnya, ia bisa mendengar suara langkah berat dan desahan yang semakin mendekat. Sesekali menoleh, memastikan makhluk itu mengejar atau tidak. Brugh! “Aaakh...!” “Neng Leha kunaon? Jiga nu sieun kitu?” ( Jiga nu sieun kitu? = Seperti yang takut gitu?) Leha m
Bab 13 Leha juga ikut turun, dia ingin tahu apa yang terjadi pada motor kekasihnya itu. Setelah Jaya mengeceknya ternyata benar ban motor itu kempes. Pantas saja tiba-tiba oleng. Mungkin terkena benda tajam atau memang bannya sudah jelek. “Gimana nih? Mana gak ada orang lewat,” Jaya bergumam, tapi Leha mendengar hal itu. “Udah Kang, Leha pulang sendiri aja. Udah deket juga.” “Eh, jangan. Kita jalan bareng aja sampai rumah. Biar aku telepon temen buat jemput.” Leha berpikir dia tidak mau merepotkan Jaya. Wanita berhijab sederhana itu meyakinkan kekasihnya untuk jangan khawatir kepada dirinya. Belum tentu teman-teman Jaya sedang memiliki waktu atau mudah dihubungi. Dan kalaupun kemalaman, Jaya sangat tidak mungkin bermalam di rumah Leha, meskipun Aminah termasuk warga yang disegani karena banyak bentuk penduduk, tapi aturan tetaplah aturan. Jika ada yang berkunjung melebihi pukul 22.00 apalagi itu lawan jenis atau mereka ngapel, maka akan digerebek dan diusir paksa, apalagi kalau