Bab 10 Aminah terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tepat saat itu, Juju masuk ke dapur, menatap Leha dengan tatapan tajam yang penuh misteri. “Nanti malam, jangan tinggalkan kamar ya, Leha,” suara Juju terdengar pelan namun tegas. “Kunaon, Nini? Ada apa?” tanya Leha, bingung. “Kami Cuma ingin kamu aman, Nak,” jawab Juju singkat, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Leha mengangguk, masih bingung namun menurut saja. Ada sesuatu yang aneh dan mencekam di udara malam itu, dan ia merasa ada yang berubah di rumah ini. ### Malam harinya, Saleha sengaja ke kamar Renata. Di sana juga sudah ada Dede, adik kedua Leha. Ya, Leha memiliki tiga adik, termasuk yang baru meninggal. “Ada apa Teh? Tumben teteh mau kumpul bareng kami. Ya kan, De?” ucap Renata, meminta dukungan adiknya. “Iya. Teteh Leha kan kaya sok sibuk gitu. Di kamaaar... terus. Kaya gak inget punya kita,” celetuk Dede. Dia memang ngasal kalau bicara, tapi benar adanya. “Hehe, maafin Teteh. Gak maksud gitu loh. Teteh k
Bab 11 “Astagfirullah...!” Leha melonjak mundur. Dia memegang dadanya, nafasnya naik turun. “Bikin kaget aja.” Leha menghardik ayam yang tiba-tiba seperti menyerang dirinya. “Ada apa Leha?” Juju datang dari arah belakang. Leha menoleh, dia tidak menjawab. Karena Juju pasti tahu apa yang membuat Leha berteriak. “Kamu mau ke luar malam begini?” tanya Juju dengan suara berat dan santai. “Ini masih siang, Ni.” “Ini bukan kota, Leha.” “Cuma sebentar, Nini. Leha udah janji sama Kang Jaya.” “Sini, duduk dulu. Biar kamu tahu apa yang terjadi di kampung ini.” Leha terbengong sesaat. Dia tertarik ajakan dari neneknya. Itulah yang ia ingin tahu dari Renata dan Dede. Mungkin, neneknya akan menjelaskan secara jelas. “Duduklah, pewarisku.” Hah? Dalam hati Leha merasa aneh apa yang diucapkan neneknya. Sebutan itu sangat menggelikan tapi misterius. “Nini harap, kamu udah siap dengar cerita ini. Harusnya ibumu yang bilang, tapi dia terlalu lemah.” Leha mendengarkan dengan sak
Bab 12 Perlahan-lahan, sosok itu mulai berbalik, dan saat wajahnya tampak, Leha terperangah. Wajah pucat dengan mata kosong yang melotot menatap lurus ke arahnya. Tangan sosok itu terkulai dengan jari-jari yang kurus dan panjang, seakan-akan siap mencengkeram. Leha terhuyung ke belakang, berusaha melangkah mundur, tapi kakinya terasa kaku. Sosok itu terus mendekat, dengan langkah-langkah kecil namun pasti, suaranya mengerikan, seperti desahan berat yang tercekik. “K-kamu, p-pasti ha lu si na si,” gumam Leha, dia ketakutan, tapi tak bisa lepas tatapannya dari makhluk berambut panjang itu. Dalam kepanikan, Leha akhirnya menemukan kekuatan untuk berlari. Ia berlari secepat mungkin, menyusuri jalan setapak yang gelap. Di belakangnya, ia bisa mendengar suara langkah berat dan desahan yang semakin mendekat. Sesekali menoleh, memastikan makhluk itu mengejar atau tidak. Brugh! “Aaakh...!” “Neng Leha kunaon? Jiga nu sieun kitu?” ( Jiga nu sieun kitu? = Seperti yang takut gitu?) Leha m
Bab 13 Leha juga ikut turun, dia ingin tahu apa yang terjadi pada motor kekasihnya itu. Setelah Jaya mengeceknya ternyata benar ban motor itu kempes. Pantas saja tiba-tiba oleng. Mungkin terkena benda tajam atau memang bannya sudah jelek. “Gimana nih? Mana gak ada orang lewat,” Jaya bergumam, tapi Leha mendengar hal itu. “Udah Kang, Leha pulang sendiri aja. Udah deket juga.” “Eh, jangan. Kita jalan bareng aja sampai rumah. Biar aku telepon temen buat jemput.” Leha berpikir dia tidak mau merepotkan Jaya. Wanita berhijab sederhana itu meyakinkan kekasihnya untuk jangan khawatir kepada dirinya. Belum tentu teman-teman Jaya sedang memiliki waktu atau mudah dihubungi. Dan kalaupun kemalaman, Jaya sangat tidak mungkin bermalam di rumah Leha, meskipun Aminah termasuk warga yang disegani karena banyak bentuk penduduk, tapi aturan tetaplah aturan. Jika ada yang berkunjung melebihi pukul 22.00 apalagi itu lawan jenis atau mereka ngapel, maka akan digerebek dan diusir paksa, apalagi kalau
Bab 14 Namun tiba-tiba, tubuh Eceu bergerak dengan kaku, wajahnya yang semula ramah berubah drastis. Matanya menatap tajam ke arah Leha, kosong dan hitam pekat. Tubuhnya bergoyang-goyang aneh, dan Leha mulai mendengar suara cekikikan pelan dari mulut Eceu yang semakin lama semakin menyeramkan. “Lehaaa…” panggil suara itu, namun kali ini terdengar bukan dari mulut Eceu, melainkan dari berbagai arah, seperti datang dari pepohonan di sekitarnya. “Kenapa buru-buru, Neng? Kamu kan ingin tahu... tentang kampung ini, iya kan?” Leha semakin ketakutan, kakinya terasa lemas, tetapi naluri bertahannya lebih kuat. Dengan sisa keberanian yang ada, ia langsung berbalik dan berlari secepat mungkin, tanpa menoleh lagi ke arah Eceu. Suara cekikikan itu terus mengejarnya, bergema di sepanjang jalan yang semakin sunyi dan gelap. “Lehaaa… Kamu gak bisa lari dariku…” suara itu kembali memanggil, semakin keras dan menggema. Leha berlari dengan napas terengah-engah, bahkan beberapa kali hampir tersandu
Bab 15 Leha memandang Ibu dan neneknya. Dia sedikit mengentakkan kaki dan beranjak dari sana. Leha bukan kesal pada kedua orang tuanya, tapi kesal dengan keadaan. Keluarga dan kampungnya sudah tak setenang dulu. *** Setelah membersihkan diri, Leha membawa air hangat di baskom, kapas serta Betadine. Dia masuk ke kamar Renata. “T-teh, kenapa?!” tanya Renata dengan wajah panik. Renata sebenarnya tahu dari tadi, kedatangan Leha dengan ketakutan ke rumah. Namun, tak berani ke luar untuk menyimak gabung dengan ibu dan Nininya. “Teteh mau tidur di sini,” ucap Leha, sembari menaruh bawaannya di atas meja belajar adiknya. “Dede juga mau tidur sini,” seru Dede yang tiba-tiba muncul. “Lah, kocak. Kamu cowok mau gabung kita,” ucap Renata. Kurang setuju kalau Dede ikut gabung. “Gak papa Ren, biar makin rame. Itu juga kalau Dede mau tidur di bawah, di kasur lipat.” Leha menawarkan pada Dede. “Hem... Iya-iya. Aku tidur di bawah gak papa,” ucap Dede, sambil membawa kasur lipat yang ada di
Bab 16 Leha kini bertindak seperti detektif, lebih waspada, cermat mengamati, dia bersikap seperti itu untuk menyelamatkan keluarganya. “Aminah, lihat Ibu, Nak! Kamu masih sanggup ‘kan?” tanya Juju dengan nada ketakutan. “Aku… aku nggak tahu, Bu,” sahut Aminah dengan suara lemah.Tubuh wanita paruh baya yang mengenakan daster lusuh, terus memegangi perutnya sambil sesekali mementingkan badan. Seakan-akan ada yang mengoyak isi perutnya secara brutal.Sementara itu, Leha masih mengenakan mukena ketika keluar dari kamar. Ia ingin menghampiri ibunya yang terdengar seperti sedang sakit parah. Suara Juju, terdengar histeris, begitu panik menghadapi kondisi Aminah yang semakin lemah. Namun, saat Leha baru saja membuka gorden kamarnya, Renata tiba-tiba muncul dan memanggilnya.“Kak, jangan lihat kondisi Ibu. Biarin Nenek yang urus,” ujar Renata buru-buru, matanya penuh kecemasan.Leha mengernyit, merasa heran. “Kenapa? Ibu sakit, kan? Masa kita nggak kasihan sama Ibu?” tanyanya lirih, mera
Bab 17Sore itu, tepat pukul tiga, Leha pulang mengajar dengan langkah tergesa. Hari ini terasa panjang, dan beban pikirannya belum terangkat sepenuhnya sejak ia tiba di desa ini. Ia baru saja menginjakkan kaki di beranda rumah ketika tiba-tiba hidungnya menangkap aroma melati yang menyengat. Bau itu seolah memenuhi seluruh ruangan, mengalir dari ruang tengah hingga ke setiap sudut rumah.“Bau banget melatinya," gumam Leha. "Bu!” Leha berseru lantang, memecah kesunyian. "Ke mana sih orang-orang," ujar Leha. "Ni, Aki...!" lanjut Leha, memanggil Kakek dan Neneknya.Suara berat Ki Sastra, segera terdengar dari arah dapur. “Leha, jangan berteriak begitu. Nini mu bisa kaget. Kau tahu dia punya penyakit jantung, kan?” Teguran itu meluncur tajam, membuat Leha mendengus tak puas.“Ah, Aki ini, masa iya Nini punya penyakit jantung? Seingat Leha, keluarga kita nggak punya riwayat penyakit jantung,” balas Leha tak percaya. “Dan lagi, Nini sehat-sehat aja. Kalau ada yang berteriak, bukan berarti