Bab 15 Leha memandang Ibu dan neneknya. Dia sedikit mengentakkan kaki dan beranjak dari sana. Leha bukan kesal pada kedua orang tuanya, tapi kesal dengan keadaan. Keluarga dan kampungnya sudah tak setenang dulu. *** Setelah membersihkan diri, Leha membawa air hangat di baskom, kapas serta Betadine. Dia masuk ke kamar Renata. “T-teh, kenapa?!” tanya Renata dengan wajah panik. Renata sebenarnya tahu dari tadi, kedatangan Leha dengan ketakutan ke rumah. Namun, tak berani ke luar untuk menyimak gabung dengan ibu dan Nininya. “Teteh mau tidur di sini,” ucap Leha, sembari menaruh bawaannya di atas meja belajar adiknya. “Dede juga mau tidur sini,” seru Dede yang tiba-tiba muncul. “Lah, kocak. Kamu cowok mau gabung kita,” ucap Renata. Kurang setuju kalau Dede ikut gabung. “Gak papa Ren, biar makin rame. Itu juga kalau Dede mau tidur di bawah, di kasur lipat.” Leha menawarkan pada Dede. “Hem... Iya-iya. Aku tidur di bawah gak papa,” ucap Dede, sambil membawa kasur lipat yang ada di
Bab 16 Leha kini bertindak seperti detektif, lebih waspada, cermat mengamati, dia bersikap seperti itu untuk menyelamatkan keluarganya. “Aminah, lihat Ibu, Nak! Kamu masih sanggup ‘kan?” tanya Juju dengan nada ketakutan. “Aku… aku nggak tahu, Bu,” sahut Aminah dengan suara lemah.Tubuh wanita paruh baya yang mengenakan daster lusuh, terus memegangi perutnya sambil sesekali mementingkan badan. Seakan-akan ada yang mengoyak isi perutnya secara brutal.Sementara itu, Leha masih mengenakan mukena ketika keluar dari kamar. Ia ingin menghampiri ibunya yang terdengar seperti sedang sakit parah. Suara Juju, terdengar histeris, begitu panik menghadapi kondisi Aminah yang semakin lemah. Namun, saat Leha baru saja membuka gorden kamarnya, Renata tiba-tiba muncul dan memanggilnya.“Kak, jangan lihat kondisi Ibu. Biarin Nenek yang urus,” ujar Renata buru-buru, matanya penuh kecemasan.Leha mengernyit, merasa heran. “Kenapa? Ibu sakit, kan? Masa kita nggak kasihan sama Ibu?” tanyanya lirih, mera
Bab 17Sore itu, tepat pukul tiga, Leha pulang mengajar dengan langkah tergesa. Hari ini terasa panjang, dan beban pikirannya belum terangkat sepenuhnya sejak ia tiba di desa ini. Ia baru saja menginjakkan kaki di beranda rumah ketika tiba-tiba hidungnya menangkap aroma melati yang menyengat. Bau itu seolah memenuhi seluruh ruangan, mengalir dari ruang tengah hingga ke setiap sudut rumah.“Bau banget melatinya," gumam Leha. "Bu!” Leha berseru lantang, memecah kesunyian. "Ke mana sih orang-orang," ujar Leha. "Ni, Aki...!" lanjut Leha, memanggil Kakek dan Neneknya.Suara berat Ki Sastra, segera terdengar dari arah dapur. “Leha, jangan berteriak begitu. Nini mu bisa kaget. Kau tahu dia punya penyakit jantung, kan?” Teguran itu meluncur tajam, membuat Leha mendengus tak puas.“Ah, Aki ini, masa iya Nini punya penyakit jantung? Seingat Leha, keluarga kita nggak punya riwayat penyakit jantung,” balas Leha tak percaya. “Dan lagi, Nini sehat-sehat aja. Kalau ada yang berteriak, bukan berarti
Bab 18 "Aku tahu kamu siapa," gumam Leha hampir tak terdengar. Dia mengambil ponselnya, dihubunginya nomor Jaya. Tidak aktif. Mungkin Jaya sedang dalam tugas serius. Leha selalu berpikir positif pada kekasihnya itu. "Aku kirim pesan aja," gumam Leha. 'Kang, nanti malam jemput Leha ke rumah ya. Ada yang mau Leha obrolin.' 'Hihihi ... jangan macam-macam...' "Siapa?!" Seketika Leha berteriak lagi. Netranya menyapa seluruh ruang kamar. Kali ini suara desisan yang memenuhi telinga Leha, diiringi suara kikikan melengking.###Pukul lima sore, Leha menemui kakeknya yang berada di belakang rumah, tepatnya bersama ayam-ayam yang sedang dikasih pakan."Aki!" seru Leha.Sastra menoleh, dia melambaikan tangan. Sastra ingat, pasti cucunya mau membicarakan yang tadi."Boleh?" tanya Leha, ragu. Dia masih berada diambang pintu.Sastra mengangguk. Setelah itu memberikan ayam-ayam pakan lagi. "Katakanlah," ucapnya, setelah dia merasa Leha berada di dekatnya.Sebelum bicara, Leha celingukan. Dia
Bab 19 Ada rasa cemas pada diri Leha, melihat Juju begitu bereaksi mendengar Jaya datang. Apa yang akan dilakukan neneknya? Itu yang dipikirkan Leha. Dia juga melihat pada ibunya, seakan mencari jawaban atau meminta bantuan. Aminah menggeleng dengan sedikit senyum, kemudian dia mendekat pada Leha, mengusap tangannya dengan sedikit anggukan, yang berarti jangan khawatir. Semua akan akan baik-baik saja. "Duduk, Nak Jaya." Leha yang masih di belakang, mendengar suara neneknya yang meminta Jaya duduk. "Ada yang mau Nini bicarakan. Ini sangat serius." "Tentang apa, Ni?" Jaya menjawab biasa saja. Dia tidak tahu bahwa di rumah itu sedang tegang. Leha mengajak ibunya untuk ke depan, bergabung bersama Juju dan Jaya. "Kalau maneh benar-benar bogoh ka Leha, nikahi dia segera," pinta Juju, dengan suara seraknya yang khas tapi misterius. ( Maneh = Kamu. ) ( Bogoh = Cinta ) Jaya terkejut, tapi bukan dia saja. Leha dan ibunya yang baru muncul ikut terkejut dengan permintaan J
Bab 20 Di Tempat Nasi Goreng LanggananAngin malam terasa menusuk tulang. Jaya dan Leha duduk di bangku kayu, di bawah lampu jalan yang temaram. Penjual nasi goreng sibuk di wajan, sementara Leha menatap kosong ke meja."Neng Leha, jangan khawatir. Akang udah konsultasi sareng Kiayi, guru ngaos Akang di pasantren." Jaya bicara dengan nada yakin. "Kiayi bilang, kudu ada ruqyah di rumah itu. Kukun gak bisa dibiarkan terus-terusan, neror keluargamu."( Sareng = Dengan )( Ngaos = Ngaji)Leha mengangkat kepalanya, wajahnya bingung. "Ruqyah? Tapi, apa bisa, Kang? Kalau benar itu warisan, apa mungkin bisa diputus begitu saja?"Jaya menatap Leha dalam-dalam, menggenggam tangannya di atas meja. "Bisa, Neng. Tapi kita harus berani. Kiayi juga bilang, perjanjian dengan hal kayak gitu harus diakhiri dengan niat tulus. Jangan pernah ragu."Leha menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu, keputusan ini bukan perkara kecil. "Terus kata akang kemarin punya rencana? Apa itu? Kan akang tahu, justru Kukun
Bab 21.Dengan tatapannya yang tajam, tiba-tiba Jaya tersenyum tipis, menyingkirkan tangan Leha dari wajahnya dengan lembut. "Neng, Akang cuma lagi mikir. Kamu itu luar biasa, tahu? Akang gak nyangka Neng bisa seberani ini. Biasanya kan suka ragu sama keputusan besar."Leha tersipu, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. "Ih, Akang mah bisa aja. Ini bukan soal berani atau enggak, tapi Leha gak mau terus-terusan hidup di bawah bayang-bayang Nyi Kukun. Hidup Leha, hidup keluarga Leha, harus bebas."Jaya menatap Leha dengan bangga. "Nah, itu dia. Itu yang Akang suka dari Neng sekarang. Semangat kayak gini yang bakal bikin semuanya selesai, Neng. Jangan banyak pikiran bercabang dulu. Selesaikan satu-satu."Leha mengangguk dengan senyum semangatnya. Membuat Jaya tambah gemas kalau Leha sudah bersikap manis dan energik seperti itu.Penjual nasi goreng datang membawa sepiring nasi goreng yang mengepul hangat. Jaya langsung menerima piringnya sambil mengucapkan terima kasih, lalu menyerahkan pir
Bab 22Setelah mengantar Leha ke rumah, Jaya segera pergi, meninggalkan rumah yang mulai sepi. Hanya terdengar suara angin yang sesekali mengetuk jendela, mengiringi malam yang baru saja dimulai.Leha baru saja memutar kunci pintu, membuka rumah yang gelap, saat tiba-tiba telinganya menangkap suara bisikan. Suara itu terdengar pelan, namun jelas:"Aku menantimu tuan ...."Darah Leha seolah berhenti mengalir sesaat, tapi kali ini, anehnya, ia tidak begitu terkejut. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, ketika suara itu membuatnya hampir pingsan. Ia justru menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada datar, seakan berbicara pada seseorang yang sudah ia kenal lama."Jangan ganggu aku."Kakinya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia menyadari sesuatu yang aneh—seolah dirinya mulai terbiasa dengan kehadiran makhluk-makhluk astral di rumah ini. Sejak kecil, ia tidak merasakan apa pun yang aneh. Entah karena Juju dan Aminah pandai menyembunyikan, entah karena dia memang masih ter
Bab 36. Aminah menoleh, tapi dia tidak berbicara apa pun."Ibu, ayo. Nanti Ibu kecapean," paksa Leha.Berkali-kali Leha memaksa, karena Aminah cuma diam dan terus berjalan, setelah menatap Leha."Ibu, jangan kaya gitu. Leha gak tega kalau harus pulang sendiri. Padahal ibu kerepotan," paksa Leha sekali lagi.Aminah menggeleng pelan, dengan sorot mata redup tapi tajam. Bahkan tangannya sedikit terangkat, menandakan penolakan.Leha terdiam, ada rasa merinding melihat tatapan ibunya."Yaudah, kalau gitu Leha pulang duluan ya Bu."Aminah tidak merespon. Yang Leha lihat Aminah terus berjalan sambil menenteng kresek besar, yang kelihatannya terasa berat.Dalam perjalanan pulang, Leha berpikir. Mungkin ibunya tidak mau diajak, karena takut bau amis darah dari pembalut mengotori motor, atau membuat Leha tidak nyaman. Dia berpikir positif saja.###Ketika Leha tiba di rumah, suasana sudah berubah mencekam. Banyak orang berkerumun di halaman, beberapa bahkan menangis histeris."Bendera kuning?"
Bab 35 Leha mendengarkan dulu suara speaker masjid yang memberitahu ada orang meninggal. Tenyata itu anak dari salah satu tetangganya. Leha tahu dia seorang gadis."Jangan-jangan... ulah Nyi Kukun," gumam Leha. "Aku harus bersikap biasa saja," lanjutnya.Saat perjalanan menuju sekolah, Leha dihentikan seorang tetangga yang tergesa-gesa. Wanita itu, seorang kerabat dari orang yang meninggal di kampung mereka, tampak panik dan bingung.“Leha, tolong! Bisa antar aku ke rumah ibumu? Jenazah keluargaku keadaannya... sangat mengerikan,” ujarnya dengan suara gemetar.Leha menelan ludah, bingung harus bagaimana. Ia sudah terlambat menuju sekolah, tetapi tetangga ini memohon dengan begitu mendesak.“Tapi, Bu, saya harus ke sekolah...” jawab Leha ragu.“Saya nggak tahu harus minta tolong siapa lagi. Ibumu kan biasanya yang tahu cara menangani jenazah seperti ini,” katanya lagi, hampir menangis.Leha merasa serba salah. Akhirnya ia mengalah. “Ya udah. Baik, Bu. Ayo, saya antar ke rumah.”Sepanj
Bab 34 "Teteh, Renata mah kayanya gak sanggup deh, harus dzikir sebanyak ini," keluh Renata, yang berada i kamar Leha. "Semampunya aja Rena. Syukur-syukur kamu usahakan. Sambil membiasakan rajin ibadah. Selama ini kamu kan ...," goda Leha pada adiknya. "Iya-iya, Rena sadar. Kalau sekarang kan ada Teteh. Jadi kaya beda aja gitu suasana, Rena pasti bisa kebawa rajin kaya Teteh." "Ya udah, sana. Fokuslah. Semakin kita dekat sama Allah, bukan tentang menghadapi makhluk-makhluk gaib saja, kita sanggup lebih kuat dari mereka. Tapi, buat diri kita juga jadi serba lancar untuk mencapai keinginan." Rena mengangguk. Dia paham dan ngena sekali, nasihat yang disampaikan Kakaknya. ### Sejak azan Magrib berkumandang, Leha memutuskan untuk tidak keluar kamar. Ia memusatkan seluruh pikirannya pada dzikir, salat sunah, dan doa-doa yang diajarkan oleh Kiyai Soleh. Hatinya terasa lebih tenang, meski masih ada rasa was-was yang mengintai. Sementara itu, di kamarnya, Juju duduk bersemedi de
Bab 33 Tempat BidanSetelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lancar, Leha dan Aminah akhirnya sampai di tempat bidan. Suasana klinik kecil cukup sepi sore itu, sehingga mereka langsung mendapat giliran.Bidan Ida, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat, memeriksa Aminah dengan teliti. Ia menggunakan alat ultrasonografi sederhana untuk memastikan kondisi kandungan Aminah. Setelah beberapa menit, wajahnya tampak serius."Gimana Bu Bidan? Kandungan Ibu saya baik-baik saja?" tanya Leha, antusias. Bidan yang melihat Leha begitu antusias, merasa terharu dan kagum. Seorang anak yang begitu peduli pada ibunya. Bidan Ida bisa merasakan perasaan Aminah yang sebenarnya tidak nyaman jika kandungannya diperiksa. Dapat dirasakan dari raut muka Aminah dan beberapa interaksi saat diperiksa. “Neng dan Ibu Aminah,” kata Bidan Ida dengan nada hati-hati. “Ada sedikit kelainan dalam kehamilan ini.”Leha yang duduk di samping ibunya langsung menegang. “Kelainan apa, Bu Bidan?”“Usia kandung
Bab 32Bu Aminah terlihat masih menenangkan diri setelah kakek Sastra mengeluarkan celetukannya. Wajah tua lelaki itu masih menyiratkan amarah, tapi ia bersedia mengikuti permintaan Aminah untuk masuk dan duduk di ruang tamu.Pak Marwan, yang masih berdiri di teras, memutuskan menunggu hingga Leha dan Renata siap. "Saya tunggu di sini saja, Bu. Sekalian antar mereka ke sekolah. Lagipula motor Leha masih di rumah, biar dia nggak kecapekan kalau harus bawa motor sendiri.""Kecapean? Em, maksudnya? Leha, kamu gak kenapa-kenapa bukan?" Aminah panik. Dia memeriksa beberapa bagian tubuh anaknya."Ibu, Leha nggak papa. M-maksud, ayahnya Kang Jaya, biar sekalian berangkat. Semalam ada acara di rumah Kang Jaya. Kami semua tidur malam." Leha sedikit gugup menjelaskan."Benar Bu. Keluarga A Jaya baik dan perhatian sekali. Takut kelelahan karena kurang tidur, jadi gak boleh bawa motor sendiri. Kata Ibunya A Jaya, bahaya." Renata menambah, supaya ibunya yakin.Aminah mengangguk pelan, “Oh, begitu
Bab 31Pagi yang tenang di rumah Jaya.Suara lantunan doa Subuh memenuhi ruang tamu. Leha dan Renata baru saja selesai salat berjamaah bersama keluarga Jaya. Mereka lalu duduk sejenak, menikmati ketenangan pagi sebelum bergerak ke dapur.“Leha, Renata, kalian mau tidur lagi gak papa. Ini masih pagi banget. Biar energi kalian pulih, sebelum pulang," ucap Bu Sifa. “E- enggak Bu. Saya udah baik-baik aja kok,” jawab Leha sambil tersenyum tipis, meski masih terlihat lelah. "Yaudah, yang penting kamu nyaman di sini ya. Nanti kalau mau apa-apa ambil sendiri aja ya. Gak usah canggung." "Iya, Bu. Makasih." Bu Sifa kemudian pergi ke dapur. Meski tugasnya Mbak, tapi Bu Sifa tidak selalu mengandalkan pembantu. Kemudian Renata menggamit tangan tetehnya, mengajak untuk segera ke dapur. "Ayo Teh, kita ke dapur aja. Malau kalau santai-santai." Leha juga merasakan hal yang sama. Meski Bu Sifa pasti maklum dengan keadaan Leha, tapi dia udah cukup segar untuk beraktivitas. Di dapur, suasana mulai
Bab 30 Waktu menunjukkan pukul 22:48. Leha duduk di sofa, bersandar bantal masih di ruang tengah rumah Bu Sifa. Wajahnya pucat, dan tubuhnya terlihat masih gemetar. Renata duduk di sampingnya, memegangi tangan tetehnya erat-erat, sementara Jaya berdiri tak jauh dari mereka, bersandar di pintu dengan ekspresi serius.“Neng Leha,” suara lembut Bu Sifa memecah keheningan, “Ibu rasa malam ini kamu tidur di sini saja. Kondisimu belum pulih benar, dan Ibu khawatir kalau kamu pulang sekarang, di perjalanan bisa saja terjadi sesuatu.”Leha mengangkat wajahnya perlahan, tampak bingung. “Tapi… Ibu, nenek, dan kakek pasti mencari Leha, Bu. Mereka tidak punya ponsel, jadi Leha tidak bisa memberi kabar apa pun.”“Tenang saja, Neng,” Jaya menyela, suaranya meyakinkan. “Besok pagi, Akang akan antar dan menjelaskan semuanya kepada keluarga. Malam ini, keselamatan Neng lebih penting.”Renata mengangguk, menatap Leha dengan penuh kasih sayang. “Teteh, jangan pikirkan apa-apa dulu. Aku juga akan tidur
Jaya, Renata, Pak Marwan dan Bu Sifa, mereka sepertinya ingin menyerah saja. Merasakan energi yang begitu berat. Meski mereka tidak bisa melihat makhluk itu, tapi mereka bisa merasakan kengerian yang terjadi. "Yah, gimana kalau Kiyai Soleh gak sanggup?" bisik Bu Sifa pada suaminya. "Tenang saja. Kita bantu doa juga. Sebisa-bisa kita jangan putus doa," jawab Pak Marwan, mencoba tenang. Padahal sebenarnya dia juga merasa khawatir. "Apakah Kiayi gak capek, A Jaya? Rena takut kalau Pak Kiyai tumbang, kita mungkin akan binasa di tangan hantu itu." Renata berbisik pada Jaya yang selalu ada di dekatnya. "Yakin aja Rena. Meski belia udah sepuh banget, Aa yakin, energi beliau masih bagus " Rena manggut-manggut, tubuhnya semakin mendekatkan di antara Jaya dan kedua orang tuanya. Mereka menyimak apa yang Kiyai Soleh lakukan. Sementara itu, Kiayi Soleh berdiri tegak di tengah ruangan, suaranya lantang melantunkan ayat-ayat suci yang menggema di udara, melawan kehadiran gelap yang memenuhi r
Ketukan semakin keras. Kini disertai suara seretan yang aneh, seperti sesuatu yang berat sedang diseret di teras depan. Jaya berhenti di tempat, tubuhnya mulai berkeringat dingin.“Ada sesuatu di luar, Kiayi,” katanya dengan suara hampir berbisik.Kiayi berdiri perlahan, mengambil tasbih dari kantongnya. “Bukan sesuatu, Jaya. Tapi seseorang—atau lebih tepatnya, apa yang tadi kita lawan di sini.”Renata mundur, mendekati Leha yang masih terbaring lemah. Suasana semakin tegang. Dari arah pintu, terdengar suara perempuan yang memanggil dengan nada lembut tetapi menyeramkan.“Leha... Buka pintunya...”Renata menahan nafas, tubuhnya membeku. Ia mengenali suara itu—suara perempuan yang memanggil Leha di hutan tadi. Jaya meraih kayu dari dekat lemari, bersiap jika harus menghadapi sesuatu.“Jangan panik,” ujar Kiayi Soleh sambil mendekati pintu dengan tenang. Ia mulai membaca doa perlindungan. Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras.“Leha...! Buka pintunya!”Pintu depan mul