Bab 18 "Aku tahu kamu siapa," gumam Leha hampir tak terdengar. Dia mengambil ponselnya, dihubunginya nomor Jaya. Tidak aktif. Mungkin Jaya sedang dalam tugas serius. Leha selalu berpikir positif pada kekasihnya itu. "Aku kirim pesan aja," gumam Leha. 'Kang, nanti malam jemput Leha ke rumah ya. Ada yang mau Leha obrolin.' 'Hihihi ... jangan macam-macam...' "Siapa?!" Seketika Leha berteriak lagi. Netranya menyapa seluruh ruang kamar. Kali ini suara desisan yang memenuhi telinga Leha, diiringi suara kikikan melengking.###Pukul lima sore, Leha menemui kakeknya yang berada di belakang rumah, tepatnya bersama ayam-ayam yang sedang dikasih pakan."Aki!" seru Leha.Sastra menoleh, dia melambaikan tangan. Sastra ingat, pasti cucunya mau membicarakan yang tadi."Boleh?" tanya Leha, ragu. Dia masih berada diambang pintu.Sastra mengangguk. Setelah itu memberikan ayam-ayam pakan lagi. "Katakanlah," ucapnya, setelah dia merasa Leha berada di dekatnya.Sebelum bicara, Leha celingukan. Dia
Bab 19 Ada rasa cemas pada diri Leha, melihat Juju begitu bereaksi mendengar Jaya datang. Apa yang akan dilakukan neneknya? Itu yang dipikirkan Leha. Dia juga melihat pada ibunya, seakan mencari jawaban atau meminta bantuan. Aminah menggeleng dengan sedikit senyum, kemudian dia mendekat pada Leha, mengusap tangannya dengan sedikit anggukan, yang berarti jangan khawatir. Semua akan akan baik-baik saja. "Duduk, Nak Jaya." Leha yang masih di belakang, mendengar suara neneknya yang meminta Jaya duduk. "Ada yang mau Nini bicarakan. Ini sangat serius." "Tentang apa, Ni?" Jaya menjawab biasa saja. Dia tidak tahu bahwa di rumah itu sedang tegang. Leha mengajak ibunya untuk ke depan, bergabung bersama Juju dan Jaya. "Kalau maneh benar-benar bogoh ka Leha, nikahi dia segera," pinta Juju, dengan suara seraknya yang khas tapi misterius. ( Maneh = Kamu. ) ( Bogoh = Cinta ) Jaya terkejut, tapi bukan dia saja. Leha dan ibunya yang baru muncul ikut terkejut dengan permintaan J
Bab 20 Di Tempat Nasi Goreng LanggananAngin malam terasa menusuk tulang. Jaya dan Leha duduk di bangku kayu, di bawah lampu jalan yang temaram. Penjual nasi goreng sibuk di wajan, sementara Leha menatap kosong ke meja."Neng Leha, jangan khawatir. Akang udah konsultasi sareng Kiayi, guru ngaos Akang di pasantren." Jaya bicara dengan nada yakin. "Kiayi bilang, kudu ada ruqyah di rumah itu. Kukun gak bisa dibiarkan terus-terusan, neror keluargamu."( Sareng = Dengan )( Ngaos = Ngaji)Leha mengangkat kepalanya, wajahnya bingung. "Ruqyah? Tapi, apa bisa, Kang? Kalau benar itu warisan, apa mungkin bisa diputus begitu saja?"Jaya menatap Leha dalam-dalam, menggenggam tangannya di atas meja. "Bisa, Neng. Tapi kita harus berani. Kiayi juga bilang, perjanjian dengan hal kayak gitu harus diakhiri dengan niat tulus. Jangan pernah ragu."Leha menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu, keputusan ini bukan perkara kecil. "Terus kata akang kemarin punya rencana? Apa itu? Kan akang tahu, justru Kukun
Bab 21.Dengan tatapannya yang tajam, tiba-tiba Jaya tersenyum tipis, menyingkirkan tangan Leha dari wajahnya dengan lembut. "Neng, Akang cuma lagi mikir. Kamu itu luar biasa, tahu? Akang gak nyangka Neng bisa seberani ini. Biasanya kan suka ragu sama keputusan besar."Leha tersipu, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. "Ih, Akang mah bisa aja. Ini bukan soal berani atau enggak, tapi Leha gak mau terus-terusan hidup di bawah bayang-bayang Nyi Kukun. Hidup Leha, hidup keluarga Leha, harus bebas."Jaya menatap Leha dengan bangga. "Nah, itu dia. Itu yang Akang suka dari Neng sekarang. Semangat kayak gini yang bakal bikin semuanya selesai, Neng. Jangan banyak pikiran bercabang dulu. Selesaikan satu-satu."Leha mengangguk dengan senyum semangatnya. Membuat Jaya tambah gemas kalau Leha sudah bersikap manis dan energik seperti itu.Penjual nasi goreng datang membawa sepiring nasi goreng yang mengepul hangat. Jaya langsung menerima piringnya sambil mengucapkan terima kasih, lalu menyerahkan pir
Bab 22Setelah mengantar Leha ke rumah, Jaya segera pergi, meninggalkan rumah yang mulai sepi. Hanya terdengar suara angin yang sesekali mengetuk jendela, mengiringi malam yang baru saja dimulai.Leha baru saja memutar kunci pintu, membuka rumah yang gelap, saat tiba-tiba telinganya menangkap suara bisikan. Suara itu terdengar pelan, namun jelas:"Aku menantimu tuan ...."Darah Leha seolah berhenti mengalir sesaat, tapi kali ini, anehnya, ia tidak begitu terkejut. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, ketika suara itu membuatnya hampir pingsan. Ia justru menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada datar, seakan berbicara pada seseorang yang sudah ia kenal lama."Jangan ganggu aku."Kakinya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia menyadari sesuatu yang aneh—seolah dirinya mulai terbiasa dengan kehadiran makhluk-makhluk astral di rumah ini. Sejak kecil, ia tidak merasakan apa pun yang aneh. Entah karena Juju dan Aminah pandai menyembunyikan, entah karena dia memang masih ter
Bab 23Namun, sebuah tawa melengking terdengar, mengisi ruangan dengan aura yang begitu mencekam."Hahaha... Kau pikir doa-doamu bisa menyingkirkan kami? Kau sudah menjadi bagian dari kami sejak lama. Kau hanya perlu menerima, dan semuanya akan mudah. Kau yang memimpin... kami yang melayani."Leha menggenggam tangannya kuat-kuat, tubuhnya bergetar. Ia menutup mata, berusaha fokus membaca doa dengan lebih khusyuk. Tapi tiba-tiba, ia merasakan sesuatu menyentuh pundaknya.Perlahan, ia menoleh ke kanan. Tak ada siapa-siapa. Namun, ketika ia menoleh ke kiri, wajah makhluk menyerupai neneknya muncul tepat di hadapannya, dengan senyuman lebar yang menampakkan gigi hitam busuk."Kami sabar menunggumu, Leha. Jangan buat kami marah."Leha menjerit keras, tubuhnya terjatuh ke lantai. Dengan gemetar, ia meraih Al-Qur'an di meja dekat tempat tidurnya dan mulai membaca ayat-ayat suci secepat yang ia bisa. Tawa itu terdengar lagi, namun perlahan menghilang.Ia terisak, tubuhnya basah oleh keringat
Bab 24 Leha berusaha mengabaikan perasaan ganjil itu, namun semakin jauh ia melajukan motor, beban di belakangnya terasa semakin berat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, meski udara sore itu cukup sejuk."Ujang, kamu baik-baik aja kan?" tanya Leha, mencoba memastikan."Muhun, Bu. Aya naon?" suara Ujang terdengar biasa, namun ada sesuatu yang tidak wajar dalam intonasinya—terlalu datar, terlalu dingin.(Muhun = Iya)Leha melirik spion. Ia melihat Ujang duduk dengan kepala tertunduk, wajahnya tidak terlalu jelas terlihat. Tapi ada satu hal yang membuat jantungnya berdegup kencang: bayangan Ujang di spion tidak bergerak, seolah-olah ia adalah patung.Motor berhenti mendadak. Leha memutar tubuhnya dengan cepat, tapi Ujang sudah tidak ada di belakang."Ujang?" panggilnya, suaranya nyaris bergetar.Ia turun dari motor, menoleh ke kanan dan kiri, tapi jalanan kosong. Tidak ada jejak siapa pun. Napasnya mulai memburu, dan ketakutan menyelimuti hatinya.Lalu terdengar suara tawa kec
BAB 25 "Leha...! Leha...!"Suara-suara itu masih terus terdengar, namun kali ini lebih jelas. Leha menggigil, tubuhnya terasa semakin lemah. Meski begitu, ia tetap bertahan di atas motor, memaksa dirinya untuk tidak jatuh. Genggamannya pada stang motor begitu erat, seakan itu satu-satunya pegangan yang membuatnya tetap waras.Matanya terpejam, dan ia menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak boleh kalah..." bisiknya, mencoba mengusir ketakutan yang mencekik. Namun, suara aneh itu masih terus mengelilinginya, menggema di antara pohon-pohon tinggi di sekitarnya.Tiba-tiba, ada sentuhan lembut di pundaknya.Leha terkejut, membuka mata dengan cepat. Namun, kali ini sentuhan itu tidak terasa menyeramkan atau dingin. Ada sesuatu yang menenangkan. Ia menoleh dengan ragu, dan matanya langsung bertemu dengan wajah-wajah yang sangat dikenalnya."Teh Leha, ini aku, Renata!" Suara Renata terdengar khawatir. Di samping Renata, Jaya berdiri dengan wajah tegang, namun ada kelegaan di sana."Neng, Aya
Bab 41"Astaghfirullahaladzim...," gumam Leha. Dia tahu yang didengarnya adalah halusinasi.Leha tetap melanjutkan perjalanan, melewati jalan kecil di desa yang sunyi, hanya ada beberapa orang yang terlihat di pinggir jalan. Namun, ada sesuatu yang aneh.Orang-orang itu berdiri dengan posisi kaku, kepala mereka sedikit miring, dan mata mereka kosong, seolah menatap jauh ke dalam jiwa Leha. Beberapa bahkan tersenyum lebar, tetapi senyuman itu terasa dingin dan tidak manusiawi.Saat Leha melewati mereka, ia merasakan udara dingin menusuk kulitnya. Salah satu dari mereka, seorang lelaki tua dengan topi anyaman, melambaikan tangan pelan. Leha hampir menghentikan motornya untuk membalas, tetapi ia melihat tangan lelaki itu terlalu panjang, jari-jarinya menghitam seperti hangus.Leha menghela napas, mencoba untuk tidak panik.“Ini cuma imajinasi... Cuma pikiran aku aja,” gumamnya, namun hatinya tetap gelisah.Ketika hampir sampai di tikungan menuju sekolah, ia melihat seorang perempuan muda
Bab 40Keesokan harinya, suasana pagi di rumah Leha masih diliputi kesunyian yang terasa ganjil. Di meja makan, Leha menyiapkan diri untuk berangkat mengajar. Taryo, yang sejak tadi memperhatikan putrinya, akhirnya membuka percakapan."Leha," panggil Taryo sambil menyeduh kopi hitam. "Ayah mau ngomong. Kamu nggak capek jadi guru honorer? Gajinya kecil, tenagamu habis. Belum lagi bensin tiap hari. Gimana kalau kamu nerusin warung almarhum ibumu saja? Lebih praktis, kan?"Leha menghentikan sendoknya yang sedang mengaduk teh. Ia memandang ayahnya dengan raut wajah dilema."Ayah, Leha jadi guru bukan cuma soal uang," jawabnya pelan, mencoba menahan gejolak hatinya. "Leha ingin desa ini berubah. Anak-anak di sini butuh pendidikan, biar nggak gampang ditipu atau terjerumus pada hal-hal yang salah. Apalagi sekarang... teror ku... Em, maksud Leha, teror kemalasan dan gaptek, sudah semakin parah. Kalau Leha berhenti, siapa yang akan ngajari mereka?"Taryo meletakkan cangkirnya dengan sedikit k
Bab 39 Renata yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba mendekat dan memeluk Leha erat. Air matanya mengalir saat ia mencoba menenangkan kakaknya. "Teh, tenang, ya. Kita butuh Teh Leha. Jangan seperti ini," ujar Renata, suaranya bergetar. Dede, adik bungsu mereka, ikut bergabung dalam pelukan itu. Meskipun ia masih kecil, ia tahu keluarganya sedang menghadapi sesuatu yang besar dan menakutkan. "Teh Leha jangan marah-marah. Dede takut," gumamnya pelan. Pelukan itu membuat kemarahan Leha perlahan surut. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Suara tawa di luar sana yang tadi menggema kini perlahan mereda. Namun, keheningan itu justru terasa semakin menekan. Juju dan Sastra memandang cucu-cucunya dengan tatapan cemas. Mereka menyadari bahwa suara tawa itu tak mungkin berasal dari manusia. Namun, mereka memilih diam, tak ingin membuat keadaan semakin tegang. Tentunya saja wajah cemas yang ditunjukkan kedua lansia itu, palsu. Di sisi lain, Taryo hanya mengamati dengan bingung. I
Bab 38 Setelah tiba di rumah, Renata tak mampu menahan emosinya. Tubuhnya bergetar, napasnya memburu, dan air matanya terus mengalir. Ia berlari menuju kamar ibunya, tadinya mau menumpahkan kesedihan di sana.Namun, dia melihat Kakaknya sedang duduk memandangi kain putih milik mendiang Aminah."Teh!" Renata terisak, suaranya serak oleh kesedihan yang menyesakkan dada. "Ibu... Ibu hilang! Jenazahnya tidak ada!"Leha terdiam sejenak, wajahnya yang pucat menegang. "Apa maksudmu? Hilang?!" tanyanya dengan nada tak percaya.Renata mulai menjelaskan, meski kalimatnya tak beraturan. Ia bercerita bagaimana jenazah ibu mereka menghilang dari liang lahat, diiringi suara tawa mengerikan dan keanehan yang tak masuk akal.Mata Leha menyala oleh emosi. Ia melompat dari tempat duduknya, membuka pintu kamar dengan kasar, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Juju, nenek mereka, yang sedang duduk di ruang tengah bersama Sastra, kaget melihat cucunya melintas dengan penuh amarah."Leha! Mau ke man
Bab 37Renata dan Dede yang terguncang berusaha bangkit, tetapi kakinya lemas. "Ibu? Ibu kemana?" teriak mereka dengan suara terbata, tubuh terasa sangat lelah dan terhimpit oleh rasa takut yang mendalam.Tak jauh dari sana, sesosok bayangan tampak melintas dengan cepat, seperti sesuatu yang menunggangi angin. Beberapa orang di bisa merasakan kehadiran makhluk asing, seolah sesuatu yang sangat kuat tengah mengawasi mereka."Ini... bukan kebetulan," pikir Juju dalam hati. "Ini adalah perbuatan mereka... makhluk-makhluk itu."Taryo mencoba tenang, namun ia tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya."Nak... kita harus pulang. Ini bukan tempat yang aman," katanya, namun suara ketakutannya tak bisa ia sembunyikan.Para kerabat yang hadir tampak panik. Mereka semua mulai menjauh dari liang kubur, mencoba untuk lari dari tempat itu. Keanehan ini tidak hanya menyerang Keluarga duka, namun semua orang yang ada di sana merasakan adanya kekuatan yang tak kasat mata.T
Bab 36. Aminah menoleh, tapi dia tidak berbicara apa pun."Ibu, ayo. Nanti Ibu kecapean," paksa Leha.Berkali-kali Leha memaksa, karena Aminah cuma diam dan terus berjalan, setelah menatap Leha."Ibu, jangan kaya gitu. Leha gak tega kalau harus pulang sendiri. Padahal ibu kerepotan," paksa Leha sekali lagi.Aminah menggeleng pelan, dengan sorot mata redup tapi tajam. Bahkan tangannya sedikit terangkat, menandakan penolakan.Leha terdiam, ada rasa merinding melihat tatapan ibunya."Yaudah, kalau gitu Leha pulang duluan ya Bu."Aminah tidak merespon. Yang Leha lihat Aminah terus berjalan sambil menenteng kresek besar, yang kelihatannya terasa berat.Dalam perjalanan pulang, Leha berpikir. Mungkin ibunya tidak mau diajak, karena takut bau amis darah dari pembalut mengotori motor, atau membuat Leha tidak nyaman. Dia berpikir positif saja.###Ketika Leha tiba di rumah, suasana sudah berubah mencekam. Banyak orang berkerumun di halaman, beberapa bahkan menangis histeris."Bendera kuning?"
Bab 35 Leha mendengarkan dulu suara speaker masjid yang memberitahu ada orang meninggal. Tenyata itu anak dari salah satu tetangganya. Leha tahu dia seorang gadis."Jangan-jangan... ulah Nyi Kukun," gumam Leha. "Aku harus bersikap biasa saja," lanjutnya.Saat perjalanan menuju sekolah, Leha dihentikan seorang tetangga yang tergesa-gesa. Wanita itu, seorang kerabat dari orang yang meninggal di kampung mereka, tampak panik dan bingung.“Leha, tolong! Bisa antar aku ke rumah ibumu? Jenazah keluargaku keadaannya... sangat mengerikan,” ujarnya dengan suara gemetar.Leha menelan ludah, bingung harus bagaimana. Ia sudah terlambat menuju sekolah, tetapi tetangga ini memohon dengan begitu mendesak.“Tapi, Bu, saya harus ke sekolah...” jawab Leha ragu.“Saya nggak tahu harus minta tolong siapa lagi. Ibumu kan biasanya yang tahu cara menangani jenazah seperti ini,” katanya lagi, hampir menangis.Leha merasa serba salah. Akhirnya ia mengalah. “Ya udah. Baik, Bu. Ayo, saya antar ke rumah.”Sepanj
Bab 34 "Teteh, Renata mah kayanya gak sanggup deh, harus dzikir sebanyak ini," keluh Renata, yang berada i kamar Leha. "Semampunya aja Rena. Syukur-syukur kamu usahakan. Sambil membiasakan rajin ibadah. Selama ini kamu kan ...," goda Leha pada adiknya. "Iya-iya, Rena sadar. Kalau sekarang kan ada Teteh. Jadi kaya beda aja gitu suasana, Rena pasti bisa kebawa rajin kaya Teteh." "Ya udah, sana. Fokuslah. Semakin kita dekat sama Allah, bukan tentang menghadapi makhluk-makhluk gaib saja, kita sanggup lebih kuat dari mereka. Tapi, buat diri kita juga jadi serba lancar untuk mencapai keinginan." Rena mengangguk. Dia paham dan ngena sekali, nasihat yang disampaikan Kakaknya. ### Sejak azan Magrib berkumandang, Leha memutuskan untuk tidak keluar kamar. Ia memusatkan seluruh pikirannya pada dzikir, salat sunah, dan doa-doa yang diajarkan oleh Kiyai Soleh. Hatinya terasa lebih tenang, meski masih ada rasa was-was yang mengintai. Sementara itu, di kamarnya, Juju duduk bersemedi de
Bab 33 Tempat BidanSetelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lancar, Leha dan Aminah akhirnya sampai di tempat bidan. Suasana klinik kecil cukup sepi sore itu, sehingga mereka langsung mendapat giliran.Bidan Ida, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat, memeriksa Aminah dengan teliti. Ia menggunakan alat ultrasonografi sederhana untuk memastikan kondisi kandungan Aminah. Setelah beberapa menit, wajahnya tampak serius."Gimana Bu Bidan? Kandungan Ibu saya baik-baik saja?" tanya Leha, antusias. Bidan yang melihat Leha begitu antusias, merasa terharu dan kagum. Seorang anak yang begitu peduli pada ibunya. Bidan Ida bisa merasakan perasaan Aminah yang sebenarnya tidak nyaman jika kandungannya diperiksa. Dapat dirasakan dari raut muka Aminah dan beberapa interaksi saat diperiksa. “Neng dan Ibu Aminah,” kata Bidan Ida dengan nada hati-hati. “Ada sedikit kelainan dalam kehamilan ini.”Leha yang duduk di samping ibunya langsung menegang. “Kelainan apa, Bu Bidan?”“Usia kandung