Bab 14 Namun tiba-tiba, tubuh Eceu bergerak dengan kaku, wajahnya yang semula ramah berubah drastis. Matanya menatap tajam ke arah Leha, kosong dan hitam pekat. Tubuhnya bergoyang-goyang aneh, dan Leha mulai mendengar suara cekikikan pelan dari mulut Eceu yang semakin lama semakin menyeramkan. “Lehaaa…” panggil suara itu, namun kali ini terdengar bukan dari mulut Eceu, melainkan dari berbagai arah, seperti datang dari pepohonan di sekitarnya. “Kenapa buru-buru, Neng? Kamu kan ingin tahu... tentang kampung ini, iya kan?” Leha semakin ketakutan, kakinya terasa lemas, tetapi naluri bertahannya lebih kuat. Dengan sisa keberanian yang ada, ia langsung berbalik dan berlari secepat mungkin, tanpa menoleh lagi ke arah Eceu. Suara cekikikan itu terus mengejarnya, bergema di sepanjang jalan yang semakin sunyi dan gelap. “Lehaaa… Kamu gak bisa lari dariku…” suara itu kembali memanggil, semakin keras dan menggema. Leha berlari dengan napas terengah-engah, bahkan beberapa kali hampir tersandu
Bab 15 Leha memandang Ibu dan neneknya. Dia sedikit mengentakkan kaki dan beranjak dari sana. Leha bukan kesal pada kedua orang tuanya, tapi kesal dengan keadaan. Keluarga dan kampungnya sudah tak setenang dulu. *** Setelah membersihkan diri, Leha membawa air hangat di baskom, kapas serta Betadine. Dia masuk ke kamar Renata. “T-teh, kenapa?!” tanya Renata dengan wajah panik. Renata sebenarnya tahu dari tadi, kedatangan Leha dengan ketakutan ke rumah. Namun, tak berani ke luar untuk menyimak gabung dengan ibu dan Nininya. “Teteh mau tidur di sini,” ucap Leha, sembari menaruh bawaannya di atas meja belajar adiknya. “Dede juga mau tidur sini,” seru Dede yang tiba-tiba muncul. “Lah, kocak. Kamu cowok mau gabung kita,” ucap Renata. Kurang setuju kalau Dede ikut gabung. “Gak papa Ren, biar makin rame. Itu juga kalau Dede mau tidur di bawah, di kasur lipat.” Leha menawarkan pada Dede. “Hem... Iya-iya. Aku tidur di bawah gak papa,” ucap Dede, sambil membawa kasur lipat yang ada di
Bab 16 Leha kini bertindak seperti detektif, lebih waspada, cermat mengamati, dia bersikap seperti itu untuk menyelamatkan keluarganya. “Aminah, lihat Ibu, Nak! Kamu masih sanggup ‘kan?” tanya Juju dengan nada ketakutan. “Aku… aku nggak tahu, Bu,” sahut Aminah dengan suara lemah.Tubuh wanita paruh baya yang mengenakan daster lusuh, terus memegangi perutnya sambil sesekali mementingkan badan. Seakan-akan ada yang mengoyak isi perutnya secara brutal.Sementara itu, Leha masih mengenakan mukena ketika keluar dari kamar. Ia ingin menghampiri ibunya yang terdengar seperti sedang sakit parah. Suara Juju, terdengar histeris, begitu panik menghadapi kondisi Aminah yang semakin lemah. Namun, saat Leha baru saja membuka gorden kamarnya, Renata tiba-tiba muncul dan memanggilnya.“Kak, jangan lihat kondisi Ibu. Biarin Nenek yang urus,” ujar Renata buru-buru, matanya penuh kecemasan.Leha mengernyit, merasa heran. “Kenapa? Ibu sakit, kan? Masa kita nggak kasihan sama Ibu?” tanyanya lirih, mera
Bab 17Sore itu, tepat pukul tiga, Leha pulang mengajar dengan langkah tergesa. Hari ini terasa panjang, dan beban pikirannya belum terangkat sepenuhnya sejak ia tiba di desa ini. Ia baru saja menginjakkan kaki di beranda rumah ketika tiba-tiba hidungnya menangkap aroma melati yang menyengat. Bau itu seolah memenuhi seluruh ruangan, mengalir dari ruang tengah hingga ke setiap sudut rumah.“Bau banget melatinya," gumam Leha. "Bu!” Leha berseru lantang, memecah kesunyian. "Ke mana sih orang-orang," ujar Leha. "Ni, Aki...!" lanjut Leha, memanggil Kakek dan Neneknya.Suara berat Ki Sastra, segera terdengar dari arah dapur. “Leha, jangan berteriak begitu. Nini mu bisa kaget. Kau tahu dia punya penyakit jantung, kan?” Teguran itu meluncur tajam, membuat Leha mendengus tak puas.“Ah, Aki ini, masa iya Nini punya penyakit jantung? Seingat Leha, keluarga kita nggak punya riwayat penyakit jantung,” balas Leha tak percaya. “Dan lagi, Nini sehat-sehat aja. Kalau ada yang berteriak, bukan berarti
Bab 18 "Aku tahu kamu siapa," gumam Leha hampir tak terdengar. Dia mengambil ponselnya, dihubunginya nomor Jaya. Tidak aktif. Mungkin Jaya sedang dalam tugas serius. Leha selalu berpikir positif pada kekasihnya itu. "Aku kirim pesan aja," gumam Leha. 'Kang, nanti malam jemput Leha ke rumah ya. Ada yang mau Leha obrolin.' 'Hihihi ... jangan macam-macam...' "Siapa?!" Seketika Leha berteriak lagi. Netranya menyapa seluruh ruang kamar. Kali ini suara desisan yang memenuhi telinga Leha, diiringi suara kikikan melengking.###Pukul lima sore, Leha menemui kakeknya yang berada di belakang rumah, tepatnya bersama ayam-ayam yang sedang dikasih pakan."Aki!" seru Leha.Sastra menoleh, dia melambaikan tangan. Sastra ingat, pasti cucunya mau membicarakan yang tadi."Boleh?" tanya Leha, ragu. Dia masih berada diambang pintu.Sastra mengangguk. Setelah itu memberikan ayam-ayam pakan lagi. "Katakanlah," ucapnya, setelah dia merasa Leha berada di dekatnya.Sebelum bicara, Leha celingukan. Dia
Bab 19 Ada rasa cemas pada diri Leha, melihat Juju begitu bereaksi mendengar Jaya datang. Apa yang akan dilakukan neneknya? Itu yang dipikirkan Leha. Dia juga melihat pada ibunya, seakan mencari jawaban atau meminta bantuan. Aminah menggeleng dengan sedikit senyum, kemudian dia mendekat pada Leha, mengusap tangannya dengan sedikit anggukan, yang berarti jangan khawatir. Semua akan akan baik-baik saja. "Duduk, Nak Jaya." Leha yang masih di belakang, mendengar suara neneknya yang meminta Jaya duduk. "Ada yang mau Nini bicarakan. Ini sangat serius." "Tentang apa, Ni?" Jaya menjawab biasa saja. Dia tidak tahu bahwa di rumah itu sedang tegang. Leha mengajak ibunya untuk ke depan, bergabung bersama Juju dan Jaya. "Kalau maneh benar-benar bogoh ka Leha, nikahi dia segera," pinta Juju, dengan suara seraknya yang khas tapi misterius. ( Maneh = Kamu. ) ( Bogoh = Cinta ) Jaya terkejut, tapi bukan dia saja. Leha dan ibunya yang baru muncul ikut terkejut dengan permintaan J
Bab 20 Di Tempat Nasi Goreng LanggananAngin malam terasa menusuk tulang. Jaya dan Leha duduk di bangku kayu, di bawah lampu jalan yang temaram. Penjual nasi goreng sibuk di wajan, sementara Leha menatap kosong ke meja."Neng Leha, jangan khawatir. Akang udah konsultasi sareng Kiayi, guru ngaos Akang di pasantren." Jaya bicara dengan nada yakin. "Kiayi bilang, kudu ada ruqyah di rumah itu. Kukun gak bisa dibiarkan terus-terusan, neror keluargamu."( Sareng = Dengan )( Ngaos = Ngaji)Leha mengangkat kepalanya, wajahnya bingung. "Ruqyah? Tapi, apa bisa, Kang? Kalau benar itu warisan, apa mungkin bisa diputus begitu saja?"Jaya menatap Leha dalam-dalam, menggenggam tangannya di atas meja. "Bisa, Neng. Tapi kita harus berani. Kiayi juga bilang, perjanjian dengan hal kayak gitu harus diakhiri dengan niat tulus. Jangan pernah ragu."Leha menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu, keputusan ini bukan perkara kecil. "Terus kata akang kemarin punya rencana? Apa itu? Kan akang tahu, justru Kukun
Bab 21.Dengan tatapannya yang tajam, tiba-tiba Jaya tersenyum tipis, menyingkirkan tangan Leha dari wajahnya dengan lembut. "Neng, Akang cuma lagi mikir. Kamu itu luar biasa, tahu? Akang gak nyangka Neng bisa seberani ini. Biasanya kan suka ragu sama keputusan besar."Leha tersipu, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. "Ih, Akang mah bisa aja. Ini bukan soal berani atau enggak, tapi Leha gak mau terus-terusan hidup di bawah bayang-bayang Nyi Kukun. Hidup Leha, hidup keluarga Leha, harus bebas."Jaya menatap Leha dengan bangga. "Nah, itu dia. Itu yang Akang suka dari Neng sekarang. Semangat kayak gini yang bakal bikin semuanya selesai, Neng. Jangan banyak pikiran bercabang dulu. Selesaikan satu-satu."Leha mengangguk dengan senyum semangatnya. Membuat Jaya tambah gemas kalau Leha sudah bersikap manis dan energik seperti itu.Penjual nasi goreng datang membawa sepiring nasi goreng yang mengepul hangat. Jaya langsung menerima piringnya sambil mengucapkan terima kasih, lalu menyerahkan pir
Bab 39 Renata yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba mendekat dan memeluk Leha erat. Air matanya mengalir saat ia mencoba menenangkan kakaknya. "Teh, tenang, ya. Kita butuh Teh Leha. Jangan seperti ini," ujar Renata, suaranya bergetar. Dede, adik bungsu mereka, ikut bergabung dalam pelukan itu. Meskipun ia masih kecil, ia tahu keluarganya sedang menghadapi sesuatu yang besar dan menakutkan. "Teh Leha jangan marah-marah. Dede takut," gumamnya pelan. Pelukan itu membuat kemarahan Leha perlahan surut. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Suara tawa di luar sana yang tadi menggema kini perlahan mereda. Namun, keheningan itu justru terasa semakin menekan. Juju dan Sastra memandang cucu-cucunya dengan tatapan cemas. Mereka menyadari bahwa suara tawa itu tak mungkin berasal dari manusia. Namun, mereka memilih diam, tak ingin membuat keadaan semakin tegang. Tentunya saja wajah cemas yang ditunjukkan kedua lansia itu, palsu. Di sisi lain, Taryo hanya mengamati dengan bingung. I
Bab 38 Setelah tiba di rumah, Renata tak mampu menahan emosinya. Tubuhnya bergetar, napasnya memburu, dan air matanya terus mengalir. Ia berlari menuju kamar ibunya, tadinya mau menumpahkan kesedihan di sana.Namun, dia melihat Kakaknya sedang duduk memandangi kain putih milik mendiang Aminah."Teh!" Renata terisak, suaranya serak oleh kesedihan yang menyesakkan dada. "Ibu... Ibu hilang! Jenazahnya tidak ada!"Leha terdiam sejenak, wajahnya yang pucat menegang. "Apa maksudmu? Hilang?!" tanyanya dengan nada tak percaya.Renata mulai menjelaskan, meski kalimatnya tak beraturan. Ia bercerita bagaimana jenazah ibu mereka menghilang dari liang lahat, diiringi suara tawa mengerikan dan keanehan yang tak masuk akal.Mata Leha menyala oleh emosi. Ia melompat dari tempat duduknya, membuka pintu kamar dengan kasar, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Juju, nenek mereka, yang sedang duduk di ruang tengah bersama Sastra, kaget melihat cucunya melintas dengan penuh amarah."Leha! Mau ke man
Bab 37Renata dan Dede yang terguncang berusaha bangkit, tetapi kakinya lemas. "Ibu? Ibu kemana?" teriak mereka dengan suara terbata, tubuh terasa sangat lelah dan terhimpit oleh rasa takut yang mendalam.Tak jauh dari sana, sesosok bayangan tampak melintas dengan cepat, seperti sesuatu yang menunggangi angin. Beberapa orang di bisa merasakan kehadiran makhluk asing, seolah sesuatu yang sangat kuat tengah mengawasi mereka."Ini... bukan kebetulan," pikir Juju dalam hati. "Ini adalah perbuatan mereka... makhluk-makhluk itu."Taryo mencoba tenang, namun ia tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya."Nak... kita harus pulang. Ini bukan tempat yang aman," katanya, namun suara ketakutannya tak bisa ia sembunyikan.Para kerabat yang hadir tampak panik. Mereka semua mulai menjauh dari liang kubur, mencoba untuk lari dari tempat itu. Keanehan ini tidak hanya menyerang Keluarga duka, namun semua orang yang ada di sana merasakan adanya kekuatan yang tak kasat mata.T
Bab 36. Aminah menoleh, tapi dia tidak berbicara apa pun."Ibu, ayo. Nanti Ibu kecapean," paksa Leha.Berkali-kali Leha memaksa, karena Aminah cuma diam dan terus berjalan, setelah menatap Leha."Ibu, jangan kaya gitu. Leha gak tega kalau harus pulang sendiri. Padahal ibu kerepotan," paksa Leha sekali lagi.Aminah menggeleng pelan, dengan sorot mata redup tapi tajam. Bahkan tangannya sedikit terangkat, menandakan penolakan.Leha terdiam, ada rasa merinding melihat tatapan ibunya."Yaudah, kalau gitu Leha pulang duluan ya Bu."Aminah tidak merespon. Yang Leha lihat Aminah terus berjalan sambil menenteng kresek besar, yang kelihatannya terasa berat.Dalam perjalanan pulang, Leha berpikir. Mungkin ibunya tidak mau diajak, karena takut bau amis darah dari pembalut mengotori motor, atau membuat Leha tidak nyaman. Dia berpikir positif saja.###Ketika Leha tiba di rumah, suasana sudah berubah mencekam. Banyak orang berkerumun di halaman, beberapa bahkan menangis histeris."Bendera kuning?"
Bab 35 Leha mendengarkan dulu suara speaker masjid yang memberitahu ada orang meninggal. Tenyata itu anak dari salah satu tetangganya. Leha tahu dia seorang gadis."Jangan-jangan... ulah Nyi Kukun," gumam Leha. "Aku harus bersikap biasa saja," lanjutnya.Saat perjalanan menuju sekolah, Leha dihentikan seorang tetangga yang tergesa-gesa. Wanita itu, seorang kerabat dari orang yang meninggal di kampung mereka, tampak panik dan bingung.“Leha, tolong! Bisa antar aku ke rumah ibumu? Jenazah keluargaku keadaannya... sangat mengerikan,” ujarnya dengan suara gemetar.Leha menelan ludah, bingung harus bagaimana. Ia sudah terlambat menuju sekolah, tetapi tetangga ini memohon dengan begitu mendesak.“Tapi, Bu, saya harus ke sekolah...” jawab Leha ragu.“Saya nggak tahu harus minta tolong siapa lagi. Ibumu kan biasanya yang tahu cara menangani jenazah seperti ini,” katanya lagi, hampir menangis.Leha merasa serba salah. Akhirnya ia mengalah. “Ya udah. Baik, Bu. Ayo, saya antar ke rumah.”Sepanj
Bab 34 "Teteh, Renata mah kayanya gak sanggup deh, harus dzikir sebanyak ini," keluh Renata, yang berada i kamar Leha. "Semampunya aja Rena. Syukur-syukur kamu usahakan. Sambil membiasakan rajin ibadah. Selama ini kamu kan ...," goda Leha pada adiknya. "Iya-iya, Rena sadar. Kalau sekarang kan ada Teteh. Jadi kaya beda aja gitu suasana, Rena pasti bisa kebawa rajin kaya Teteh." "Ya udah, sana. Fokuslah. Semakin kita dekat sama Allah, bukan tentang menghadapi makhluk-makhluk gaib saja, kita sanggup lebih kuat dari mereka. Tapi, buat diri kita juga jadi serba lancar untuk mencapai keinginan." Rena mengangguk. Dia paham dan ngena sekali, nasihat yang disampaikan Kakaknya. ### Sejak azan Magrib berkumandang, Leha memutuskan untuk tidak keluar kamar. Ia memusatkan seluruh pikirannya pada dzikir, salat sunah, dan doa-doa yang diajarkan oleh Kiyai Soleh. Hatinya terasa lebih tenang, meski masih ada rasa was-was yang mengintai. Sementara itu, di kamarnya, Juju duduk bersemedi de
Bab 33 Tempat BidanSetelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lancar, Leha dan Aminah akhirnya sampai di tempat bidan. Suasana klinik kecil cukup sepi sore itu, sehingga mereka langsung mendapat giliran.Bidan Ida, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat, memeriksa Aminah dengan teliti. Ia menggunakan alat ultrasonografi sederhana untuk memastikan kondisi kandungan Aminah. Setelah beberapa menit, wajahnya tampak serius."Gimana Bu Bidan? Kandungan Ibu saya baik-baik saja?" tanya Leha, antusias. Bidan yang melihat Leha begitu antusias, merasa terharu dan kagum. Seorang anak yang begitu peduli pada ibunya. Bidan Ida bisa merasakan perasaan Aminah yang sebenarnya tidak nyaman jika kandungannya diperiksa. Dapat dirasakan dari raut muka Aminah dan beberapa interaksi saat diperiksa. “Neng dan Ibu Aminah,” kata Bidan Ida dengan nada hati-hati. “Ada sedikit kelainan dalam kehamilan ini.”Leha yang duduk di samping ibunya langsung menegang. “Kelainan apa, Bu Bidan?”“Usia kandung
Bab 32Bu Aminah terlihat masih menenangkan diri setelah kakek Sastra mengeluarkan celetukannya. Wajah tua lelaki itu masih menyiratkan amarah, tapi ia bersedia mengikuti permintaan Aminah untuk masuk dan duduk di ruang tamu.Pak Marwan, yang masih berdiri di teras, memutuskan menunggu hingga Leha dan Renata siap. "Saya tunggu di sini saja, Bu. Sekalian antar mereka ke sekolah. Lagipula motor Leha masih di rumah, biar dia nggak kecapekan kalau harus bawa motor sendiri.""Kecapean? Em, maksudnya? Leha, kamu gak kenapa-kenapa bukan?" Aminah panik. Dia memeriksa beberapa bagian tubuh anaknya."Ibu, Leha nggak papa. M-maksud, ayahnya Kang Jaya, biar sekalian berangkat. Semalam ada acara di rumah Kang Jaya. Kami semua tidur malam." Leha sedikit gugup menjelaskan."Benar Bu. Keluarga A Jaya baik dan perhatian sekali. Takut kelelahan karena kurang tidur, jadi gak boleh bawa motor sendiri. Kata Ibunya A Jaya, bahaya." Renata menambah, supaya ibunya yakin.Aminah mengangguk pelan, “Oh, begitu
Bab 31Pagi yang tenang di rumah Jaya.Suara lantunan doa Subuh memenuhi ruang tamu. Leha dan Renata baru saja selesai salat berjamaah bersama keluarga Jaya. Mereka lalu duduk sejenak, menikmati ketenangan pagi sebelum bergerak ke dapur.“Leha, Renata, kalian mau tidur lagi gak papa. Ini masih pagi banget. Biar energi kalian pulih, sebelum pulang," ucap Bu Sifa. “E- enggak Bu. Saya udah baik-baik aja kok,” jawab Leha sambil tersenyum tipis, meski masih terlihat lelah. "Yaudah, yang penting kamu nyaman di sini ya. Nanti kalau mau apa-apa ambil sendiri aja ya. Gak usah canggung." "Iya, Bu. Makasih." Bu Sifa kemudian pergi ke dapur. Meski tugasnya Mbak, tapi Bu Sifa tidak selalu mengandalkan pembantu. Kemudian Renata menggamit tangan tetehnya, mengajak untuk segera ke dapur. "Ayo Teh, kita ke dapur aja. Malau kalau santai-santai." Leha juga merasakan hal yang sama. Meski Bu Sifa pasti maklum dengan keadaan Leha, tapi dia udah cukup segar untuk beraktivitas. Di dapur, suasana mulai