Home / Horor / Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan / Suara dari Kegelapan

Share

Suara dari Kegelapan

Bab 4

Keesokan harinya;

Setelah empat tahun mengenyam pendidikan di kota, menjadi seorang mahasiswa keguruan, Saleha akhirnya kembali ke kampung halamannya, Kahuripan. Saat dia turun dari angkot, langit senja tampak diselimuti mendung tipis. Angin dingin menyapu tubuhnya, membawa perasaan yang aneh—suasana kampungnya terasa berbeda, mencekam.

Di sepanjang jalan yang pernah begitu ia kenali, ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Tatapan warga yang menyapanya terasa kosong, meskipun bibir mereka tersenyum. Semua terasa terlalu diam, terlalu tenang, seolah menyembunyikan sesuatu di baliknya.

“Leha? Ih ... Kamu leha ‘kan?” Seseorang menyapa. Dia adalah Mak Atih, yang biasanya jam segini baru dari rumah, habis istirahat.

“Iya, Mak. Apa kabar?” jawab Leha.

“Sae. Emak sae. Syukur kamu pulang.”

“Mak, kok kampung kita kaya beda ya, Mak?”

“Ah, beda kumaha?”

“Em...” Leha celingukan, di mengusap tengkuknya pelan. “Kaya beda aja Mak. Jadi lebih sepi, terus ...” Leha tidak bisa menggambarkan perasaan selanjutnya. Susah diungkapkan.

“Udah lama banget ya nggak pulang?” tanya Mak Atih, kemudian dilanjutkan dengan suara agak berbisik. “Biasa aja Leha. Kampung ini gak ada yang berubah. Hayu ah, Emak mau ke kebon lagi.”

“Iya, Mak,” jawab Saleha, sedikit ragu.

Leha melanjutkan langkahnya. Dia memperhatikan wajah-wajah yang berpapasan, mencari kehangatan yang dulu selalu ia rasakan di kampung halamannya, namun kini semua terasa asing. Ada yang salah di kampung ini. Pikirannya bergemuruh, tapi ia memilih menyimpan kegelisahannya, berusaha menganggap semua hanya perasaannya saja.

Saat tiba di rumah, suasananya tak kalah suram. Pintu kayu yang tua itu berderit pelan saat ia dorong. Udara di dalam rumah terasa pengap, berbeda dengan kenangan masa kecilnya yang selalu dipenuhi kehangatan. Ada aroma masakan, tapi entah kenapa terasa aneh, seolah tak lagi menggoda selera seperti dulu.

“Assalamualaikum...!”

“Ibu! Leha pulang!” suaranya menggema di antara dinding yang terasa begitu sunyi.

Namun, di balik ketenangan itu, malapetaka sudah menunggu. Tanda-tanda itu sudah Leha rasakan, tapi belum dia sadari.

Sastra, kakek Leha tergopoh dari belakang rumah, “Oi ... Cucu Aki pulang. Sama siapa kamu, Cu?”

“Sendiri Ki. Emang harus sama siapa?” tanya Leha, setelah mencium tangan kakeknya.

“Ya, Aki pikir sama Jaya. Anak itu kemarin baru dari sini. Gak ngasih tahu apa-apa kalau kamu mau pulang.”

“Leha sengaja Ki, kejutan. Hehe,” ucap Leha dengan tawa kecil. “Kok sepi Ki?” lanjutnya.

“Iya, jam segini masih pada di luar. Kalau ayahmu, dia gak akan pulang selama seminggu.”

“Dapat proyek?” tanya Leha.

“Iya. Baru berangkat kemarin.”

Sambil mengambil air minum, Leha terus berbincang dengan kakeknya yang sepertinya dia juga kelelahan. Dilihat dari napas berat dan butiran bening di sekitar pelipisnya. Ki Sastra baru pulang dari ladang.

Kokorrrrrkk!

Kokkkooorkkk!

“Suara apa itu, Ki?”

“Aduh! Bentar ya Leha. Aki lupa, sedang kasih makan ayam.” Ki Sastra setengah berlari menuju lahan di belakang rumah.

Leha merasa heran, “Sejak kapan di rumah ini piara ayam,” gumamnya. “Ibu paling tidak suka dengan kotoran ayam, bau pakan dan suara-suara berisik ayam. Apalagi kalau udah bersahutan. Juga capek bersihkan kotoran ayam yang ee sembarangan.”

Leha pergi ke kamarnya di lantai dua, dia langsung bersih-bersih kamar. Meski kamar itu pasti sudah dibersihkan, tetap saja rasanya tidak nyaman kalau tidak bersih-bersih dulu.

Beranjak sore, semua orang berkumpul, mereka melepas rindu dan berbagi cerita dengan Leha. Kecuali, Pak Taryo yang sedang ada panggilan untuk mengerjakan bangunan di kota. Pak Taryo adalah kuli bangunan yang jujur dan amanah, Alhamdulillah tidak pernah sepi panggilan kerjaan, karena cara bekerjanya yang jujur dan selalu rapi.

Tidak ada keanehan di sana, situasinya aman terkendali. Meski pun sebelumnya Renata penasaran dengan apa yang dilihatnya dua hari lalu di pasar. Dia ingin menanyakan pada kakaknya. Namun, Aminah sudah mewanti-wanti Renata untuk tidak membahas hal itu.

Renata pun menuruti ibunya, sebab dia juga mengalami beberapa kejadian ganjil. Hingga tidak banyak tanya pada ibunya, alasan tidak boleh menanyakan hal tersebut.

***

Baru sehari Leha di rumah, kejadian buruk tiba. Lisna, adik bungsunya meninggal dunia. Keheningan berubah menjadi kesedihan mendalam. Tahlilan digelar malam itu juga, para tetangga datang berbondong-bondong, memenuhi ruang tamu yang kini terasa begitu sesak dengan duka.

Saat duduk di antara para tamu, Saleha merasa ada sesuatu yang ganjil. Suasana yang penuh doa itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara ayam dari belakang rumah. Suara itu bukan sekadar kokokan biasa—ada nada aneh, seolah ayam-ayam itu berteriak ketakutan. Jantung Saleha berdetak lebih cepat.

Dia melirik ke arah ibunya yang duduk di sebelahnya, wajah Aminah tetap datar, matanya terfokus pada doa. Tak satu pun dari para tamu yang tampak terganggu. Tapi suara ayam itu semakin berisik, begitu menyiksa telinganya.

“Ibu, kok ayam di belakang ribut banget, ya?” bisik Saleha, mencoba tidak terlalu menarik perhatian.

Aminah hanya menoleh sebentar, lalu menggeleng pelan. “Biasa saja, Leha. Ayam memang begitu, apalagi kalau malam.”

Tapi Saleha tahu ini bukan suara ayam biasa. Ada yang salah. Suara itu semakin intens, seperti tangisan dari alam lain. Dia menoleh ke arah neneknya, Juju, yang duduk di sudut ruangan. Wajah neneknya pucat, tapi matanya berkilat, terfokus ke arah jendela yang menghadap ke belakang rumah.

Sebuah firasat buruk merayap di benaknya. Dengan gelisah, Saleha berdiri dan berjalan pelan menuju pintu belakang. Suara ayam itu semakin keras saat ia mendekat. Jantungnya berdetak cepat saat tangannya menyentuh gagang pintu. Rasa takut bercampur dengan rasa ingin tahu menguasai dirinya.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status