Share

Nyi Kukun Berulah

Bab 3

Renata tak memedulikan kepergian si bapak yang menolongnya dan keberadaan anak kecil itu yang sudah menghilang. Sepeda motornya terus melaju, tak ada beban. Namun, tak lama dia baru sadar. Ada sesuatu yang janggal. Hatinya bimbang, antara terus melaju atau berhenti karena rasa penasaran.

Akhirnya berhenti juga Renata, keningnya dikerutkan. Ingin menoleh, melihat tempat ia jatuh tadi, tapi ada rasa merinding, berdiri bulu kuduk. Meski 90% dia tidak meyakini hal-hal mistis, tapi dalam situasi ini cukup membuat tengkuknya berdesir, seperti tiupan angin berembus sejuk. Dia ingat sebuah tayangan horor dengan judul ‘Jangan Melihat Ke Belakang.’

‘Ah, bodo amat.’ Dengan seketika Renata membalik kepalanya, dia menoleh pada jalan yang telah dilaluinya. Jalan desa yang lurus, masih dominan tanah dan bebatuan.

“Aaakh!” Renata dikejutkan oleh penampakan orang gila berambut gimbal dan kulit gelap.

Orang gila itu tepat di belakang Renata, sedang diam mengamati dirinya yang sejak tadi melamun.

“Ih...! Ari kamu ngareureuwas wae. Sana pergi, hush. hush! Kaditu siah!” Renata terus mengusir orang gila itu. Selain bikin takut, aroma tubuhnya yang gak kuat, bikin isi perut terasa mau keluar.

“Tuh... tuh...kahade.” Orang gila itu menunjuk ke arah belakang Renata, dengan berjalan mundur menjauh dari gadis yang masih stay di atas motor .

“Naon sih ari kamu?! Sana pergi. Kata aku pergi! Ya, pergi!” hardik Renata.

“Kahade jurig! Jurig tuh! Jurig tuh! Awewe!” kata orang gila itu lagi, sebelum dia benar-benar pergi sambil ketawa-ketawa dan ngoceh sendiri. Seperti menertawakan dan ngatai Renata yang gak percaya dengan peringatannya.

Akan tetapi, Renata saat ini jadi terpengaruh ucapan si orang gila itu. Konon katanya, orang gila adalah manusia yang begitu dekat dengan makhluk halus. Dari penglihatan, alam bawah sadar, sampai bisa berinteraksi dengan para makhluk astral.

Renata mengusap tengkuknya perlahan, “Aduh... kok jadi tambah dingin gini sih,” gumamnya.

Maksud Renata, tubuhnya mendadak merasa sejuk, padahal panas terik. Diibaratkan, terasa dingin tapi berkeringat. Beberapa kali kepalanya digelengkan, menepis keanehan yang dia alami. Motornya kembali melaju, ke pasar sesuai perintah ibunya.

Sampai di pasar, Renata bingung harus belanja di jongko/tempat yang mana. Tukang sayur berjejer banyak, begitu pun penjual ayam berderet. Tiba-tiba...

“Hei sini!” seorang penjual ayam memanggil Renata sambil melambaikan tangannya. “Kamu anaknya Bu Aminah kan? Sini, beli di tempatku. Biasanya Bu Aminah kalau beli ayam di sini. Nanti saya kasih bonus deh, tenang aja.”

Renata yang merasa kebingungan, ngikut saja apa kata penjual itu. Yang penting perintah ibunya beres. Beberapa tempat jualan bahan makanan yang dibutuhkan Renata, terjadi hal yang sama. Para penjual itu memangilnya dan memberikan bonus.

“Wah ... Jadi ibu enak juga ya. Belanja dengan uang sedikit, bisa dapat banyak banget gini,” gumam Renata sambil mengangkat agak tinggi hasil belanjaannya.

Renata kembali pada motornya untuk pulang, tapi saat baru saja beberapa meter motor itu melaju, dia melihat seseorang yang dikenalnya.

“Hey... Teteh?! Teh Leha!” teriak Renata berkali-kali.

Namun, yang dipanggilnya tak menoleh. Akhirnya Rena langsung pulang saja. Toh nanti ketemu di rumah, itu pikirnya.

###

Sesampainya di rumah, dengan antusias Renata menceritakan kejadian di pasar tentang para penjual yang baik hati, memberi bonus padanya. Dan juga dia menceritakan bertemu kakaknya, Leha dan teman-temannya. Itu berarti Leha pulang tidak sendiri.

“Sebentar, ada yang aneh. Mereka semua tahu kamu anak ibu?” tanya Aminah, langsung diangguki Renata.

“Em, mereka memanggil ibu dengan sebutan Bu Aminah?” tanya Bu Aminah lagi dan juga diangguki Renata.

Bu Aminah terdiam sejenak. Dia juga berpikir tentang Leha dan teman-temannya berada dilingkungan pasar. Padahal Leha kemarin bilang akan pulang lusa, berarti besok seharusnya.

“Ada apa, Bu?” tanya Renata. Dia jadi ikut bingung melihat gelagat aneh ibunya.

“Gak apa-apa. Ibu Cuma bersyukur aja. Mungkin karena mereka kasihan dan sayang sama anak baik seperti kamu. Mau disuruh ibu. Jadi banyak kasih bonus,” jawab Aminah berbohong. “Tapi ibu jadi gak enak, mereka terlalu baik,” lanjutnya.

“Hehe, itu kan karena ibu sering bantu warga ngumpulin pembalut. Jadi mereka juga merasa hutang budi. Ya ‘kan?” ucap Renata, membesarkan hati ibunya. Tumben dia bersikap bijak, itu karena dia telah dipuji ibunya juga.

Aminah hanya mengangguk dan mengusap lengan anaknya, tanda terima kasih. Aminah kemudian membawa barang belanjaan itu ke dapur. Namun, sebelumnya menitipkan Lisna – anak bungsunya – pada Renata.

“Aki sama Nini belum pulang emang, Bu?” tanya Renata. Dia sebenarnya malas kalau suruh jaga anak kecil.

Aminah hanya menggeleng. Terus melangkah ke dapur. Sambil melakukan aktivitas di dapur, Aminah terus berpikir. Pedagang-pedagang itu pasti mereka – Nyi Kukun – yang merasuki tubuh para pedagang dan mengendalikannya.

“Warga di sini, termasuk orang-orang pasar memanggilku Emak. Leha juga tidak mungkin pulang langsung ke pasar. Bis dari kota jalurnya langsung ke sini, kalau ke pasar dulu jalurnya berbeda dan ganti angkot dua kali kalau dari jalur jalan utama,” gumam Aminah.

Dia merasa sudah Lelah dengan tradisi ini, warisan nenek buyutnya yang aneh. Dapatkah semua diakhiri?

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status