Share

Mak Aminah

Bab 2

“Eh, em, m-maksud saya, anak ini perempuan ya?” Aminah gugup, takut ucapan yang pertama didengar oleh ibu muda yang masih berada di hadapannya.

“Iya. Alhamdulillah perempuan. Yang diingkan A Dasep,” jawab Mentari, ibu muda tersebut.

“Em, kalau gitu... ada kan ya?” tanya Bu Aminah seperti memberi kode.

“Aduh, saya lupa. Langsung saya bersihkan. Asli, Mak, saya teh gak inget. Kebiasaan Cuma kalau haid ngasihnya. Gimana ini ya? Gak papa kitu?” terlihat guratan panik di wajah mentari.

Aminah terlihat berpikir, darah nifas yang seharusnya ia dapatkan dari Aminah, tak ada. Jika hal ini diketahui Nyi Kukun piaraannya, sudah dapat dipastikan anak yang baru lahir itu tidak akan selamat.

“Gimana, Mak? Aku jadi takut, nIh. Bantu saya atuh, Mak.”

Aminah membuka sendalnya, tanpa mengatakan apa-apa dia duduk di teras rumah mentari. Tatapan Aminah seperti menerawang mencari jawaban. Mentari yang semula menggendong bayinya, menarik kursi yang ada di sana, digeser dan duduk di dekat wanita paruh baya yang sudah seperti dukun di kampung itu.

Seringai tawa dari makhluk kasat mata, seakan menyerukan kemenangan, tak lama lagi mereka akan pesta.

“Mentari, boleh aku menggendong anakmu sebentar,” tanya Aminah, suaranya begitu lirih.

Wanita berdaster bunga-bunga, dengan beberapa kancing di bagian dadanya itu mengangguk agak gugup. Kemudian dia memberikan anaknya dengan hati-hati pada Mak Aminah. Dilihatnya Aminah menggendong dengan erat seperti memeluk, agak digoyang-goyangkan bayi itu seperti dinina bobokan. Kedua mata Mak Aminah memejam tenang dan sesekali terlihat bibirnya bergerak.

“Anteng nya De, ngajurung ka ibu, rama,” ucap Bu Aminah sambil mengusap kepala bayi itu, kemudian memberikan kembali pada mentari.

“Anak saya pasti aman, Mak?” tanya mentari masih dilingkupi rasa takut dan cemas.

“Yakin ya, Neng,” ucap Aminah mengusap lengan mentari seraya anggukan dan senyuman penuh dukungan. “Mak pulang ya. Gak akan ada apa-apa, kok,” lanjutnya lagi.

Mentari mengangguk sedikit lega, tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Mak Aminah.

***

Sesampainya di rumah, Aminah menaruh pembalut-pembalut yang dikumpulkannya digudang, di belakang rumah. Dia tidak bisa belanja ke pasar seperti perintah suaminya, karena sesuatu yang darurat. Langkahnya lunglai, tubuhnya seketika lemas. Lebih lemas dari hari biasanya. Aminah segera masuk ke rumah mencari Renata.

“Neng... Geulis!” panggil Aminah pada putri keduanya.

“Iya, Bu?” teriak Renata dari lantai dua. Dia sedang membersihkan kamar Saleha.

“Sini, Neng. Turun sebentar.”

Kreeet!

Kreeet!

Kreeet!

Derit tangga papan rumah Aminah, lebih tepatnya peninggalan rumah neneknya, berbunyi seperti nada dingin pada rumah tua yang sunyi. Langkah kaki Renata menambah irama ketenangan, namun horor. Mencerminkan suasana bangunan tua yang sudah layak direnovasi.

“Ih ... Aku males sebenernya harus ke kamar Kakak. Tangga ini bikin aku bete,” gumam Renata, yang hampir sampai menuruni anak tangga.

“Neng, tolong gantiin ibu ke pasar ya. Ibu capek banget. Sekalian beliin obat penambah darah.” Bu Aminah memberikan perintah pada Renata, sebelum anaknya benar-benar tepat di hadapannya.

“Ibu teh gimana, ih. Tadi suruh beres-beres kamar Teteh sama jagain Dede. Sekarang ke pasar,” protes Renata sambil mengentakkan kakinya.

“Lagian, dedenya juga dari tadi bobo. Gak cape ngasuhnya. Sok atuh cepetan, ibu gak kuat nih. Si Bapak takut keburu pulang.”

Renata yang sebenarnya gadis manja dan sering membangkang, tapi melihat kondisi ibunya, dia tidak tega juga.

“Iya udah atuh, sini. Mana uangnya?” tanya Renata, sambil menyodorkan tangannya, sedangkan bibirnya masih cemberut.

Aminah melangkah pada sebuah bupet dekat televisi, mengambil uang pada sebuah dompet, kemudian pulpen dan buku untuk menulis daftar belanjaan.

“Ini. Semua udah Ibu tulis. Kamu bawah HP kan? Takutnya ada tambahan nanti.”

“Iya, Bawa. Rena berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum.”

“Hem... Hati-hati.”

Renata melirik pada ibunya yang sudah menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia heran, seingatnya jarang sekali ibunya menjawab salam, atau mengucap salam. Hampir tak pernah malah.

Beberapa saat setelah kepergian Renata, Aminah memaksakan diri ke dapur untuk sekedar minum susu khusus ibu hamil dan beberapa camilan manis, berharap energinya segera pulih. Kemudian bersih-bersih badan semampunya, sebab dia harus merawat anak bungsunya yang masih berusia 7 bulan.

Ya, Aminah baru melahirkan tujuh bulan lalu, tapi saat ini dia sudah mengandung lagi, empat bulan usia kandungan.

###

Sepeda motor matic dilajukan Renata dengan hati-hati, angin mendadak terasa lebih kencang saat hampir melewati jembatan dekat rumahnya.

“E- Eh. Awas!” motor yang dikendarai Renata, oleng.

Gubrak!

“Aduh ...” Renata mengusap sikut dan lengannya yang terasa perih dan nyeri.

“Neng! Neng Rena. Kunaon?!” bapak-bapak yang kebetulan ada di dekat kejadian, berlari menolong Renata.

“Hati-hati nya, Neng. Tadi klakson gak? Tiap lewat jembatan, kalau bawa kendaraan harus klakson atuh, Neng.” Bapak itu mengingatkan.

Renata menggeleng, dia bukan lupa peringatan itu, tapi mencoba tidak melakukannya. Menurutnya, itu adalah mitos. Apalagi siang bolong begini. Beberapa kali Renata lewat jembatan ini tanpa membunyikan klakson, aman-aman aja. Hari ini lagi apes aja.

Kemudian Renata agak mengamati sekitar, bocah yang tadi nyebrang, tapi sekarang sepertinya tidak ada.

“Itu tuh, gara-gara anak kecil tadi nyebrang sembarangan,” gerutu Renata sambil berdiri, beberapa kali tangannya dikibaskan pada beberapa bagian pakaian yang kotor.

“Makasih ya, P...” Renata menghentikan ucapannya, dia baru sadar, bapak yang menolongnya tadi sudah tidak ada. “Idih, si bapak. Ongkoh nolongin, merhatiin, tapi pergi duluan. Gimana sih?”

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status