Share

Teror Kukun Dimulai

Bab 6

“Udah, jangan dipikirin. Mungkin kamu Cuma capek,” kata Jaya sambil mengelus lembut pundak kekasihnya. “Aku pamit pulang dulu ya, besok kerja. Kamu istirahat yang cukup.”

Leha hanya mengangguk lemah. “Kang, hati-hati ya,” lanjut Leha.

“Iya... Akang udah gede. Kamu jangan over khawatir gitu, ih. Akang jadi kepikiran kalau gini.”

“Kepikiran kenapa Kang? Leha kan cuma bilang hati-hati.”

“Kamu tuh dari tadi kaya orang bingung. Tiba-tiba ngilang, terus malah lagi diem, bengong sendiri. Kamu gak mau cerita sama Akang? Ada apa?”

“E-enggak kok, Kang. Aku baik-baik aja.” Leha menjawab dengan sedikit gugup, dia belum siap terbuka sekarang pada kekasihnya. “Ya udah atuh Kang. Sok mau pulangmah. Takut keburu malem,” lanjut Leha. Dia berusaha menutupi kegundahannya.

Jaya tersenyum, kemudian menggenggam kedua tangan Leha. Diusapnya dengan lembut. “Akang pulang ya, Geulis,” ucap Jaya, kemudian pergi

( Geulis = Cantik)

***

Setelah Jaya dan para tamu pulang, Leha kembali mengamati ibunya yang duduk di kursi kayu. Aminah sibuk dengan kertas dan pena, sedang menulis daftar belanjaan.

Aminah, tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan seperti orang yang baru kehilangan anak. Wajahnya tetap datar, tanpa raut duka sedikit pun. Leha semakin resah.

“Ibu... kok nggak kelihatan sedih, ya?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Malam semakin larut. Leha mencoba tidur, tapi matanya sulit terpejam. Telinganya menangkap suara aneh—seperti ada orang yang berbisik di luar jendela kamarnya. Suara itu samar-samar, namun jelas terdengar seperti percakapan, membuat jantungnya berdebar kencang.

Dia beranjak dari tempat tidur, dilangkahkan kakinya dengan hati-hati ke arah jendela. ‘Buka jangan. Buka jangan.’ Berulang kalimat itu memenuhi kepalanya. Perintah yang mendorong keberaniannya.

“Ayo ... Ayo...,” ucapnya seperti berbisik. Tangan kanannya terangkat menyentuh tirai, tapi terlihat begitu berat. “1... 2 ... 3 ....”

Srrett!

Tirai disibak dengan cepat, tapi ditutup kembali. Leha tak melihat apa-apa. Namun, napasnya naik turun.

“Kalau aku buka lagi tirainya, terus pas ada sosok nempel di jendela ini, atau penampakan wajah, bagaimana?” Leha terus menimbang-nimbang.

Namun, suara seperti orang sedang merumpi itu masih saja mengganggu. Siapa malam-malam begini yang masih mengobrol? Kali ini Leha akan mencoba lagi, memberanikan diri, tapi dengan perlahan. Dia tidak membuka tirai, tapi hanya mengintip.

“Hah!” Leha mengucek matanya, mungkin dia salah lihat.

Dengan langkah cepat dia naik ke tempat tidur, ditariknya selimut sampai ke dada dia dalam posisi duduk di pojokan. Kemudian diraihnya ponsel yang ada di samping bantal.

“Kang, temenin aku tidur, ya,” pinta Leha, mengirim pesan pada Jaya. Wajahnya pucat, badannya seperti menggigil.

“Kamu kenapa Leha?”

“Em, Aku juga gak tahu. Mungkin gak yakin, sih.”

“Ada apa? Jangan bikin Akang kepikiran Leha. Ada masalah cerita aja.”

“I-ini tentang ibu.”

“Kenapa ibu kamu, Leha. Kamu kaya ketakutan gitu?”

Akhirnya Leha mengobrol dengan Jaya lewat panggilan telepon. Dia harap perlahan kantuk bisa datang. Terlebih mengurangi rasa takutnya. Selama mengobrol dengan Jaya, suara orang-orang yang mengobrol ditambah berisiknya suara ayam, perlahan lenyap. Entah karena fokus Leha ke Jaya, hingga melupakan kejadian aneh di halaman belakang.

“Leha, kamu kan udah lama gak pulang. Mungkin, suasana kamarmu seperti asing lagi. Sulit tidur jadinya,” ucap Jaya.

“Bisa jadi, Kang. Em, tapi ... ada yang bikin aku tidak bisa tidur, selain itu.”

“Tentang kehilangan adikmu?” tebak Jaya.

Bersambung....

Karena Leha belum pernah bertemu adiknya. Saat ibunya melahirkan Lisna, Leha benar-benar tidak bisa pulang. Lagi pula, ini bukan hal yang sangat istimewa. Ibarat, ibunya sudah biasa melahirkan, punya anak.

Namun, siapa sangka, Leha tidak bisa lama menimang adik bungsunya. Meski Leha anak pertama, dia sudah sering mendapatkan adik, tapi melihat Lisna, sepertinya berbeda. Entah karena sudah lama tak memiliki adik bayi. Jadi, meski belum bertemu, rasa sayang pada adiknya begitu besar. Terlebih, rasa penasaran. Kenapa tiba-tiba adiknya bisa meninggal.

“Leha?” tanya Jaya. “Leha? Kamu udah tidur?” lanjutnya.

***

Menelepon dengan Jaya, ternyata mempan juga mendatangkan kantuk. Namun, itu tidak lama. Sekitar pukul dua dini hari, Leha terjaga.

“Iya Bu...! Sebentar!” seru Leha, sambil menyingkirkan selimut dari tubuhnya.

Dia kemudian menuruni tangga, menghampiri Bu Aminah yang memanggil.

“Ibu di mana sih?” gumam leha, dia sudah sampai di dapur.

Rupanya Aminah tidak ada di dapur. Padahal Leha yakin sekali tadi Ibunya memanggil dari arah dapur. Tangga ke lantai dua, sangat dekat ke pintu dapur. Tidak mungkin leha salah dengar.

Leha berpikir, mungkin ibunya di kamar atau di ruang depan. “Nggak ada juga. Atau aku salah dengar?”

Langkah kakinya sedikit cepat untuk menuju kamar Aminah. Leha ingin segera membuktikan rasa penasarannya. “Ibu tidur nyenyak, kok,” gumamnya.

Rasa takut mulai merayap kembali. Leha merasa perlu menenangkan diri. Ia menuju kamar mandi, mengambil air wudu, dan berniat melaksanakan salat tahajud. Begitu ia mulai takbir, dia malah teringat apa yang dilihatnya beberapa jam yang lalu, saat sebelum menelepon Jaya untuk minta ditemani.

“Astaghfirullahaladzim...,” ucap leha dalam hati. Dia memantapkan hati, tidak boleh terganggu oleh makhluk-makhluk asing.

***

Pagi-pagi buta, Leha bangun lebih awal. Matanya mengedarkan pandangan ke seluruh rumah, mencari sosok ibunya, tapi Aminah tidak ada di mana pun—tidak di dapur, tidak di ruang tamu. Leha mulai panik.

“Bu? Di mana ibu?” serunya sambil berlari mencari ke ruangan lain.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status