Beranda / Horor / Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan / Kukun Harus Segera Diwariskan

Share

Kukun Harus Segera Diwariskan

Penulis: El Nurcahyani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-03 21:58:22

Bab 7

“Leha!” panggil Nek Juju dari kamarnya. Dia mendengar langkah kaki Leha dan suaranya yang mencari Aminah.

“Nini, ibu ke mana?” tanya Leha, di ambang pintu kamar Juju, sambil memegang gorden lusuh yang baru ia singkap.

“Tenang... Ibumu tadi bilang mau belanja buat warung,” jawab neneknya dengan suara serak, sambil bersandar di ranjangnya. “Nggak usah khawatir, biarkan saja.”

Leha menggigit bibirnya. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dihilangkan. “Nini... kenapa ayam-ayam itu nggak berhenti berisik dari semalam?”

Nenek mengerutkan kening. “Jangan ganggu ayam-ayam itu, Leha. Biarkan ibumu yang urus.”

Leha semakin heran. Sejak kapan ibunya mau mengurus ayam? Itu pekerjaan yang selalu ia hindari. Rasa takut mulai menggumpal dalam dirinya, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh.

Saat akhirnya ibunya pulang, Leha sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia berencana pergi ke sekolah SMP di desa untuk melamar sebagai guru honorer. Namun, ketika ia berpapasan dengan ibunya yang baru saja kembali dari halaman belakang, sesuatu terasa janggal.

“Ibu... bau apa ini?” Leha bertanya dengan ragu, hidungnya mencium bau anyir yang menusuk.

Aminah menoleh sekilas, tersenyum tipis. “Bau ayam, biasa saja. Gak ada yang aneh, Leha.”

Namun, Leha tahu bau ini berbeda. Bau ini bukan bau ayam biasa—ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi takut menyinggung perasaan ibunya.

“Leha, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya ibunya, suaranya datar tanpa emosi.

“Aku mau coba melamar kerja, Bu. Doain ya,” jawab Leha sambil mencoba tersenyum, meski hatinya penuh tanda tanya.

“Ya, hati-hati di jalan. Ibu doakan, sing lancar nya, Teh.”

Kemudian Bu Aminah melangkah ke luar, lebih tepatnya menuju warung yang berada di depan rumah. Dia meninggalkan Leha yang masih berdiri dengan perasaan campur aduk. Bau anyir itu masih menempel di hidungnya, memicu perasaan takut yang semakin mencekam.

###

Leha mengendarai motornya, melewati jalan-jalan kampung yang berkelok dan penuh bebatuan. Ada rasa berat di motor itu, seperti ada yang menahan lajunya.

“Hah… kenapa berat banget ya?” gumam Leha, melirik ke belakang tanpa alasan yang jelas. Jalan sepi, hanya suara angin dan gerisik daun yang terdengar. “Padahal di kota pakai motor ini rasanya enteng-enteng aja.”

Di kejauhan, anak-anak kampung terlihat berlarian tanpa alas kaki, tawa mereka menyusup ke telinga Leha dengan nada yang janggal. Suara tawa itu aneh—datar, tanpa kebahagiaan, seolah sekadar gema di tengah kesunyian.

“Mereka... harusnya di sekolah kan?” pikir Leha, bingung. “Kenapa malah di sini?”

Satu anak perempuan berhenti berlari dan menatap Leha lurus-lurus. Matanya hitam kelam, kosong, tanpa ekspresi. Leha merasa ada yang janggal, tapi ia menepis perasaan itu dan melanjutkan perjalanan dengan perasaan tak tenang.

###

Di warung, Juju sibuk membantu menata barang-barang sembako sambil menoleh ke arah Aminah yang sedang menata beras di rak. Suara berisik dari ayam-ayam di kandang belakang terdengar makin nyaring, dan Juju mengernyit.

“Aminah,” bisik Juju sambil melirik ke arah jendela, memastikan tak ada yang mendengar. “Kenapa akhir-akhir ini ayam-ayam di belakang itu ribut terus? Apa Kukun lagi marah?”

Aminah menghela napas panjang, menutup karung beras dengan tangan gemetar. “Mungkin saja, Bu. Mereka… tidak nyaman. Ada yang… mengganggu aura mereka.”

“Leha, ya?” Juju menatap Aminah tajam. “Makanya, jangan biarkan dia terlalu sering ibadah tengah malam di sini. Mereka itu nggak suka.”

Aminah menunduk, ada perasaan bersalah di balik tatapan matanya. “Saya nggak mungkin melarang dia begitu saja, Bu. Lagipula, kalau ketahuan oleh Leha, kita bisa celaka.”

Juju mengangguk paham, tapi matanya menyiratkan ketakutan yang lebih dalam. “Kalau gitu, cepat turunkan warisan kita ke dia. Biar dia tahu, ada yang harus dijaga di sini, bukan Cuma agama dan doa-doanya.”

Sebelum Aminah menjawab, suara ayam tiba-tiba melengking dari belakang rumah, seolah ada sesuatu yang meneror mereka. Juju mendengus.

“Kukun itu nggak pernah tenang kalau ada orang asing di sini, apalagi yang auranya kayak Leha itu. Jangan bikin dia marah, Minah,” desis Juju.

Aminah memejamkan mata sejenak, suaranya merendah. “Saya tahu, Bu… tapi… kita tidak bisa langsung bicara begitu saja pada, Leha. Perlahan, Bu.”

“Tentang kematian Lisna, aku yakin Leha sebenarnya bisa merasakan. Dia bukan orang polos, meski tidak satu aliran dengan kita.” Suara Juju terdengar lemah, seperti orang putus asa.

“Kalau Leha tahu tentang Lisna… tentang yang terjadi sebenarnya…” Aminah menggantungkan kalimatnya.

Wajah Juju berubah, tegang, namun datar. “Leha memang harus tahu. Kematian Lisna… memang salah kita kan?”

Aminah mengangguk perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Iya, Bu. Mereka marah waktu itu... aku nggak taat dengan aturan. Dan mereka menuntut sesuatu. Aku mengorbankan Lisna demi orang lain.”

Bu Aminah membayangkan kejadian saat dia mampir ke rumah mentari, seorang ibu muda yang baru melahirkan. Karena mentari lupa menyimpan darah nifas untuk Minah ambil, Kukun yang menguntit Aminah marah, dia meminta nyawa bayi itu, bayinya Mentari.

Namun, sebagai sesama wanita dan seorang ibu, Aminah tidak tega jika mengorbankan bayi Mentari. Apalagi itu anak pertama, mungkin sudah sangat didambakan ibu dan ayahnya, bahkan keluarga besar mereka. Maka, dalam ritualnya, perbincangan batin Aminah dan Kukun, nyawa bayi itu akan ditukar dengan Lisna. Kukun pun setuju. Aminah tak masalah, toh dia sudah memiliki beberapa anak. Meski pun tetap ada rasa sedih dan sakit kerena kehilangan.

Juju menelan ludah, tatapannya memburu. “Kita… nggak punya pilihan, Minah. Leha… dia harus tahu semua.”

Aminah terdiam, hatinya bergolak. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini pada Leha? Bahwa ada sesuatu yang gelap dan haus kekuasaan yang hidup di desa ini, sesuatu yang memerlukan pengorbanan?

Bersambung...

Bab terkait

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Teror dan Tumbal

    Bab 8 Sementara itu di tengah perjalanan, Leha tiba-tiba merasakan ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Seketika ia menghentikan motor dan menoleh. Kosong. Jalan itu sepi, tak ada siapa-siapa di belakangnya. “Hah… Cuma perasaan,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun, dari kejauhan, terdengar suara anak-anak yang tadi berlarian di jalan. Mereka tertawa lagi, tapi kali ini, suara mereka terdengar seperti bisikan yang memanggil-manggil namanya. “Kakak Leha… Kakak Leha… ikutlah… ayo ikut…” Leha merinding, suaranya bergetar ketika ia mencoba mengabaikan suara itu. “Ah, mungkin Cuma angin…” Namun, langkah kecil terdengar mendekat, dan bayangan anak-anak itu tampak berdiri di ujung jalan. Mereka tidak bergerak, hanya berdiri dengan mata yang kosong, mengawasinya. Leha menatap balik, mencoba memastikan apakah mereka benar-benar anak-anak atau hanya ilusi. Tiba-tiba, satu dari mereka melambai pelan ke arah Leha, senyum yang terpatri di wajahnya kaku dan dingin. “Kak Leha…

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Gadis Pilihan Kukun

    Bab 9 “Aminah, damang?” tanyanya, menyentuh lengan Aminah. “Sae, Ceu,” jawab Aminah dengan nada datar, mencoba menenangkan detak jantungnya. “Di mana jenazahnya?” Wanita itu menunjuk ruangan di belakang, di mana jenazah disemayamkan. “Di dalam… tapi hati-hati, Mak Aminah. Entah kenapa, dinginnya ruangan itu berbeda. Bahkan beberapa orang tadi enggan mendekat.” Aminah menarik napas panjang, menyesuaikan selendang yang melingkari punggung hingga dadanya. “Tidak apa-apa, saya udah biasa dengan hal seperti ini.” Wanita itu menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran sebelum berbalik ke arah kerumunan. Aminah lalu melangkah masuk ke dalam ruangan jenazah, setiap langkahnya seolah terasa semakin berat.### Di Ruang Jenazah Begitu memasuki ruangan, hawa dingin yang menggigit langsung menyambut. Suara bisikan pelan terdengar, entah dari mana datangnya. Aminah berhenti sejenak, merasakan bulu kuduknya berdiri. “Kenapa… dingin sekali di sini?” bisiknya pada diri sendiri, mencoba menguasai

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Larangan Membuat Penasaran

    Bab 10 Aminah terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tepat saat itu, Juju masuk ke dapur, menatap Leha dengan tatapan tajam yang penuh misteri. “Nanti malam, jangan tinggalkan kamar ya, Leha,” suara Juju terdengar pelan namun tegas. “Kunaon, Nini? Ada apa?” tanya Leha, bingung. “Kami Cuma ingin kamu aman, Nak,” jawab Juju singkat, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Leha mengangguk, masih bingung namun menurut saja. Ada sesuatu yang aneh dan mencekam di udara malam itu, dan ia merasa ada yang berubah di rumah ini. ### Malam harinya, Saleha sengaja ke kamar Renata. Di sana juga sudah ada Dede, adik kedua Leha. Ya, Leha memiliki tiga adik, termasuk yang baru meninggal. “Ada apa Teh? Tumben teteh mau kumpul bareng kami. Ya kan, De?” ucap Renata, meminta dukungan adiknya. “Iya. Teteh Leha kan kaya sok sibuk gitu. Di kamaaar... terus. Kaya gak inget punya kita,” celetuk Dede. Dia memang ngasal kalau bicara, tapi benar adanya. “Hehe, maafin Teteh. Gak maksud gitu loh. Teteh k

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Warisan Perjanjian

    Bab 11 “Astagfirullah...!” Leha melonjak mundur. Dia memegang dadanya, nafasnya naik turun. “Bikin kaget aja.” Leha menghardik ayam yang tiba-tiba seperti menyerang dirinya. “Ada apa Leha?” Juju datang dari arah belakang. Leha menoleh, dia tidak menjawab. Karena Juju pasti tahu apa yang membuat Leha berteriak. “Kamu mau ke luar malam begini?” tanya Juju dengan suara berat dan santai. “Ini masih siang, Ni.” “Ini bukan kota, Leha.” “Cuma sebentar, Nini. Leha udah janji sama Kang Jaya.” “Sini, duduk dulu. Biar kamu tahu apa yang terjadi di kampung ini.” Leha terbengong sesaat. Dia tertarik ajakan dari neneknya. Itulah yang ia ingin tahu dari Renata dan Dede. Mungkin, neneknya akan menjelaskan secara jelas. “Duduklah, pewarisku.” Hah? Dalam hati Leha merasa aneh apa yang diucapkan neneknya. Sebutan itu sangat menggelikan tapi misterius. “Nini harap, kamu udah siap dengar cerita ini. Harusnya ibumu yang bilang, tapi dia terlalu lemah.” Leha mendengarkan dengan sak

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Rencana Menjalankan Warisan

    Bab 12 Perlahan-lahan, sosok itu mulai berbalik, dan saat wajahnya tampak, Leha terperangah. Wajah pucat dengan mata kosong yang melotot menatap lurus ke arahnya. Tangan sosok itu terkulai dengan jari-jari yang kurus dan panjang, seakan-akan siap mencengkeram. Leha terhuyung ke belakang, berusaha melangkah mundur, tapi kakinya terasa kaku. Sosok itu terus mendekat, dengan langkah-langkah kecil namun pasti, suaranya mengerikan, seperti desahan berat yang tercekik. “K-kamu, p-pasti ha lu si na si,” gumam Leha, dia ketakutan, tapi tak bisa lepas tatapannya dari makhluk berambut panjang itu. Dalam kepanikan, Leha akhirnya menemukan kekuatan untuk berlari. Ia berlari secepat mungkin, menyusuri jalan setapak yang gelap. Di belakangnya, ia bisa mendengar suara langkah berat dan desahan yang semakin mendekat. Sesekali menoleh, memastikan makhluk itu mengejar atau tidak. Brugh! “Aaakh...!” “Neng Leha kunaon? Jiga nu sieun kitu?” ( Jiga nu sieun kitu? = Seperti yang takut gitu?) Leha m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Ganguan di Tengah Jalan

    Bab 13 Leha juga ikut turun, dia ingin tahu apa yang terjadi pada motor kekasihnya itu. Setelah Jaya mengeceknya ternyata benar ban motor itu kempes. Pantas saja tiba-tiba oleng. Mungkin terkena benda tajam atau memang bannya sudah jelek. “Gimana nih? Mana gak ada orang lewat,” Jaya bergumam, tapi Leha mendengar hal itu. “Udah Kang, Leha pulang sendiri aja. Udah deket juga.” “Eh, jangan. Kita jalan bareng aja sampai rumah. Biar aku telepon temen buat jemput.” Leha berpikir dia tidak mau merepotkan Jaya. Wanita berhijab sederhana itu meyakinkan kekasihnya untuk jangan khawatir kepada dirinya. Belum tentu teman-teman Jaya sedang memiliki waktu atau mudah dihubungi. Dan kalaupun kemalaman, Jaya sangat tidak mungkin bermalam di rumah Leha, meskipun Aminah termasuk warga yang disegani karena banyak bentuk penduduk, tapi aturan tetaplah aturan. Jika ada yang berkunjung melebihi pukul 22.00 apalagi itu lawan jenis atau mereka ngapel, maka akan digerebek dan diusir paksa, apalagi kalau

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Kukun Berulah

    Bab 14 Namun tiba-tiba, tubuh Eceu bergerak dengan kaku, wajahnya yang semula ramah berubah drastis. Matanya menatap tajam ke arah Leha, kosong dan hitam pekat. Tubuhnya bergoyang-goyang aneh, dan Leha mulai mendengar suara cekikikan pelan dari mulut Eceu yang semakin lama semakin menyeramkan. “Lehaaa…” panggil suara itu, namun kali ini terdengar bukan dari mulut Eceu, melainkan dari berbagai arah, seperti datang dari pepohonan di sekitarnya. “Kenapa buru-buru, Neng? Kamu kan ingin tahu... tentang kampung ini, iya kan?” Leha semakin ketakutan, kakinya terasa lemas, tetapi naluri bertahannya lebih kuat. Dengan sisa keberanian yang ada, ia langsung berbalik dan berlari secepat mungkin, tanpa menoleh lagi ke arah Eceu. Suara cekikikan itu terus mengejarnya, bergema di sepanjang jalan yang semakin sunyi dan gelap. “Lehaaa… Kamu gak bisa lari dariku…” suara itu kembali memanggil, semakin keras dan menggema. Leha berlari dengan napas terengah-engah, bahkan beberapa kali hampir tersandu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Kukun Terus Meneror

    Bab 15 Leha memandang Ibu dan neneknya. Dia sedikit mengentakkan kaki dan beranjak dari sana. Leha bukan kesal pada kedua orang tuanya, tapi kesal dengan keadaan. Keluarga dan kampungnya sudah tak setenang dulu. *** Setelah membersihkan diri, Leha membawa air hangat di baskom, kapas serta Betadine. Dia masuk ke kamar Renata. “T-teh, kenapa?!” tanya Renata dengan wajah panik. Renata sebenarnya tahu dari tadi, kedatangan Leha dengan ketakutan ke rumah. Namun, tak berani ke luar untuk menyimak gabung dengan ibu dan Nininya. “Teteh mau tidur di sini,” ucap Leha, sembari menaruh bawaannya di atas meja belajar adiknya. “Dede juga mau tidur sini,” seru Dede yang tiba-tiba muncul. “Lah, kocak. Kamu cowok mau gabung kita,” ucap Renata. Kurang setuju kalau Dede ikut gabung. “Gak papa Ren, biar makin rame. Itu juga kalau Dede mau tidur di bawah, di kasur lipat.” Leha menawarkan pada Dede. “Hem... Iya-iya. Aku tidur di bawah gak papa,” ucap Dede, sambil membawa kasur lipat yang ada di

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13

Bab terbaru

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Tatapan Aneh Mulai Tampak

    Bab 41"Astaghfirullahaladzim...," gumam Leha. Dia tahu yang didengarnya adalah halusinasi.Leha tetap melanjutkan perjalanan, melewati jalan kecil di desa yang sunyi, hanya ada beberapa orang yang terlihat di pinggir jalan. Namun, ada sesuatu yang aneh.Orang-orang itu berdiri dengan posisi kaku, kepala mereka sedikit miring, dan mata mereka kosong, seolah menatap jauh ke dalam jiwa Leha. Beberapa bahkan tersenyum lebar, tetapi senyuman itu terasa dingin dan tidak manusiawi.Saat Leha melewati mereka, ia merasakan udara dingin menusuk kulitnya. Salah satu dari mereka, seorang lelaki tua dengan topi anyaman, melambaikan tangan pelan. Leha hampir menghentikan motornya untuk membalas, tetapi ia melihat tangan lelaki itu terlalu panjang, jari-jarinya menghitam seperti hangus.Leha menghela napas, mencoba untuk tidak panik.“Ini cuma imajinasi... Cuma pikiran aku aja,” gumamnya, namun hatinya tetap gelisah.Ketika hampir sampai di tikungan menuju sekolah, ia melihat seorang perempuan muda

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Apa Salahnya Dendam

    Bab 40Keesokan harinya, suasana pagi di rumah Leha masih diliputi kesunyian yang terasa ganjil. Di meja makan, Leha menyiapkan diri untuk berangkat mengajar. Taryo, yang sejak tadi memperhatikan putrinya, akhirnya membuka percakapan."Leha," panggil Taryo sambil menyeduh kopi hitam. "Ayah mau ngomong. Kamu nggak capek jadi guru honorer? Gajinya kecil, tenagamu habis. Belum lagi bensin tiap hari. Gimana kalau kamu nerusin warung almarhum ibumu saja? Lebih praktis, kan?"Leha menghentikan sendoknya yang sedang mengaduk teh. Ia memandang ayahnya dengan raut wajah dilema."Ayah, Leha jadi guru bukan cuma soal uang," jawabnya pelan, mencoba menahan gejolak hatinya. "Leha ingin desa ini berubah. Anak-anak di sini butuh pendidikan, biar nggak gampang ditipu atau terjerumus pada hal-hal yang salah. Apalagi sekarang... teror ku... Em, maksud Leha, teror kemalasan dan gaptek, sudah semakin parah. Kalau Leha berhenti, siapa yang akan ngajari mereka?"Taryo meletakkan cangkirnya dengan sedikit k

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Siap Perang

    Bab 39 Renata yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba mendekat dan memeluk Leha erat. Air matanya mengalir saat ia mencoba menenangkan kakaknya. "Teh, tenang, ya. Kita butuh Teh Leha. Jangan seperti ini," ujar Renata, suaranya bergetar. Dede, adik bungsu mereka, ikut bergabung dalam pelukan itu. Meskipun ia masih kecil, ia tahu keluarganya sedang menghadapi sesuatu yang besar dan menakutkan. "Teh Leha jangan marah-marah. Dede takut," gumamnya pelan. Pelukan itu membuat kemarahan Leha perlahan surut. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Suara tawa di luar sana yang tadi menggema kini perlahan mereda. Namun, keheningan itu justru terasa semakin menekan. Juju dan Sastra memandang cucu-cucunya dengan tatapan cemas. Mereka menyadari bahwa suara tawa itu tak mungkin berasal dari manusia. Namun, mereka memilih diam, tak ingin membuat keadaan semakin tegang. Tentunya saja wajah cemas yang ditunjukkan kedua lansia itu, palsu. Di sisi lain, Taryo hanya mengamati dengan bingung. I

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Jasad Aminah Diambil Alih Kukun

    Bab 38 Setelah tiba di rumah, Renata tak mampu menahan emosinya. Tubuhnya bergetar, napasnya memburu, dan air matanya terus mengalir. Ia berlari menuju kamar ibunya, tadinya mau menumpahkan kesedihan di sana.Namun, dia melihat Kakaknya sedang duduk memandangi kain putih milik mendiang Aminah."Teh!" Renata terisak, suaranya serak oleh kesedihan yang menyesakkan dada. "Ibu... Ibu hilang! Jenazahnya tidak ada!"Leha terdiam sejenak, wajahnya yang pucat menegang. "Apa maksudmu? Hilang?!" tanyanya dengan nada tak percaya.Renata mulai menjelaskan, meski kalimatnya tak beraturan. Ia bercerita bagaimana jenazah ibu mereka menghilang dari liang lahat, diiringi suara tawa mengerikan dan keanehan yang tak masuk akal.Mata Leha menyala oleh emosi. Ia melompat dari tempat duduknya, membuka pintu kamar dengan kasar, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Juju, nenek mereka, yang sedang duduk di ruang tengah bersama Sastra, kaget melihat cucunya melintas dengan penuh amarah."Leha! Mau ke man

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Dimakamkan Makhluk Lain

    Bab 37Renata dan Dede yang terguncang berusaha bangkit, tetapi kakinya lemas. "Ibu? Ibu kemana?" teriak mereka dengan suara terbata, tubuh terasa sangat lelah dan terhimpit oleh rasa takut yang mendalam.Tak jauh dari sana, sesosok bayangan tampak melintas dengan cepat, seperti sesuatu yang menunggangi angin. Beberapa orang di bisa merasakan kehadiran makhluk asing, seolah sesuatu yang sangat kuat tengah mengawasi mereka."Ini... bukan kebetulan," pikir Juju dalam hati. "Ini adalah perbuatan mereka... makhluk-makhluk itu."Taryo mencoba tenang, namun ia tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya."Nak... kita harus pulang. Ini bukan tempat yang aman," katanya, namun suara ketakutannya tak bisa ia sembunyikan.Para kerabat yang hadir tampak panik. Mereka semua mulai menjauh dari liang kubur, mencoba untuk lari dari tempat itu. Keanehan ini tidak hanya menyerang Keluarga duka, namun semua orang yang ada di sana merasakan adanya kekuatan yang tak kasat mata.T

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Jenazah Aminah Hilang

    Bab 36. Aminah menoleh, tapi dia tidak berbicara apa pun."Ibu, ayo. Nanti Ibu kecapean," paksa Leha.Berkali-kali Leha memaksa, karena Aminah cuma diam dan terus berjalan, setelah menatap Leha."Ibu, jangan kaya gitu. Leha gak tega kalau harus pulang sendiri. Padahal ibu kerepotan," paksa Leha sekali lagi.Aminah menggeleng pelan, dengan sorot mata redup tapi tajam. Bahkan tangannya sedikit terangkat, menandakan penolakan.Leha terdiam, ada rasa merinding melihat tatapan ibunya."Yaudah, kalau gitu Leha pulang duluan ya Bu."Aminah tidak merespon. Yang Leha lihat Aminah terus berjalan sambil menenteng kresek besar, yang kelihatannya terasa berat.Dalam perjalanan pulang, Leha berpikir. Mungkin ibunya tidak mau diajak, karena takut bau amis darah dari pembalut mengotori motor, atau membuat Leha tidak nyaman. Dia berpikir positif saja.###Ketika Leha tiba di rumah, suasana sudah berubah mencekam. Banyak orang berkerumun di halaman, beberapa bahkan menangis histeris."Bendera kuning?"

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Jenazah yang Tidak Lazim

    Bab 35 Leha mendengarkan dulu suara speaker masjid yang memberitahu ada orang meninggal. Tenyata itu anak dari salah satu tetangganya. Leha tahu dia seorang gadis."Jangan-jangan... ulah Nyi Kukun," gumam Leha. "Aku harus bersikap biasa saja," lanjutnya.Saat perjalanan menuju sekolah, Leha dihentikan seorang tetangga yang tergesa-gesa. Wanita itu, seorang kerabat dari orang yang meninggal di kampung mereka, tampak panik dan bingung.“Leha, tolong! Bisa antar aku ke rumah ibumu? Jenazah keluargaku keadaannya... sangat mengerikan,” ujarnya dengan suara gemetar.Leha menelan ludah, bingung harus bagaimana. Ia sudah terlambat menuju sekolah, tetapi tetangga ini memohon dengan begitu mendesak.“Tapi, Bu, saya harus ke sekolah...” jawab Leha ragu.“Saya nggak tahu harus minta tolong siapa lagi. Ibumu kan biasanya yang tahu cara menangani jenazah seperti ini,” katanya lagi, hampir menangis.Leha merasa serba salah. Akhirnya ia mengalah. “Ya udah. Baik, Bu. Ayo, saya antar ke rumah.”Sepanj

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Mulai Menentang Terang-terangan

    Bab 34 "Teteh, Renata mah kayanya gak sanggup deh, harus dzikir sebanyak ini," keluh Renata, yang berada i kamar Leha. "Semampunya aja Rena. Syukur-syukur kamu usahakan. Sambil membiasakan rajin ibadah. Selama ini kamu kan ...," goda Leha pada adiknya. "Iya-iya, Rena sadar. Kalau sekarang kan ada Teteh. Jadi kaya beda aja gitu suasana, Rena pasti bisa kebawa rajin kaya Teteh." "Ya udah, sana. Fokuslah. Semakin kita dekat sama Allah, bukan tentang menghadapi makhluk-makhluk gaib saja, kita sanggup lebih kuat dari mereka. Tapi, buat diri kita juga jadi serba lancar untuk mencapai keinginan." Rena mengangguk. Dia paham dan ngena sekali, nasihat yang disampaikan Kakaknya. ### Sejak azan Magrib berkumandang, Leha memutuskan untuk tidak keluar kamar. Ia memusatkan seluruh pikirannya pada dzikir, salat sunah, dan doa-doa yang diajarkan oleh Kiyai Soleh. Hatinya terasa lebih tenang, meski masih ada rasa was-was yang mengintai. Sementara itu, di kamarnya, Juju duduk bersemedi de

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Hamil tapi Masih Haid

    Bab 33 Tempat BidanSetelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lancar, Leha dan Aminah akhirnya sampai di tempat bidan. Suasana klinik kecil cukup sepi sore itu, sehingga mereka langsung mendapat giliran.Bidan Ida, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat, memeriksa Aminah dengan teliti. Ia menggunakan alat ultrasonografi sederhana untuk memastikan kondisi kandungan Aminah. Setelah beberapa menit, wajahnya tampak serius."Gimana Bu Bidan? Kandungan Ibu saya baik-baik saja?" tanya Leha, antusias. Bidan yang melihat Leha begitu antusias, merasa terharu dan kagum. Seorang anak yang begitu peduli pada ibunya. Bidan Ida bisa merasakan perasaan Aminah yang sebenarnya tidak nyaman jika kandungannya diperiksa. Dapat dirasakan dari raut muka Aminah dan beberapa interaksi saat diperiksa. “Neng dan Ibu Aminah,” kata Bidan Ida dengan nada hati-hati. “Ada sedikit kelainan dalam kehamilan ini.”Leha yang duduk di samping ibunya langsung menegang. “Kelainan apa, Bu Bidan?”“Usia kandung

DMCA.com Protection Status