Beranda / Horor / Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan / Kukun Harus Segera Diwariskan

Share

Kukun Harus Segera Diwariskan

Bab 7

“Leha!” panggil Nek Juju dari kamarnya. Dia mendengar langkah kaki Leha dan suaranya yang mencari Aminah.

“Nini, ibu ke mana?” tanya Leha, di ambang pintu kamar Juju, sambil memegang gorden lusuh yang baru ia singkap.

“Tenang... Ibumu tadi bilang mau belanja buat warung,” jawab neneknya dengan suara serak, sambil bersandar di ranjangnya. “Nggak usah khawatir, biarkan saja.”

Leha menggigit bibirnya. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dihilangkan. “Nini... kenapa ayam-ayam itu nggak berhenti berisik dari semalam?”

Nenek mengerutkan kening. “Jangan ganggu ayam-ayam itu, Leha. Biarkan ibumu yang urus.”

Leha semakin heran. Sejak kapan ibunya mau mengurus ayam? Itu pekerjaan yang selalu ia hindari. Rasa takut mulai menggumpal dalam dirinya, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh.

Saat akhirnya ibunya pulang, Leha sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia berencana pergi ke sekolah SMP di desa untuk melamar sebagai guru honorer. Namun, ketika ia berpapasan dengan ibunya yang baru saja kembali dari halaman belakang, sesuatu terasa janggal.

“Ibu... bau apa ini?” Leha bertanya dengan ragu, hidungnya mencium bau anyir yang menusuk.

Aminah menoleh sekilas, tersenyum tipis. “Bau ayam, biasa saja. Gak ada yang aneh, Leha.”

Namun, Leha tahu bau ini berbeda. Bau ini bukan bau ayam biasa—ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi takut menyinggung perasaan ibunya.

“Leha, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya ibunya, suaranya datar tanpa emosi.

“Aku mau coba melamar kerja, Bu. Doain ya,” jawab Leha sambil mencoba tersenyum, meski hatinya penuh tanda tanya.

“Ya, hati-hati di jalan. Ibu doakan, sing lancar nya, Teh.”

Kemudian Bu Aminah melangkah ke luar, lebih tepatnya menuju warung yang berada di depan rumah. Dia meninggalkan Leha yang masih berdiri dengan perasaan campur aduk. Bau anyir itu masih menempel di hidungnya, memicu perasaan takut yang semakin mencekam.

###

Leha mengendarai motornya, melewati jalan-jalan kampung yang berkelok dan penuh bebatuan. Ada rasa berat di motor itu, seperti ada yang menahan lajunya.

“Hah… kenapa berat banget ya?” gumam Leha, melirik ke belakang tanpa alasan yang jelas. Jalan sepi, hanya suara angin dan gerisik daun yang terdengar. “Padahal di kota pakai motor ini rasanya enteng-enteng aja.”

Di kejauhan, anak-anak kampung terlihat berlarian tanpa alas kaki, tawa mereka menyusup ke telinga Leha dengan nada yang janggal. Suara tawa itu aneh—datar, tanpa kebahagiaan, seolah sekadar gema di tengah kesunyian.

“Mereka... harusnya di sekolah kan?” pikir Leha, bingung. “Kenapa malah di sini?”

Satu anak perempuan berhenti berlari dan menatap Leha lurus-lurus. Matanya hitam kelam, kosong, tanpa ekspresi. Leha merasa ada yang janggal, tapi ia menepis perasaan itu dan melanjutkan perjalanan dengan perasaan tak tenang.

###

Di warung, Juju sibuk membantu menata barang-barang sembako sambil menoleh ke arah Aminah yang sedang menata beras di rak. Suara berisik dari ayam-ayam di kandang belakang terdengar makin nyaring, dan Juju mengernyit.

“Aminah,” bisik Juju sambil melirik ke arah jendela, memastikan tak ada yang mendengar. “Kenapa akhir-akhir ini ayam-ayam di belakang itu ribut terus? Apa Kukun lagi marah?”

Aminah menghela napas panjang, menutup karung beras dengan tangan gemetar. “Mungkin saja, Bu. Mereka… tidak nyaman. Ada yang… mengganggu aura mereka.”

“Leha, ya?” Juju menatap Aminah tajam. “Makanya, jangan biarkan dia terlalu sering ibadah tengah malam di sini. Mereka itu nggak suka.”

Aminah menunduk, ada perasaan bersalah di balik tatapan matanya. “Saya nggak mungkin melarang dia begitu saja, Bu. Lagipula, kalau ketahuan oleh Leha, kita bisa celaka.”

Juju mengangguk paham, tapi matanya menyiratkan ketakutan yang lebih dalam. “Kalau gitu, cepat turunkan warisan kita ke dia. Biar dia tahu, ada yang harus dijaga di sini, bukan Cuma agama dan doa-doanya.”

Sebelum Aminah menjawab, suara ayam tiba-tiba melengking dari belakang rumah, seolah ada sesuatu yang meneror mereka. Juju mendengus.

“Kukun itu nggak pernah tenang kalau ada orang asing di sini, apalagi yang auranya kayak Leha itu. Jangan bikin dia marah, Minah,” desis Juju.

Aminah memejamkan mata sejenak, suaranya merendah. “Saya tahu, Bu… tapi… kita tidak bisa langsung bicara begitu saja pada, Leha. Perlahan, Bu.”

“Tentang kematian Lisna, aku yakin Leha sebenarnya bisa merasakan. Dia bukan orang polos, meski tidak satu aliran dengan kita.” Suara Juju terdengar lemah, seperti orang putus asa.

“Kalau Leha tahu tentang Lisna… tentang yang terjadi sebenarnya…” Aminah menggantungkan kalimatnya.

Wajah Juju berubah, tegang, namun datar. “Leha memang harus tahu. Kematian Lisna… memang salah kita kan?”

Aminah mengangguk perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Iya, Bu. Mereka marah waktu itu... aku nggak taat dengan aturan. Dan mereka menuntut sesuatu. Aku mengorbankan Lisna demi orang lain.”

Bu Aminah membayangkan kejadian saat dia mampir ke rumah mentari, seorang ibu muda yang baru melahirkan. Karena mentari lupa menyimpan darah nifas untuk Minah ambil, Kukun yang menguntit Aminah marah, dia meminta nyawa bayi itu, bayinya Mentari.

Namun, sebagai sesama wanita dan seorang ibu, Aminah tidak tega jika mengorbankan bayi Mentari. Apalagi itu anak pertama, mungkin sudah sangat didambakan ibu dan ayahnya, bahkan keluarga besar mereka. Maka, dalam ritualnya, perbincangan batin Aminah dan Kukun, nyawa bayi itu akan ditukar dengan Lisna. Kukun pun setuju. Aminah tak masalah, toh dia sudah memiliki beberapa anak. Meski pun tetap ada rasa sedih dan sakit kerena kehilangan.

Juju menelan ludah, tatapannya memburu. “Kita… nggak punya pilihan, Minah. Leha… dia harus tahu semua.”

Aminah terdiam, hatinya bergolak. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini pada Leha? Bahwa ada sesuatu yang gelap dan haus kekuasaan yang hidup di desa ini, sesuatu yang memerlukan pengorbanan?

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status