Share

Bab 2 : Spek suami idaman

Mendengar suaraku, papa buru-buru menyembunyikan bingkai foto yang di tatap nya tadi. Raut terkejut tidak bisa di sembunyikan nya, begitu dia mengetahui kehadiran ku.

Tangan nya terangkat ke wajah, seperti menghapus air mata. Setelah itu barulah papa berbalik menatap ke arahku.

"Sudah pulang, nak? Papa pikir kamu masih lama di rumah Rania," ucap papa tersenyum ke arahku. Aku tau, itu hanyalah alasan nya. Agar aku tidak menanyakan apa yang di lakukan nya tadi. Juga tidak ingin membuatku bersedih.

Meskipun tanpa di katakan apapun. Akutau, Papa pasti sedang merindukan mama. Setiap kali rindu itu datang. Dia pasti akan menatap lama foto mama, sambil menitikkan air mata nya.

Entah sebesar apa rasa cinta yang di miliki papa. Hingga dia masih setia menunggu mama kembali. Masih setia mencintai wanita itu, meskipun dia sudah menorehkan luka padanya.

Aku sendiri bahkan tidak pernah mengharapkan nya lagi. Dia yang memilih pergi, bahkan tanpa menoleh sedikitpun pada kami. Lalu, kenapa aku harus mengharapkan dia kembali?

"Tadi niatnya sih begitu. Tapi tiba-tiba teringat papa yang sendirian di rumah. Jadi nya tidak tega ninggalin papa lama-lama. Papa pasti kesepian sendiri," balasku.

Aku melangkahkan kaki mendekati papa. Lalu menjatuhkan diriku di sampingnya, aku sandarkan kepalaku di bahunya.

Meyakinkan papa, bahwa saat ini papa tidak sendirian. Ada aku di sini yang tidak akan pernah ninggalin papa.

"Bella sayang papa," ucapku memeluk tubuh tua nya dengan erat.

"Papa tau. Papa juga sayang putri papa yang bandel ini. Yang selalu membuat papa pusing," ucap papa terkekeh, sambil mengusap puncak kepalaku. Membuat aku juga terkekeh.

"Ish, papa. Yang di ingat kok cuma di bagian itu sih," ucapku pura-pura kesal.

"Emang iya kan? Terkadang di suruh shalat subuh, susah banget di bangunin. Di nasehati bukan nya dengar, malah buru-buru pergi,"

"Itu karena aku ada urusan, pa,"

"Alasan. Padahal selalu begitu," balas papa tersenyum.

"Ya udah, lain kali aku akan dengarin kalau papa lagi nasehati. Kalau perlu aku rekam, biar nggak lupa," papa menggelengkan kepala mendengar jawabanku. Tidak habis pikir dengan aku yang selalu bisa menjawab nya.

Sesaat kemudian, wajah murungnya tidak lagi aku lihat. Sekarang berganti dengan wajah ceria, bahkan terkadang tertawa dengan tingkah absurd ku.

Ya, memang inilah yang aku inginkan. Aku ingin papa terus tersenyum dan bahagia. Aku bahkan terkadang bersikap konyol, juga terus mengajak nya bicara. Juga membuat nya kesal, agar papa tidak terus larut dalam kesedihan nya.

"Papa udah minum ubat?" tanyaku kemudian. Karena papaku miliki riwayat tekanan darah tinggi.

"Udah,"

"Kapan?" tanyaku lagi.

"Tadi," aku menatap penuh silidik ke arah papa.

"Papa nggak bohong kan?" bukan tanpa alasan aku bertanya seperti itu. Karena papa sering mengabaikan kesehatan nya sendiri. Bahkan terkadang dia sengaja tidak meminum obatnya.

"Ya Allah, masa kamu nggak percaya sih sama papa sendiri," ucap papaku terlihat kesal.

"Ya udah, aku percaya. Aku cuma tidak ingin penyakit papa kambuh. Aku tidak ingin terjadi sesuatu sama papa," ucapku lirih di akhir kalimat.

"Iya, nak. Papa tau itu. Sebaik nya sekarang kamu istirahat, besok sekolah, kan," ucap papa lembut. Aku hanya mengangguk kan kepala. Menuruti apa yang papa katakan.

**

**

Selesai sarapan, aku bergegas ke rumah Rania, yang hanya berjarak beberapa meter saja.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam. Masuk Bel," ucap Rania duduk di atas sofa.

Aku segera menghampiri nya. Ya, karena memang biasanya aku berangkat ke sekolah bareng Rania. Kami satu sekolah, juga satu kelas.

"Ellah! Masih duduk santai ini tuan putri. Nggak sekolah?" tanyaku menghampiri nya.

"Sekolah lah. Emang nggak liat, ini udah pakai seragam?"

"Ya udah kalau gitu, ayok," ajakku. Takut terlambat, karena hari ini senin.

"Bentar, nunggu bokap dulu," ucap Rania.

"Berangkat bareng om Arga?"

"Iya, mobil gue lagi di servis di bengkel. Emang lo nggak liat tadi, mobil gue nggak ada di garasi," ucap Rania.

"Bukan nggak liat, tapi nggak merhatiin," balas ku.

"Sama aja,"

Sesaat kemudian, om Arga keluar menghampiri kami.

Aku terpaku melihat penampilan nya. Meskipun menggunakan pakaian formal seperti biasanya. Entah kenapa di mataku, semakin hari dia semakin tampan saja.

Memang ya! Pesona duda tidak terbantahkan. Di tambah dengan usia nya yang sudah dewasa.

"Awas, air liur lo netes," aku buru-buru menghapus nya, tapi tidak ada. Ternyata Rania ngerjain aku. Membuat ku menatap kesal ke arah nya.

"Lo sih, masa natap bokap gue sampai sebegitu nya,"ucapnya menertawakan aku.

"Habisnya bokap lo. Makin hari makin tambah ganteng aja. Gimana nggak meleleh aku" ucapku secara terang-terangan, tanpa rasa malu sedikit pun. Ya, jika menyangkut om Arga seperti nya rasa malu ku sudah hilang.

"Sama dong, kayak anaknya," ucap Rania mengibas rambutnya, bertingkah sok cantik. Karena tadi aku mengatakan bapak nya ganteng.

"Nggak usah bertingkah sok cantik. Lo dan monyet sama jeleknya," ejek kan ku membuat Rania kesal. Baru saja dia ingin membalas nya, tiba-tiba saja om Arga berdehem.

"Udah siap?" tanya om Arga pada kami, seperti nya dia ingin segera berangkat.

"Udah, pa,"

"Belum, om," ucap ku bersamaan dengan Rania.

"Apanya yang belum siap?" tanya om Arga menaikkan sebelas alis nya.

"Belum siap natap om Arga. Baru juga satu menit. Masih pengen natap lebih lama lagi," ucapku berani.

Membuat mata Rania mendelik ke arahku. Dia pasti tidak percaya aku berani mengatakan itu pada papa nya. Apalagi dia tau betapa dingin nya om Arga. Membuat siapa pun segan padanya. Tapi tidak denganku.

Bahkan terkadang aku berani mengatakan secara terang-terangan, jika aku suka pada nya. Tapi om Arga mana peduli ucapan anak kecil seperti ku. Ya, dia pasti menganggap aku anak kecil.

"Kalau mau natap lama-lama, harus nunggu halal dulu,"

Hah?

Aku tidak percaya ini, om Arga membalas ucapanku. Biasanya dia hanya diam, atau memilih pergi dari pada mendengar ocehan ku yang tidak berfaedah.

"Kalau nunggu halal, lama om," balas ku kemudian.

"Makanya, sekolah yang benar. Harus jadi anak baik, biar nggak lama," ucap om Arga.

Aku ingin bertanya lagi, apa maksud nya? tapi tiba-tiba om Arga segera beranjak keluar. Membuat aku mengurungkan niat untuk bertanya.

Sekolah kami dan kantor om Arga searah. Sehingga dia tidak perlu putar balik lagi setelah mengantarkan kami.

Aku memilih duduk di kursi belakangnya. Begitu pun dengan Rania, tadi nya aku pikir dia akan duduk di depan bersama om Arga.

"Kenapa duduk di belakang? Mending lo duduk di depan dah, nemenin om Arga,"

"Serah gue lah mau duduk di mana," balas nya yang membuatku kesal.

"Gue serius Rania, kasian bokap lo di depan sendirian. Entar dia mikir kita nganggap dia supir lagi," balas ku.

"Udah lah, ngak usah suudzon. Papa nggak ada pikiran kayak gitu, mending lo diam dan duduk manis aja, ya,"

Aku memilih diam, tidak ingin berdebat pagi-pagi. Apalagi om Arga sudah mulai menjalankan mobil nya. Jangan sampai nanti dia marah dan menurunkan aku di tengah jalan.

Kan nggak lucu, gadis secantik aku di tinggalin di tengah jalan. Dan harus jalan kaki ke sekolah. Sebagai seorang yang menumpang, aku harus bersikap baik. Biar besok di kasih tumpangan lagi. Kan enak, bisa hemat, nggak perlu ngeluarin duit. Alias gratis, hehehe.

Akhirnya setelah beberapa saat mobil berhenti di depan gerbang sekolah.

Aku  yang ingin turun, mengurungkan niat saat melihat Rania mengulurkan tangan ke arah om Arga. Aku pikir dia mau salim, tapi aku salah. Ternyata...

"Pa, minta uang jajan," ucapan nya membuat aku tercengang. Benar-benar ini anak ya!

Setelah itu barulah aku melihat dia mulai mencium punggung tangan om Arga. Aku pun melakukan hal yang sama.

"Ini," aku terkejut begitu om Arga menyodorkan beberapa lembar uang merah padaku.

"Buat jajan kamu," ucap om Arga.

"Nggak usah, om. Aku udah di kasih jajan sama papa tadi. Tapi... Kalau om maksa nggak papa deh," ucap ku mengambil uang yang di sodorkan om Arga tadi.

"Rejeki, nggak bisa di tolak," ucapku cengengesan.

"Makasih ya om. Om Arga baik banget deh! Udah ganteng, kaya, paham agama lagi. Membuat aku tambah cinta. Benar-benar spek suami idaman," ucapku berusaha tersenyum semanis mungkin. Barangkali nanti om Arga terpikat dengan senyumanku.

Ngarap!

"Lo ya Bel. Nggak takut lo ngomong ke gitu terus ke papa. Udah tau papa dingin amat. Masih aja mancing-mancing dia, kalau sampai papa marah, habis lo," ucap Rania begitu turun dari mobil.

"Emang nya aku mancing apa? Aku cuma bilang cinta. Emang salah?"

"Tau ah," balasnya.

"Bella, tunggu," panggilan itu menghentikan langkah ku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status