Mendengar suaraku, papa buru-buru menyembunyikan bingkai foto yang di tatap nya tadi. Raut terkejut tidak bisa di sembunyikan nya, begitu dia mengetahui kehadiran ku.
Tangan nya terangkat ke wajah, seperti menghapus air mata. Setelah itu barulah papa berbalik menatap ke arahku. "Sudah pulang, nak? Papa pikir kamu masih lama di rumah Rania," ucap papa tersenyum ke arahku. Aku tau, itu hanyalah alasan nya. Agar aku tidak menanyakan apa yang di lakukan nya tadi. Juga tidak ingin membuatku bersedih. Meskipun tanpa di katakan apapun. Akutau, Papa pasti sedang merindukan mama. Setiap kali rindu itu datang. Dia pasti akan menatap lama foto mama, sambil menitikkan air mata nya. Entah sebesar apa rasa cinta yang di miliki papa. Hingga dia masih setia menunggu mama kembali. Masih setia mencintai wanita itu, meskipun dia sudah menorehkan luka padanya. Aku sendiri bahkan tidak pernah mengharapkan nya lagi. Dia yang memilih pergi, bahkan tanpa menoleh sedikitpun pada kami. Lalu, kenapa aku harus mengharapkan dia kembali? "Tadi niatnya sih begitu. Tapi tiba-tiba teringat papa yang sendirian di rumah. Jadi nya tidak tega ninggalin papa lama-lama. Papa pasti kesepian sendiri," balasku. Aku melangkahkan kaki mendekati papa. Lalu menjatuhkan diriku di sampingnya, aku sandarkan kepalaku di bahunya. Meyakinkan papa, bahwa saat ini papa tidak sendirian. Ada aku di sini yang tidak akan pernah ninggalin papa. "Bella sayang papa," ucapku memeluk tubuh tua nya dengan erat. "Papa tau. Papa juga sayang putri papa yang bandel ini. Yang selalu membuat papa pusing," ucap papa terkekeh, sambil mengusap puncak kepalaku. Membuat aku juga terkekeh. "Ish, papa. Yang di ingat kok cuma di bagian itu sih," ucapku pura-pura kesal. "Emang iya kan? Terkadang di suruh shalat subuh, susah banget di bangunin. Di nasehati bukan nya dengar, malah buru-buru pergi," "Itu karena aku ada urusan, pa," "Alasan. Padahal selalu begitu," balas papa tersenyum. "Ya udah, lain kali aku akan dengarin kalau papa lagi nasehati. Kalau perlu aku rekam, biar nggak lupa," papa menggelengkan kepala mendengar jawabanku. Tidak habis pikir dengan aku yang selalu bisa menjawab nya. Sesaat kemudian, wajah murungnya tidak lagi aku lihat. Sekarang berganti dengan wajah ceria, bahkan terkadang tertawa dengan tingkah absurd ku. Ya, memang inilah yang aku inginkan. Aku ingin papa terus tersenyum dan bahagia. Aku bahkan terkadang bersikap konyol, juga terus mengajak nya bicara. Juga membuat nya kesal, agar papa tidak terus larut dalam kesedihan nya. "Papa udah minum ubat?" tanyaku kemudian. Karena papaku miliki riwayat tekanan darah tinggi. "Udah," "Kapan?" tanyaku lagi. "Tadi," aku menatap penuh silidik ke arah papa. "Papa nggak bohong kan?" bukan tanpa alasan aku bertanya seperti itu. Karena papa sering mengabaikan kesehatan nya sendiri. Bahkan terkadang dia sengaja tidak meminum obatnya. "Ya Allah, masa kamu nggak percaya sih sama papa sendiri," ucap papaku terlihat kesal. "Ya udah, aku percaya. Aku cuma tidak ingin penyakit papa kambuh. Aku tidak ingin terjadi sesuatu sama papa," ucapku lirih di akhir kalimat. "Iya, nak. Papa tau itu. Sebaik nya sekarang kamu istirahat, besok sekolah, kan," ucap papa lembut. Aku hanya mengangguk kan kepala. Menuruti apa yang papa katakan. ** ** Selesai sarapan, aku bergegas ke rumah Rania, yang hanya berjarak beberapa meter saja. "Assalamu'alaikum," "Wa'alaikumussalam. Masuk Bel," ucap Rania duduk di atas sofa. Aku segera menghampiri nya. Ya, karena memang biasanya aku berangkat ke sekolah bareng Rania. Kami satu sekolah, juga satu kelas. "Ellah! Masih duduk santai ini tuan putri. Nggak sekolah?" tanyaku menghampiri nya. "Sekolah lah. Emang nggak liat, ini udah pakai seragam?" "Ya udah kalau gitu, ayok," ajakku. Takut terlambat, karena hari ini senin. "Bentar, nunggu bokap dulu," ucap Rania. "Berangkat bareng om Arga?" "Iya, mobil gue lagi di servis di bengkel. Emang lo nggak liat tadi, mobil gue nggak ada di garasi," ucap Rania. "Bukan nggak liat, tapi nggak merhatiin," balas ku. "Sama aja," Sesaat kemudian, om Arga keluar menghampiri kami. Aku terpaku melihat penampilan nya. Meskipun menggunakan pakaian formal seperti biasanya. Entah kenapa di mataku, semakin hari dia semakin tampan saja. Memang ya! Pesona duda tidak terbantahkan. Di tambah dengan usia nya yang sudah dewasa. "Awas, air liur lo netes," aku buru-buru menghapus nya, tapi tidak ada. Ternyata Rania ngerjain aku. Membuat ku menatap kesal ke arah nya. "Lo sih, masa natap bokap gue sampai sebegitu nya,"ucapnya menertawakan aku. "Habisnya bokap lo. Makin hari makin tambah ganteng aja. Gimana nggak meleleh aku" ucapku secara terang-terangan, tanpa rasa malu sedikit pun. Ya, jika menyangkut om Arga seperti nya rasa malu ku sudah hilang. "Sama dong, kayak anaknya," ucap Rania mengibas rambutnya, bertingkah sok cantik. Karena tadi aku mengatakan bapak nya ganteng. "Nggak usah bertingkah sok cantik. Lo dan monyet sama jeleknya," ejek kan ku membuat Rania kesal. Baru saja dia ingin membalas nya, tiba-tiba saja om Arga berdehem. "Udah siap?" tanya om Arga pada kami, seperti nya dia ingin segera berangkat. "Udah, pa," "Belum, om," ucap ku bersamaan dengan Rania. "Apanya yang belum siap?" tanya om Arga menaikkan sebelas alis nya. "Belum siap natap om Arga. Baru juga satu menit. Masih pengen natap lebih lama lagi," ucapku berani. Membuat mata Rania mendelik ke arahku. Dia pasti tidak percaya aku berani mengatakan itu pada papa nya. Apalagi dia tau betapa dingin nya om Arga. Membuat siapa pun segan padanya. Tapi tidak denganku. Bahkan terkadang aku berani mengatakan secara terang-terangan, jika aku suka pada nya. Tapi om Arga mana peduli ucapan anak kecil seperti ku. Ya, dia pasti menganggap aku anak kecil. "Kalau mau natap lama-lama, harus nunggu halal dulu," Hah? Aku tidak percaya ini, om Arga membalas ucapanku. Biasanya dia hanya diam, atau memilih pergi dari pada mendengar ocehan ku yang tidak berfaedah. "Kalau nunggu halal, lama om," balas ku kemudian. "Makanya, sekolah yang benar. Harus jadi anak baik, biar nggak lama," ucap om Arga. Aku ingin bertanya lagi, apa maksud nya? tapi tiba-tiba om Arga segera beranjak keluar. Membuat aku mengurungkan niat untuk bertanya. Sekolah kami dan kantor om Arga searah. Sehingga dia tidak perlu putar balik lagi setelah mengantarkan kami. Aku memilih duduk di kursi belakangnya. Begitu pun dengan Rania, tadi nya aku pikir dia akan duduk di depan bersama om Arga. "Kenapa duduk di belakang? Mending lo duduk di depan dah, nemenin om Arga," "Serah gue lah mau duduk di mana," balas nya yang membuatku kesal. "Gue serius Rania, kasian bokap lo di depan sendirian. Entar dia mikir kita nganggap dia supir lagi," balas ku. "Udah lah, ngak usah suudzon. Papa nggak ada pikiran kayak gitu, mending lo diam dan duduk manis aja, ya," Aku memilih diam, tidak ingin berdebat pagi-pagi. Apalagi om Arga sudah mulai menjalankan mobil nya. Jangan sampai nanti dia marah dan menurunkan aku di tengah jalan. Kan nggak lucu, gadis secantik aku di tinggalin di tengah jalan. Dan harus jalan kaki ke sekolah. Sebagai seorang yang menumpang, aku harus bersikap baik. Biar besok di kasih tumpangan lagi. Kan enak, bisa hemat, nggak perlu ngeluarin duit. Alias gratis, hehehe. Akhirnya setelah beberapa saat mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Aku yang ingin turun, mengurungkan niat saat melihat Rania mengulurkan tangan ke arah om Arga. Aku pikir dia mau salim, tapi aku salah. Ternyata... "Pa, minta uang jajan," ucapan nya membuat aku tercengang. Benar-benar ini anak ya! Setelah itu barulah aku melihat dia mulai mencium punggung tangan om Arga. Aku pun melakukan hal yang sama. "Ini," aku terkejut begitu om Arga menyodorkan beberapa lembar uang merah padaku. "Buat jajan kamu," ucap om Arga. "Nggak usah, om. Aku udah di kasih jajan sama papa tadi. Tapi... Kalau om maksa nggak papa deh," ucap ku mengambil uang yang di sodorkan om Arga tadi. "Rejeki, nggak bisa di tolak," ucapku cengengesan. "Makasih ya om. Om Arga baik banget deh! Udah ganteng, kaya, paham agama lagi. Membuat aku tambah cinta. Benar-benar spek suami idaman," ucapku berusaha tersenyum semanis mungkin. Barangkali nanti om Arga terpikat dengan senyumanku. Ngarap! "Lo ya Bel. Nggak takut lo ngomong ke gitu terus ke papa. Udah tau papa dingin amat. Masih aja mancing-mancing dia, kalau sampai papa marah, habis lo," ucap Rania begitu turun dari mobil. "Emang nya aku mancing apa? Aku cuma bilang cinta. Emang salah?" "Tau ah," balasnya. "Bella, tunggu," panggilan itu menghentikan langkah ku."Radit," ucapku saat mengetahui bahwa yang memanggil ku tadi adalah Radit. "Mau masuk kelas, ya. Bareng aja, yuk," ucap Radit Aku hanya mengangguk, tanpa berniat menolak niat baik nya. Lagipula kami memang satu kelas. Sementara Rania yang berada di sampingku, sudah gregetan sama si Radit. Dia tidak suka pada pria itu. Karena Radit selalu bersikap sok ganteng di sekolah ini. Padahal menurut Rania, wajah pria itu biasa-biasa saja. Namanya Raditya, dia anak orang kaya. Ayahnya merupakan salah satu donatur tetap di sekolah ini. Tampang nya juga lumayan sih menurutku, banyak cewek-cewek di sini yang mengejarnya. Tapi tidak termasuk aku dan Rania, ya! Mungkin itu salah satu alasan dirinya bersikap demikian. Meskipun begitu, dia tidak sombong. Dan berteman dengan siapa pun, meskipun dia menjadi salah satu cowok terpopuler di sekolah ini. "Kok lo iyain sih, Bell," ucap Rania berbisik padaku. "Loh, apa salah nya? Lagipula kita memang mau ke kelas, kan," balas ku yang juga berbi
"Banyak amat lo beli baksonya. Emang habis?" tanya ku melihat Rania yang menenteng dua buah bakso di tangan nya. "Ya nggak lah! Ini gue beli buat papa satu," jawab Rania. "Kirain," jawabku cengengesan. "Lo sih, kebiasaan. Suudzon mulu," "Kok sepi rumah lo, Ran," ucapku begitu tiba di rumah nya. "Papa belum pulang kerja. Lagi lembur katanya," jawab Rania. Tidak lama setelah Rania mengatakan itu. Mobil om Arga mulai terlihat memasuki perkarangan rumah. "Itu om Arga udah pulang!" ucapku pada Rania. Membuat dia mengalihkan pandangan nya, begitu indra pendengar nya mendengar suara deru mobil om Arga. "Darimana, sayang," tanya om Arga pada Rania, begitu dia turun dari mobil nya. "Habis beli bakso, pa. Ini aku juga beli buat papa satu," balas Rania. "Aku nggak di tanya, om. Aku kan juga kepingin di panggil sayang," ucapku sambil mengedipkan mata genit. Tapi om Arga mana peduli dengan tingkah ke kanak-kanakan ku. "Kan tadi saya udah tanya ke Rania. Lagian kalian pasti pe
"Ups maaf, nggak sengaja," ucap seorang gadis yang fans berat sama Radit. Namanya Stella. Stella tertawa setelah mengatakan itu, di sambut gelak tawa oleh kedua sahabat nya, Rara dan Dini. Yang selalu mengekor kemana pun Stella pergi. Layak nya anak buah, Rara dan Dini selalu patuh dengan apa yang di katakan dan di perintahkan Stella. Karena Stella adalah anak orang kaya. Jadi tidak ada yang berani menegur atau pun menolah apa yang dia inginkan dan katakan. Mereka bertiga sering kali membully siswi-siswi yang mencoba mendekati Radit. Tapi berbeda dengan ku, bukan kami yang mencoba mendekati pemuda itu. Tapi dia sendiri. Tapi seperti nya Stella tetap menyalahkan kami. Terutama aku, karena tadi Radit juga duduk di sampingku. Aku memperhatikan seragam sekolah ku yang Basah terkena tumpahan jus yang dilakukan Stella. Aku tahu dia sengaja melakukan nya, tapi aku tidak ingin berdebat, lebih baik aku mengalah saja. "Iya, nggak papa. Lain kali hati-hati," jawabku yang memang tidak
Menjadi anak tunggal itu ternyata tidak menyenangkan. Apalagi jika setelah pulang sekolah seperti ini. Aku pasti sendirian di rumah, karena papa belum pulang kerja. Jika tidak ke pergi rumah Rania, aku pasti akan merasa kesepian di sini. Benar-benar sepi dan hampa. Coba saja papa nikah lagi, pasti aku akan punya adik yang lucu, dan bisa aku ajak main. Dan pastinya aku bakal betah di rumah. Tidak keluyuran ke rumah Rania setiap hari. Kehidupan memang tidak selalu berjalan seperti apa yang kita ingin kan. Padahal aku sangat ingin memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi Tuhan tidak berkenan mengabulkan itu. Manusia mungkin punya rencana. Tapi Allah lah yang berkehendak. Sebaik apapun rencana yang kita rancang, jika Allah tidak menghendaki nya, maka semua nya akan sia-sia. "Apa aku buat cake aja, ya," ucapku tiba-tiba. Dari pada bosan, rebahan tidak jelas. Lebih baik aku buat cake aja. Nanti aku bisa nyuruh Rania mencicipi nya. Karena memang kebetulan aku sangat suka mem
"Gimana rasanya, pa?" tanyaku, menghidangkan beberapa cake yang aku buat tadi siang, beserta secangkir kopi untuk papa. "Enak! Putri papa ini memang punya bakat luar biasa. Bisa membuat kue enak, sama seperti_" papa terdiam, tidak melanjutkan ucapan nya. Tapi aku tau, kalimat apa yang ingin keluar dari mulut papa. Dia pasti ingin mengatakan jika aku mempunyai bakat yang sama dengan mama. Ya, dulu mama ku juga sangat pintar dan enak membuat cake. Bahkan papa sendiri berniat membuat kan sebuah toko kue untuk mama. Sebagai kado Anniversary pernikahan mereka. Manusia hanya bisa berencana. Pada akhirnya semua itu hanya tinggal harapan. Kado indah yang sudah papa siap kan ternyata sia-sia. Tepat satu minggu sebelum anniversary pernikahan mereka, mama pergi. Membuat papa hancur, sehancur-hancur nya. Mama selingkuh, dia memilih pergi dan ingin hidup bersama selingkuhan nya. Tanpa memikirkan aku. Tanpa peduli jika dia
Papa terdiam mendengar pengakuan yang keluar dari mulut ku. Bisa aku pastikan, jika papa pasti terlihat syok dan tidak percaya. "Nak Arga, tetangga kita?" tanya papa. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ayah nya Rania," tanya nya lagi yang tidak percaya. "Iya, papa," "Apa? Kau pasti bercanda kan, nak!" ucap papa, menolak untuk percaya. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Jika papa tidak percaya, ya sudah," ucapku yang tidak ingin meyakinkan papa. "Tapi... Apa kau yakin," "Yakin bagaimana?" tanya ku bingung. "Umur kalian beda jauh nak. Papa hanya tidak ingin suatu saat nanti kau menyesal setelah bersama dengan nya. Papa tidak ingin jika nanti sampai kau menelantarkan keluarga mu, dan menjalani hubungan gelap bersama pria lain. Hanya karena kau masih terlihat muda, dan suami mu sudah berumur," ucap papa mengingat kan.
Sepanjang perjalanan aku selalu merasa gelisah. Entah apa penyebab nya, aku pun merasa bingung sendiri. "Kenapa dari tadi diam mulu, Bell. Lo sakit, ya," tanya Rania melihat ku hanya diam, sejak memasuki mobil. "Nggak, gue baik-baik aja, kok," balas ku. "Kalo baik-baik aja, ngomong dong. Jangan diam mulu dari tadi, capek ini gue ngomong sendiri," omel nya yang tidak bisa diam dari tadi. Membuat ku tersenyum dengan tingkah laku nya. Aku dan Rania berencana akan menonton di bioskop lebih dulu. Baru lah setelah itu kami akan jalan-jalan ke tempat lain. Yang pasti hari ini adalah waktu nya bersenang-senang. Apalagi Rania baru saja di kasih black card milik om Arga. Membuat gadis itu sumringah. Pun dengan aku, karena dia pasti akan membayar semua tagihan belanja ku nanti. "Lo tunggu di sini aja ya, gue mau beli minuman sama popcorn dulu," ucap nya meninggalkan aku. Aku yang sedang si
Aku menunggu dengan perasaan takut di depan ruangan papa. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada nya. Mataku juga terlihat sembab, karena tidak henti-hentinya menangis sedari tadi. Sekarang aku mengerti, kenapa perasaan ku merasa gelisah sebelum nya. Mungkin itu adalah pertanda jika sesuatu yang buruk akan terjadi pada papa. Melihat papa terbaring di atas lantai saat aku pulang, membuat aku kesulitan untuk bernafas. Untung saja suara teriakan ku yang nyaring, membuat Rania bergegas menghampiri ku. Lalu memanggil om Arga, agar secepatnya membawa papa ke rumah sakit. Sedangkan aku yang masih syok, tidak bisa berbuat apa pun. Aku hanya diam saat Rania menarik tangan ku dan membawa ku menyusul om Arga yang membawa papa. "Minum dulu, Bell," ucap Rania, tapi aku menolak. Memikirkan keadaan papa, membuat aku tidak bernafsu apapun. Walau hanya sekedar meneguk air putih. "Tenang, ya! Om Baskara pasti akan baik-baik aja," ucap nya berusaha menenangkan aku. "Tapi bagaimana jika t