"Ups maaf, nggak sengaja," ucap seorang gadis yang fans berat sama Radit. Namanya Stella.
Stella tertawa setelah mengatakan itu, di sambut gelak tawa oleh kedua sahabat nya, Rara dan Dini. Yang selalu mengekor kemana pun Stella pergi. Layak nya anak buah, Rara dan Dini selalu patuh dengan apa yang di katakan dan di perintahkan Stella. Karena Stella adalah anak orang kaya. Jadi tidak ada yang berani menegur atau pun menolah apa yang dia inginkan dan katakan. Mereka bertiga sering kali membully siswi-siswi yang mencoba mendekati Radit. Tapi berbeda dengan ku, bukan kami yang mencoba mendekati pemuda itu. Tapi dia sendiri. Tapi seperti nya Stella tetap menyalahkan kami. Terutama aku, karena tadi Radit juga duduk di sampingku. Aku memperhatikan seragam sekolah ku yang Basah terkena tumpahan jus yang dilakukan Stella. Aku tahu dia sengaja melakukan nya, tapi aku tidak ingin berdebat, lebih baik aku mengalah saja. "Iya, nggak papa. Lain kali hati-hati," jawabku yang memang tidak ingin mencari masalah. Meskipun dia sengaja, dan semua orang di kantin ini juga tau jika dia sengaja. Mereka punya mata untuk melihat dengan jelas. "Kok nggak papa sih, Bell. Dia itu sengaja numpahin jus jeruk ke seragam lo tadi," ucap Rania marah. Gadis itu selalu menjadi garda terdepan yang membelaku jika ada yang bersikap tidak baik padaku. Bahkan dia tidak akan segan melawan orang tersebut demi aku. Rania tidak takut apapun, apalagi papa nya adalah orang hebat. Dengan kekuasan dan harta yang di miliki nya, bukan hal sulit untuk om Arga menghukum orang-orang yang bermasalah dengan putri nya. "Udah lah, Ran. Aku nggak papa," ucapku mencoba meyakinkan nya. Tapi dia justru menatap tajam ke arahku. "Nggak papa gimana? Baju lo basa gini. Dia juga harus mendapatkan hal yang sama," ucap Rania berapi-api. Gadis itu mengambil jus bekas di atas meja, dan menuangkan tepat dia atas kepada Stella. Membuat gadis itu berteriak histeris. "Duh, calon anak tiri gue. Kok lo baik benget sih! Sampe ngebela calon mak tiri lo sebegitu nya. Membuat gue makin kagak sabar buat nikah sama bokap lo," batinku. "Astagfirullahalazim! Apa yang aku pikirkan?" Aku yang mulai sadar, buru-buru menghentikan aksi Rania yang mulai menjambak rambut Stella. "Udah Rania, hentikan. Nanti lo bisa di panggil ke ruang BK," ucapan ku berhasil menghentikan tindakan Rania. "Ga usah meladeni orang gila kayak dia. Atau kita juga akan sama gilanya," ucap ku lagi menenangkan Rania. Lalu aku mulai mengajaknya pergi dari sana. Sebelum benar-benar keluar dari kantin, aku kembali menatap ke arah Stella. Rasanya aku ingin tertawa melihat keadaan nya sekarang. Dengan Rambut acak-acakkan dan juga seragam nya yang basah sama seperti ku. Tapi seperti nya dia lebih parah. "Awas aja! Aku akan membalas kalian!" ucapan Stella yang masih bisa ku dengar. Tapi aku memilih tidak peduli. "Sekarang seragam lo basah. Kita harus gimana, mana gue nggak bawa jaket lagi," ucap Rania yang khawatir pada ku. "Nggak papa, aku akan membersihkan nya di toilet," ucapku tersenyum. Meski sebenarnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan saat ini. Rasanya aku ingin pulang saja. Bajuku basah di bagian depan, membuat bagian tubuhku terlihat jelas. Baru saja aku ingin ke toilet, tiba-tiba saja Radit datang menghampiri kami, dengan membawa jaket di tangan nya. "Ada apa?" tanya Rania ketus. "Gue cuma mau memberikan jaket ini ke Bella," ucap Radit. "Sok baik lo. Padahal Bella basah kayak gini gara-gara Fans berat lo itu," jawab Rania masih terlihat kesal. Tapi Radit seolah tidak peduli dengan omelan Rania. Pria itu justru menghampiri ku, dan menyerahkan jaket di tangan nya. Jaket yang biasa dia kenakan. Aku yang memang membutuhkan nya, segera menyambut niat baik Radit. Entah dari mana dia mengetahui jika pakaian ku basah akibat ulah Stella. Mungkin dari mulut siswi-siswi yang ada di kantin tadi. Memang ya! Gosip menyebar begitu cepat, bagaikan tertiup angin. "Makasih Dit," ucapku tulus. Yang di balas senyuman manis oleh pria itu. Tapi bagiku biasa saja. Aku tidak akan terpikat dengan dengan senyuman nya, karena di hatiku sudah ada satu nama, ARGANTARA BIMASAKTI. ** ** Aku bingung ketika melihat om Arga terus menatapku sejak memasuki mobil. Ya, saat ini om Arga lah yang menjemput aku dan Rania. Karena ternyata mobil Rania belum selesai juga di servis. Om Arga yang kebetulan memang sedang tidak padat jadwal nya. Menyempatkan diri untuk menjemput putri satu-satunya. Beserta calon istrinya, hehehe. "Ada apa, om. Kenapa natap Bella dari tadi? Naksir, ya?" pertanyaan ku seperti nya membuat om Arga salah tingkah. Aku melihat dia segera menatap ke arah lain. "Jaket siapa yang kau pakai?" tanya om Arga. Seperti nya dia menyadari jika ini bukan milik ku. Karena belum pernah melihat aku mengenakan jaket seperti ini. Apalagi ini terlihat jelas, jika pemilik nya adalah seorang pria. "Apa milik pacarmu?" tanyanya lagi yang membuat aku tercengang. "Hah! Ada apa dengan om Arga? Apa dia cemburu. Tidak biasa nya dia peduli dengan hal seperti ini," Itu lah yang saat ini ada di benakku. Tapi tidak mungkin kan om Arga cemburu? Secara kan selama ini dia tidak menyukai ku. Dan selalu bersikap dingin, meskipun aku selalu bertingkah konyol untuk menarik perhatian nya. "Papa ada-ada saja. Mana ada pacar si Bella," ucap Rania tertawa, seolah mengejek ku yang tidak punya pacar. Padahal dia juga sama. "Itu jaket milik si Radit. Tadi pakaian nya Bella basah, di siram jus jeruk sama cewek yang naksir berat sama Radit," ucapnya lagi. "Kok Bisa?" tanya om Arga lagi. Seperti nya jiwa kepo om Arga keluar. Dia pasti penasaran bagaimana kelanjutan cerita nya. "Ya bisa lah, om. Kan Stella punya tangan," jawabku bercanda, membuat om Arga menatap tajam ke arah ku melalui kaca spion di depan nya. Dia pasti kesal, pertanyaan serius nya, justru di balas candaan olehku. "Saya sedang tidak bercanda Arabella," ucap om Arga menyebut nama panjangku. "Maaf om," ucapku tersenyum, sambil menaikkan dua jari membentuk huruf V. "Jadi apa alasan nya dia menyiram Bella?" tanya om Arga lagi. Lebih memilih bertanya pada putrinya. "Karena Radit yang dekat-dekat sama Bella. Dia pasti berpikir bahwa Bella menyukai Radit dan berusaha merayu nya. Padahal sebaliknya," balas Rania. "Maksudnya?" tanya om Arga tidak mengerti. Pun denganku yang ingin menanyakan pertanyaan yang sama. "Kalau filling aku, kayak nya si Radit suka deh sama Bella, pa!" "Hah!" Ciitt! Ucapan Rania membuatku berteriak terkejut. Dan... Aku bingung kenapa om Arga ngerem mobilnya mendadak. Apa dia juga terkejut karena ucapan Rania?Menjadi anak tunggal itu ternyata tidak menyenangkan. Apalagi jika setelah pulang sekolah seperti ini. Aku pasti sendirian di rumah, karena papa belum pulang kerja. Jika tidak ke pergi rumah Rania, aku pasti akan merasa kesepian di sini. Benar-benar sepi dan hampa. Coba saja papa nikah lagi, pasti aku akan punya adik yang lucu, dan bisa aku ajak main. Dan pastinya aku bakal betah di rumah. Tidak keluyuran ke rumah Rania setiap hari. Kehidupan memang tidak selalu berjalan seperti apa yang kita ingin kan. Padahal aku sangat ingin memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi Tuhan tidak berkenan mengabulkan itu. Manusia mungkin punya rencana. Tapi Allah lah yang berkehendak. Sebaik apapun rencana yang kita rancang, jika Allah tidak menghendaki nya, maka semua nya akan sia-sia. "Apa aku buat cake aja, ya," ucapku tiba-tiba. Dari pada bosan, rebahan tidak jelas. Lebih baik aku buat cake aja. Nanti aku bisa nyuruh Rania mencicipi nya. Karena memang kebetulan aku sangat suka mem
"Gimana rasanya, pa?" tanyaku, menghidangkan beberapa cake yang aku buat tadi siang, beserta secangkir kopi untuk papa. "Enak! Putri papa ini memang punya bakat luar biasa. Bisa membuat kue enak, sama seperti_" papa terdiam, tidak melanjutkan ucapan nya. Tapi aku tau, kalimat apa yang ingin keluar dari mulut papa. Dia pasti ingin mengatakan jika aku mempunyai bakat yang sama dengan mama. Ya, dulu mama ku juga sangat pintar dan enak membuat cake. Bahkan papa sendiri berniat membuat kan sebuah toko kue untuk mama. Sebagai kado Anniversary pernikahan mereka. Manusia hanya bisa berencana. Pada akhirnya semua itu hanya tinggal harapan. Kado indah yang sudah papa siap kan ternyata sia-sia. Tepat satu minggu sebelum anniversary pernikahan mereka, mama pergi. Membuat papa hancur, sehancur-hancur nya. Mama selingkuh, dia memilih pergi dan ingin hidup bersama selingkuhan nya. Tanpa memikirkan aku. Tanpa peduli jika dia
Papa terdiam mendengar pengakuan yang keluar dari mulut ku. Bisa aku pastikan, jika papa pasti terlihat syok dan tidak percaya. "Nak Arga, tetangga kita?" tanya papa. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ayah nya Rania," tanya nya lagi yang tidak percaya. "Iya, papa," "Apa? Kau pasti bercanda kan, nak!" ucap papa, menolak untuk percaya. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Jika papa tidak percaya, ya sudah," ucapku yang tidak ingin meyakinkan papa. "Tapi... Apa kau yakin," "Yakin bagaimana?" tanya ku bingung. "Umur kalian beda jauh nak. Papa hanya tidak ingin suatu saat nanti kau menyesal setelah bersama dengan nya. Papa tidak ingin jika nanti sampai kau menelantarkan keluarga mu, dan menjalani hubungan gelap bersama pria lain. Hanya karena kau masih terlihat muda, dan suami mu sudah berumur," ucap papa mengingat kan.
Sepanjang perjalanan aku selalu merasa gelisah. Entah apa penyebab nya, aku pun merasa bingung sendiri. "Kenapa dari tadi diam mulu, Bell. Lo sakit, ya," tanya Rania melihat ku hanya diam, sejak memasuki mobil. "Nggak, gue baik-baik aja, kok," balas ku. "Kalo baik-baik aja, ngomong dong. Jangan diam mulu dari tadi, capek ini gue ngomong sendiri," omel nya yang tidak bisa diam dari tadi. Membuat ku tersenyum dengan tingkah laku nya. Aku dan Rania berencana akan menonton di bioskop lebih dulu. Baru lah setelah itu kami akan jalan-jalan ke tempat lain. Yang pasti hari ini adalah waktu nya bersenang-senang. Apalagi Rania baru saja di kasih black card milik om Arga. Membuat gadis itu sumringah. Pun dengan aku, karena dia pasti akan membayar semua tagihan belanja ku nanti. "Lo tunggu di sini aja ya, gue mau beli minuman sama popcorn dulu," ucap nya meninggalkan aku. Aku yang sedang si
Aku menunggu dengan perasaan takut di depan ruangan papa. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada nya. Mataku juga terlihat sembab, karena tidak henti-hentinya menangis sedari tadi. Sekarang aku mengerti, kenapa perasaan ku merasa gelisah sebelum nya. Mungkin itu adalah pertanda jika sesuatu yang buruk akan terjadi pada papa. Melihat papa terbaring di atas lantai saat aku pulang, membuat aku kesulitan untuk bernafas. Untung saja suara teriakan ku yang nyaring, membuat Rania bergegas menghampiri ku. Lalu memanggil om Arga, agar secepatnya membawa papa ke rumah sakit. Sedangkan aku yang masih syok, tidak bisa berbuat apa pun. Aku hanya diam saat Rania menarik tangan ku dan membawa ku menyusul om Arga yang membawa papa. "Minum dulu, Bell," ucap Rania, tapi aku menolak. Memikirkan keadaan papa, membuat aku tidak bernafsu apapun. Walau hanya sekedar meneguk air putih. "Tenang, ya! Om Baskara pasti akan baik-baik aja," ucap nya berusaha menenangkan aku. "Tapi bagaimana jika t
Sah! Satu kalimat singkat itu mulai menggema dalam ruangan bercat putih ini. Membuat aku memejam kan mata, bersamaan dengan air bening yang mengalir di kedua mata ku. Kata 'sah' itu menjadi pertanda, jika saat ini status ku mulai berubah. Aku bulan lagi seorang gadis, tapi sudah menjadi seorang istri. Setelah ijab kabul itu terjadi, maka semua tanggung jawab yang selama ini papa pikul, akan berpindah pada suamiku. Tidak pernah terbayangkan oleh ku, jika pernikahan aku akan terjadi secepat ini, dan dengan cara seperti ini. Dengan ragu-ragu, aku mulai mencium punggung tangan om Arga. Rasa hangat mulai menjalar, menelungsup hingga ke relung hatiku. Begitu bibir om Arga mulai menyentuh kening ku, mencium dengan lembut. Aku melirik wajah nya sekilas, ingin melihat bagaimana reaksi nya. Tapi yang aku dapatkan hanya lah wajah datar tanpa ekspresi. "Semoga kau selalu bahagia, nak," ucap papa lemah, mata nya semakin terlihat sayu. "Papa," lirih ku menggenggam tangan nya dengan
Saat tiba di rumah, aku melihat begitu banyak pelayat yang mulai berdatangan. Seperti nya, kabar kepergian papa sudah terdengar di telinga semua orang Bahkan aku melihat beberapa teman ku juga datang. Salah satu nya Radit. "Aku turut berduka cita ya, Bella. Semoga amal ibadah om Baskara di terima di sisi Allah," ucap Radit menyampaikan bela sungkawa. "Terima kasih, Dit," ucapku lemah. Melihat aku sudah tiba di rumah, Rania segera menghampiri dan merangkul ku. Lalu membawa ku masuk ke dalam rumah. Semenjak tiba di rumah, aku hanya diam dengan pandangan yang terlihat kosong. Aku benar-benar terpukul. Aku bahkan tidak peduli pada hal-hal di sekitarku. Untung saja ada om Arga, dia lah mengurus semua nya. Hingga jenazah papa di masukkan ke liang lahat. Om Arga terlihat sibuk dan kelelahan, untung saja ada om Daniel juga yang membantu nya. "Ayok, kita pulang, Bella. Kita harus menyiapkan semua nya, nanti malam akan ada tahlilan untuk papa," ucap om Arga. Tapi aku tidak
Sejak kepergian papa, aku merasa hidup ku terasa hampa. Tidak seceria seperti biasa nya. Kesedihan kerap kali mengisi hari-hari ku. Apalagi ketika mengingat semua kenangan dan hari-hari yang aku lalui bersama papa. Sejak musibah itu terjadi, aku belum masuk sekolah. Rencana nya besok aku baru akan pergi ke sekolah lagi. Tidak boleh selama nya terpuruk dalam kesedihan. Apalagi ujian semester tidak lama lagi. Aku tidak ingin ketinggalan banyak mata pelajaran. Yang akan berakhir mendapatkan nilai jelek. Ting...Tong.. Suara bel yang berbunyi, menyadarkan aku dari lamunan. "Siapa ya?" gumam ku bingung. Jika Rania yang datang, pasti gadis itu akan langsung masuk, atau menelpon aku lebih dulu. Tapi ini tidak! "Apa mungkin om Arga?" Ya, mungkin saja itu adalah om Arga. Tapi ada perlu apa dia datang. Jika dulu aku selalu bertingkah konyol ketika bertemu dengan nya. Atau pun mencari perhatian nya, agar melirik padaku. Tapi tidak sekarang. Semenjak dia resmi menjadi suami k