POV Arabella"Mas, ini benar rumah nya?" Tanya ku pada mas Arga begitu dia menghentikan mobil nya. Yang di balas anggukan kepala oleh nya.Aku menatap iri pada rumah bercat putih yang ada di depan ku. Bukan karena rumah nya yang begitu besar. Tapi pada sebuah keluarga yang hidup bahagia di dalam sana.Keluarga yang aku rindukan. Tapi tidak pernah terwujud, karena salah satu tiang dari bahagia itu telah pergi. Dan dia memilih tempat lain untuk dia jadikan rumah yang kokoh."Ayo kita turun," ucapan mas Arga menyadarkan aku dari lamunan yang hanya ada di mimpi ku.Aku segera turun dengan mas Arga yang berjalan di sisiku. Begitu tiba di depan pintu, terlihat mama yang menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia."Akhirnya kalian tiba juga, mama pikir kalian tidak jadi datang," ucap mama merangkul ku ke dalam. Aku hanya diam tanpa menolak rangkuman nya.Aku ingin berdamai dengan masa lalu yang terasa menyakitkan itu. Setelah banyak nya nasehat yang mas Arga berikan padaku.Mencoba mem
Pov Arabella Allahuakbar Allahuakbar "Subhanallah, suara calon imam ku sungguh menggetarkan hati," Aku buru-buru mengambil wudhu lalu memakai mukenah. Suara lantunan adzan yang sangat merdu itu, membuat aku mengenali siapa pemilik suara itu. "Tumben mau ke mesjid?" tanya papa, ketika aku tiba di lantai bawah. Bersamaan dengan dia yang juga ingin ke mesjid. Aku hanya cengengesan mendengar pertanyaan papa. Karena biasanya, jangan kan ke mesjid. Aku bahkan sering bolong shalat di rumah. Padahal papa sering kali mengingatkan aku, jika meninggalkan shalat adalah dausa besar. Di iringi dengan berbagai ceramah nya, dia terus menasehati aku. Tapi, memang dasar nya aku yang bandel dan tidak ingin di atur, mengabaikan semua nasehat yang papa katakan. Ibarat katanya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. "Alhamdulillah, pa. Sekarang aku lagi di kelilingi sama malaikat. Maka nya, begitu mendengar suara azan langsung gas ke mesjid," jawabku. "Jadi biasa nya di kelilingi apa?"
Mendengar suaraku, papa buru-buru menyembunyikan bingkai foto yang di tatap nya tadi. Raut terkejut tidak bisa di sembunyikan nya, begitu dia mengetahui kehadiran ku.Tangan nya terangkat ke wajah, seperti menghapus air mata. Setelah itu barulah papa berbalik menatap ke arahku."Sudah pulang, nak? Papa pikir kamu masih lama di rumah Rania," ucap papa tersenyum ke arahku. Aku tau, itu hanyalah alasan nya. Agar aku tidak menanyakan apa yang di lakukan nya tadi. Juga tidak ingin membuatku bersedih.Meskipun tanpa di katakan apapun. Akutau, Papa pasti sedang merindukan mama. Setiap kali rindu itu datang. Dia pasti akan menatap lama foto mama, sambil menitikkan air mata nya.Entah sebesar apa rasa cinta yang di miliki papa. Hingga dia masih setia menunggu mama kembali. Masih setia mencintai wanita itu, meskipun dia sudah menorehkan luka padanya.Aku sendiri bahkan tidak pernah mengharapkan nya lagi. Dia yang memilih pergi, bahkan tanpa menoleh sedikitpun pada kami. Lalu, kenapa aku harus m
"Radit," ucapku saat mengetahui bahwa yang memanggil ku tadi adalah Radit. "Mau masuk kelas, ya. Bareng aja, yuk," ucap Radit Aku hanya mengangguk, tanpa berniat menolak niat baik nya. Lagipula kami memang satu kelas. Sementara Rania yang berada di sampingku, sudah gregetan sama si Radit. Dia tidak suka pada pria itu. Karena Radit selalu bersikap sok ganteng di sekolah ini. Padahal menurut Rania, wajah pria itu biasa-biasa saja. Namanya Raditya, dia anak orang kaya. Ayahnya merupakan salah satu donatur tetap di sekolah ini. Tampang nya juga lumayan sih menurutku, banyak cewek-cewek di sini yang mengejarnya. Tapi tidak termasuk aku dan Rania, ya! Mungkin itu salah satu alasan dirinya bersikap demikian. Meskipun begitu, dia tidak sombong. Dan berteman dengan siapa pun, meskipun dia menjadi salah satu cowok terpopuler di sekolah ini. "Kok lo iyain sih, Bell," ucap Rania berbisik padaku. "Loh, apa salah nya? Lagipula kita memang mau ke kelas, kan," balas ku yang juga berbi
"Banyak amat lo beli baksonya. Emang habis?" tanya ku melihat Rania yang menenteng dua buah bakso di tangan nya. "Ya nggak lah! Ini gue beli buat papa satu," jawab Rania. "Kirain," jawabku cengengesan. "Lo sih, kebiasaan. Suudzon mulu," "Kok sepi rumah lo, Ran," ucapku begitu tiba di rumah nya. "Papa belum pulang kerja. Lagi lembur katanya," jawab Rania. Tidak lama setelah Rania mengatakan itu. Mobil om Arga mulai terlihat memasuki perkarangan rumah. "Itu om Arga udah pulang!" ucapku pada Rania. Membuat dia mengalihkan pandangan nya, begitu indra pendengar nya mendengar suara deru mobil om Arga. "Darimana, sayang," tanya om Arga pada Rania, begitu dia turun dari mobil nya. "Habis beli bakso, pa. Ini aku juga beli buat papa satu," balas Rania. "Aku nggak di tanya, om. Aku kan juga kepingin di panggil sayang," ucapku sambil mengedipkan mata genit. Tapi om Arga mana peduli dengan tingkah ke kanak-kanakan ku. "Kan tadi saya udah tanya ke Rania. Lagian kalian pasti pe
"Ups maaf, nggak sengaja," ucap seorang gadis yang fans berat sama Radit. Namanya Stella. Stella tertawa setelah mengatakan itu, di sambut gelak tawa oleh kedua sahabat nya, Rara dan Dini. Yang selalu mengekor kemana pun Stella pergi. Layak nya anak buah, Rara dan Dini selalu patuh dengan apa yang di katakan dan di perintahkan Stella. Karena Stella adalah anak orang kaya. Jadi tidak ada yang berani menegur atau pun menolah apa yang dia inginkan dan katakan. Mereka bertiga sering kali membully siswi-siswi yang mencoba mendekati Radit. Tapi berbeda dengan ku, bukan kami yang mencoba mendekati pemuda itu. Tapi dia sendiri. Tapi seperti nya Stella tetap menyalahkan kami. Terutama aku, karena tadi Radit juga duduk di sampingku. Aku memperhatikan seragam sekolah ku yang Basah terkena tumpahan jus yang dilakukan Stella. Aku tahu dia sengaja melakukan nya, tapi aku tidak ingin berdebat, lebih baik aku mengalah saja. "Iya, nggak papa. Lain kali hati-hati," jawabku yang memang tidak
Menjadi anak tunggal itu ternyata tidak menyenangkan. Apalagi jika setelah pulang sekolah seperti ini. Aku pasti sendirian di rumah, karena papa belum pulang kerja. Jika tidak ke pergi rumah Rania, aku pasti akan merasa kesepian di sini. Benar-benar sepi dan hampa. Coba saja papa nikah lagi, pasti aku akan punya adik yang lucu, dan bisa aku ajak main. Dan pastinya aku bakal betah di rumah. Tidak keluyuran ke rumah Rania setiap hari. Kehidupan memang tidak selalu berjalan seperti apa yang kita ingin kan. Padahal aku sangat ingin memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi Tuhan tidak berkenan mengabulkan itu. Manusia mungkin punya rencana. Tapi Allah lah yang berkehendak. Sebaik apapun rencana yang kita rancang, jika Allah tidak menghendaki nya, maka semua nya akan sia-sia. "Apa aku buat cake aja, ya," ucapku tiba-tiba. Dari pada bosan, rebahan tidak jelas. Lebih baik aku buat cake aja. Nanti aku bisa nyuruh Rania mencicipi nya. Karena memang kebetulan aku sangat suka mem
"Gimana rasanya, pa?" tanyaku, menghidangkan beberapa cake yang aku buat tadi siang, beserta secangkir kopi untuk papa. "Enak! Putri papa ini memang punya bakat luar biasa. Bisa membuat kue enak, sama seperti_" papa terdiam, tidak melanjutkan ucapan nya. Tapi aku tau, kalimat apa yang ingin keluar dari mulut papa. Dia pasti ingin mengatakan jika aku mempunyai bakat yang sama dengan mama. Ya, dulu mama ku juga sangat pintar dan enak membuat cake. Bahkan papa sendiri berniat membuat kan sebuah toko kue untuk mama. Sebagai kado Anniversary pernikahan mereka. Manusia hanya bisa berencana. Pada akhirnya semua itu hanya tinggal harapan. Kado indah yang sudah papa siap kan ternyata sia-sia. Tepat satu minggu sebelum anniversary pernikahan mereka, mama pergi. Membuat papa hancur, sehancur-hancur nya. Mama selingkuh, dia memilih pergi dan ingin hidup bersama selingkuhan nya. Tanpa memikirkan aku. Tanpa peduli jika dia