Share

Bab 4 : Om, nikah yuk!

"Banyak amat lo beli baksonya. Emang habis?" tanya ku melihat Rania yang menenteng dua buah bakso di tangan nya.

"Ya nggak lah! Ini gue beli buat papa satu," jawab Rania.

"Kirain," jawabku cengengesan.

"Lo sih, kebiasaan. Suudzon mulu,"

"Kok sepi rumah lo, Ran," ucapku begitu tiba di rumah nya.

"Papa belum pulang kerja. Lagi lembur katanya," jawab Rania.

Tidak lama setelah Rania mengatakan itu. Mobil om Arga mulai terlihat memasuki perkarangan rumah.

"Itu om Arga udah pulang!" ucapku pada Rania. Membuat dia mengalihkan pandangan nya, begitu indra pendengar nya mendengar suara deru mobil om Arga.

"Darimana, sayang," tanya om Arga pada Rania, begitu dia turun dari mobil nya.

"Habis beli bakso, pa. Ini aku juga beli buat papa satu," balas Rania.

"Aku nggak di tanya, om. Aku kan juga kepingin di panggil sayang," ucapku sambil mengedipkan mata genit. Tapi om Arga mana peduli dengan tingkah ke kanak-kanakan ku.

"Kan tadi saya udah tanya ke Rania. Lagian kalian pasti pergi ke tempat yang sama, kan," balas om Arga datar seperti biasa nya.

"Iya sih, hehe,"

"Ya udah Bell. Masuk dulu, yuk!" aku segera mengiyakan ajakan Rania.

Mumpung ada om Arga, tidak boleh melewatkan kesempatan untuk menatap calon imam.

"Capek banget ya om?" tanyaku melihat om Arga bersandar di sofa. Sedangkan Rania sedang menuju dapur, mengambil minum untuk papa nya.

"Hemm," jawab nya tanpa menatap ke arahku.

"Mau di pijitin, nggak. Gratis loh, om,"

Ucapan ku seketika membuat om Arga menatap tajam ke arahku. Tidak seperti biasanya. Apa aku salah bicara?

"Bercanda, om. Nggak usah tegang gitu. Tatapan om membuat Bella takut loh," ucap ku mencoba tersenyum.

"Makanya, lain kali jangan ngomong sembarangan," ucap nya seolah menasehati. Dan aku hanya mengangguk kepala patuh.

"Ini, pa," ucap Rania menyerahkan air putih yang baru di ambil nya ke om Arga.

"Coba aja om Arga mau nikah. Pasti yang ngambil minum kayak gini itu, jadi tugas nya Bella,"

Uhuk... Uhuk..

Ucapan ku ternyata membuat om Arga tersendak. Padahal baru saja tadi dia mengingatkan, tapi aku kembali berulah.

"Hati-hati, om. Makanya, kalau minum itu jangan sambil mikirin Bella," ucap ku penuh percaya diri. Membuat Rania seketika mengetuk kepalaku.

"Kepercayaan diri lo terlalu tinggi," ucap Rania.

"Sakit Rania Argantara Bimasakti," keluh ku menyebut nama panjang nya.

Sementara om Arga hanya diam tanpa berkomentar apapun. Tapi bisa di pastikan, jika dia pasti kesal. Capek-capek pulang kerja, justru di sambut dengan tingkah menyebalkan aku dan Rania.

Baru saja om Arga bangkit hendak menuju kamar nya. Aku kembali berbicara.

"Om, nikah yuk! Saya siap jadi ibu sambung nya Rania,"

Satu kalimat yang aku ucapkan, berhasil membuat om Arga terkejut. Tapi itu hanya seper sekian detik. Karena sesaat kemudian pria itu berlalu dari sana.

Mungkin dia berpikir aku sedang bercanda, itu lah sebab nya dia tidak menganggap serius ucapan ku.

Sementara Rania yang berdiri di sampingku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak? Aku yang seumuran dengan nya. Justru ingin menjadi ibu sambung nya.

"Sakit lo ya, Bell. Masak iya lo ngajak nikah bokap gue. Ogah gue punya mama tiri kayak lo," ejek Rania.

"Kok gitu sih Ran. Harusnya lo dukung gue buat nikah sama orang yang gue cintai,"

"Iya sih. Tapi nggak harus bokap gue juga kali. Umur kalian itu beda jauh," ucap Rania lagi. Seolah tidak mendukung niat baikku. Padahal aku benar-benar mencintai om Arga. Nasib-nasib jadi bocah.

"Umur hanyalah angka,"

"Sok bijak lo,"

"Emang iya kok. Memang nya lo nggak pernah dengar kata pepatah kayak gitu," ucap ku.

"Nggak," ucap Rania.

"Gue serius loh, Ran. Masa lo tega benar sama sahabat lo sendiri. Om Arga itu cinta pertama gue. Entar kalo gue nggak jadi nikah sama tuh orang. Bisa patah hati gue,"

"Astagfirullahalazim! Kayak nya lo harus di ruqiyah deh, Bell. Lo pasti nggak sadar waktu ngomong kayak itu," ucap nya.

Rania mulai menyentuh ubun-ubun ku, dan membaca berbagai doa. Dia juga membaca Ayat Kursi, juga surah Al-ikhlas.

"Apaan sih, Ran. Lo pikir gue kerasukan," kesal ku menepis tangan nya.

"Kayak nya jin dalam badan lo terlalu kuat, deh. Gue harus minta bantuan ustadz terkenal ini,"

"Lo kayak nya yang harus di ruqiyah, bukan gue," semakin kesal aja aku dengan tingkah anak satu ini.

Kalau tidak mengingat dia anak nya om Arga. Udah aku tamplok pakek sandal.

"Udah ah, gue mau pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamit ku.

"Wa'alaikumussalam,"

**

**

Aku yang sedang menyantap makanan di kantin. Terganggu dengan kebisingan yang di ciptakan oleh siswi-siswi di sana. Pun dengan Rania yang merasakan hal demikian.

"Eh, liat itu dia udah datang,"

"Wah, ganteng nya. Pantesan dia menjadi siswa terpopuler di sekolah ini,"

"Iya. Udah ganteng, pintar pula. Siapa yang nggak jatuh cinta coba,"

"Kalau aja dia nembak gue. Pasti gue bakal cepet-cepet jawab iya,"

Berbagai bisikin itu masih terdengar di telingaku. Aku mengalihkan pandangan, melihat siapa yang mereka bicarakan.

Yassalam!

Ternyata Radit yang mereka bicarakan. Masak iya sampe sebegitu nya. Kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja.

Apa kabar ya? kalau sampai mereka liat bokap nya Rania. Bisa klepek-klepek nggak tuh mereka. Pasti berasa udah kayak liat oppa-oppa Korea. Plus dengan status duda nya. Tambah mempesona deh om Arga. Istilah nya kalau orang-orang nyebut sekarang 'DUREN' duda keren.

Aku berani jamin, nggak akan ada yang percaya kalau umur nya om Arga itu 35. Kalau dia nggak bilang.

"Liat deh Bell. Kayak nya mata mereka udah Rabun. Masa liat orang kayak Radit aja, sampe sebegitu nya. Udah kayak liat artis terkenal," bisik Rania di telingaku.

"Mungkin nggak pernah liat cowok ganteng kali," aku pun tertawa setelah mengatakan itu.

"Emang lo udah pernah liat cowok yang lebih ganteng dari si Radit," tanya Rania.

"Udah. Bahkan setiap hari gue liat,"

"Siapa?" tanya nya menaikkan sebelah alis.

"Siapa lagi kalau bukan laki-laki idaman gue. Pujaan hati gue. Om Arga, bokap lo," ucapku sambil tersenyum.

"Kalau itu mah, nggak di ragukan lagi. Membuat gue bangga jadi anaknya," ucap Rania sombong.

Baru saja aku ingin membalas ucapan Rania. Tiba-tiba saja Radit sudah berdiri di dekat meja kami.

Tanpa meminta izin, dia langsung duduk di sebelahku. Pun dengan sepupunya yang bernama Denis. Pria itu duduk di sebelah Rania.

"Kok duduk di sini, sih. Mending pindah deh, tuh fans-fans lo pada liat ke sini semua," sewot Rania dengan kehadiran dua cowok ini. Sambil menunjukkan beberapa orang siswi yang menatap tidak suka ke arah kami.

"Mending lo pindah aja, Dit. Nggak enak gue ngeliat tatapan mereka semua," ucapku juga.

"Abaikan saja. Lagian terserah gue mau duduk di mana," ucap Radit.

"Tapi tatapan cewek-cewek yang suka sama lo, kayak liat musuh ke kita," timpal Rania. Aku juga mengiyakan.

Tapi si Radit mana peduli, dia justru memesan makanan. Dan tidak menggubris apapun. Padahal aku hanya tidak ingin ada musuh di sekolah ini. Hanya karena Radit yang dekat dengan kami.

Aku mau beranjak pergi, tapi kasihan makanan yang aku pesan masih banyak. Belum habis setengah aku memakan nya. Kan mubazir buang-buang makanan. Apalagi jika mengingat orang di luar sana ada yang tidak bisa makan.

Aku melanjutkan makan makanan yang aku pesan tadi. Tapi belum juga aku habis memakan nya, Radit sudah lebih dulu selesai. Entah bagaimana cara kerja pencernaan nya. Baru juga makan udah kandas.

"Alhamdulilah," ucapnya yang masih bisa ku dengar.

Dia memanggil ibu kantin dan membayar semua nya. Pun dengan punya ku dan Rania. Aku sudah menolak, tapi dia tetap maksa buat bayar. Ya udahlah, anggap aja Rejeki.

"Gue duluan, ya," ucap Radit setelah membayar semua nya. Aku hanya mengangguk saja.

"Ya udah, kita juga ke kelas yuk, Bell!" ajak Rania kemudian.

Bruk!

"Astagfirullah,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status