"Gimana rasanya, pa?" tanyaku, menghidangkan beberapa cake yang aku buat tadi siang, beserta secangkir kopi untuk papa.
"Enak! Putri papa ini memang punya bakat luar biasa. Bisa membuat kue enak, sama seperti_" papa terdiam, tidak melanjutkan ucapan nya. Tapi aku tau, kalimat apa yang ingin keluar dari mulut papa. Dia pasti ingin mengatakan jika aku mempunyai bakat yang sama dengan mama. Ya, dulu mama ku juga sangat pintar dan enak membuat cake. Bahkan papa sendiri berniat membuat kan sebuah toko kue untuk mama. Sebagai kado Anniversary pernikahan mereka. Manusia hanya bisa berencana. Pada akhirnya semua itu hanya tinggal harapan. Kado indah yang sudah papa siap kan ternyata sia-sia. Tepat satu minggu sebelum anniversary pernikahan mereka, mama pergi. Membuat papa hancur, sehancur-hancur nya. Mama selingkuh, dia memilih pergi dan ingin hidup bersama selingkuhan nya. Tanpa memikirkan aku. Tanpa peduli jika diaPapa terdiam mendengar pengakuan yang keluar dari mulut ku. Bisa aku pastikan, jika papa pasti terlihat syok dan tidak percaya. "Nak Arga, tetangga kita?" tanya papa. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ayah nya Rania," tanya nya lagi yang tidak percaya. "Iya, papa," "Apa? Kau pasti bercanda kan, nak!" ucap papa, menolak untuk percaya. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Jika papa tidak percaya, ya sudah," ucapku yang tidak ingin meyakinkan papa. "Tapi... Apa kau yakin," "Yakin bagaimana?" tanya ku bingung. "Umur kalian beda jauh nak. Papa hanya tidak ingin suatu saat nanti kau menyesal setelah bersama dengan nya. Papa tidak ingin jika nanti sampai kau menelantarkan keluarga mu, dan menjalani hubungan gelap bersama pria lain. Hanya karena kau masih terlihat muda, dan suami mu sudah berumur," ucap papa mengingat kan.
Sepanjang perjalanan aku selalu merasa gelisah. Entah apa penyebab nya, aku pun merasa bingung sendiri. "Kenapa dari tadi diam mulu, Bell. Lo sakit, ya," tanya Rania melihat ku hanya diam, sejak memasuki mobil. "Nggak, gue baik-baik aja, kok," balas ku. "Kalo baik-baik aja, ngomong dong. Jangan diam mulu dari tadi, capek ini gue ngomong sendiri," omel nya yang tidak bisa diam dari tadi. Membuat ku tersenyum dengan tingkah laku nya. Aku dan Rania berencana akan menonton di bioskop lebih dulu. Baru lah setelah itu kami akan jalan-jalan ke tempat lain. Yang pasti hari ini adalah waktu nya bersenang-senang. Apalagi Rania baru saja di kasih black card milik om Arga. Membuat gadis itu sumringah. Pun dengan aku, karena dia pasti akan membayar semua tagihan belanja ku nanti. "Lo tunggu di sini aja ya, gue mau beli minuman sama popcorn dulu," ucap nya meninggalkan aku. Aku yang sedang si
Aku menunggu dengan perasaan takut di depan ruangan papa. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada nya. Mataku juga terlihat sembab, karena tidak henti-hentinya menangis sedari tadi. Sekarang aku mengerti, kenapa perasaan ku merasa gelisah sebelum nya. Mungkin itu adalah pertanda jika sesuatu yang buruk akan terjadi pada papa. Melihat papa terbaring di atas lantai saat aku pulang, membuat aku kesulitan untuk bernafas. Untung saja suara teriakan ku yang nyaring, membuat Rania bergegas menghampiri ku. Lalu memanggil om Arga, agar secepatnya membawa papa ke rumah sakit. Sedangkan aku yang masih syok, tidak bisa berbuat apa pun. Aku hanya diam saat Rania menarik tangan ku dan membawa ku menyusul om Arga yang membawa papa. "Minum dulu, Bell," ucap Rania, tapi aku menolak. Memikirkan keadaan papa, membuat aku tidak bernafsu apapun. Walau hanya sekedar meneguk air putih. "Tenang, ya! Om Baskara pasti akan baik-baik aja," ucap nya berusaha menenangkan aku. "Tapi bagaimana jika t
Sah! Satu kalimat singkat itu mulai menggema dalam ruangan bercat putih ini. Membuat aku memejam kan mata, bersamaan dengan air bening yang mengalir di kedua mata ku. Kata 'sah' itu menjadi pertanda, jika saat ini status ku mulai berubah. Aku bulan lagi seorang gadis, tapi sudah menjadi seorang istri. Setelah ijab kabul itu terjadi, maka semua tanggung jawab yang selama ini papa pikul, akan berpindah pada suamiku. Tidak pernah terbayangkan oleh ku, jika pernikahan aku akan terjadi secepat ini, dan dengan cara seperti ini. Dengan ragu-ragu, aku mulai mencium punggung tangan om Arga. Rasa hangat mulai menjalar, menelungsup hingga ke relung hatiku. Begitu bibir om Arga mulai menyentuh kening ku, mencium dengan lembut. Aku melirik wajah nya sekilas, ingin melihat bagaimana reaksi nya. Tapi yang aku dapatkan hanya lah wajah datar tanpa ekspresi. "Semoga kau selalu bahagia, nak," ucap papa lemah, mata nya semakin terlihat sayu. "Papa," lirih ku menggenggam tangan nya dengan
Saat tiba di rumah, aku melihat begitu banyak pelayat yang mulai berdatangan. Seperti nya, kabar kepergian papa sudah terdengar di telinga semua orang Bahkan aku melihat beberapa teman ku juga datang. Salah satu nya Radit. "Aku turut berduka cita ya, Bella. Semoga amal ibadah om Baskara di terima di sisi Allah," ucap Radit menyampaikan bela sungkawa. "Terima kasih, Dit," ucapku lemah. Melihat aku sudah tiba di rumah, Rania segera menghampiri dan merangkul ku. Lalu membawa ku masuk ke dalam rumah. Semenjak tiba di rumah, aku hanya diam dengan pandangan yang terlihat kosong. Aku benar-benar terpukul. Aku bahkan tidak peduli pada hal-hal di sekitarku. Untung saja ada om Arga, dia lah mengurus semua nya. Hingga jenazah papa di masukkan ke liang lahat. Om Arga terlihat sibuk dan kelelahan, untung saja ada om Daniel juga yang membantu nya. "Ayok, kita pulang, Bella. Kita harus menyiapkan semua nya, nanti malam akan ada tahlilan untuk papa," ucap om Arga. Tapi aku tidak
Sejak kepergian papa, aku merasa hidup ku terasa hampa. Tidak seceria seperti biasa nya. Kesedihan kerap kali mengisi hari-hari ku. Apalagi ketika mengingat semua kenangan dan hari-hari yang aku lalui bersama papa. Sejak musibah itu terjadi, aku belum masuk sekolah. Rencana nya besok aku baru akan pergi ke sekolah lagi. Tidak boleh selama nya terpuruk dalam kesedihan. Apalagi ujian semester tidak lama lagi. Aku tidak ingin ketinggalan banyak mata pelajaran. Yang akan berakhir mendapatkan nilai jelek. Ting...Tong.. Suara bel yang berbunyi, menyadarkan aku dari lamunan. "Siapa ya?" gumam ku bingung. Jika Rania yang datang, pasti gadis itu akan langsung masuk, atau menelpon aku lebih dulu. Tapi ini tidak! "Apa mungkin om Arga?" Ya, mungkin saja itu adalah om Arga. Tapi ada perlu apa dia datang. Jika dulu aku selalu bertingkah konyol ketika bertemu dengan nya. Atau pun mencari perhatian nya, agar melirik padaku. Tapi tidak sekarang. Semenjak dia resmi menjadi suami k
"Om Arga," gumam ku. Terkejut melihat keberadaan nya di sini. "Lepaskan tangan ku!" berontak mama, yang tangan nya di cengkram oleh om Arga. "Jangan berani menyentuh Bella walau seujung kuku pun, atau kau akan menyesal!" ucap om Arga menatap dingin ke arah mama. "Siapa kau? Jangan berani ikut campur urusan kami," balas mama kesal. "Kau tidak perlu tau siapa aku. Lebih baik sekarang cepat pergi dari sini!" ucap om Arga dingin. "Tidak! Aku tidak akan pergi, jika Bella tidak ikut dengan ku!" Kekeh mama. "Lebih baik mama pergi dari sini, aku tidak mau ikut dengan mama," balas ku berharap mama segera pergi dari sini. "Jadi dia ibumu?" tanya om Arga menatap ke arah ku. Seperti nya dia memang tidak kenal dengan mama. Karena, saat om Arga menempati rumah di samping rumah ku, mama sudah tidak ada lagi bersama kami. Saat itu mama sudah pergi, jadi om Arga tidak mengenal mama. Om Arga menetap di sini saat aku mulai masuk sekolah menengah pertama. Bersamaan dengan itu, R
"Kenapa masih berdiri di sana?" tanya om Arga, begitu melihat aku hanya diam di depan pintu kamar nya. "Om, a-aku... Apa tidak masalah aku tidur di kamar om Arga?" Tanya ku terbata-bata. Membuat om Arga mengernyit bingung. "Apakah suami istri berada dalam satu kamar merupakan sebuah kesalahan?" tanya nya kemudian. "Bukan begitu maksud ku. Aku tau, om Arga pasti terpaksa menikahi ku, karena permintaan terakhir papa. Aku tidak ingin jika sampa om Arga merasa terbebani dengan pernikahan ini," jawab ku. "Jangan menyimpulkan sesuatu yang belum pasti kebenaran nya," "Om Arga tidak merasa keberatan dengan pernikahan ini," tanya ku lagi, yang di balas gelengen oleh Arga. "Akan merasa terbebani jika kita tidak mencoba untuk menerima nya," jawab om Arga. "Jadi om Arga menerima aku sebagai istri mu?" "Memang nya kapan saya pernah menolak kamu?" tanya om Arga menatap dingin ke arah ku. "Hehehe, kirain," jawab ku berusaha tersenyum semanis mungkin. Melihat tatapan dingin yang