"Om Arga," gumam ku. Terkejut melihat keberadaan nya di sini. "Lepaskan tangan ku!" berontak mama, yang tangan nya di cengkram oleh om Arga. "Jangan berani menyentuh Bella walau seujung kuku pun, atau kau akan menyesal!" ucap om Arga menatap dingin ke arah mama. "Siapa kau? Jangan berani ikut campur urusan kami," balas mama kesal. "Kau tidak perlu tau siapa aku. Lebih baik sekarang cepat pergi dari sini!" ucap om Arga dingin. "Tidak! Aku tidak akan pergi, jika Bella tidak ikut dengan ku!" Kekeh mama. "Lebih baik mama pergi dari sini, aku tidak mau ikut dengan mama," balas ku berharap mama segera pergi dari sini. "Jadi dia ibumu?" tanya om Arga menatap ke arah ku. Seperti nya dia memang tidak kenal dengan mama. Karena, saat om Arga menempati rumah di samping rumah ku, mama sudah tidak ada lagi bersama kami. Saat itu mama sudah pergi, jadi om Arga tidak mengenal mama. Om Arga menetap di sini saat aku mulai masuk sekolah menengah pertama. Bersamaan dengan itu, R
"Kenapa masih berdiri di sana?" tanya om Arga, begitu melihat aku hanya diam di depan pintu kamar nya. "Om, a-aku... Apa tidak masalah aku tidur di kamar om Arga?" Tanya ku terbata-bata. Membuat om Arga mengernyit bingung. "Apakah suami istri berada dalam satu kamar merupakan sebuah kesalahan?" tanya nya kemudian. "Bukan begitu maksud ku. Aku tau, om Arga pasti terpaksa menikahi ku, karena permintaan terakhir papa. Aku tidak ingin jika sampa om Arga merasa terbebani dengan pernikahan ini," jawab ku. "Jangan menyimpulkan sesuatu yang belum pasti kebenaran nya," "Om Arga tidak merasa keberatan dengan pernikahan ini," tanya ku lagi, yang di balas gelengen oleh Arga. "Akan merasa terbebani jika kita tidak mencoba untuk menerima nya," jawab om Arga. "Jadi om Arga menerima aku sebagai istri mu?" "Memang nya kapan saya pernah menolak kamu?" tanya om Arga menatap dingin ke arah ku. "Hehehe, kirain," jawab ku berusaha tersenyum semanis mungkin. Melihat tatapan dingin yang
"Om Arga! Kenapa belum tidur," tanya ku begitu menyadari kehadiran nya. "Saya menunggu kamu," balas om Arga. "Kenapa mengganggu Rania? ini sudah malam. Sebaik nya kamu juga kembali ke kamar," tambah nya lagi. "Bentar om, Bella mau ngucapin selamat malam dulu ke Rania," alasan ku. "Apa kamu keberatan satu kamar dengan saya," tanya nya kemudian. "Iya, eh maksud Bella nggak om," aku segera meralat ucapan ku, jangan sampai om Arga tersinggung dengan jawaban ku. "Ya sudah. Kalau begitu ayo kembali ke kamar kita," ucap om Arga. Aku terkadang merinding mendengar setiap kata-kata yang keluar dari mulut om Arga. Dia selalu terlihat santai saat berbicara dengan ku. Apalagi kata 'kita' yang di ucapkan nya, seolah sangat intim bagi ku. Akhirnya aku pasrah, dan kembali ke kamar bersama om Arga. Melihat om Arga yang sudah naik ke tempat tidur. Aku juga mendekat ke sana, lalu mengambil bantal dan selimut. "Mau kemana lagi?" tanya om Arga, saat melihat aku ingin beranjak dari sana
"Cepat lah Bella. Kenapa lama banget sih!" Kesal Rania menunggu ku di mobil. Seperti yang di katakan om Arga sebelum nya. Begitu jam sekolah usai, kami pulang ke rumah lebih dulu. Dan sekarang, baru lah kamu ingin berbelanja. "Tara!" begitu masuk ke mobil, aku segera mengeluarkan black card yang di berikan om Arga tadi pagi, dan menunjuk kan nya pada Rania. "Dapat dari mana?" tanya Rania memperhatikan black card di tangan ku. "Pemberian dari pak su," jawab ku menyombongkan diri. "Papa yang kasih?" tanya nya lagi. "Iya lah! Aku kan istrinya sekarang. Kata om Arga, ini merupakan nafkah dari nya," jawab ku. "Nafkah lahir?" Aku mengangguk sebagai jawaban. "Kalau nafkah batin?" tanya nya lagi, membuat aku seketika melotot ke arah nya. "Jangan nanya yang aneh-aneh Rania," "Lah? Emang nya pertanyaan ku salah," tanya Rania. "Baik lah, kau tidak pernah salah Rania. Kau selalu benar," ucap ku akhirnya. "Ngomong-ngomong ya, Bell. Mulai sekarang aku harus manggil kamu apa y
Sebelum keluar kamar, aku kembali mematut diri ini di depan cermin. Memindai kembali penampilan ku, dari atas sampai bawah. "Bismillah, semoga istiqamah ya Allah," yakin ku pada diri sendiri. Dengan langkah mantap, aku mulai melangkah kan kaki keluar kamar. Om Arga dan Rania pasti menunggu ku di meja makan. "Bunda kenapa belum turun, pa?" tanya Rania yang bisa aku dengar. Sepertinya dia benar-benar membiasakan diri memanggil aku bunda. Meski terkadang terdengar lucu, hehehe. "Mungkin sebentar lagi," jawab om Arga. "Pagi semua," sapa ku begitu tiba di meja makan. Membuat kedua orang itu sontak menatap ke arah ku. Om Arga dan Rania menatap diam pada ku. Mungkin penampilan ku pagi ini membuat mereka terkejut. "Kenapa? Apa penampilan ku terlihat aneh?" tanya ku. "Tidak! Bunda terlihat sangat cantik,". balas Rania, membuat ku tersenyum. Aku melirik ke arah ke arah om Arga yang masih terpaku menatap ku. "A-ada apa, om?" tatapan nya membuat ku kurang percaya diri. "Kamu
"Maaf, jika pertanyaan ku membuat kamu tersinggung! Kalau kau tidak ingin menjawab nya tidak masalah," ucap ku merasa tidak enak. Apalagi aku melihat raut wajah Rania tiba-tiba saja berubah, setelah mendengar pertanyaan yang aku lontar kan tadi. "Tidak! Aku akan menjawab nya. Lagi pula bunda pasti penasaran kan? Tapi ini adalah sebuah aib besar. Aku harap setelah mendengar nya, bunda tidak akan menilai buruk papa," jawab Rania kemudian. Aku mengangguk, meski sebenar nya aku merasa was-was. Aib besar seperti apakah yang Rania maksud. Rahasia besar apakah yang tidak pernah di cerita kan Rania padaku. Rasa penasaran ku semakin besar.Aku penasaran tentang ibu nya Rania. Seperti apakah wanita itu? Meski tidak tau wajah nya, karena tidak ada satu pun foto tentang ibunya Rania di sini.Tapi aku penasaran, bagaimana hubungan nya dengan Rania maupun om Arga dulu? Dan alasan apakah yang membuat wanita itu pergi meninggalkan pria sesempurna om Arga. Apa kekurangan om Arga hingga membuat wani
Aku memperhatikan setiap gerak-gerik om Arga, mulai dari dia keluar dari kamar mandi. Lalu mengambil baju Koko yang sudah aku siapkan dan memakai nya. Om Arga ingin pergi shalat berjamaah di mesjid. Aku yang masih duduk di sofa, tidak mengalihkan pandangan ku dari nya. Cerita yang tadi siang di cerita kan Rania, masih terbayang dalam ingatan ku. Sulit untuk aku percaya jika masa lalu kelam itu adalah milik om Arga, suami ku. Ternyata di balik sempurna nya seseorang pasti mempunyai masa lalu yang buruk. Di balik baik nya seseorang pasti ada noda hitam yang pernah dia ciptakan dalam hidup nya. Tapi aku harap masa lalu buruk itu bisa dia jadi kan pelajaran untuk menjadi lebih baik ke depan nya. "Kenapa terus menatap ku dari tadi?" tanya om Arga, begitu dia menyadari aku menatap nya dari tadi. "Tidak ada!" balas ku singkat. "Apa ada masalah?" tanya nya lagi, tapi aku hanya menggeleng. "Jika ada sesuatu yang mengganjal dalam hati mu, cerita kan! Jangan memendam nya sendiri," se
'Apa yang terjadi?' batin ku merasa bingung. Aku ingin bangkit dari kursi, tapi sesuatu yang lengket seolah menempel pada bagian belakang rok sekolah yang aku kenakan. "Ada apa, Bell?" Tanya Rania, melihat aku yang tidak kunjung bangkit, padahal sudah waktu nya jam istirahat. "Aku tidak tau, Rania! Aku tidak bisa bangkit, seolah ada sesuatu yang menempel di rok ku," adu ku pada nya. "Memang nya apa?" Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Rania lantas menghampiri ku dan memegang tangan ku. "Ayo?" ucap nya menarik tangan ku. Srek! Bunyi kain robek itu seketika terdengar di telinga ku. Aku segera menoleh, dan terkejut saat menyadari jika suara itu berasal dari rok yang aku kenakan. Rasa nya aku ingin menangis saat aku sadar jika seseorang sudah mengerjai ku. Entah siapa yang melakukan itu! Dia menaruh lem di bangku yang aku duduki. Tindakan nya itu benar-benar keterlaluan. "Bunda!" lirih Rania begitu menyadari jika rok ku sedikit robek. Tanpa di perintah kan, gadis itu
POV Arabella"Mas, ini benar rumah nya?" Tanya ku pada mas Arga begitu dia menghentikan mobil nya. Yang di balas anggukan kepala oleh nya.Aku menatap iri pada rumah bercat putih yang ada di depan ku. Bukan karena rumah nya yang begitu besar. Tapi pada sebuah keluarga yang hidup bahagia di dalam sana.Keluarga yang aku rindukan. Tapi tidak pernah terwujud, karena salah satu tiang dari bahagia itu telah pergi. Dan dia memilih tempat lain untuk dia jadikan rumah yang kokoh."Ayo kita turun," ucapan mas Arga menyadarkan aku dari lamunan yang hanya ada di mimpi ku.Aku segera turun dengan mas Arga yang berjalan di sisiku. Begitu tiba di depan pintu, terlihat mama yang menyambut kedatangan kami dengan senyum bahagia."Akhirnya kalian tiba juga, mama pikir kalian tidak jadi datang," ucap mama merangkul ku ke dalam. Aku hanya diam tanpa menolak rangkuman nya.Aku ingin berdamai dengan masa lalu yang terasa menyakitkan itu. Setelah banyak nya nasehat yang mas Arga berikan padaku.Mencoba mem
"Gimana penampilan aku, mas,"Tanya Bella begitu aku keluar dari ruang ganti. Untuk sesaat, aku terpaku melihat penampilan Bella yang terlihat saat manis dan anggun di balik gaun berwarna crem yang dia kenakan, juga pasmina nya yang berwarna senada. "Kok bengong sih, mas! Gaun ini terlihat tidak cocok, ya? Padahal ini pilihan kamu sendiri," Ucapan Bella yang bernada sedih, menyadarkan aku dari kekaguman ku. "Cantik!' balas ku singkat. "Bella apa gaun nya ini yang cantik?" Tanya wanita itu lagi. "Gaun nya memang terlihat cantik, tapi akan terlihat lebih cantik ketika kau yang mengenakan nya. Kau terlihat sangat cantik dengan gaun yang kau kenakan ini. Terlihat manis dan anggun," "Udah?" Tanya Bella membuat aku mengernyit bingung. "Apa nya yang sudah?" Balas ku balik bertanya. "Gombalan nya," ucap Bella membuat aku tersenyum. "Sebenarnya Belum. Masih banyak stok yang tersimpan di otak ku," balas ku membuat Bella tercengang. "Ada-ada saja kamu, mas! Aneh tau, nggak? D
"Tuan, ini berkas nya," ucap sekretaris ku menyerah kan berkas yang sebelum nya aku minta."Terimakasih. Kau bisa keluar sekarang," balas ku setelah mengambil berkas yang di berikan sekretaris ku."Baik, tuan. Saya permisi," balas nya lagi segera berlalu dari sana.Aku mulai membuka berkas itu dan membaca nya dengan seksama. Sebelum aku menandatangani nya.Dret... Dret... DretFokus ku tiba-tiba teralihkan saat terdengar nada dering dari ponsel milikku. Aku segera meraih ponselku yang tergeletak di atas meja, dan membaca nama penelpon. Aku tersenyum saat tebakan ku ternyata benar."My little wife," gumam ku membaca nama kontak Bella yang aku simpan di ponselku."Assalamualaikum, mas," ucap salam suara lembut dari seberang sana."Waalaikum salam,""Mas Arga masih di kantor, ya?" "Iya, mungkin sebentar lagi aku pulang. Ada apa, Bella?""Ini, Bella mau nanya, mas. Tadi ada kiriman paket buat Bella, katanya dari mas Arga. Emang nya benar ya, mas?" Tanya Bella dari seberang sana.Karena s
"Itu sepertinya Rania. Ada perlu apa dia memanggil," ucap Bella. Aku hanya menggeleng, karena memang tidak bisa menebak apa tujuan Rania mengetuk pintu kamar kami. "Ada apa Rania?" Tanya Bella begitu membuka pintu. "Ada seorang wanita paruh paya di bawah. Dia datang ingin bertemu dengan bunda," balas Rania. "Siapa?" Tanya ku yang menyusul dari belakang Bella. "Rania juga nggak tau, pa! Tapi katanya, dia ibu nya bunda," jawab Rania. "Emang nya benar, Bun?" Tambahnya lagi menatap ke arah Bella. Membuat yang di tatap mendadak diam. "Mungkin itu memang ibu kamu, Bella. Ayo kita temui dia," ajak ku padanya. "Tapi aku tidak mau bertemu dengan nya, mas!" Tolak Bella menatap sendu padaku. Membuat Rania juga menatap bingung ke arahku. Seolah dia menuntut jawaban 'Ada apa dengan Bunda?' Karena perjalan hidup kedua gadisku ini hampir sama. Mereka sama-sama di tinggalkan oleh wanita yang seharus nya memberikan kasih sayang pada mereka. Tapi aku yakin, di balik kepergian ibunya Bel
Dua hari sudah berlalu sejak kedatangan Dania. Sejak saat itu pula aku melihat wajah Bella sudah tidak seceria biasa nya. Dia lebih banyak murung bahkan jarang bicara padaku, kecuali yang di perlukan saja. "Ada apa denganmu?" Tanya ku menatap intens ke arah Bella. "Aku tidak apa-apa, mas. Memang nya ada yang salah dengan ku," tanya nya balik. "Ada," "Perasaan kamu aja mungkin," balas Bella mengalihkan pandangan nya ke arah lain. "Hadap sini, Bella! Jangan menatap ke arah lain," perintahkan ingin menatap kedua matanya. Ingin tau apa yang saat ini di rasakan nya. Bukankah mata tidak bisa berbohong? Apa yang di sembunyikan oleh hati biasanya akan nampak di matanya. Aku menyentuh kedua pipi Bella dengan tanganku, hingga wajah gadis itu menghadap ke arahku. Aku tatap mata nya dengan lembut, mata yang selalu menatap ku penuh cinta selama ini. "Apa yang saat ini kau rasakan?" "Aku merasa deg-degan, mas! Jangan menatap ku seperti itu!" Balas nya polos, membuat aku terkekeh pe
POV Argantara Sudah satu jam lebih aku berusaha memejamkan mataku, berharap rasa kantuk itu segera menyerang ku. Tapi aku tidak kunjung tertidur. Pikiranku masih berkelana kemana-mana. Percakapan ku dengan mantan istriku sebelumnya, Dania. Masih terus tergiang dalam ingatanku. Rasanya aku tidak percaya jika ibuku sanggup melakukan itu. Memang awalnya ibuku kurang setuju saat aku mengutarakan keinginan ku untuk menikah dengan Dania. Dia sempat menentang hubungan kami, apalagi saat itu aku masih sangat muda. Tapi, karena kesalahan fatal yang terjadi antara aku dan Dania, maka ibu tidak ada pilihan lain selain merestui hubungan kami. Setelah kami menikah, aku melihat sikap ibu sangat baik pada Dania. Dia menyayangi dan juga terlihat sangat perhatian pada Dania. Apalagi saat itu Dania sedang mengandung. Ibu bahkan tidak membiarkan Dania melakukan apapun sendiri. Dia benar-benar menyayangi Dania layaknya anak sendiri. Itulah yang aku lihat saat kami masih hidup bersama dulu. Membuat
"Ibuku? Apa maksudmu menuduh ibuku?" Tanya mas Arga dengan raut wajah terkejut sekaligus marah.Dia pasti marah mendengar tuduhan yang di lontarkan Tante Rania. Ya, tuduhan! Mas Arga tidak akan mungkin percaya begitu saja kalimat yang keluar dari mulut Tante Dania."Aku tidak menuduh, tapi aku mengatakan fakta yang sebenarnya. Bukan kah itu yang dari tadi ingin kau dengar jawaban nya? Kau ingin tau alasan apa yang membuat ku pergi meninggalkan kalian kan? Dan itulah alasannya! Alasan nya karena ibumu, Arga!" Ucap Tante Dania bangkit dan menyentuh tangan mas Arga. Seraya menunjukkan tatapan sendunya.Deg! Dada ku rasanya bergumuruh hebat melihat Tante Dania dengan lancangnya menyentuh tangan mas Arga. Ingin rasanya aku berlari dan menarik tangan nya agar menjauh dari suamiku.Tapi aku harus menahan diri. Ingin tau apa yang akan mas Arga lakukan. Apakah dia akan merasa marah dengan tindakan Tante Dania? Atau kah dia akan terlihat biasa saja?"Jangan menyentuhku!" Sentak mas Arga menari
"Sebaiknya kau pulang dulu, Dania! Kau bisa datang lain waktu untuk bertemu Rania. Saat ini dia pasti syok dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Karena saat ini Rania merasa hidup nya sudah sempurna tanpa kehadiran ibu kandungnya. Apalagi sudah ada Bella yang hadir di tengah-tengah kami," ucap mas Arga. "Kau datang menemui nya setelah sekian lama. Dan ini adalah kali pertama Rania melihat wajahmu, dia pasti tidak menyangka jika ibu yang telah meninggalkan nya dulu datang karena merindukan nya. Dia masih labil, jadi biarkan dia merasa tenang dulu," tambah mas Arga lagi sedikit menyindir lawan bicaranya "A-apa katamu? Pertama kali? Jadi kamu tidak pernah memperkenalkan aku pada Rania?" Tanya Tante Dania terkejut. "Jangankan memperkenal, aku bahkan sudah membakar habis semua fotomu. Lagi pula untuk apa Rania mengenal ibunya? Jika ibunya sendiri tidak menginginkan nya?" Balas mas Arga tajam. Membuat mata Tante Dania berkaca-kaca. Dan tanpa aba-aba, air mata itu mengalir dengan begitu
"Kau pasti berbohong!" Tuding Tante Dania terkejut. "Aku tidak berbohong, Dania! Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku memang sudah menikah! jelas mas Arga. "Tapi aku tidak percaya! Kau pasti bercanda kan, Ar? Kau tidak mungkin sudah menikah," balas Tante Dania lagi yang menolak percaya penjelasan mas Arga. "Aku pria normal, Dania! Aku butuh seorang istri! Aku menginginkan keluarga yang utuh! Begitu pun Rania yang juga membutuhkan seorang ibu," "Kau tidak normal Arga! Kau gila! Bagaimana bisa kau menikahi seorang gadis yang seusia putrinya! Kau menikah dengan seorang gadis yang masih SMA," hardik Tante Dania menggelengkan kepala nya. "Lalu dimana salahnya, Tante? Apa pernikahan kami di larang secara hukum dan agama? Tidak bukan? Bahkan pernikahan kami sah di mata hukum dan di hadapan Allah! Apa saya harus memperlihatkan buku nikah kami sekarang? Barulah Tante akan percaya!" Tegasku dengan berani. "Kau masih sangat muda! Masih kecil! Harusnya kau sekolah yang benar, bukan nya suda