"Om Arga! Kenapa belum tidur," tanya ku begitu menyadari kehadiran nya. "Saya menunggu kamu," balas om Arga. "Kenapa mengganggu Rania? ini sudah malam. Sebaik nya kamu juga kembali ke kamar," tambah nya lagi. "Bentar om, Bella mau ngucapin selamat malam dulu ke Rania," alasan ku. "Apa kamu keberatan satu kamar dengan saya," tanya nya kemudian. "Iya, eh maksud Bella nggak om," aku segera meralat ucapan ku, jangan sampai om Arga tersinggung dengan jawaban ku. "Ya sudah. Kalau begitu ayo kembali ke kamar kita," ucap om Arga. Aku terkadang merinding mendengar setiap kata-kata yang keluar dari mulut om Arga. Dia selalu terlihat santai saat berbicara dengan ku. Apalagi kata 'kita' yang di ucapkan nya, seolah sangat intim bagi ku. Akhirnya aku pasrah, dan kembali ke kamar bersama om Arga. Melihat om Arga yang sudah naik ke tempat tidur. Aku juga mendekat ke sana, lalu mengambil bantal dan selimut. "Mau kemana lagi?" tanya om Arga, saat melihat aku ingin beranjak dari sana
"Cepat lah Bella. Kenapa lama banget sih!" Kesal Rania menunggu ku di mobil. Seperti yang di katakan om Arga sebelum nya. Begitu jam sekolah usai, kami pulang ke rumah lebih dulu. Dan sekarang, baru lah kamu ingin berbelanja. "Tara!" begitu masuk ke mobil, aku segera mengeluarkan black card yang di berikan om Arga tadi pagi, dan menunjuk kan nya pada Rania. "Dapat dari mana?" tanya Rania memperhatikan black card di tangan ku. "Pemberian dari pak su," jawab ku menyombongkan diri. "Papa yang kasih?" tanya nya lagi. "Iya lah! Aku kan istrinya sekarang. Kata om Arga, ini merupakan nafkah dari nya," jawab ku. "Nafkah lahir?" Aku mengangguk sebagai jawaban. "Kalau nafkah batin?" tanya nya lagi, membuat aku seketika melotot ke arah nya. "Jangan nanya yang aneh-aneh Rania," "Lah? Emang nya pertanyaan ku salah," tanya Rania. "Baik lah, kau tidak pernah salah Rania. Kau selalu benar," ucap ku akhirnya. "Ngomong-ngomong ya, Bell. Mulai sekarang aku harus manggil kamu apa y
Sebelum keluar kamar, aku kembali mematut diri ini di depan cermin. Memindai kembali penampilan ku, dari atas sampai bawah. "Bismillah, semoga istiqamah ya Allah," yakin ku pada diri sendiri. Dengan langkah mantap, aku mulai melangkah kan kaki keluar kamar. Om Arga dan Rania pasti menunggu ku di meja makan. "Bunda kenapa belum turun, pa?" tanya Rania yang bisa aku dengar. Sepertinya dia benar-benar membiasakan diri memanggil aku bunda. Meski terkadang terdengar lucu, hehehe. "Mungkin sebentar lagi," jawab om Arga. "Pagi semua," sapa ku begitu tiba di meja makan. Membuat kedua orang itu sontak menatap ke arah ku. Om Arga dan Rania menatap diam pada ku. Mungkin penampilan ku pagi ini membuat mereka terkejut. "Kenapa? Apa penampilan ku terlihat aneh?" tanya ku. "Tidak! Bunda terlihat sangat cantik,". balas Rania, membuat ku tersenyum. Aku melirik ke arah ke arah om Arga yang masih terpaku menatap ku. "A-ada apa, om?" tatapan nya membuat ku kurang percaya diri. "Kamu
"Maaf, jika pertanyaan ku membuat kamu tersinggung! Kalau kau tidak ingin menjawab nya tidak masalah," ucap ku merasa tidak enak. Apalagi aku melihat raut wajah Rania tiba-tiba saja berubah, setelah mendengar pertanyaan yang aku lontar kan tadi. "Tidak! Aku akan menjawab nya. Lagi pula bunda pasti penasaran kan? Tapi ini adalah sebuah aib besar. Aku harap setelah mendengar nya, bunda tidak akan menilai buruk papa," jawab Rania kemudian. Aku mengangguk, meski sebenar nya aku merasa was-was. Aib besar seperti apakah yang Rania maksud. Rahasia besar apakah yang tidak pernah di cerita kan Rania padaku. Rasa penasaran ku semakin besar.Aku penasaran tentang ibu nya Rania. Seperti apakah wanita itu? Meski tidak tau wajah nya, karena tidak ada satu pun foto tentang ibunya Rania di sini.Tapi aku penasaran, bagaimana hubungan nya dengan Rania maupun om Arga dulu? Dan alasan apakah yang membuat wanita itu pergi meninggalkan pria sesempurna om Arga. Apa kekurangan om Arga hingga membuat wani
Aku memperhatikan setiap gerak-gerik om Arga, mulai dari dia keluar dari kamar mandi. Lalu mengambil baju Koko yang sudah aku siapkan dan memakai nya. Om Arga ingin pergi shalat berjamaah di mesjid. Aku yang masih duduk di sofa, tidak mengalihkan pandangan ku dari nya. Cerita yang tadi siang di cerita kan Rania, masih terbayang dalam ingatan ku. Sulit untuk aku percaya jika masa lalu kelam itu adalah milik om Arga, suami ku. Ternyata di balik sempurna nya seseorang pasti mempunyai masa lalu yang buruk. Di balik baik nya seseorang pasti ada noda hitam yang pernah dia ciptakan dalam hidup nya. Tapi aku harap masa lalu buruk itu bisa dia jadi kan pelajaran untuk menjadi lebih baik ke depan nya. "Kenapa terus menatap ku dari tadi?" tanya om Arga, begitu dia menyadari aku menatap nya dari tadi. "Tidak ada!" balas ku singkat. "Apa ada masalah?" tanya nya lagi, tapi aku hanya menggeleng. "Jika ada sesuatu yang mengganjal dalam hati mu, cerita kan! Jangan memendam nya sendiri," se
'Apa yang terjadi?' batin ku merasa bingung. Aku ingin bangkit dari kursi, tapi sesuatu yang lengket seolah menempel pada bagian belakang rok sekolah yang aku kenakan. "Ada apa, Bell?" Tanya Rania, melihat aku yang tidak kunjung bangkit, padahal sudah waktu nya jam istirahat. "Aku tidak tau, Rania! Aku tidak bisa bangkit, seolah ada sesuatu yang menempel di rok ku," adu ku pada nya. "Memang nya apa?" Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Rania lantas menghampiri ku dan memegang tangan ku. "Ayo?" ucap nya menarik tangan ku. Srek! Bunyi kain robek itu seketika terdengar di telinga ku. Aku segera menoleh, dan terkejut saat menyadari jika suara itu berasal dari rok yang aku kenakan. Rasa nya aku ingin menangis saat aku sadar jika seseorang sudah mengerjai ku. Entah siapa yang melakukan itu! Dia menaruh lem di bangku yang aku duduki. Tindakan nya itu benar-benar keterlaluan. "Bunda!" lirih Rania begitu menyadari jika rok ku sedikit robek. Tanpa di perintah kan, gadis itu
Aku yang ingin menikmati tidur siang dengan tenang. Seketika terusik saat Rania memasuki kamar ku dan mengganggu tidur ku. "Apaan sih, Rania? Aku ingin tidur, jangan ganggu aku!" kesal ku saat Rania menarik selimut yang aku kenakan. "Bun, mandi yuk!" ajak nya sambil menarik tangan ku. "Kayak bayi aja, pakek ngajak mandi segala," ejek ku. "Maksud aku mandi hujan," ucap nya lagi memperjelas. Ya, saat ini di luar sedang hujan, dan cuaca nya sangat dingin. Membuat aku ingin membungkus tubuh ku dengan selimut tebal. Tapi Rania justru mengganggu ku. "Nggak mau!" tolak ku mentah-mentah. "Tapi aku ingin mandi hujan," rengek nya padaku. "Mandi di kamar mandi aja. Gunakan shower, pasti rasa nya sama kayak lagi mandi hujan," ucapan ku lagi. "Nggak sama!" "Sama. Sama-sama air nya mancur dari atas," balas ku tertawa. Sementara Rania, wajah nya sudah di tekuk dari tadi. "Ayolah, bunda! Sesekali juga, pasti seru Loh mandi hujan," ucap nya berusaha merayu ku. "Emang nya bunda ngga
"Apa yang kalian lakukan? Apa kalian tidak menyadari sekarang sudah pukul berapa?" tanya sosok itu dingin. Mata nya masih terus menatap tajam ke arah kami. Aku dan Rania mendadak diam, bahkan untuk menatap nya saja rasanya tidak berani. "Rania! Gimana ini?" bisik ku pada Rania. "Pa! Papa udah pulang," sapa Rania menghampiri om Arga. Sepertinya gadis itu ingin bersikap semanis mungkin biar tidak di marahi papa nya. "Sejak kapan papa ada di sini? Kenapa Rania tidak mendengar suara mobil papa?" tanya Rania semakin mendekati om Arga. "Sejak kamu dan Rania asik bermain hujan," balas nya dingin. "Hehehe, papa mau ikutan juga?" aku tercengang mendengar pertanyaan yang Rania lontarkan pada om Arga. Apa gadis itu tidak sadar, jika wajah om Arga sekarang sudah memerah? Apa dia tidak takut mendapatkan amukan om Arga. "Masuk ke dalam!" "Bentar lagi, pa. Nanggung, lagi seru ini," balas Rania. "Masuk sekarang atau tetap di luar sampai besok pagi?" tanya nya kejam. Apa om Arga be