Share

Bab 3 : Membeli bakso

"Radit," ucapku saat mengetahui bahwa yang memanggil ku tadi adalah Radit.

"Mau masuk kelas, ya. Bareng aja, yuk," ucap Radit

Aku hanya mengangguk, tanpa berniat menolak niat baik nya. Lagipula kami memang satu kelas.

Sementara Rania yang berada di sampingku, sudah gregetan sama si Radit. Dia tidak suka pada pria itu. Karena Radit selalu bersikap sok ganteng di sekolah ini. Padahal menurut Rania, wajah pria itu biasa-biasa saja.

Namanya Raditya, dia anak orang kaya. Ayahnya merupakan salah satu donatur tetap di sekolah ini. Tampang nya juga lumayan sih menurutku, banyak cewek-cewek di sini yang mengejarnya. Tapi tidak termasuk aku dan Rania, ya!

Mungkin itu salah satu alasan dirinya bersikap demikian.

Meskipun begitu, dia tidak sombong. Dan berteman dengan siapa pun, meskipun dia menjadi salah satu cowok terpopuler di sekolah ini.

"Kok lo iyain sih, Bell," ucap Rania berbisik padaku.

"Loh, apa salah nya? Lagipula kita memang mau ke kelas, kan," balas ku yang juga berbisik.

"Iya sih. Tapi gue enek liat muka dia. Sok ganteng banget jadi orang,"

"Nggak boleh gitu Ran. Entar jodoh lagi. Benci dan cinta itu beda tipis, loh," ucapku.

"Lo do'ain gue jodoh sama dia?" marah Rania. Membuat ku terkekeh.

"Nggak do'ain, tapi cuma ngingetin," balas ku lagi.

"Kalian ngomong apa sih dari tadi, Bisik-bisik?" tanya Radit penasaran.

"KEPO LO," ucapku bersamaan dengan Rania, membuat Radit menggaruk kepala nya yang tidak gatal.

**

**

Begitu tiba di rumah, aku langsung menghempaskan tubuhku di sofa.

"Capek banget hari ini,"

Tadi kami pulang sekolah di jemput oleh asisten nya om Arga. Namanya om Daniel. Karena tadi om Arga ada pekerjaan mendesak, katanya. Jadi tidak bisa menjemput kami.

Untung saja om Daniel yang baik hati itu mau menjemput kami. Kalau tidak, mungkin aku dan Rania harus naik angkutan umum. Karena di rumah om Arga, tidak ada supir.

Mana cuaca nya terik banget lagi. Pasti gerah jika berdesak-desakan di angkutan umum.

Aku kemudian bangkit menuju kulkas. Minum air dingin seperti nya enak, bisa mendinginkan hati dan pikiranku, hehehe.

Saat ini aku sendirian di rumah, karena papa belum pulang kerja. Mungkin nanti jam Lima sore papa baru pulang. Rasanya benar-benar sunyi di rumah sendirian.

Aku segera menuju kamarku yang berada di lantai atas. Melepaskan seragam sekolah yang melekat di tubuhku. Dan menggantinya dengan tanktop juga celana pendek. Lagian aku cuma sendirian di rumah.

**

**

Jam lima lewat papa tiba di rumah, wajahnya terlihat sangat letih. Meski begitu dia tetap memaksa dirinya bekerja, karena dia ingin semua kebutuhanku terpenuhi. Dia tidak ingin aku kekurangan apapun.

Tapi, aku yang memang mengerti bagaimana lelah nya papa. Karena sedari kecil sudah hidup berdua dengan nya. Tidak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan nya. Tidak pernah meminta yang aneh-aneh yang akan membuat nya tertekan.

"Papa mau minum? Biar Bella ambilkan," tanyaku.

"Tidak perlu, nak. Papa ke kamar dulu, ya," ucap papa tersenyum lembut seperti biasanya.

Tapi baru beberapa langkah, papa kembali menghampiri ku.

"Ada apa, pa?" tanyaku.

"Udah shalat?" tanya papa padaku.

MasyaAllah!

Papa memang orang tua terbaik. Dia tidak pernah lupa mengingatkan aku shalat.

"Udah, pa. Kalau belum nanti papa ngomel lagi," balas ku tersenyum.

"Alhamdulillah, papa senang mendengar nya. Shalat itu merupakan suatu kewajiban, dausa besar bagi yang meninggalkan nya, meskipun cuma satu waktu. Terutama shalat ashar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar secara sengaja, maka habislah semua amalnya.

"Allah mengkhususkan, di antara semua waktu shalat, Ashar lah yang paling tinggi. Kemudian datang setelahnya subuh dan Isya, kemudian lagi barulah Dhuhur dan Magrib. Bukan berati dhuhur dan Magrib rendah, tapi ada yang biasa dan ada yang lebih baik," ceramah papa panjang lebar

" iya, pa. Bella paham. Sekarang papa mau lanjut ceramah, apa mau langsung ke kamar?" papa tersenyum dan kemudian melangkahkan kakinya ke kamar.

Sekarang aku berniat menjadi anak baik, tidak meninggalkan shalat seperti yang papa inginkan. Karena anak perempuan sebelum menikah akan menjadi tanggung jawab ayah nya.

Dan semua perbuatan buruk yang aku lakukan, maka papa akan menanggung kosekuensi nya. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku sangat menyayanginya papa.

Tapi untuk saat ini, jika soal memakai hijab. Seperti nya aku belum siap. Makanya aku belum mengenakan nya. Meskipun papa sudah menyuruh dan mengingatkan aku.

**

**

"Bell, keluar yuk!"

Aku segera membuka aplikasi berwarna hijau, dan membaca pesan yang di kirimkan Rania.

"Ngapain," ketik ku, membalas pesan Rania.

"Gue laper. Nemenin gue beli bakso, yuk!" balas nya di seberang sana.

"Ogah. Lagi males keluar gue," balas ku.

"Ayolah Bella yang cantik sedunia. Nggak kasian lo sama gue," balas nya di ikuti emoticon memelas.

"Nggak," ketik ku lagi, tidak peduli dengan kalimat manis yang dia ucapkan.

"Kalau gue kaleperan, entar gue nggak bisa tidur, trus sakit, nggak bisa pergi sekolah. Dan akhirnya bokap gue khawatir, nggak sayang lo sama bokap gue yang ganteng itu. Karena lo, entar anak kesayangan nya ini sakit?" di sertai dengan emoticon sok polos dan mata berbinar, menunggu balasan dariku.

Pinter banget ni anak bujuk nya, ya. Pakek jual nama bapak nya segala. Membuat hati aku yang lemah akan cinta ini, menjadi luluh begitu saja.

Mana aku sayang banget lagi sama duda anak satu itu. Nggak tega aku membuat dia khawatir kalau sampai si Rania sakit. Dan alasan nya lagi, karena aku nggak nemenin dia beli bakso.

"Ya udah, beli bakso nya di mana?" balas ku sedikit kesal.

Padahal baru saja aku berniat bobok cantik. Tapi ada saja gangguan.

"Bakso mang ujang, yang ada depan komplek sana," balasnya.

"Ok, cepetan keluar. Kalau lama-lama, entar gue nggak jadi pergi,"

"Siap Arabella yang manis dan cantik," balas nya dengan mengirim emocet love.

"Kalau ada mau nya,"

Aku segera bersiap-siap dan keluar dari kamarku.

"Assalamu'alaikum," ucap Rania begitu tiba di rumahku.

"Wa'alaikumussalam," jawabku.

"Bentar ya, Ran. Aku minta izin ke papa dulu," aku segera menuju ke arah papa yang masih duduk di sofa.

"Pa, Bella keluar dulu sama Rania, ya. Mau beli Bakso," izinku. Papa hanya menganggukkan kepalanya.

"Papa mau titip apa?" tanyaku lagi.

"Tidak ada, nak. Hati-hati, ya!" aku hanya mengangguk, menanggapi ucapan papa.

"Ada uang?" tanya papa lagi, begitu aku berbalik ingin beranjak pergi.

"Ada, Rania yang traktir. Kan dia yang ngajak," ucap ku cengengesan.

"Gue nggak bilang ya tadi mau traktirin lo," ucap Rania begitu kami keluar dari rumah.

"Siapa yang ngajak, berati dia yang harus traktir," balas ku.

"Enak banget ya, lo. Gue pikir tadinya lo nggak mau,"

"Kesempatan tidak bisa di lewatkan," balas ku lagi.

"Kalau gratis," ucap nya mencebik. Membuatku tertawa melihat ekspresi wajah nya.

Letak Bakso mang ujang memang tidak jauh dari rumah kami. Cuma beberapa menit jalan kaki, langsung nyampe.

Begitu kami tiba di sana, ternyata sudah banyak orang yang mengantri. Bakso mang ujang memang terkenal enak nya. Tidak pernah sepi, selalu ramai pembeli. Apalagi kuah nya.... Beuh enak bangeet!

Membuat perut ku seketika keroncongan, begitu mencium wangi kuah nya. Tapi, harus sabar. Karena banyak nya orang, aku dan Rania juga harus mengantri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status