"Radit," ucapku saat mengetahui bahwa yang memanggil ku tadi adalah Radit.
"Mau masuk kelas, ya. Bareng aja, yuk," ucap Radit Aku hanya mengangguk, tanpa berniat menolak niat baik nya. Lagipula kami memang satu kelas. Sementara Rania yang berada di sampingku, sudah gregetan sama si Radit. Dia tidak suka pada pria itu. Karena Radit selalu bersikap sok ganteng di sekolah ini. Padahal menurut Rania, wajah pria itu biasa-biasa saja. Namanya Raditya, dia anak orang kaya. Ayahnya merupakan salah satu donatur tetap di sekolah ini. Tampang nya juga lumayan sih menurutku, banyak cewek-cewek di sini yang mengejarnya. Tapi tidak termasuk aku dan Rania, ya! Mungkin itu salah satu alasan dirinya bersikap demikian. Meskipun begitu, dia tidak sombong. Dan berteman dengan siapa pun, meskipun dia menjadi salah satu cowok terpopuler di sekolah ini. "Kok lo iyain sih, Bell," ucap Rania berbisik padaku. "Loh, apa salah nya? Lagipula kita memang mau ke kelas, kan," balas ku yang juga berbisik. "Iya sih. Tapi gue enek liat muka dia. Sok ganteng banget jadi orang," "Nggak boleh gitu Ran. Entar jodoh lagi. Benci dan cinta itu beda tipis, loh," ucapku. "Lo do'ain gue jodoh sama dia?" marah Rania. Membuat ku terkekeh. "Nggak do'ain, tapi cuma ngingetin," balas ku lagi. "Kalian ngomong apa sih dari tadi, Bisik-bisik?" tanya Radit penasaran. "KEPO LO," ucapku bersamaan dengan Rania, membuat Radit menggaruk kepala nya yang tidak gatal. ** ** Begitu tiba di rumah, aku langsung menghempaskan tubuhku di sofa. "Capek banget hari ini," Tadi kami pulang sekolah di jemput oleh asisten nya om Arga. Namanya om Daniel. Karena tadi om Arga ada pekerjaan mendesak, katanya. Jadi tidak bisa menjemput kami. Untung saja om Daniel yang baik hati itu mau menjemput kami. Kalau tidak, mungkin aku dan Rania harus naik angkutan umum. Karena di rumah om Arga, tidak ada supir. Mana cuaca nya terik banget lagi. Pasti gerah jika berdesak-desakan di angkutan umum. Aku kemudian bangkit menuju kulkas. Minum air dingin seperti nya enak, bisa mendinginkan hati dan pikiranku, hehehe. Saat ini aku sendirian di rumah, karena papa belum pulang kerja. Mungkin nanti jam Lima sore papa baru pulang. Rasanya benar-benar sunyi di rumah sendirian. Aku segera menuju kamarku yang berada di lantai atas. Melepaskan seragam sekolah yang melekat di tubuhku. Dan menggantinya dengan tanktop juga celana pendek. Lagian aku cuma sendirian di rumah. ** ** Jam lima lewat papa tiba di rumah, wajahnya terlihat sangat letih. Meski begitu dia tetap memaksa dirinya bekerja, karena dia ingin semua kebutuhanku terpenuhi. Dia tidak ingin aku kekurangan apapun. Tapi, aku yang memang mengerti bagaimana lelah nya papa. Karena sedari kecil sudah hidup berdua dengan nya. Tidak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan nya. Tidak pernah meminta yang aneh-aneh yang akan membuat nya tertekan. "Papa mau minum? Biar Bella ambilkan," tanyaku. "Tidak perlu, nak. Papa ke kamar dulu, ya," ucap papa tersenyum lembut seperti biasanya. Tapi baru beberapa langkah, papa kembali menghampiri ku. "Ada apa, pa?" tanyaku. "Udah shalat?" tanya papa padaku. MasyaAllah! Papa memang orang tua terbaik. Dia tidak pernah lupa mengingatkan aku shalat. "Udah, pa. Kalau belum nanti papa ngomel lagi," balas ku tersenyum. "Alhamdulillah, papa senang mendengar nya. Shalat itu merupakan suatu kewajiban, dausa besar bagi yang meninggalkan nya, meskipun cuma satu waktu. Terutama shalat ashar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar secara sengaja, maka habislah semua amalnya. "Allah mengkhususkan, di antara semua waktu shalat, Ashar lah yang paling tinggi. Kemudian datang setelahnya subuh dan Isya, kemudian lagi barulah Dhuhur dan Magrib. Bukan berati dhuhur dan Magrib rendah, tapi ada yang biasa dan ada yang lebih baik," ceramah papa panjang lebar " iya, pa. Bella paham. Sekarang papa mau lanjut ceramah, apa mau langsung ke kamar?" papa tersenyum dan kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Sekarang aku berniat menjadi anak baik, tidak meninggalkan shalat seperti yang papa inginkan. Karena anak perempuan sebelum menikah akan menjadi tanggung jawab ayah nya. Dan semua perbuatan buruk yang aku lakukan, maka papa akan menanggung kosekuensi nya. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku sangat menyayanginya papa. Tapi untuk saat ini, jika soal memakai hijab. Seperti nya aku belum siap. Makanya aku belum mengenakan nya. Meskipun papa sudah menyuruh dan mengingatkan aku. ** ** "Bell, keluar yuk!" Aku segera membuka aplikasi berwarna hijau, dan membaca pesan yang di kirimkan Rania. "Ngapain," ketik ku, membalas pesan Rania. "Gue laper. Nemenin gue beli bakso, yuk!" balas nya di seberang sana. "Ogah. Lagi males keluar gue," balas ku. "Ayolah Bella yang cantik sedunia. Nggak kasian lo sama gue," balas nya di ikuti emoticon memelas. "Nggak," ketik ku lagi, tidak peduli dengan kalimat manis yang dia ucapkan. "Kalau gue kaleperan, entar gue nggak bisa tidur, trus sakit, nggak bisa pergi sekolah. Dan akhirnya bokap gue khawatir, nggak sayang lo sama bokap gue yang ganteng itu. Karena lo, entar anak kesayangan nya ini sakit?" di sertai dengan emoticon sok polos dan mata berbinar, menunggu balasan dariku. Pinter banget ni anak bujuk nya, ya. Pakek jual nama bapak nya segala. Membuat hati aku yang lemah akan cinta ini, menjadi luluh begitu saja. Mana aku sayang banget lagi sama duda anak satu itu. Nggak tega aku membuat dia khawatir kalau sampai si Rania sakit. Dan alasan nya lagi, karena aku nggak nemenin dia beli bakso. "Ya udah, beli bakso nya di mana?" balas ku sedikit kesal. Padahal baru saja aku berniat bobok cantik. Tapi ada saja gangguan. "Bakso mang ujang, yang ada depan komplek sana," balasnya. "Ok, cepetan keluar. Kalau lama-lama, entar gue nggak jadi pergi," "Siap Arabella yang manis dan cantik," balas nya dengan mengirim emocet love. "Kalau ada mau nya," Aku segera bersiap-siap dan keluar dari kamarku. "Assalamu'alaikum," ucap Rania begitu tiba di rumahku. "Wa'alaikumussalam," jawabku. "Bentar ya, Ran. Aku minta izin ke papa dulu," aku segera menuju ke arah papa yang masih duduk di sofa. "Pa, Bella keluar dulu sama Rania, ya. Mau beli Bakso," izinku. Papa hanya menganggukkan kepalanya. "Papa mau titip apa?" tanyaku lagi. "Tidak ada, nak. Hati-hati, ya!" aku hanya mengangguk, menanggapi ucapan papa. "Ada uang?" tanya papa lagi, begitu aku berbalik ingin beranjak pergi. "Ada, Rania yang traktir. Kan dia yang ngajak," ucap ku cengengesan. "Gue nggak bilang ya tadi mau traktirin lo," ucap Rania begitu kami keluar dari rumah. "Siapa yang ngajak, berati dia yang harus traktir," balas ku. "Enak banget ya, lo. Gue pikir tadinya lo nggak mau," "Kesempatan tidak bisa di lewatkan," balas ku lagi. "Kalau gratis," ucap nya mencebik. Membuatku tertawa melihat ekspresi wajah nya. Letak Bakso mang ujang memang tidak jauh dari rumah kami. Cuma beberapa menit jalan kaki, langsung nyampe. Begitu kami tiba di sana, ternyata sudah banyak orang yang mengantri. Bakso mang ujang memang terkenal enak nya. Tidak pernah sepi, selalu ramai pembeli. Apalagi kuah nya.... Beuh enak bangeet! Membuat perut ku seketika keroncongan, begitu mencium wangi kuah nya. Tapi, harus sabar. Karena banyak nya orang, aku dan Rania juga harus mengantri."Banyak amat lo beli baksonya. Emang habis?" tanya ku melihat Rania yang menenteng dua buah bakso di tangan nya. "Ya nggak lah! Ini gue beli buat papa satu," jawab Rania. "Kirain," jawabku cengengesan. "Lo sih, kebiasaan. Suudzon mulu," "Kok sepi rumah lo, Ran," ucapku begitu tiba di rumah nya. "Papa belum pulang kerja. Lagi lembur katanya," jawab Rania. Tidak lama setelah Rania mengatakan itu. Mobil om Arga mulai terlihat memasuki perkarangan rumah. "Itu om Arga udah pulang!" ucapku pada Rania. Membuat dia mengalihkan pandangan nya, begitu indra pendengar nya mendengar suara deru mobil om Arga. "Darimana, sayang," tanya om Arga pada Rania, begitu dia turun dari mobil nya. "Habis beli bakso, pa. Ini aku juga beli buat papa satu," balas Rania. "Aku nggak di tanya, om. Aku kan juga kepingin di panggil sayang," ucapku sambil mengedipkan mata genit. Tapi om Arga mana peduli dengan tingkah ke kanak-kanakan ku. "Kan tadi saya udah tanya ke Rania. Lagian kalian pasti pe
"Ups maaf, nggak sengaja," ucap seorang gadis yang fans berat sama Radit. Namanya Stella. Stella tertawa setelah mengatakan itu, di sambut gelak tawa oleh kedua sahabat nya, Rara dan Dini. Yang selalu mengekor kemana pun Stella pergi. Layak nya anak buah, Rara dan Dini selalu patuh dengan apa yang di katakan dan di perintahkan Stella. Karena Stella adalah anak orang kaya. Jadi tidak ada yang berani menegur atau pun menolah apa yang dia inginkan dan katakan. Mereka bertiga sering kali membully siswi-siswi yang mencoba mendekati Radit. Tapi berbeda dengan ku, bukan kami yang mencoba mendekati pemuda itu. Tapi dia sendiri. Tapi seperti nya Stella tetap menyalahkan kami. Terutama aku, karena tadi Radit juga duduk di sampingku. Aku memperhatikan seragam sekolah ku yang Basah terkena tumpahan jus yang dilakukan Stella. Aku tahu dia sengaja melakukan nya, tapi aku tidak ingin berdebat, lebih baik aku mengalah saja. "Iya, nggak papa. Lain kali hati-hati," jawabku yang memang tidak
Menjadi anak tunggal itu ternyata tidak menyenangkan. Apalagi jika setelah pulang sekolah seperti ini. Aku pasti sendirian di rumah, karena papa belum pulang kerja. Jika tidak ke pergi rumah Rania, aku pasti akan merasa kesepian di sini. Benar-benar sepi dan hampa. Coba saja papa nikah lagi, pasti aku akan punya adik yang lucu, dan bisa aku ajak main. Dan pastinya aku bakal betah di rumah. Tidak keluyuran ke rumah Rania setiap hari. Kehidupan memang tidak selalu berjalan seperti apa yang kita ingin kan. Padahal aku sangat ingin memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi Tuhan tidak berkenan mengabulkan itu. Manusia mungkin punya rencana. Tapi Allah lah yang berkehendak. Sebaik apapun rencana yang kita rancang, jika Allah tidak menghendaki nya, maka semua nya akan sia-sia. "Apa aku buat cake aja, ya," ucapku tiba-tiba. Dari pada bosan, rebahan tidak jelas. Lebih baik aku buat cake aja. Nanti aku bisa nyuruh Rania mencicipi nya. Karena memang kebetulan aku sangat suka mem
"Gimana rasanya, pa?" tanyaku, menghidangkan beberapa cake yang aku buat tadi siang, beserta secangkir kopi untuk papa. "Enak! Putri papa ini memang punya bakat luar biasa. Bisa membuat kue enak, sama seperti_" papa terdiam, tidak melanjutkan ucapan nya. Tapi aku tau, kalimat apa yang ingin keluar dari mulut papa. Dia pasti ingin mengatakan jika aku mempunyai bakat yang sama dengan mama. Ya, dulu mama ku juga sangat pintar dan enak membuat cake. Bahkan papa sendiri berniat membuat kan sebuah toko kue untuk mama. Sebagai kado Anniversary pernikahan mereka. Manusia hanya bisa berencana. Pada akhirnya semua itu hanya tinggal harapan. Kado indah yang sudah papa siap kan ternyata sia-sia. Tepat satu minggu sebelum anniversary pernikahan mereka, mama pergi. Membuat papa hancur, sehancur-hancur nya. Mama selingkuh, dia memilih pergi dan ingin hidup bersama selingkuhan nya. Tanpa memikirkan aku. Tanpa peduli jika dia
Papa terdiam mendengar pengakuan yang keluar dari mulut ku. Bisa aku pastikan, jika papa pasti terlihat syok dan tidak percaya. "Nak Arga, tetangga kita?" tanya papa. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ayah nya Rania," tanya nya lagi yang tidak percaya. "Iya, papa," "Apa? Kau pasti bercanda kan, nak!" ucap papa, menolak untuk percaya. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Jika papa tidak percaya, ya sudah," ucapku yang tidak ingin meyakinkan papa. "Tapi... Apa kau yakin," "Yakin bagaimana?" tanya ku bingung. "Umur kalian beda jauh nak. Papa hanya tidak ingin suatu saat nanti kau menyesal setelah bersama dengan nya. Papa tidak ingin jika nanti sampai kau menelantarkan keluarga mu, dan menjalani hubungan gelap bersama pria lain. Hanya karena kau masih terlihat muda, dan suami mu sudah berumur," ucap papa mengingat kan.
Sepanjang perjalanan aku selalu merasa gelisah. Entah apa penyebab nya, aku pun merasa bingung sendiri. "Kenapa dari tadi diam mulu, Bell. Lo sakit, ya," tanya Rania melihat ku hanya diam, sejak memasuki mobil. "Nggak, gue baik-baik aja, kok," balas ku. "Kalo baik-baik aja, ngomong dong. Jangan diam mulu dari tadi, capek ini gue ngomong sendiri," omel nya yang tidak bisa diam dari tadi. Membuat ku tersenyum dengan tingkah laku nya. Aku dan Rania berencana akan menonton di bioskop lebih dulu. Baru lah setelah itu kami akan jalan-jalan ke tempat lain. Yang pasti hari ini adalah waktu nya bersenang-senang. Apalagi Rania baru saja di kasih black card milik om Arga. Membuat gadis itu sumringah. Pun dengan aku, karena dia pasti akan membayar semua tagihan belanja ku nanti. "Lo tunggu di sini aja ya, gue mau beli minuman sama popcorn dulu," ucap nya meninggalkan aku. Aku yang sedang si
Aku menunggu dengan perasaan takut di depan ruangan papa. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada nya. Mataku juga terlihat sembab, karena tidak henti-hentinya menangis sedari tadi. Sekarang aku mengerti, kenapa perasaan ku merasa gelisah sebelum nya. Mungkin itu adalah pertanda jika sesuatu yang buruk akan terjadi pada papa. Melihat papa terbaring di atas lantai saat aku pulang, membuat aku kesulitan untuk bernafas. Untung saja suara teriakan ku yang nyaring, membuat Rania bergegas menghampiri ku. Lalu memanggil om Arga, agar secepatnya membawa papa ke rumah sakit. Sedangkan aku yang masih syok, tidak bisa berbuat apa pun. Aku hanya diam saat Rania menarik tangan ku dan membawa ku menyusul om Arga yang membawa papa. "Minum dulu, Bell," ucap Rania, tapi aku menolak. Memikirkan keadaan papa, membuat aku tidak bernafsu apapun. Walau hanya sekedar meneguk air putih. "Tenang, ya! Om Baskara pasti akan baik-baik aja," ucap nya berusaha menenangkan aku. "Tapi bagaimana jika t
Sah! Satu kalimat singkat itu mulai menggema dalam ruangan bercat putih ini. Membuat aku memejam kan mata, bersamaan dengan air bening yang mengalir di kedua mata ku. Kata 'sah' itu menjadi pertanda, jika saat ini status ku mulai berubah. Aku bulan lagi seorang gadis, tapi sudah menjadi seorang istri. Setelah ijab kabul itu terjadi, maka semua tanggung jawab yang selama ini papa pikul, akan berpindah pada suamiku. Tidak pernah terbayangkan oleh ku, jika pernikahan aku akan terjadi secepat ini, dan dengan cara seperti ini. Dengan ragu-ragu, aku mulai mencium punggung tangan om Arga. Rasa hangat mulai menjalar, menelungsup hingga ke relung hatiku. Begitu bibir om Arga mulai menyentuh kening ku, mencium dengan lembut. Aku melirik wajah nya sekilas, ingin melihat bagaimana reaksi nya. Tapi yang aku dapatkan hanya lah wajah datar tanpa ekspresi. "Semoga kau selalu bahagia, nak," ucap papa lemah, mata nya semakin terlihat sayu. "Papa," lirih ku menggenggam tangan nya dengan