Share

Pesona Tuan Argantara
Pesona Tuan Argantara
Penulis: Fitry Pit

Bab 1 : Masih di bawah umur

Pov Arabella

Allahuakbar

Allahuakbar

"Subhanallah, suara calon imam ku sungguh menggetarkan hati,"

Aku buru-buru mengambil wudhu lalu memakai mukenah. Suara lantunan adzan yang sangat merdu itu, membuat aku mengenali siapa pemilik suara itu.

"Tumben mau ke mesjid?" tanya papa, ketika aku tiba di lantai bawah. Bersamaan dengan dia yang juga ingin ke mesjid.

Aku hanya cengengesan mendengar pertanyaan papa. Karena biasanya, jangan kan ke mesjid. Aku bahkan sering bolong shalat di rumah.

Padahal papa sering kali mengingatkan aku, jika meninggalkan shalat adalah dausa besar. Di iringi dengan berbagai ceramah nya, dia terus menasehati aku. Tapi, memang dasar nya aku yang bandel dan tidak ingin di atur, mengabaikan semua nasehat yang papa katakan.

Ibarat katanya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Alhamdulillah, pa. Sekarang aku lagi di kelilingi sama malaikat. Maka nya, begitu mendengar suara azan langsung gas ke mesjid," jawabku.

"Jadi biasa nya di kelilingi apa?" tanya papa menatap bingung.

"Biasa nya di kelilingi setan, pa," jawabku.

"Kamu yang udah kayak setan,"

"Sstt, nggak baik pa ngomong anak sendiri kayak setan. Kata-kata orang tua adalah doa. Nanti kalau aku jadi setan beneran, gimana?"

"Yang papa bilang itu kelakuan kamu,"

"Udah lah. Papa mau ke mesjid dulu," ucap papaku kemudian. Sebelum aku kembali bicara. Karena dia tau, jika terus meladeni ku, maka kami akan terlambat ke mesjid.

Aku menatap punggung papa yang berjalan di depanku. Terkadang aku kasian melihat nya. Di usia tua nya, harusnya papa bahagia dengan di dampingi seseorang yang papa cintai.

Tapi sejak mama pergi, papa menolak untuk menikah lagi. Padahal aku tidak pernah melarang nya, asalkan papa bahagia. Tapi dia tetap menolak.

Entah dia trauma untuk menikah lagi, atau karena masih mencintai mama.

Papaku bernama Baskara, dia adalah laki-laki yang baik dan pekerjaan keras. Dia selalu melakukan apapun yang terbaik untukku. Meski terkadang aku membangkang, tapi dia tidak pernah memarahi ku. Justru dia menasehati ku dengan cara yang lembut.

Jika mama, jangan tanyakan tentang wanita itu! Aku bahkan tidak ingin menceritakan nya. Bukan karena aku membencinya. Karena walau bagaimana pun, dia adalah ibuku. Wanita yang telah melahirkan ku.

Hanya saja aku berusaha melupakan nya. Agar hatiku tidak sedih dan sakit setiap kali mengingat apa yang dia lakukan pada kami. Kecewa, tentu saja. Aku kecewa dan marah pada ibuku.

Tapi, tidak bisa di pungkiri, di sisi lain. Aku juga merindukan ibuku.

"Eh, Bel. Tumben ni anak udah taubat. Kerasukan apa lo?" seru Rania tiba-tiba menghampiri ku.

Pletak!

Aku seketika menjitak kening nya. Kesal mendengar kata-kata yang keluar dari mulut nya. Seolah selama ini aku adalah seorang pendausa besar.

"Kata-kata lo, kayak lo udah benar aja selama ini," ucapku

"Iya, juga sih, hehehe,"

Kami berdua segera ke mesjid, kebetulan rumah kami menang dekat dengan mesjid.

Oya, Rania ini adalah sahabat aku. Rumah kami juga berdekatan, kami tetangga. Dan satu lagi... Aku sebenarnya sedikit malu mengatakan nya, hehe.

Sebenarnya suara lantunan adzan yang sangat merdu tadi adalah milik bapaknya, Rania. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku naksir sama papanya.

Mengetahui dia yang mengumandangkan azan, aku buru-buru ke mesjid. Karena aku yakin, pasti nanti dia juga yang akan menjadi imam. Aku tidak boleh melewatkan kesempatan di imami om Arga. Sambil nunggu nanti di imami di rumah kalau udah nikah.

"Astagfirullah! Istighfar Bella. Sepertinya mimpiku terlalu ketinggian," batinku.

Aku buru-buru menyadarkan diriku dari pikiran konyol yang aku pikirkan. Memangnya om Arga mau sama aku. Secara kan usia ku seumuran sama putrinya, si Rania.

Hiks hiks, kenapa sih aku nggak tua aja. Supaya bisa nikah sama om Arga. Ish, kalian jangan menertawakan aku yang suka sama om-om ya!

Karena meskipun usia nya sudah memasuki angka 35. Tapi dia masih terlihat seperti di bawah 30. Masih tampan dan mempesona. Membuat aku jatuh dalam pesonanya.

Dan aku yakin, jika kalian melihat nya, pasti kalian juga langsung naksir. Om Arga itu keturunan blasteran.

"Udah ambil wudhu, belum Bel?" tanya Rania begitu kami tiba di mesjid.

"Udah tadi di rumah," jawabku.

"Ya udah, ayo masuk," Rania segera menarik tangan ku. Apalagi sudah terdengar iqamah.

Allahuakbar!

Bismillahirrahmanirrahim

Nah kan, benar kataku. Pasti om Arga yang jadi imam. Jika om Arga yang mengumandangkan azan, pasti nanti dia juga di suruh jadi imam, oleh bapak-bapak di sini.

Karena suara nya yang MasyaAllah. Meski sebenarnya dia bukanlah seorang ustadz. Tapi suaranya benar-benar sangat merdu dan menyentuh hati.

Jika setiap hari di imami om Arga, mungkin aku nggak akan bolong sholat. Karena aku selalu semangat ke mesjid.

"Astagfirullah! Maafkan hamba ya Allah. Yang menjadikan manusia sebagai alasan taat beribadah kepadamu,"

Aku mulai kusyuk shalat, dan menghilangkan pikiran-pikiran tentang dunia. Agar shalat ku di terima.

Assalamu'alaikum warahmatullah!

Assalamu'alaikum warahmatullahi!

Aku mulai mengusap wajahku begitu selesai shalat. Dan mengangkat kedua tanganku untuk berdoa. Sepertinya aku harus menggunakan jalur langit, supaya bisa nikah sama om Arga.

"Ya Allah, maafkan aku yang berdosa karena sempat memikirkan laki-laki yang bukan mahram untukku. Ya Allah jadikan om Arga jodohku, supaya aku tidak terus-terusan berdausa. Aku tidak masalah meskipun om Arga duda. Aku tetap mau menikah dengan nya. Amiin," doaku dalam hati.

"Berdoa apa sih, panjang amat doa nya," tanya Rania yang ternyata menatap ke arahku sedari tadi.

"Do'ain bapak lo,"

"Eh! Do'ain apa lo untuk bokap gue. Jangan do'ain yang macem-macem lo ya," ucap Rania galak.

"Nggak kok, justru gue do'ain yang baik-baik," balas ku.

"Contohnya?" tanya nya lagi. Seperti nya dia penasaran dengan yang aku katakan tadi.

"Sst, jangan berisik. Imam lagi baca doa amin," ucapan ku berhasil membungkam Rania.

Keluar dari mesjid, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku mampir ke tempat Rania sebentar. Lagipula papa juga tidak masalah saat aku meminta izin tadi. Toh, rumah kami juga bertetangga.

Jika pulang ke rumah, aku pasti suntuk. Karena hanya tinggal berdua dengan papa. Pun dengan Rania yang juga tidak ada teman. Jika di pikir-pikir, nasib kami berdua hampir sama, cuma tinggal berdua dengan bokap.

Aku yang asyik menonton TV dengan Rania. Seketika mengalihkan pandangan, begitu mendengar ucapan salam dari luar.

"Wa'alaikumussalam salam," jawabku.

MasyaAllah!

Berasa kayak nunggu suami pulang aja.

"Hallo, om. Udah makan?"

Eh! Saking terbawa suasana, aku justru nanyak begitu. Kayak seorang istri lagi perhatian sama suaminya.

Dan lagi... Kayak aku tuan rumah aja. Aku tamu di sini, tapi malah kesan nya kayak om Arga tamunya. Dan aku mau nawarin dia makan. Hadeuh! Benar-benar ya, penyakit cinta membuat aku salah tingkah.

"Nanya apa sih, lo Bel. Udah kayak istri takut suami nya belum makan?" ucap Rania, mendengar pertanyaan ku tadi.

"Ini namanya, ciri-ciri menjadi calon istri yang baik," balas ku.

"Calon istri apaan? Sekolah dulu yang benar, jangan masih kecil udah kebelet nikah,"

"Ellah, kayak lo udah gede aja," balas ku tak mau kalah.

"Gue sadar masih kecil, masih di bawah umur. Makanya nggak pernah mikirin nikah, bukan kayak lo,"

"17 tahun itu udah gede. 10 tahun, baru bisa di bilang di bawah umur,"

"Serah lo, deh," tuh kan, dia pasti nggak mau berdebat sama aku. Karena tau ujung-ujungnya pasti kalah juga.

Saat menolah ke tempat om Arga berdiri tadi. Ternyata dia sudah pergi. Seperti nya dia tidak ingin mendengar perdebatan kami. Makanya segera memasuki kamarnya.

"Mau kemana?" tanya Rania melihat aku mengambil mukena yang tadi sempat aku letakkan di pinggiran sofa.

"Pulang,"

"Bentar lagi pulangnya, gue nggak ada teman ini,"

"Kalau gue pulang kemalaman, trus di culik. Mau tanggung jawab lo?"

"Kayak rumah lo jauh aja, Bel. Pakek acara nyulik segala. Yang ada penculik langsung lari begitu melihat, lo," ucap Rania.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Muka lo udah kayak mbak kunti,"

"Lo yang kayak sunder bolong," setelah mengatakan itu, aku segera beranjak dari sana.

Kesel! Enak aja Rania ngatain orang kayak mbak kunti. Masa secantik bidadari ini di bilang mirip hantu. Udah rabun kali si Rania.

"Bercanda, Bella. Masa gitu aja udah ngambek. Jangan ngambek-ngambek, nanti cepet tua loh, Bel," teriak Rania yang masih bisa ku dengar. Tapi aku tidak peduli.

Lagipula aku tidak benar-benar marah padanya. Aku buru-buru pulang karena teringat papa yang sendirian di rumah.

Deg!

Begitu memasuki rumah, aku terkejut melihat apa yang sedang papa lakukan.

"Papa,"

.

.

๐™ƒ๐™–๐™ž ๐™ฉ๐™š๐™ข๐™–๐™ฃ-๐™ฉ๐™š๐™ข๐™–๐™ฃ ๐™จ๐™š๐™ข๐™ช๐™–, ๐™ž๐™ฃ๐™ž ๐™ฃ๐™ค๐™ซ๐™š๐™ก ๐™ฅ๐™š๐™ง๐™ฉ๐™–๐™ข๐™– ๐™จ๐™–๐™ฎ๐™–. ๐™Ž๐™š๐™ข๐™ค๐™œ๐™– ๐™ฉ๐™š๐™ง๐™๐™ž๐™—๐™ช๐™ง. ๐™…๐™–๐™ฃ๐™œ๐™–๐™ฃ ๐™ก๐™ช๐™ฅ๐™– ๐™ซ๐™ค๐™ฉ๐™š ๐™–๐™ฃ๐™™ ๐™˜๐™ค๐™ข๐™š๐™ฃ๐™ฉ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜˜

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status