Pov Arabella
Allahuakbar Allahuakbar "Subhanallah, suara calon imam ku sungguh menggetarkan hati," Aku buru-buru mengambil wudhu lalu memakai mukenah. Suara lantunan adzan yang sangat merdu itu, membuat aku mengenali siapa pemilik suara itu. "Tumben mau ke mesjid?" tanya papa, ketika aku tiba di lantai bawah. Bersamaan dengan dia yang juga ingin ke mesjid. Aku hanya cengengesan mendengar pertanyaan papa. Karena biasanya, jangan kan ke mesjid. Aku bahkan sering bolong shalat di rumah. Padahal papa sering kali mengingatkan aku, jika meninggalkan shalat adalah dausa besar. Di iringi dengan berbagai ceramah nya, dia terus menasehati aku. Tapi, memang dasar nya aku yang bandel dan tidak ingin di atur, mengabaikan semua nasehat yang papa katakan. Ibarat katanya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. "Alhamdulillah, pa. Sekarang aku lagi di kelilingi sama malaikat. Maka nya, begitu mendengar suara azan langsung gas ke mesjid," jawabku. "Jadi biasa nya di kelilingi apa?" tanya papa menatap bingung. "Biasa nya di kelilingi setan, pa," jawabku. "Kamu yang udah kayak setan," "Sstt, nggak baik pa ngomong anak sendiri kayak setan. Kata-kata orang tua adalah doa. Nanti kalau aku jadi setan beneran, gimana?" "Yang papa bilang itu kelakuan kamu," "Udah lah. Papa mau ke mesjid dulu," ucap papaku kemudian. Sebelum aku kembali bicara. Karena dia tau, jika terus meladeni ku, maka kami akan terlambat ke mesjid. Aku menatap punggung papa yang berjalan di depanku. Terkadang aku kasian melihat nya. Di usia tua nya, harusnya papa bahagia dengan di dampingi seseorang yang papa cintai. Tapi sejak mama pergi, papa menolak untuk menikah lagi. Padahal aku tidak pernah melarang nya, asalkan papa bahagia. Tapi dia tetap menolak. Entah dia trauma untuk menikah lagi, atau karena masih mencintai mama. Papaku bernama Baskara, dia adalah laki-laki yang baik dan pekerjaan keras. Dia selalu melakukan apapun yang terbaik untukku. Meski terkadang aku membangkang, tapi dia tidak pernah memarahi ku. Justru dia menasehati ku dengan cara yang lembut. Jika mama, jangan tanyakan tentang wanita itu! Aku bahkan tidak ingin menceritakan nya. Bukan karena aku membencinya. Karena walau bagaimana pun, dia adalah ibuku. Wanita yang telah melahirkan ku. Hanya saja aku berusaha melupakan nya. Agar hatiku tidak sedih dan sakit setiap kali mengingat apa yang dia lakukan pada kami. Kecewa, tentu saja. Aku kecewa dan marah pada ibuku. Tapi, tidak bisa di pungkiri, di sisi lain. Aku juga merindukan ibuku. "Eh, Bel. Tumben ni anak udah taubat. Kerasukan apa lo?" seru Rania tiba-tiba menghampiri ku. Pletak! Aku seketika menjitak kening nya. Kesal mendengar kata-kata yang keluar dari mulut nya. Seolah selama ini aku adalah seorang pendausa besar. "Kata-kata lo, kayak lo udah benar aja selama ini," ucapku "Iya, juga sih, hehehe," Kami berdua segera ke mesjid, kebetulan rumah kami menang dekat dengan mesjid. Oya, Rania ini adalah sahabat aku. Rumah kami juga berdekatan, kami tetangga. Dan satu lagi... Aku sebenarnya sedikit malu mengatakan nya, hehe. Sebenarnya suara lantunan adzan yang sangat merdu tadi adalah milik bapaknya, Rania. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku naksir sama papanya. Mengetahui dia yang mengumandangkan azan, aku buru-buru ke mesjid. Karena aku yakin, pasti nanti dia juga yang akan menjadi imam. Aku tidak boleh melewatkan kesempatan di imami om Arga. Sambil nunggu nanti di imami di rumah kalau udah nikah. "Astagfirullah! Istighfar Bella. Sepertinya mimpiku terlalu ketinggian," batinku. Aku buru-buru menyadarkan diriku dari pikiran konyol yang aku pikirkan. Memangnya om Arga mau sama aku. Secara kan usia ku seumuran sama putrinya, si Rania. Hiks hiks, kenapa sih aku nggak tua aja. Supaya bisa nikah sama om Arga. Ish, kalian jangan menertawakan aku yang suka sama om-om ya! Karena meskipun usia nya sudah memasuki angka 35. Tapi dia masih terlihat seperti di bawah 30. Masih tampan dan mempesona. Membuat aku jatuh dalam pesonanya. Dan aku yakin, jika kalian melihat nya, pasti kalian juga langsung naksir. Om Arga itu keturunan blasteran. "Udah ambil wudhu, belum Bel?" tanya Rania begitu kami tiba di mesjid. "Udah tadi di rumah," jawabku. "Ya udah, ayo masuk," Rania segera menarik tangan ku. Apalagi sudah terdengar iqamah. Allahuakbar! Bismillahirrahmanirrahim Nah kan, benar kataku. Pasti om Arga yang jadi imam. Jika om Arga yang mengumandangkan azan, pasti nanti dia juga di suruh jadi imam, oleh bapak-bapak di sini. Karena suara nya yang MasyaAllah. Meski sebenarnya dia bukanlah seorang ustadz. Tapi suaranya benar-benar sangat merdu dan menyentuh hati. Jika setiap hari di imami om Arga, mungkin aku nggak akan bolong sholat. Karena aku selalu semangat ke mesjid. "Astagfirullah! Maafkan hamba ya Allah. Yang menjadikan manusia sebagai alasan taat beribadah kepadamu," Aku mulai kusyuk shalat, dan menghilangkan pikiran-pikiran tentang dunia. Agar shalat ku di terima. Assalamu'alaikum warahmatullah! Assalamu'alaikum warahmatullahi! Aku mulai mengusap wajahku begitu selesai shalat. Dan mengangkat kedua tanganku untuk berdoa. Sepertinya aku harus menggunakan jalur langit, supaya bisa nikah sama om Arga. "Ya Allah, maafkan aku yang berdosa karena sempat memikirkan laki-laki yang bukan mahram untukku. Ya Allah jadikan om Arga jodohku, supaya aku tidak terus-terusan berdausa. Aku tidak masalah meskipun om Arga duda. Aku tetap mau menikah dengan nya. Amiin," doaku dalam hati. "Berdoa apa sih, panjang amat doa nya," tanya Rania yang ternyata menatap ke arahku sedari tadi. "Do'ain bapak lo," "Eh! Do'ain apa lo untuk bokap gue. Jangan do'ain yang macem-macem lo ya," ucap Rania galak. "Nggak kok, justru gue do'ain yang baik-baik," balas ku. "Contohnya?" tanya nya lagi. Seperti nya dia penasaran dengan yang aku katakan tadi. "Sst, jangan berisik. Imam lagi baca doa amin," ucapan ku berhasil membungkam Rania. Keluar dari mesjid, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku mampir ke tempat Rania sebentar. Lagipula papa juga tidak masalah saat aku meminta izin tadi. Toh, rumah kami juga bertetangga. Jika pulang ke rumah, aku pasti suntuk. Karena hanya tinggal berdua dengan papa. Pun dengan Rania yang juga tidak ada teman. Jika di pikir-pikir, nasib kami berdua hampir sama, cuma tinggal berdua dengan bokap. Aku yang asyik menonton TV dengan Rania. Seketika mengalihkan pandangan, begitu mendengar ucapan salam dari luar. "Wa'alaikumussalam salam," jawabku. MasyaAllah! Berasa kayak nunggu suami pulang aja. "Hallo, om. Udah makan?" Eh! Saking terbawa suasana, aku justru nanyak begitu. Kayak seorang istri lagi perhatian sama suaminya. Dan lagi... Kayak aku tuan rumah aja. Aku tamu di sini, tapi malah kesan nya kayak om Arga tamunya. Dan aku mau nawarin dia makan. Hadeuh! Benar-benar ya, penyakit cinta membuat aku salah tingkah. "Nanya apa sih, lo Bel. Udah kayak istri takut suami nya belum makan?" ucap Rania, mendengar pertanyaan ku tadi. "Ini namanya, ciri-ciri menjadi calon istri yang baik," balas ku. "Calon istri apaan? Sekolah dulu yang benar, jangan masih kecil udah kebelet nikah," "Ellah, kayak lo udah gede aja," balas ku tak mau kalah. "Gue sadar masih kecil, masih di bawah umur. Makanya nggak pernah mikirin nikah, bukan kayak lo," "17 tahun itu udah gede. 10 tahun, baru bisa di bilang di bawah umur," "Serah lo, deh," tuh kan, dia pasti nggak mau berdebat sama aku. Karena tau ujung-ujungnya pasti kalah juga. Saat menolah ke tempat om Arga berdiri tadi. Ternyata dia sudah pergi. Seperti nya dia tidak ingin mendengar perdebatan kami. Makanya segera memasuki kamarnya. "Mau kemana?" tanya Rania melihat aku mengambil mukena yang tadi sempat aku letakkan di pinggiran sofa. "Pulang," "Bentar lagi pulangnya, gue nggak ada teman ini," "Kalau gue pulang kemalaman, trus di culik. Mau tanggung jawab lo?" "Kayak rumah lo jauh aja, Bel. Pakek acara nyulik segala. Yang ada penculik langsung lari begitu melihat, lo," ucap Rania. "Kenapa?" tanyaku bingung. "Muka lo udah kayak mbak kunti," "Lo yang kayak sunder bolong," setelah mengatakan itu, aku segera beranjak dari sana. Kesel! Enak aja Rania ngatain orang kayak mbak kunti. Masa secantik bidadari ini di bilang mirip hantu. Udah rabun kali si Rania. "Bercanda, Bella. Masa gitu aja udah ngambek. Jangan ngambek-ngambek, nanti cepet tua loh, Bel," teriak Rania yang masih bisa ku dengar. Tapi aku tidak peduli. Lagipula aku tidak benar-benar marah padanya. Aku buru-buru pulang karena teringat papa yang sendirian di rumah. Deg! Begitu memasuki rumah, aku terkejut melihat apa yang sedang papa lakukan. "Papa," . . ๐๐๐ ๐ฉ๐๐ข๐๐ฃ-๐ฉ๐๐ข๐๐ฃ ๐จ๐๐ข๐ช๐, ๐๐ฃ๐ ๐ฃ๐ค๐ซ๐๐ก ๐ฅ๐๐ง๐ฉ๐๐ข๐ ๐จ๐๐ฎ๐. ๐๐๐ข๐ค๐๐ ๐ฉ๐๐ง๐๐๐๐ช๐ง. ๐ ๐๐ฃ๐๐๐ฃ ๐ก๐ช๐ฅ๐ ๐ซ๐ค๐ฉ๐ ๐๐ฃ๐ ๐๐ค๐ข๐๐ฃ๐ฉ๐๐Mendengar suaraku, papa buru-buru menyembunyikan bingkai foto yang di tatap nya tadi. Raut terkejut tidak bisa di sembunyikan nya, begitu dia mengetahui kehadiran ku.Tangan nya terangkat ke wajah, seperti menghapus air mata. Setelah itu barulah papa berbalik menatap ke arahku."Sudah pulang, nak? Papa pikir kamu masih lama di rumah Rania," ucap papa tersenyum ke arahku. Aku tau, itu hanyalah alasan nya. Agar aku tidak menanyakan apa yang di lakukan nya tadi. Juga tidak ingin membuatku bersedih.Meskipun tanpa di katakan apapun. Akutau, Papa pasti sedang merindukan mama. Setiap kali rindu itu datang. Dia pasti akan menatap lama foto mama, sambil menitikkan air mata nya.Entah sebesar apa rasa cinta yang di miliki papa. Hingga dia masih setia menunggu mama kembali. Masih setia mencintai wanita itu, meskipun dia sudah menorehkan luka padanya.Aku sendiri bahkan tidak pernah mengharapkan nya lagi. Dia yang memilih pergi, bahkan tanpa menoleh sedikitpun pada kami. Lalu, kenapa aku harus m
"Radit," ucapku saat mengetahui bahwa yang memanggil ku tadi adalah Radit. "Mau masuk kelas, ya. Bareng aja, yuk," ucap Radit Aku hanya mengangguk, tanpa berniat menolak niat baik nya. Lagipula kami memang satu kelas. Sementara Rania yang berada di sampingku, sudah gregetan sama si Radit. Dia tidak suka pada pria itu. Karena Radit selalu bersikap sok ganteng di sekolah ini. Padahal menurut Rania, wajah pria itu biasa-biasa saja. Namanya Raditya, dia anak orang kaya. Ayahnya merupakan salah satu donatur tetap di sekolah ini. Tampang nya juga lumayan sih menurutku, banyak cewek-cewek di sini yang mengejarnya. Tapi tidak termasuk aku dan Rania, ya! Mungkin itu salah satu alasan dirinya bersikap demikian. Meskipun begitu, dia tidak sombong. Dan berteman dengan siapa pun, meskipun dia menjadi salah satu cowok terpopuler di sekolah ini. "Kok lo iyain sih, Bell," ucap Rania berbisik padaku. "Loh, apa salah nya? Lagipula kita memang mau ke kelas, kan," balas ku yang juga berbi
"Banyak amat lo beli baksonya. Emang habis?" tanya ku melihat Rania yang menenteng dua buah bakso di tangan nya. "Ya nggak lah! Ini gue beli buat papa satu," jawab Rania. "Kirain," jawabku cengengesan. "Lo sih, kebiasaan. Suudzon mulu," "Kok sepi rumah lo, Ran," ucapku begitu tiba di rumah nya. "Papa belum pulang kerja. Lagi lembur katanya," jawab Rania. Tidak lama setelah Rania mengatakan itu. Mobil om Arga mulai terlihat memasuki perkarangan rumah. "Itu om Arga udah pulang!" ucapku pada Rania. Membuat dia mengalihkan pandangan nya, begitu indra pendengar nya mendengar suara deru mobil om Arga. "Darimana, sayang," tanya om Arga pada Rania, begitu dia turun dari mobil nya. "Habis beli bakso, pa. Ini aku juga beli buat papa satu," balas Rania. "Aku nggak di tanya, om. Aku kan juga kepingin di panggil sayang," ucapku sambil mengedipkan mata genit. Tapi om Arga mana peduli dengan tingkah ke kanak-kanakan ku. "Kan tadi saya udah tanya ke Rania. Lagian kalian pasti pe
"Ups maaf, nggak sengaja," ucap seorang gadis yang fans berat sama Radit. Namanya Stella. Stella tertawa setelah mengatakan itu, di sambut gelak tawa oleh kedua sahabat nya, Rara dan Dini. Yang selalu mengekor kemana pun Stella pergi. Layak nya anak buah, Rara dan Dini selalu patuh dengan apa yang di katakan dan di perintahkan Stella. Karena Stella adalah anak orang kaya. Jadi tidak ada yang berani menegur atau pun menolah apa yang dia inginkan dan katakan. Mereka bertiga sering kali membully siswi-siswi yang mencoba mendekati Radit. Tapi berbeda dengan ku, bukan kami yang mencoba mendekati pemuda itu. Tapi dia sendiri. Tapi seperti nya Stella tetap menyalahkan kami. Terutama aku, karena tadi Radit juga duduk di sampingku. Aku memperhatikan seragam sekolah ku yang Basah terkena tumpahan jus yang dilakukan Stella. Aku tahu dia sengaja melakukan nya, tapi aku tidak ingin berdebat, lebih baik aku mengalah saja. "Iya, nggak papa. Lain kali hati-hati," jawabku yang memang tidak
Menjadi anak tunggal itu ternyata tidak menyenangkan. Apalagi jika setelah pulang sekolah seperti ini. Aku pasti sendirian di rumah, karena papa belum pulang kerja. Jika tidak ke pergi rumah Rania, aku pasti akan merasa kesepian di sini. Benar-benar sepi dan hampa. Coba saja papa nikah lagi, pasti aku akan punya adik yang lucu, dan bisa aku ajak main. Dan pastinya aku bakal betah di rumah. Tidak keluyuran ke rumah Rania setiap hari. Kehidupan memang tidak selalu berjalan seperti apa yang kita ingin kan. Padahal aku sangat ingin memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi Tuhan tidak berkenan mengabulkan itu. Manusia mungkin punya rencana. Tapi Allah lah yang berkehendak. Sebaik apapun rencana yang kita rancang, jika Allah tidak menghendaki nya, maka semua nya akan sia-sia. "Apa aku buat cake aja, ya," ucapku tiba-tiba. Dari pada bosan, rebahan tidak jelas. Lebih baik aku buat cake aja. Nanti aku bisa nyuruh Rania mencicipi nya. Karena memang kebetulan aku sangat suka mem
"Gimana rasanya, pa?" tanyaku, menghidangkan beberapa cake yang aku buat tadi siang, beserta secangkir kopi untuk papa. "Enak! Putri papa ini memang punya bakat luar biasa. Bisa membuat kue enak, sama seperti_" papa terdiam, tidak melanjutkan ucapan nya. Tapi aku tau, kalimat apa yang ingin keluar dari mulut papa. Dia pasti ingin mengatakan jika aku mempunyai bakat yang sama dengan mama. Ya, dulu mama ku juga sangat pintar dan enak membuat cake. Bahkan papa sendiri berniat membuat kan sebuah toko kue untuk mama. Sebagai kado Anniversary pernikahan mereka. Manusia hanya bisa berencana. Pada akhirnya semua itu hanya tinggal harapan. Kado indah yang sudah papa siap kan ternyata sia-sia. Tepat satu minggu sebelum anniversary pernikahan mereka, mama pergi. Membuat papa hancur, sehancur-hancur nya. Mama selingkuh, dia memilih pergi dan ingin hidup bersama selingkuhan nya. Tanpa memikirkan aku. Tanpa peduli jika dia
Papa terdiam mendengar pengakuan yang keluar dari mulut ku. Bisa aku pastikan, jika papa pasti terlihat syok dan tidak percaya. "Nak Arga, tetangga kita?" tanya papa. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ayah nya Rania," tanya nya lagi yang tidak percaya. "Iya, papa," "Apa? Kau pasti bercanda kan, nak!" ucap papa, menolak untuk percaya. "Aku mengatakan yang sebenarnya. Jika papa tidak percaya, ya sudah," ucapku yang tidak ingin meyakinkan papa. "Tapi... Apa kau yakin," "Yakin bagaimana?" tanya ku bingung. "Umur kalian beda jauh nak. Papa hanya tidak ingin suatu saat nanti kau menyesal setelah bersama dengan nya. Papa tidak ingin jika nanti sampai kau menelantarkan keluarga mu, dan menjalani hubungan gelap bersama pria lain. Hanya karena kau masih terlihat muda, dan suami mu sudah berumur," ucap papa mengingat kan.
Sepanjang perjalanan aku selalu merasa gelisah. Entah apa penyebab nya, aku pun merasa bingung sendiri. "Kenapa dari tadi diam mulu, Bell. Lo sakit, ya," tanya Rania melihat ku hanya diam, sejak memasuki mobil. "Nggak, gue baik-baik aja, kok," balas ku. "Kalo baik-baik aja, ngomong dong. Jangan diam mulu dari tadi, capek ini gue ngomong sendiri," omel nya yang tidak bisa diam dari tadi. Membuat ku tersenyum dengan tingkah laku nya. Aku dan Rania berencana akan menonton di bioskop lebih dulu. Baru lah setelah itu kami akan jalan-jalan ke tempat lain. Yang pasti hari ini adalah waktu nya bersenang-senang. Apalagi Rania baru saja di kasih black card milik om Arga. Membuat gadis itu sumringah. Pun dengan aku, karena dia pasti akan membayar semua tagihan belanja ku nanti. "Lo tunggu di sini aja ya, gue mau beli minuman sama popcorn dulu," ucap nya meninggalkan aku. Aku yang sedang si