Ramdan terus melajukan mobil menuju suatu tempat yang terletak di tepi kota. Setibanya di depan sebuah bangunan yang didominasi dengan tembok putih, Ramdan turun dari mobil. Dia melangkah masuk dan menyusuri lorong panjang sampai tiba di depan sebuah ruang perawatan. Dia bergeming dan menatap ke dalam melalui kaca yang ada di pintu."Dia sudah kami beri obat penenang setelah mengamuk dan melukai dirinya sendiri."Ramdan menoleh sekilas sebelum kembali menatap kaca. "Apa boleh aku melihatnya?""Silakan, Pak. Tapi, sebaiknya jangan lama-lama karena polisi sebenarnya belum memperbolehkan dia bertemu dengan siapa pun."Ramdan mengangguk sekilas sebelum perlahan mendorong pintu. Dia melangkah masuk dan berdiri di kaki ranjang, kemudian menatap seorang wanita yang terlihat penuh luka lebam di wajah dan sekujur tubuhnya. Wajah yang dulu cantik, kini berubah menyedihkan karena ulah seseorang.Ramdan menggeram kesal sambil mengepalkan tangan dan mengetatkan rahang. Napasnya memburu karena mena
Elea membekap mulut dalam pelukan Ramdan, tak percaya dengan apa yang terjadi di depannya. Matanya sudah basah oleh air mata yang menetes sejak tadi. Sementara, Ramdan mengusap lengan sang istri sambil tersenyum tipis. Setelah melihat dokter keluarga selesai memeriksa Aleta, pria itu segera bertanya."Bagaimana, Dok?""Akhirnya keajaiban itu datang juga. Aleta sudah sadar."Ramdan tersenyum lebar dengan mata mengembun, sedangkan Elea menangis makin kencang mendengar ucapan sang dokter. Mereka tak menyangka setelah hampir empat tahun lamanya, gadis itu bangun juga. Elea tak mampu menyembunyikan perasaan bahagianya. Dia memeluk erat Ramdan dan terguguk dalam dada bidangnya. Ada perasaan lega karena melihat adik iparnya itu bisa sadarkan diri setelah hampir putus asa karena semua usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil.Usai tangisannya reda, Elea menghapus air mata dan mendongak untuk menatap suaminya. Dia mengusap lembut pipi Ramdan dan berkata."Doa kita terkabul, Ramdan. Aleta su
Ramdan bergeming di depan tubuh seseorang yang tertutup kain hingga ke kepala. Dia menghela napas berat sebelum mendekat dan menurunkan kain penutup sampai ke leher. Sejenak, dia memejamkan mata untuk berdoa sebelum kembali menatap wajah pucat di depannya."Maafkan aku, Gwen. Harusnya aku lebih cepat bertindak, jadi kamu tidak akan berakhir begini."Ramdan kembali menutupkan kain sampai ke kepala sebelum beranjak pergi meninggalkan ruang jenazah. Dia kembali menghela napas panjang ketika sampai di depan seorang pria yang bertubuh tegap dan memakai jas hitam."Aku pergi dulu, tolong urus pemakamannya. Kalau bisa kuburkan dia di dekat makam ibunya.""Siap, Bos."Ramdan membawa langkah beratnya menuju mobil. Dia mengempaskan tubuhnya di balik kemudi sebelum mengantuk-antukkan kepala ke sandaran kursi. Dia memejamkan mata sejenak sambil memijat pelan pangkal hidungnya karena nyeri yang perlahan membebat kepala. Dia membuka mata dan bergeming sejenak sambil menatap hampa ke depan. Satu hel
Satu jam menjelang fajar, Ramdan perlahan membuka mata. Dia mengedarkan pandangan sebelum menatap Elea yang tertidur di samping sambil memeluknya erat. Dia mengulas senyum tipis dan hendak bangun, tetapi kepala yang berdenyut nyeri membuatnya pasrah kembali berbaring.Merasa sang suami bergerak, Elea membuka mata. Dia mendongak dan tersenyum melihat Ramdan sudah terjaga. Dia beringsut duduk dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Ramdan."Masih demam. Kamu istirahat aja, biar aku buatkan makan dulu."Ramdan hanya bisa berkedip pelan tanpa bisa mengucapkan kata. Dia menatap sang istri yang perlahan turun dari ranjang dan keluar kamar. Dia mencoba mengingat kejadian kemarin sambil memejamkan mata. Sekejap mata bayangan tentang serentetan kemarin kembali berputar di kepala. Dia menghela napas panjang sebelum memijat pelan pangkal hidungnya.Ramdan berusaha meraih ponsel yang ada di nakas sebelum berusaha menghubungi sekretarisnya. Namun, belum sempat panggilannya dijawab, dia menoleh
Ramdan tersenyum dan mengusap lembut punggung Elea yang bergetar pelan karena takut. Dia kembali memeluk erat sang istri dan mengecup keningnya."Itu cuma mimpi, Elea. Kembang tidur dan kebetulan saja datangnya yang buruk. Jangan terlalu dipikirkan, ya? Aku enggak mau kamu kenapa-napa."Ramdan kembali melerai pelukan sebelum menangkup wajah istrinya. Sekilas, dia mengecup bibir sang istri dan menatapnya lekat."Kamu sebaiknya mandi biar lebih segar."Ramdan mencubit gemas hidung sang istri sebelum turun dari ranjang. Tangannya terulur di depan wajah Elea."Mau ke mana?" tanya Elea sambil menunjukkan raut wajah kebingungan."Mandi.""Tapi ....""Aku sudah sembuh, Elea. Hanya demam tak akan membuatku lemas seharian. Obat dan perhatian kamu memberi kekuatan padaku untuk secepatnya sembuh."Elea tersenyum tipis sebelum wmnyambut ukuran tangan Ramdan. Dia turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Ramdan membantu sang istri membuka baju dan mengguyur tubuhnya, kemudian menggosok p
Ramdan merebut ponsel dan melemparnya ke ranjang, kemudian merengkuh tubuh Elea dan memeluknya erat. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum melerai pelukan dan menggenggam tangan istrinya. Dia menunduk dalam sebelum kembali menatap Elea."Sebenarnya aku enggak mau cerita ini ke kamu, Elea. Aku takut kamu jadi kepikiran."Ramdan kembali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Elea. Lalu, kembali melanjutkan ucapannya."Gwen meninggal kemarin."Elea membekap mulut dengan mata membeliak karena terkejut dengan ucapan Ramdan. Dia menggeleng pelan, mencoba menyangkal bahwa apa yang dikatakan suaminya adalah kebohongan. Namun, melihat sikap sang suami, Elea paham tak ada kebohongan yang terjadi.Ramdan tersenyum getir sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Seminggu yang lalu, aku dapat kabar kalau Gwen mengalami penyiksaan dan pelecehan brutal sampai membuatnya harus mendapat perawatan di rumah sakit. Tapi, kemarin aku dapat kabar lagi kala
Ramdan melajukan mobilnya menuju sebuah restoran. Elea mengernyit heran dan melirik suaminya sesaat setelah mobil berhenti. Pria itu tersenyum dan menatap sang istri."Papa tadi sempat ngajak kita makan dulu di sini, Elea. Mumpung kita lagi kumpul semuanya."Elea tersenyum tipis sebelum turun dari mobil, kemudian berjalan ke dalam sambil menggamit lengan suaminya. Dalam ruangan khusus, kelima orang itu duduk di depan sebuah meja yang sudah terhidang aneka makanan. Elea sengaja duduk di samping Aleta agar mudah membantunya makan.Dengan telaten, Elea mengambil nasi dan menuang lauk, kemudian menyuapi Aleta. Melihat istrinya begitu sayang dengan sang adik, Ramdan menyendok nasi dan menuang lauk sebelum meletakkannya di depan Elea."Kamu juga harus makan, Elea.""Nanti saja abis nyuapin Aleta."Ramdan tersenyum tipis dan mulai menyendok makanan di depannya. Sesekali dia melirik sang istri yang asyik mengobrol dengan Aleta. Lima belas menit kemudian, Elea baru bisa menyuap makanannya. Ram
Ramdan bergegas berlari keluar gedung kantornya. Dia mengedarkan pandangan dengan liar sambil mengatur napas yang memburu. Menyadari orang yang selama ini dicarinya sudah tidak ada, Ramdan meninju angin."Aaargh, sialan!"Ramdan menjambak rambut dan kembali mengedarkan pandangan. Setelah memastikan orang itu memang sudah pergi, dia berbalik ke dalam gedung. Dia berjalan tergesa menuju ruangan dan mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi kebesaran. Dia meraup wajah kasar sebelum menggebrak meja."Sialan! Beraninya dia ke sini dan menerorku! Kurang ajar!"Ramdan kembali meraup wajah kasar sebelum menengadah dan memejamkan mata. Dia memijat pelan pangkal hidungnya dan menghela napas berat. Usai amarahnya reda, Ramdan bangkit duduk dan kembali berlalu keluar ruangan. Dia berhenti sejenak di depan sang sekretaris dan mengatakan akan pulang karena kepalanya mendadak berdenyut nyeri. Setelahnya, dia kembali mengayun langkah menuju mobil.Ramdan melajukan mobil meninggalkan gedung kantor dengan p