Ramdan bergeming di depan tubuh seseorang yang tertutup kain hingga ke kepala. Dia menghela napas berat sebelum mendekat dan menurunkan kain penutup sampai ke leher. Sejenak, dia memejamkan mata untuk berdoa sebelum kembali menatap wajah pucat di depannya."Maafkan aku, Gwen. Harusnya aku lebih cepat bertindak, jadi kamu tidak akan berakhir begini."Ramdan kembali menutupkan kain sampai ke kepala sebelum beranjak pergi meninggalkan ruang jenazah. Dia kembali menghela napas panjang ketika sampai di depan seorang pria yang bertubuh tegap dan memakai jas hitam."Aku pergi dulu, tolong urus pemakamannya. Kalau bisa kuburkan dia di dekat makam ibunya.""Siap, Bos."Ramdan membawa langkah beratnya menuju mobil. Dia mengempaskan tubuhnya di balik kemudi sebelum mengantuk-antukkan kepala ke sandaran kursi. Dia memejamkan mata sejenak sambil memijat pelan pangkal hidungnya karena nyeri yang perlahan membebat kepala. Dia membuka mata dan bergeming sejenak sambil menatap hampa ke depan. Satu hel
Satu jam menjelang fajar, Ramdan perlahan membuka mata. Dia mengedarkan pandangan sebelum menatap Elea yang tertidur di samping sambil memeluknya erat. Dia mengulas senyum tipis dan hendak bangun, tetapi kepala yang berdenyut nyeri membuatnya pasrah kembali berbaring.Merasa sang suami bergerak, Elea membuka mata. Dia mendongak dan tersenyum melihat Ramdan sudah terjaga. Dia beringsut duduk dan menempelkan punggung tangannya ke dahi Ramdan."Masih demam. Kamu istirahat aja, biar aku buatkan makan dulu."Ramdan hanya bisa berkedip pelan tanpa bisa mengucapkan kata. Dia menatap sang istri yang perlahan turun dari ranjang dan keluar kamar. Dia mencoba mengingat kejadian kemarin sambil memejamkan mata. Sekejap mata bayangan tentang serentetan kemarin kembali berputar di kepala. Dia menghela napas panjang sebelum memijat pelan pangkal hidungnya.Ramdan berusaha meraih ponsel yang ada di nakas sebelum berusaha menghubungi sekretarisnya. Namun, belum sempat panggilannya dijawab, dia menoleh
Ramdan tersenyum dan mengusap lembut punggung Elea yang bergetar pelan karena takut. Dia kembali memeluk erat sang istri dan mengecup keningnya."Itu cuma mimpi, Elea. Kembang tidur dan kebetulan saja datangnya yang buruk. Jangan terlalu dipikirkan, ya? Aku enggak mau kamu kenapa-napa."Ramdan kembali melerai pelukan sebelum menangkup wajah istrinya. Sekilas, dia mengecup bibir sang istri dan menatapnya lekat."Kamu sebaiknya mandi biar lebih segar."Ramdan mencubit gemas hidung sang istri sebelum turun dari ranjang. Tangannya terulur di depan wajah Elea."Mau ke mana?" tanya Elea sambil menunjukkan raut wajah kebingungan."Mandi.""Tapi ....""Aku sudah sembuh, Elea. Hanya demam tak akan membuatku lemas seharian. Obat dan perhatian kamu memberi kekuatan padaku untuk secepatnya sembuh."Elea tersenyum tipis sebelum wmnyambut ukuran tangan Ramdan. Dia turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Ramdan membantu sang istri membuka baju dan mengguyur tubuhnya, kemudian menggosok p
Ramdan merebut ponsel dan melemparnya ke ranjang, kemudian merengkuh tubuh Elea dan memeluknya erat. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum melerai pelukan dan menggenggam tangan istrinya. Dia menunduk dalam sebelum kembali menatap Elea."Sebenarnya aku enggak mau cerita ini ke kamu, Elea. Aku takut kamu jadi kepikiran."Ramdan kembali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Elea. Lalu, kembali melanjutkan ucapannya."Gwen meninggal kemarin."Elea membekap mulut dengan mata membeliak karena terkejut dengan ucapan Ramdan. Dia menggeleng pelan, mencoba menyangkal bahwa apa yang dikatakan suaminya adalah kebohongan. Namun, melihat sikap sang suami, Elea paham tak ada kebohongan yang terjadi.Ramdan tersenyum getir sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Seminggu yang lalu, aku dapat kabar kalau Gwen mengalami penyiksaan dan pelecehan brutal sampai membuatnya harus mendapat perawatan di rumah sakit. Tapi, kemarin aku dapat kabar lagi kala
Ramdan melajukan mobilnya menuju sebuah restoran. Elea mengernyit heran dan melirik suaminya sesaat setelah mobil berhenti. Pria itu tersenyum dan menatap sang istri."Papa tadi sempat ngajak kita makan dulu di sini, Elea. Mumpung kita lagi kumpul semuanya."Elea tersenyum tipis sebelum turun dari mobil, kemudian berjalan ke dalam sambil menggamit lengan suaminya. Dalam ruangan khusus, kelima orang itu duduk di depan sebuah meja yang sudah terhidang aneka makanan. Elea sengaja duduk di samping Aleta agar mudah membantunya makan.Dengan telaten, Elea mengambil nasi dan menuang lauk, kemudian menyuapi Aleta. Melihat istrinya begitu sayang dengan sang adik, Ramdan menyendok nasi dan menuang lauk sebelum meletakkannya di depan Elea."Kamu juga harus makan, Elea.""Nanti saja abis nyuapin Aleta."Ramdan tersenyum tipis dan mulai menyendok makanan di depannya. Sesekali dia melirik sang istri yang asyik mengobrol dengan Aleta. Lima belas menit kemudian, Elea baru bisa menyuap makanannya. Ram
Ramdan bergegas berlari keluar gedung kantornya. Dia mengedarkan pandangan dengan liar sambil mengatur napas yang memburu. Menyadari orang yang selama ini dicarinya sudah tidak ada, Ramdan meninju angin."Aaargh, sialan!"Ramdan menjambak rambut dan kembali mengedarkan pandangan. Setelah memastikan orang itu memang sudah pergi, dia berbalik ke dalam gedung. Dia berjalan tergesa menuju ruangan dan mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi kebesaran. Dia meraup wajah kasar sebelum menggebrak meja."Sialan! Beraninya dia ke sini dan menerorku! Kurang ajar!"Ramdan kembali meraup wajah kasar sebelum menengadah dan memejamkan mata. Dia memijat pelan pangkal hidungnya dan menghela napas berat. Usai amarahnya reda, Ramdan bangkit duduk dan kembali berlalu keluar ruangan. Dia berhenti sejenak di depan sang sekretaris dan mengatakan akan pulang karena kepalanya mendadak berdenyut nyeri. Setelahnya, dia kembali mengayun langkah menuju mobil.Ramdan melajukan mobil meninggalkan gedung kantor dengan p
Elea membekap mulut usai membaca isi pesan yang ditulis seseorang. Dia terhuyung mundur sebelum mendudukkan diri di ayunan. Dia bergeming sesaat, mencerna semua kejadian yang menimpa hari itu sebelum satu nama tercetus di kepalanya."Dandi?"Elea menoleh saat mendengar langkah mendekat. Dia segera bangkit dari duduk dan menghambur memeluk Ramdan. Perlahan, sesak yang membebat rongga dada membuat wanita itu menangis dalam pelukan suaminya. Setelahnya, dia melerai pelukan dan menatap lekat manik mata sekelam malam milik Ramdan."Itu pasti Dandi, kan? Dia pasti mau merusak hidup kita, Ramdan. Aku takut."Ramdan tersenyum tipis dan menghapus air mata istrinya sebelum kembali memeluk. Tangannya mengusap lembut punggung sang istri dan mengecup kepalanya. "Tenang, Elea. Aku pastikan dia tidak akan bisa mengusik kehidupan kita."Ramdan melerai pelukan sebelum membawa istrinya ke ranjang untuk berbaring. Setelahnya, dia mengambil ponsel dan keluar kamar untuk mencari Edrik. Ketika melihat pri
Ramdan menyeringai sambil menggeleng lemah sebelum menoleh ke arah Harsa. "Silakan keluar, Bapak Harsa Hadiwilaga!"Harsa menggeram kesal sambil mengepalkan tangan, kemudian bangkit dari duduk dan berlalu ke pintu. Namun, sebelum membuka pintu, dia menoleh dan menatap lekat Ramdan."Jika ini keputusanmu, jangan salahkan kalau terjadi sesuatu kepada Elea."Harsa tergelak dan membuka pintu sebelum keluar. Sementara, Ramdan bergeming sesaat, mencerna kata-kata bernada ancaman yang dilontarkan Harsa sebelum menggeleng lemah. Lalu, meneruskan memeriksa email dan membalasnya. Meskipun begitu, lambat laun kalimat sang mertua terus mengusik. Dia menjadi gelisah di tempat duduknya. Tak ingin dilanda kegundahan, Ramdan mengambil ponsel dan menghubungi Edrik."Ed, jika ada orang datang dan ingin bertemu Elea, cegah! Jangan tanya alasannya kenapa, cegah saja!""Siap, Tuan Muda."Ramdan bergegas menutup panggilan. Dia sedikit lega karena sudah melakukan hal yang benar. Dia menghela napas panjang s
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka