Elea membekap mulut usai membaca isi pesan yang ditulis seseorang. Dia terhuyung mundur sebelum mendudukkan diri di ayunan. Dia bergeming sesaat, mencerna semua kejadian yang menimpa hari itu sebelum satu nama tercetus di kepalanya."Dandi?"Elea menoleh saat mendengar langkah mendekat. Dia segera bangkit dari duduk dan menghambur memeluk Ramdan. Perlahan, sesak yang membebat rongga dada membuat wanita itu menangis dalam pelukan suaminya. Setelahnya, dia melerai pelukan dan menatap lekat manik mata sekelam malam milik Ramdan."Itu pasti Dandi, kan? Dia pasti mau merusak hidup kita, Ramdan. Aku takut."Ramdan tersenyum tipis dan menghapus air mata istrinya sebelum kembali memeluk. Tangannya mengusap lembut punggung sang istri dan mengecup kepalanya. "Tenang, Elea. Aku pastikan dia tidak akan bisa mengusik kehidupan kita."Ramdan melerai pelukan sebelum membawa istrinya ke ranjang untuk berbaring. Setelahnya, dia mengambil ponsel dan keluar kamar untuk mencari Edrik. Ketika melihat pri
Ramdan menyeringai sambil menggeleng lemah sebelum menoleh ke arah Harsa. "Silakan keluar, Bapak Harsa Hadiwilaga!"Harsa menggeram kesal sambil mengepalkan tangan, kemudian bangkit dari duduk dan berlalu ke pintu. Namun, sebelum membuka pintu, dia menoleh dan menatap lekat Ramdan."Jika ini keputusanmu, jangan salahkan kalau terjadi sesuatu kepada Elea."Harsa tergelak dan membuka pintu sebelum keluar. Sementara, Ramdan bergeming sesaat, mencerna kata-kata bernada ancaman yang dilontarkan Harsa sebelum menggeleng lemah. Lalu, meneruskan memeriksa email dan membalasnya. Meskipun begitu, lambat laun kalimat sang mertua terus mengusik. Dia menjadi gelisah di tempat duduknya. Tak ingin dilanda kegundahan, Ramdan mengambil ponsel dan menghubungi Edrik."Ed, jika ada orang datang dan ingin bertemu Elea, cegah! Jangan tanya alasannya kenapa, cegah saja!""Siap, Tuan Muda."Ramdan bergegas menutup panggilan. Dia sedikit lega karena sudah melakukan hal yang benar. Dia menghela napas panjang s
Elea mundur selangkah dan berusaha menutup pintu. Namun, orang itu menahan pintu sambil menyeringai dan melayangkan tatapan tajam. Lalu, mendorong pintu dengan kuat sampai membuat Elea terhuyung mundur. Wanita itu terkesiap, tetapi belum sempat menghindar, orang itu langsung mencengkeram erat lengannya."Lepaskan aku! Lepas!""Diam, Elea!""Aku enggak akan diam gitu aja, awas kamu!" Elea berontak dengan berusaha melepaskan tangan orang itu. Namun, usahanya gagal, sehingga dia berteriak. "Tolong!"Orang itu menggeram kesal dan melayangkan satu tamparan keras di pipi kiri Elea sampai sudut bibirnya robek. Tak berhenti menampar, orang itu mulai membekap mulut Elea dan membawanya keluar. Sampai di teras, wanita itu kembali melawan dengan menggigit telapak tangan dan menginjak kaki orang itu. Melihat orang itu meraung menahan sakit, Elea berjalan tergesa masuk dan segera mengunci pintu.Elea bersandar di pintu sambil membekap mulut dan air mata yang berderai. Tubuhnya bergetar hebat karena
Ramdan bergegas mendekati sang istri yang menangis histeris sambil mendekap erat selimutnya. Wanita itu mundur sampai membentur kepala ranjang. Matanya sudah basah oleh bulir bening yang terus berderai membasahi pipi. Ramdan perlahan mengempaskan tubuh ke ranjang dan mengulurkan tangan hendak menyentuh lengan Elea, tetapi segera ditepis kasar."Pergi! Jangan pernah kembali! Lepaskan aku! Aku tidak mau melihatmu!""Elea, tenang. Ini aku Ramdan, suami kamu."Elea menggeleng kuat sambil terus menepis kasar tangan Ramdan yang hendak merengkuhnya. "Aku tidak mau ikut denganmu! Pergi! Jangan ganggu aku!"Ramdan menghela napas melihat istrinya begitu trauma dengan kejadian yang menimpanya. Sekejap mata, dia langsung memeluk erat Elea. Dia abaikan pukulan sang istri di punggungnya. Dia terima semua sakit itu karena tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan sakit yang diderita Elea."Ini aku Ramdan, Elea. Suami kamu. Sadarlah!"Perlahan, pukulan di punggung Ramdan melemah. Detik berikutnya, p
Ramdan bergeming sebelum menoleh dan mengulas senyum ke arah Aleta. Dia meneruskan langkah dan menutup pintu sebelum berhenti di depan pintu. Dia mengusap wajah dan menghela napas panjang. Dia tak menyangka kalau pertanyaan sang adik kembali membuka luka lama. Dia masih bergeming sampai suara Elea menyapa rungu. Ramdan tergagap sebelum tersenyum tipis dan menghampiri istrinya."Kenapa ke sini, Elea? Bukankah harusnya kamu istirahat di kamar?""Aku mau lihat Aleta. Aku khawatir dengannya.""Enggak usah ke sana. Aleta sudah diurus sama pelayan, sekarang dia mau istirahat."Ramdan langsung menggandeng Elea dan menuruni tangga dengan perlahan menuju kamar. Dia membawa sang istri naik ke ranjang dan menyandarkan punggung dengan kedua jemari yang saling bertaut. Elea menyandarkan kepala di bahu sang suami sambil menatap perutnya yang membuncit.Perlahan, kantuk kembali datang menyergap, membuat Elea akhirnya terpejam dengan posisi kepala masih bersandar di bahu Ramdan. Pria itu menoleh dan t
Seminggu sejak kejadian di dalam lift, kedekatan Elea dengan Aleta berubah. Aleta seolah-olah menjauh dan menolak bertemu muka dengan Elea. Gadis itu bahkan tak mengizinkan Elea untuk masuk ke kamarnya. Melihat hal itu, Ramdan berusaha untuk memberi pengertian kepada sang adik. Namun, Aleta menulikan telinga dan menolak semua ucapan kakaknya."Jadi ini alasan kenapa Kakak enggak mau bilang siapa Elea itu sebenarnya, iya? Kakak takut aku tahu dan membencinya, kan? Dan itu sudah terjadi sekarang!""Al, dengar dulu penjelasan Kakak. Elea itu ....""Apa! Kakak masih berusaha membela pembohong itu di depanku, iya! Dan aku enggak akan pernah lupa dengan apa yang sudah dilakukannya kepadaku, Kak! Enggak akan!"Ramdan menghela napas panjang. Dia mengusap dagu dan membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap Aleta yang duduk di kursi roda dengan tatapan tajam mengintimidasi. Dia perlahan mengikis jarak dan berusaha menyentuh sang adik. Namun, gadis itu segera memundurkan kursi rodanya."J
Elea mengerang kesakitan ketika ponsel yang dilempar Aleta mengenai bahu kirinya. Spontan, Ramdan menoleh dan menatap nyalang gadis yang melotot di ranjang. Pria itu hendak mendekat, tetapi Elea kembali menarik lengannya."Jangan, Ramdan. Kasihan Aleta. Kita pergi sekarang."Ramdan mendengkus kesal sebelum mengikuti langkah Elea keluar kamar. Dia menggeram kesal sebelum melepaskan tangan sang istri dan berlalu menuju ruang kerja. Dia membanting pintu, kemudian menyugar rambut sebelum menggebrak tembok. Lalu, berjalan menuju sudut ruangan di mana terdapat meja kecil yang memajang deretan botol penuh minuman beralkohol."Aaargh! Kenapa jadi begini!"Ramdan menggebrak meja sebelum mengambil satu botol dan menenggaknya hingga tersisa separuh. Dia menghela napas kasar sebelum beranjak ke sofa dan mengempaskan tubuhnya. Sementara di luar ruang kerja, Elea membeku di tempat. Dia berjengit kaget saat mendengar Ramdan berteriak dan memukul sesuatu. Perlahan, dia mengelus dada sebelum berbalik
Ramdan meraup wajah kasar dan menghela napas panjang saat duduk di depan ruang UGD. Dia menatap sendu pintu yang berdiri kokoh di depannya. Lalu, mengantuk-antukkan kepala ke tembok sambil memejamkan mata. Sekejap mata, bayangan tentang kondisi Elea saat terakhir ditemukan kembali menyeruak di kepala. Elea merintih menahan sakit sambil bersandar pada meja dapur, dan yang membuat Ramdan buru-buru membawanya ke rumah sakit adalah darah yang mengalir dari sela paha sang istri.Pikiran Ramdan masih berkecamuk hebat. Dia tak mampu membayangkan jika kabar buruk yang didengarnya. Dia kembali menghela napas panjang entah untuk yang berapa kali sebelum meraup wajahnya kasar. Lalu, saat melihat pintu UGD terbuka, dia segera mendekat."Istri saya bagaimana, Dok? Dia baik-baik saja, kan? Bayinya tidak apa-apa, kan?"Dokter di depan Ramdan menghela napas panjang sebelum mengulas senyum tipis. Lalu, menepuk bahu pria itu sekilas sebelum berkata. "Ibu Elea baik-baik saja, bayinya juga masih bisa kam