Ramdan meraup wajah kasar dan menghela napas panjang saat duduk di depan ruang UGD. Dia menatap sendu pintu yang berdiri kokoh di depannya. Lalu, mengantuk-antukkan kepala ke tembok sambil memejamkan mata. Sekejap mata, bayangan tentang kondisi Elea saat terakhir ditemukan kembali menyeruak di kepala. Elea merintih menahan sakit sambil bersandar pada meja dapur, dan yang membuat Ramdan buru-buru membawanya ke rumah sakit adalah darah yang mengalir dari sela paha sang istri.Pikiran Ramdan masih berkecamuk hebat. Dia tak mampu membayangkan jika kabar buruk yang didengarnya. Dia kembali menghela napas panjang entah untuk yang berapa kali sebelum meraup wajahnya kasar. Lalu, saat melihat pintu UGD terbuka, dia segera mendekat."Istri saya bagaimana, Dok? Dia baik-baik saja, kan? Bayinya tidak apa-apa, kan?"Dokter di depan Ramdan menghela napas panjang sebelum mengulas senyum tipis. Lalu, menepuk bahu pria itu sekilas sebelum berkata. "Ibu Elea baik-baik saja, bayinya juga masih bisa kam
Ramdan menggeram kesal sambil meremas kuat ponsel di tangannya. Dia menjambak rambut sambil mengumpat kasar berulang kali saat mengetahui apa yang terjadi dengan sang adik, Aleta. Melihat kegundahan suaminya, Elea berusaha untuk bertanya. Namun, belum sampai satu kalimat meluncur dari mulutnya, Ramdan mendadak membuka suara."Aleta diculik, Elea. Mereka baru saja meneleponku, tapi saat aku menghubungi balik, nomor mereka tidak aktif."Elea segera membekap mulutnya karena terkejut. Dia tidak menyangka dengan apa yang menimpa adik iparnya. Lalu, pikiran buruk mulai memenuhi isi kepalanya. Perlahan, sesak membebat rongga dada wanita itu. Dia menangis hingga air mata membasahi pipinya.Ramdan segera menghubungi anak buahnya. Dia memerintah mereka untuk segera mencari keberadaan Aleta. Dia menghela napas panjang sebelum meraup wajahnya, kemudian menatap Elea yang mulai tenang dan sedang menghapus air matanya."Aku takut mereka macam-macam sama Aleta. Tapi, aku juga tak bisa meninggalkanmu
Ramdan membeliak mendengar ucapan Harsa. Perlahan, dia melepaskan kerah baju pria tua itu sebelum mundur selangkah. Lalu, menatap hampa lantai keramik rumah sakit sebelum menggeleng lemah. Dia berbalik dan berjalan lesu menuju bangku dan mengempaskan tubuhnya. Dia menyugar rambut dan meraup wajahnya kasar. Sekejap mata bayangan tentang Elea yang menahan sakit sambil meratap, menyeruak di kepala. Dia mendesah lirih sebelum menengadah dan memejamkan mata sejenak.Tak berselang lama, lampu di atas pintu operasi padam. Lalu, seorang dokter keluar dengan senyuman tipis menghiasi bibirnya. Ramdan dan Harsa segera mendekat dan dengan perasaan berkecamuk."Bagaimana istri dan anak saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?"Dokter itu menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian berkata. "Operasinya berhasil. Tapi, ada satu hal yang harus saya sampaikan, Pak. Pendarahan hebat dan usia kandungan yang belum waktunya, membuat anak Bapak dalam kondisi kritis."Ramdan mendadak mera
Aleta membuka mata dan mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Dia menggeleng lemah saat merasakan pusing dan mual secara bersamaan. Dia ingin bertariak, tetapi tak ada suara yang keluar karena mulutnya tertutup lakban. Dia mencoba menggerakkan tangan dan kaki, tetapi gagal.Aleta berusaha untuk berteriak dan berontak, tetapi nihil. Namun, dia tak menyerah dan terus berusaha. Setelah usaha yang ke sekian kalinya tak membuahkan hasil, dia menyerah. Gadis itu terkulai lemah dengan kepala menunduk dalam. Dia menelisik lantai kotor berminyak di bawah sampaibterdengar suara langkah mendekat. Dia mendongak dan terkejut melihat siapa yang datang."Akhirnya kita bertemu kembali, Sayang," ucap Dandi sambil mengusap pipi Aleta sebelum mencengkeram erat dagunya. "Aku kira kamu sudah mati, ternyata aku salah sangka. Kamu tahu, Sayang. Aku sangat senang kamu masih hidup. Malah makin cantik."Aleta segera membuang muka saat Dandi berusaha untuk mencium pipinya. Dia terus berontak dan menggoyang
Ramdan bergeming sesaat setelah menancapkan pisau tepat di samping kepala Dandi. Dia menggeram kesal sebelum mundur perlahan. Lalu, berdiri sambil menatap nanar Dandi dan memegang luka di perutnya. Tepat saat itulah pintu didobrak dari luar dan masuk beberapa polisi sambil mengacungkan senjata."Bawa dia dari hadapanku, Pak. Masukkan ke penjara dan biarkan dia membusuk di sana."Dandi berontak, tetapi dua orang polisi langsung mencekal dan membawanya pergi. Namun, sampai di pintu, pria itu menoleh ke arah Ramdan dan berkata."Mama tak akan membiarkanku mendekam lama di penjara. Hati-hatilah jika aku sudah keluar nanti. Kamu orang pertama yang akan aku singkirkan!"Dandi tergelak sebelum mengikuti langkah dua polisi yang menggiringnya. Ramdan menghela napas panjang sebelum berbalik dan mendekati Aleta yang belum sadarkan diri. Dia menepuk pelan pipi gadis itu dan memanggilnya. Perlahan, Aleta membuka mata dan langsung menghambur memeluk Ramdan. Sambil menahan sakit yang membebat, Ramda
Ramdan menyeret langkahnya menyusuri lorong rumah sakit sambil berpegangan pada Selasar. Dia beberapa kali berhenti hanya untuk menghela napas panjang untuk menghilangkan sakit pada lukanya. Lalu, kembali melangkah sambil memegangi perut. Sementara, di belakang Alina mengikuti sambil menatap sendu punggung snag anak.Ketika sampai di luar pintu rumah sakit, Ramdan membungkuk sejenak sambil berpegangan pada tiang. Dia menghela napas panjang dan meringis kesakitan. Lalu, menunduk dan terkesiap saat melihat darah merembes di bajunya."Jangan memaksakan diri, Akhtar. Kamu masih belum pulih benar," ucap Alina sambil memegang lengan sang anak. "Kita kembali, ya? Nanti setelah kamu pulih, kita cari Elea sama-sama.""Enggak, Ma. Aku harus cari Elea sekarang juga. Aku takut dia kenapa-napa.""Baiklah, tapi izinkan Mama temani kamu."Ramdan mengangguk lemah. Sementara, Alina menghela napas panjang dan segera menghubungi sang sopir agar menjemputnya dan Ramdan di depan lobi. Mereka segera menaik
"Apa yang kamu lakukan Aleta!" seru Ramdan sambil mencengkeram erat pergelangan tangan Aleta yang memegang pecahan kaca. "Jangan ulangi kebodohan kamu!"Perlahan, Ramdan membuka genggaman tangan sang adik sebelum membuangnya ke sudut kamar. Lalu, menggendong Aleta menuruni tangga dan mendudukkannya di sofa. Dia berlalu untuk mencari Edrik agar mengurus kamar Aleta yang berantakan. Setelahnya, dia hendak berlalu ke kamar, tetapi dicegah oleh Aleta dengan memegang pergelangan tangannya."Kak, maafkan aku."Ramdan menoleh sekilas sebelum melepaskan tangan adiknya. Dia meneruskan langkah sampai suara Aleta terdengar menyapa rungu."Aku tahu Kakak pasti marah padaku gara-gara wanita pembohong itu pergi, kan?"Ramdan menghela napas berat sebelum kembali melangkah. Namun, dia kembali bergeming saat mendengar suara Aleta yang bergetar karena menahan tangis."Jujur, aku senang jika wanita pembohong itu pergi dari sini. Tapi jika tahu Kakak seperti ini, aku lebih baik mengalah."Ramdan menarik
Elea mengambil piring dari salah satu meja dan memecahkannya. Lalu, mengambil pecahan kaca itu dan menempelkannya di pergelangan tangannya. Dia abaikan air mata yang terus menderas sambil menatap Dina."Jadi benar Mama mau lihat Elea mati, kan? Elea akan lakukan sekarang juga!"Elea hampir menyayatkan pecahan kaca itu, tetapi bergeming saat melihat Ramdan keluar dari kerumunan orang-orang. Dia menatap sendu pria yang perlahan mengikis jarak itu. Tiga bulan tak bertemu membuat rindu yang membuncah dalam dada terasa menyesakkan. Hampir saja wanita itu terlena, tetapi segera tersadar tujuan utamanya."Berhenti, Ramdan! Jangan mendekat lagi!"Elea menggeleng sambil terus meneteskan air mata. Namun, pria itu tak peduli dan terus mengikis jarak. Elea segera mundur selangkah tanpa melepaskan pecahan kaca dari pergelangan tangannya."Kumohon berhenti, Ramdan! Jangan pernah peduli lagi padaku! Aku cuma wanita pembohong yang telah membuat keluargamu sengsara!""Jangan pernah bicara itu lagi, El
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka