Ramdan bergeming sesaat setelah menancapkan pisau tepat di samping kepala Dandi. Dia menggeram kesal sebelum mundur perlahan. Lalu, berdiri sambil menatap nanar Dandi dan memegang luka di perutnya. Tepat saat itulah pintu didobrak dari luar dan masuk beberapa polisi sambil mengacungkan senjata."Bawa dia dari hadapanku, Pak. Masukkan ke penjara dan biarkan dia membusuk di sana."Dandi berontak, tetapi dua orang polisi langsung mencekal dan membawanya pergi. Namun, sampai di pintu, pria itu menoleh ke arah Ramdan dan berkata."Mama tak akan membiarkanku mendekam lama di penjara. Hati-hatilah jika aku sudah keluar nanti. Kamu orang pertama yang akan aku singkirkan!"Dandi tergelak sebelum mengikuti langkah dua polisi yang menggiringnya. Ramdan menghela napas panjang sebelum berbalik dan mendekati Aleta yang belum sadarkan diri. Dia menepuk pelan pipi gadis itu dan memanggilnya. Perlahan, Aleta membuka mata dan langsung menghambur memeluk Ramdan. Sambil menahan sakit yang membebat, Ramda
Ramdan menyeret langkahnya menyusuri lorong rumah sakit sambil berpegangan pada Selasar. Dia beberapa kali berhenti hanya untuk menghela napas panjang untuk menghilangkan sakit pada lukanya. Lalu, kembali melangkah sambil memegangi perut. Sementara, di belakang Alina mengikuti sambil menatap sendu punggung snag anak.Ketika sampai di luar pintu rumah sakit, Ramdan membungkuk sejenak sambil berpegangan pada tiang. Dia menghela napas panjang dan meringis kesakitan. Lalu, menunduk dan terkesiap saat melihat darah merembes di bajunya."Jangan memaksakan diri, Akhtar. Kamu masih belum pulih benar," ucap Alina sambil memegang lengan sang anak. "Kita kembali, ya? Nanti setelah kamu pulih, kita cari Elea sama-sama.""Enggak, Ma. Aku harus cari Elea sekarang juga. Aku takut dia kenapa-napa.""Baiklah, tapi izinkan Mama temani kamu."Ramdan mengangguk lemah. Sementara, Alina menghela napas panjang dan segera menghubungi sang sopir agar menjemputnya dan Ramdan di depan lobi. Mereka segera menaik
"Apa yang kamu lakukan Aleta!" seru Ramdan sambil mencengkeram erat pergelangan tangan Aleta yang memegang pecahan kaca. "Jangan ulangi kebodohan kamu!"Perlahan, Ramdan membuka genggaman tangan sang adik sebelum membuangnya ke sudut kamar. Lalu, menggendong Aleta menuruni tangga dan mendudukkannya di sofa. Dia berlalu untuk mencari Edrik agar mengurus kamar Aleta yang berantakan. Setelahnya, dia hendak berlalu ke kamar, tetapi dicegah oleh Aleta dengan memegang pergelangan tangannya."Kak, maafkan aku."Ramdan menoleh sekilas sebelum melepaskan tangan adiknya. Dia meneruskan langkah sampai suara Aleta terdengar menyapa rungu."Aku tahu Kakak pasti marah padaku gara-gara wanita pembohong itu pergi, kan?"Ramdan menghela napas berat sebelum kembali melangkah. Namun, dia kembali bergeming saat mendengar suara Aleta yang bergetar karena menahan tangis."Jujur, aku senang jika wanita pembohong itu pergi dari sini. Tapi jika tahu Kakak seperti ini, aku lebih baik mengalah."Ramdan menarik
Elea mengambil piring dari salah satu meja dan memecahkannya. Lalu, mengambil pecahan kaca itu dan menempelkannya di pergelangan tangannya. Dia abaikan air mata yang terus menderas sambil menatap Dina."Jadi benar Mama mau lihat Elea mati, kan? Elea akan lakukan sekarang juga!"Elea hampir menyayatkan pecahan kaca itu, tetapi bergeming saat melihat Ramdan keluar dari kerumunan orang-orang. Dia menatap sendu pria yang perlahan mengikis jarak itu. Tiga bulan tak bertemu membuat rindu yang membuncah dalam dada terasa menyesakkan. Hampir saja wanita itu terlena, tetapi segera tersadar tujuan utamanya."Berhenti, Ramdan! Jangan mendekat lagi!"Elea menggeleng sambil terus meneteskan air mata. Namun, pria itu tak peduli dan terus mengikis jarak. Elea segera mundur selangkah tanpa melepaskan pecahan kaca dari pergelangan tangannya."Kumohon berhenti, Ramdan! Jangan pernah peduli lagi padaku! Aku cuma wanita pembohong yang telah membuat keluargamu sengsara!""Jangan pernah bicara itu lagi, El
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua