Bab 2

Aku yang masih berusia 18 tahun mengira ungkapan cinta adalah keberanian dan sesuatu yang tak boleh dilewatkan di masa remaja. Namun, sekarang aku ingin sekali menampar diri sendiri. Ini jelas bukan berani, tetapi bodoh!

Untungnya, aku belum mengatakan apa-apa. Masih ada kesempatan untuk membalikkan situasi. Di kehidupan baru ini, aku tidak akan merayu Matthew lagi supaya kehidupanku tidak setragis yang sebelumnya.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mendekatkan mikrofon ke mulutku dan berucap dengan sungguh-sungguh, "Kamu benar. Aku sudah menyadari kesalahanku sekarang. Maaf atas semua ketidaknyamanan yang kamu rasakan sebelumnya. Tenang saja, aku sudah tobat. Mulai sekarang, nggak ada lagi cinta-cintaan. Aku akan fokus belajar dan mengejar impianku!"

Matthew tampak terperangah. Sementara itu, aku buru-buru berlari menuruni panggung. Semua orang juga kebingungan.

"Leila nggak mau mengejar Matthew lagi?"

"Dia sudah menyerah? Sikap dingin Matthew membuat banyak wanita mundur, kecuali Leila. Leila ditolak berkali-kali, tapi tetap mengejarnya. Bulan lalu, dia bahkan bertaruh dengan orang. Katanya, dia bakal masuk Universitas Gading bersama Matthew."

"Paling-paling cuma membual. Dia pasti menyerah karena takut malu nanti."

"Matthew pasti senang sekali mendengarnya. Dia akhirnya terlepas dari Leila!"

Orang-orang sibuk berdiskusi, sedangkan Matthew hanya bisa menatap sosok yang melarikan diri itu. Tidak terlihat rasa senang ataupun rasa lega pada ekspresinya. Sebaliknya, wajah semakin dingin.

Aku kembali ke kelas. Jantungku masih berdetak kencang. Cermin kecil di atas meja memantulkan wajahku.

Aku yang berusia 25 tahun tidak bisa dibilang tua, tetapi masalah rumah tangga membuat tatapanku menjadi hampa. Bahkan, wajahku pucat dan kantong mataku hitam karena terlalu sering bergadang.

Namun, kini gadis yang terlihat di cermin masih memiliki kulit yang sangat sehat. Bibirku ranum, mataku jernih. Aku cantik dan sehat! Ini aku di usia 18 tahun!

Saat ini, aku semakin yakin bahwa aku terlahir kembali. Aku merasa sangat senang!

"Ngapain berkaca? Secantik apa pun kamu, Matthew nggak bakal suka. Semua orang tahu Matthew dan Yuna teman masa kecil. Mereka saling menyukai." Tiba-tiba, terdengar suara dingin seseorang.

Aku berbalik, lalu melihat Yuna yang dikelilingi beberapa murid perempuan. Dia menunduk seolah-olah merasa malu, tetapi tidak membantah ucapan mereka.

Aku tersenyum menatap murid yang berbicara itu. "Terima kasih sudah memujiku. Aku juga merasa aku cantik."

Murid perempuan itu langsung tidak bisa berkata-kata.

Dulu, Yuna terus mengganggu rumah tanggaku dengan Matthew. Dia selalu menjadi penghalang di antara kami. Dia alasan utama pernikahan kami retak. Aku tidak menyukainya.

Namun, sekarang aku tidak ingin menjadi orang ketiga lagi. Aku menatap Yuna dan berucap, "Masih ada tiga bulan sebelum ujian masuk universitas. Sekarang aku cuma mau fokus belajar. Aku doakan kalian bisa bersama dan bahagia."

Nada bicaraku terdengar tenang, tetapi Yuna mengamatiku dengan curiga. Kemudian, dia tersenyum lembut dan membalas, "Leila, aku tahu kamu cuma bercanda soal taruhan. Nggak usah merasa tertekan."

Lagi-lagi begini. Yuna hanya terlihat baik di permukaan, tetapi nyatanya dia memainkan banyak tipu muslihat secara diam-diam. Dia selalu membuat orang-orang menghujatku.

Seperti yang diharapkan, ucapannya itu membuat para murid perempuan itu mulai mengkritikku.

"Aku paling benci orang seperti ini. Nggak tahu malu, terus mengganggu hubungan orang. Demi menarik perhatian Matthew, kamu sampai membual bisa masuk Universitas Gading."

"Bisa kuliah saja sudah syukur, masih mau masuk Universitas Gading."

"Besok ujian simulasi lagi. Kita lihat saja hasilnya nanti."

Jika itu dulu, aku pasti marah mendengar hinaan seperti ini. Namun, aku selalu menahan diri karena takut Matthew mengira aku menyerang Yuna.

Namun, sekarang aku merasa semua itu sangat konyol. Aku menatap Yuna dan menegaskan, "Yuna, aku pasti masuk Universitas Gading, tapi aku nggak bakal mengejar Matthew lagi. Jadi, kamu nggak usah main tipu muslihat denganku lagi. Suruh orang-orangmu menjauh. Mulai sekarang, kita nggak bakal saling mengganggu lagi."

Ekspresi Yuna membeku. Murid perempuan di samping membentak dengan kesal, "Leila, apa maksudmu?"

"Nggak ada maksud apa-apa." Aku mengedikkan bahuku. "Aku cuma mendoakan Yuna dan Matthew cepat menjadi pasangan."

Karena keduanya ingin balikan di kehidupan sebelumnya, kali ini aku akan mendoakan hubungan mereka. Aku tidak akan menjadi bagian dari drama mereka lagi.

Tiba-tiba, sekelompok orang menyerbu masuk. Yang memimpin adalah Matthew. Ekspresi mereka terlihat aneh. Jelas, mereka mendengar omonganku tadi.

Wajah Yuna memerah. Dia berujar dengan malu, "Matt, Leila cuma bercanda."

Tatapan dingin Matthew dilontarkan ke arahku. Aku bisa merasakan kekesalannya, tetapi itu bukan urusanku. Aku tidak peduli. Setelah bertatapan sesaat, aku menunduk untuk membaca buku.

Ekspresi Matthew semakin dingin. Dia berkata dengan tegas, "Belajar yang benar."

Semua orang kembali ke tempat duduk masing-masing. Matthew berjalan dengan pelan, lalu duduk di belakangku. Meskipun masih muda, aura Matthew justru sangat kuat.

Aku menggenggam pensilku dengan perasaan yang agak kacau. Dulu aku bersikeras duduk di depan supaya bisa meminta ajarannya dan lebih sering berinteraksi dengannya. Matthew memang cuek, tetapi dia tidak menolakku.

Dulu aku mengira sikap Matthew terhadapku berbeda, makanya aku jatuh makin dalam. Setelah dipikir-pikir, Matthew seharusnya hanya menahan ketidaksabaran dan rasa jijiknya untuk menghadapiku.

Aku menarik napas dalam-dalam, memaksakan diri untuk fokus mengerjakan soal.

Untungnya, Keluarga Sanjaya punya banyak keturunan. Selama menjadi ibu rumah tangga, aku mengajari anak-anak mereka pelajaran sekolah untuk menyanjung Keluarga Sanjaya. Jika tidak, aku pasti sudah lupa semuanya sekarang.

Siang hari, aku sudah selesai mengerjakan tiga set soal. Aku mulai merasakan semangat masa remaja lagi. Namun, ada beberapa yang tidak kupahami. Aku tanpa sadar berbalik dan bertatapan dengan mata suram Matthew.

Suasana seketika menjadi canggung. Matthew seperti memahami maksudku. Meskipun ekspresinya dingin, dia tetap mengambil pensil dan hendak menerima kertas di tanganku.

Aku langsung meletakkan kertasku di hadapan Derrick yang semeja dengan Matthew. "Derrick, bantu aku dong."

Suasana menjadi semakin canggung. Derrick mendorong kacamatanya dengan heran dan bertanya, "Ka ... kamu salah orang ya?"

"Nggak kok." Aku berpura-pura bodoh.

Derrick melirik Matthew dengan ragu. Saat ini, murid laki-laki yang mencari Matthew memasang ekspresi tidak percaya dan bertanya, "Leila, kamu nggak tanya Matthew?"

Aku tersenyum sopan. "Matthew sudah banyak membantuku dulu. Aku nggak mau merepotkannya lagi."

Murid laki-laki itu tidak bisa berkata-kata.

Suhu di dalam ruangan seolah-olah menjadi sangat dingin.

Aku mendesak Derrick. "Cepatan. Nanti kutraktir es krim."

Derrick mengambil kertasku dengan gemetaran. Tiba-tiba, plak! Matthew membanting pensilnya ke meja dan bangkit untuk meninggalkan ruang kelas.