Bab 7

Lagi-lagi terdengar suara Keegan yang nakal. Aku sama sekali tidak berniat untuk menoleh dan melihatnya. Aku tidak ingin terlibat dengan Matthew, lebih tidak ingin lagi terlibat dengan Keegan.

Keegan berjalan ke sampingku, lalu menatapku sambil melipat lengannya di depan dada. Dengan tangan mengelus dagu, dia berkata, "Kamu berbeda dengan yang dirumorkan. Orang-orang bilang kamu mengejar Matthew mati-matian. Kenapa tadi malah terlihat seperti nggak ingin punya hubungan dengannya?"

Usai mengatakan itu, Keegan tiba-tiba mendekat. Napasnya mengenai wajahku. "Apa ini trik baru? Kamu sengaja jual mahal ya?"

Aku tidak suka dekat-dekat dengan orang asing. Aku tanpa sadar ingin menghindar. Sebelum sempat bergeser, tiba-tiba ada yang menaruh tangan hangatnya di bahuku. Orang itu menarikku ke belakang, membuatku terjatuh di pelukan yang familier.

"Menjauh darinya!" Terdengar suara Matthew yang dingin.

Aku tanpa sadar mendongak, melihat bibir tipisnya dan mata tajamnya yang dipenuhi kekesalan. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya kesal. Yang jelas, aku merasa tidak nyaman dengan kedekatan ini.

"Lepaskan aku." Aku melepaskan diri dari pelukan Matthew, lalu mundur dua langkah untuk menjaga jarak dengannya.

Matthew seperti tidak menyangka aku akan mundur. Dia menatapku beberapa detik. Ketika dia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba Yuna datang dan meraih lengannya. "Matt, kenapa lama sekali beli airnya?"

Usai berbicara, Yuna seperti baru menyadari keberadaanku. Dia meneruskan, "Loh, Leila juga di sini?"

Aku hanya mengiakan dengan singkat dan meliriknya sekilas.

"Kamu diam-diam mengikuti Matthew ya?" Yuna melirikku, lalu melirik Matthew. Kemudian, dia merangkul lengan Matthew dan berucap dengan centil, "Matt, sekarang sudah malam. Kamu jangan marah karena Leila membuntutimu. Bahaya juga kalau dia di luar sendirian."

Ucapan Yuna ini terdengar sangat rendahan. Ketika aku hendak berbicara, Keegan tiba-tiba bertanya, "Permisi, apa kamu tahu orang yang menyebarkan rumor bisa dihukum?"

Keegan biasanya terlihat lembut dan ramah, tetapi sebenarnya dia dingin dan kejam. Jika pria ini melepas topengnya, dia akan terlihat mengerikan.

Yuna terkejut mendengarnya. Dia bersandar di pelukan Matthew, lalu terisak-isak. "Matt, apa yang dia katakan? Aku nggak ngerti."

Matthew tidak mendorong Yuna, melainkan merangkulnya. Jelas sekali, dia ingin melindungi Yuna. Dia menatapku, lalu berujar dengan dingin, "Minta maaf."

Meskipun sudah terbiasa dengan sikap Matthew yang pilih kasih, aku lagi-lagi merasa sakit hati. Dia jelas-jelas tahu alasan aku berada di sini. Dia tahu aku menghadiri pesta. Namun, dia masih membiarkan Yuna berbicara omong kosong.

Aku tidak ingin terlibat dalam pertengkaran ini ataupun menjadi sasaran kemarahan mereka. Namun, kadang aku tidak punya pilihan lain.

"Kenapa harus minta maaf? Lebih tepatnya, siapa yang harus minta maaf kepada siapa?" tanyaku sambil menatap Matthew dengan ekspresi datar. Aku sama sekali tidak takut pada tatapannya. Bahkan, nada bicaraku mengandung provokasi.

Wajah Matthew tampak suram. Suasana di sekitar menjadi menegangkan.

Aku menyunggingkan bibirku, lalu berbalik dan hendak pergi. Matthew tidak akan pernah berubah untuk selamanya.

Tiba-tiba, Matthew mencengkeram pergelangan tanganku. Dia menatapku sambil bertanya dengan dingin, "Apa aku menyuruhmu pergi?"

Aku tergelak saking kesalnya. "Kenapa aku harus menurutimu? Memangnya kamu siapa?"

Matthew, aku tidak akan pernah mendengarkan omonganmu lagi. Jangan mimpi!

"Leila!" Cengkeraman Matthew semakin kuat, hampir meremukkan tulangku. "Ulangi perkataanmu tadi."

"Tsk, sakit."

Keegan menghampiri dan membantuku melepaskan cengkeraman Matthew. Kemudian, dia menarikku ke belakangnya.

"Jangan ikut campur! Pergi sana!" Matthew meraih kerah baju Keegan.

"Atas dasar apa kamu menyuruhku pergi?" Keegan meraih tangan Matthew yang menarik kerah bajunya. Dia tersenyum menantang, "Atau kamu tanya saja pada Leila. Dia mau kamu atau aku yang pergi?"

Matthew mengedarkan pandangannya kepadaku. Aku mendongak dan menatap matanya yang dipenuhi amarah. Aku tanpa sadar mengernyit dan ingin menyuruh mereka sama-sama pergi.

Namun, Yuna tiba-tiba maju dan menarik tangan Keegan. "Lepaskan Matt! Lepaskan!"

Kemudian, Yuna memelototiku dan berkata, "Leila, kenapa kamu diam saja! Kamu ingin melihat mereka berkelahi?"

"Apa urusannya denganku?" Aku melirik pergelangan tanganku yang merah karena dicengkeram Matthew tadi. Amarahku akhirnya meledak. "Aku sama sekali nggak mengganggu kalian semua malam ini. Kalau kalian punya masalah, selesaikan sendiri saja. Jangan buang-buang waktuku!"

Usai melontarkan itu, aku pun tidak melihat mereka lagi dan mengangkat tangan untuk memanggil taksi.

....

Setelah masuk ke mobil, aku bersandar di jendela sambil memandang pemandangan di luar. Entah mengapa, aku merasa sangat lelah.

Setelah kelahiran kembali, aku tidak punya obsesi apa pun lagi. Yang paling kuinginkan hanya menjauhi orang-orang yang telah menyakitiku di kehidupan lampau. Aku ingin hidup tenang dan menjadi diriku sendiri.

Namun, takdir tidak mengizinkanku putus hubungan dengan Matthew, Yuna, bahkan Keegan yang seharusnya kutemui dua tahun lagi.

Tiba-tiba, aku merasa agak takut. Aku takut aku tidak bisa terlepas dari nasib tragis di kehidupan lampau.

Ketika Cassey menjemputku, dia melihatku sangat lesu. Cassey yang pengertian pun tidak menanyakan apa pun dan hanya menyuruhku istirahat.

Aku berterima kasih kepadanya. Setelah mandi dan ganti pakaian, aku memaksa diriku untuk tidur.

Tidak peduli apa yang diatur takdir untukku, aku harus menghadapinya. Aku tidak boleh takut sebelum sesuatu tiba di hadapanku. Setelah memahami ini, aku merasa lebih lega.

Lima hari lagi adalah ujian masuk universitas. Aku harus memfokuskan diri pada ujian. Di kehidupan lampau, aku tidak bisa mengambil jurusan desain yang paling kusukai. Kali ini, aku harus berhasil.

Keesokan hari saat aku dan Cassey sedang mengerjakan soal, tiba-tiba ponsel Cassey berdering. Cassey menjawab panggilan. Aku mendengar Cassey mengiakan omongan orang di ujung telepon beberapa kali, lalu aku tidak menyimak lagi. Aku harus mencari cara untuk menyelesaikan soal matematika yang sangat rumit ini.

Sebelum menemukan solusinya, Cassey kembali dengan memegang ponselnya. Dia duduk, tetapi tidak mengerjakan soal sejak tadi. Aku tahu dia punya masalah.

Aku meletakkan pensilku, lalu menyibakkan rambutku sambil bertanya, "Siapa yang meneleponmu? Kenapa jadi murung begini?"

Cassey juga meletakkan pensilnya, lalu menatapku dengan ragu-ragu. Aku merasa lucu. Aku mencubit pipinya yang tembam, lalu berujar, "Katakan saja, nggak usah murung begini."

"Kamu yakin? Kamu sendiri yang bilang ya?" Cassey menatapku dengan hati-hati.

Aku mengangguk. Cassey menarik napas dalam-dalam, lalu memberanikan diri untuk berucap, "Matthew meneleponku. Dia bilang dia menunggumu di depan rumahku."