Bab 6

Kenapa selain Matthew, masih ada kakeknya, Sonny, pendiri Grup Sanjaya yang sudah lama pensiun, hadir di sini?

Penyelenggara acara hari ini bisa dibilang adalah Keluarga Wirawan. Namun, Keluarga Wirawan merosot drastis. Yang berhubungan dengan mereka hanya beberapa keluarga yang berpura-pura kaya. Bagaimana bisa mereka mengundang kepala Keluarga Sanjaya yang dapat menggetarkan seluruh Kota Nilam?

Aku mengernyit sambil menatap mereka. Kakek dan cucu itu juga menatapku. Yang satu terlihat dingin dan kesal, yang satu lagi terlihat berwibawa dan meremehkanku. Aku sangat familier dengan ekspresi mereka ini.

Santos memanggilku lagi, tetapi aku masih tidak bereaksi. Wajahnya pun menjadi suram. Madhu yang berdiri di sampingnya buru-buru menghampiriku dan menarik lenganku.

Di kehidupan lampau, aku hanya pernah bertemu Sonny tiga kali. Setiap kali bertemu, dia selalu menyulitkanku dan akhirnya mempermalukanku.

Yuna adalah cucu perempuan teman seperjuangan Sonny. Keduanya telah menjodohkan cucu mereka sejak kecil. Namun, aku malah mengganggu hubungan mereka dan mendesak Yuna pergi ke luar negeri. Makanya, Sonny sangat membenciku.

Sekalipun dia mengalami strok dan aku yang merawatnya dengan sepenuh hati, dia tetap meremehkanku. Di kehidupan kali ini, aku tidak menginginkan Matthew lagi. Aku juga tidak akan menyanjung Keluarga Sanjaya.

"Pak Sonny, ini putriku, Leila." Ekspresi Santos dipenuhi sanjungan. "Bulan lalu tanggal 15, Leila naik mobil Matthew. Dia nggak pulang semalaman. Keesokan hari, dia pulang dengan memakai pakaian Matthew."

Begitu ucapan ini dilontarkan, aku membelalakkan mataku dengan tidak percaya. Apa maksud Santos? Dia ingin memberi tahu Sonny bahwa aku dan Matthew menghabiskan malam di luar? Konyol sekali!

Aku mengira Santos hanya ingin memanfaatkanku untuk mendekatkan hubungannya dengan Sonny dan Keluarga Sanjaya. Aku tidak menyangka demi kejayaan dan kemuliaan, ayahku sendiri rela merusak reputasiku! Ayah macam apa ini?

Seketika, kemarahan dan kekecewaan meliputi hatiku. Aku tanpa sadar bertemu pandang dengan Matthew. Ejekan yang terlukis di matanya bak tamparan besar untukku. Dia seperti sedang mengatakan aku sangat tidak tahu malu.

Ya! Tujuan Santos sangat jelas! Aku juga merasa keluargaku sangat tidak tahu malu! Aku menahan emosiku yang bergejolak, berusaha untuk menenangkan diri.

Tiba-tiba, Sonny menoleh dan bertanya kepada Matthew, "Matt, yang dibilang ayah temanmu ini benar?"

Matthew menatapku. Suara rendahnya mengandung celaan. "Kakek, ayah temanku ini pasti nggak percaya kalau aku bicara yang sebenarnya. Gimana kalau temanku saja yang menjelaskan?"

Sekalipun terlahir kembali, cintaku yang bertahan selama 10 tahun itu masih terpatri di jiwaku. Aku bisa menjauh dari Matthew dan berusaha tidak berhubungan dengannya. Namun, hatiku tetap terluka mendengar cemoohannya.

"Leila, kamu saja yang jelasin." Diamku membuat Santos mulai kehilangan kesabaran. Dia menggenggam bahuku, lalu tersenyum. Tampak sedikit ancaman pada tatapannya. "Bukannya kamu menyukai Matthew? Pak Sonny ada di sini. Kalau kamu bicara yang sebenarnya, kami bisa saja merestui hubungan kalian."

Aku tertawa, mentertawakan kebodohan Santos. Dia mengira Keluarga Sanjaya bisa dikendalikan semudah itu? Hanya dengan mengarang, dia mengira Keluarga Wirawan bisa berbesan dengan Keluarga Sanjaya?

Selama bertahun-tahun ini, entah berapa banyak keluarga yang ingin membangun hubungan dengan Keluarga Sanjaya. Yang berhasil tentu hanya beberapa. Yang jelas, Keluarga Wirawan yang sudah hampir bangkrut tidak mungkin memiliki kesempatan seperti itu.

Aku menyingkirkan tangan Santos, lalu mundur dua langkah. Kemudian, aku berbalik menatap Sonny dan berucap dengan tenang, "Bulan lalu tanggal 15, turun hujan deras. Matthew melihat nggak ada yang menjemputku, jadi mengantarku ke rumah temanku. Malam itu, aku bersama Cassey, sahabatku. Kalau kalian nggak percaya, tanyakan saja pada sahabatku."

Begitu ucapan ini dilontarkan, ekspresi semua orang berbeda-beda. Aku tidak meladeni mereka dan hanya memberi hormat kepada Sonny. "Maaf sekali, Pak Sonny. Orang-orang jadi salah paham pada Matthew, padahal Matthew berniat baik mengantarku pulang. Aku janji, hal seperti ini nggak akan pernah terjadi lagi."

"Selain itu ...." Aku menatap Matthew sambil meneruskan dengan tegas, "Aku tahu aku sudah berlebihan sebelumnya. Aku seharusnya menjaga jarak dengan Matthew. Gara-gara tindakanku, semua orang mengira aku menyukai Matthew. Matthew pintar dan baik. Aku sangat mengaguminya. Dia adalah panutan semua orang, juga panutanku."

Matthew, kali ini aku benar-benar tidak menginginkanmu lagi. Kalimat ini adalah makna yang terselubung dari ekspresi dan sikapku.

Namun, Matthew malah terkekeh-kekeh. Aku tidak mengerti apa yang ditertawakannya. Aku hanya mengernyit dan memelototinya. Aku bisa melihat tatapannya yang suram. Untungnya, Sonny sangat puas dengan jawabanku. Dia bahkan memujiku.

Setelah Keluarga Sanjaya pergi, Santos menarik lenganku dengan murka. Dia membawaku ke taman bunga.

"Leila, kamu berani melawanku?" Santos mengempaskanku dan hendak menendangku. "Kamu mau mati ya?"

Ketika aku hendak melawan, tiba-tiba terdengar suara yang familier. "Wow! Aku nggak salah lihat? Pak Santos kasar pada putri sendiri?"

Aku menoleh dan melihat mata besar yang familier itu. Keegan, salah satu penggemar Yuna, sekaligus musuh bebuyutan Matthew.

Jika Yuna adalah trauma di kehidupan lampauku, Keegan adalah iblis yang bersembunyi di kegelapan. Pemuda ini selalu tersenyum kepadaku, tetapi entah berapa kali dia mengkhianatiku.

Gara-gara dia, aku akhirnya tidak punya satu pun teman. Hanya saja, di kehidupan lampau, aku mengenal Keegan pada saat kuliah semester dua. Kenapa dia sudah muncul sekarang?

"Kee ... Keegan ...." Santos tidak menyangka akan ada yang melihat wujud aslinya. Untuk sesaat, dia tidak tahu harus mengatakan apa.

Madhu yang berdiri di samping segera bereaksi. Dia memapahku dan berkata, "Keegan, kamu salah paham. Leila terus membantah ayahnya, makanya mereka berdebat."

"Santos juga salah karena terlalu emosional." Madhu memapahku, lalu memasang ekspresi lembut dan kasihan. "Leila, biarkan saja ayahmu. Apa kamu terluka? Kubawa ke rumah sakit ya?"

Aku menepis tangan Madhu, lalu menepuk rokku yang berdebu. Kemudian, aku mendongak dan berjalan pergi. Madhu hendak mengejar, tetapi Santos tiba-tiba mencengkeram dadanya dan berteriak kesakitan.

Aku tidak bisa menahan tawaku saat mendengar pergerakan di belakang. Dulu, mereka selalu mendapatkan simpatiku dengan berlagak menyedihkan. Demi mereka, aku rela menjadi batu loncatan. Namun, tidak untuk kali ini.

Setelah keluar dari hotel, aku baru menyadari aku tidak membawa apa-apa. Ponsel dan tasku ketinggalan di ruang istirahat.

Angin bulan Juni berembus cukup kencang. Aku tak kuasa menggigil. Aku mondar-mandir, berpikir apakah aku harus diam-diam kembali untuk mengambil ponsel dan tasku, atau mencari orang untuk meminjam ponsel mereka dan menelepon Cassey memintanya menjemputku.

"Tsk, Kukira kamu sanggat tangguh. Atau mungkin kamu sudah menemukan target yang lebih bagus?"