Bab 1

Pada malam yang gelap gulita, bibir hangat Matthew Sanjaya mencium leherku. Aku memeluknya dengan erat, merasa senang sekaligus getir.

Karena mabuk, gerakan Matthew menjadi semakin tergesa-gesa. Saat hasratku bangkit, aku tak kuasa bergumam, "Matt ...."

Ting! Dering ponsel yang tajam malah menghancurkan suasana panas di kamar. Aku dan Matthew sama-sama menoleh, melihat nama yang tertera di layar ponsel.

Yuna.

Seketika, aku merasa sesak dan panik. Aku tidak bisa melihat ekspresi Matthew karena gelap, tetapi aku bisa merasakan kegoyahannya.

Entah dari mana keberanianku, aku sontak mendongak dan menciumnya. Matthew malah mengelak tanpa ragu sedikit pun. Dia bangkit dan mengambil ponselnya.

Terdengar suara lembut wanita dari ujung telepon. "Matt."

Matthew langsung berjalan ke depan jendela tanpa menyalakan lampu. Di bawah sinar bulan, aku melihat ekspresi lembut pada wajahnya. Dia tidak pernah selembut itu padaku.

Seluruh cinta di hatiku surut bak air pasang yang surut. Hatiku terasa dingin. Yang kurasakan hanyalah kepedihan dan kekecewaan.

Pada akhirnya, Matthew mengakhiri panggilan. Tap! Lampu yang menyilaukan menyala. Matthew mengernyit sambil bertanya dengan dingin, "Kamu yang angkat telepon Yuna sore tadi?"

Meskipun hanya pertanyaan biasa, nada bicaranya justru dipenuhi ketegasan dan kekesalan.

Aku terdiam sesaat sebelum menyunggingkan senyuman getir. "Ya. Aku bukan cuma angkat telepon, tapi juga hapus catatan panggilan dan sengaja membuatmu mabuk. Aku nggak mau kamu tahu dia pulang."

Saat mendengar pengakuanku, amarah Matthew mulai tersulut. Wajahnya suram. Karena malas meladeniku, dia mengambil baju di lantai dan hendak pergi.

"Matthew!" Aku mencengkeram selimut dengan erat, berusaha agar air mataku tidak menetes. "Hari ini anniversary pernikahan kita! Masa kamu lebih pentingin mantan pacarmu?"

Langkah kaki Matthew terhenti. Dia menimpali dengan dingin, "Yuna ada urusan penting. Leila, aku nggak bakal memperhitungkan masalah hari ini. Tapi, jangan diulangi lagi."

Yuna membutuhkannya, lantas bagaimana denganku? Dengan tubuh gemetaran, aku berujar dengan putus asa, "Kalau kamu pergi, kita cerai."

Wajah Matthew menjadi sangat suram. Seolah-olah tidak tahan denganku lagi, dia hanya menyahut, "Terserah kamu."

Pintu ditutup dengan kuat. Aku melepaskan cengkeraman tanganku dan berbaring dengan lemas. Air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya mengalir.

Pernikahan yang dipaksakan ini memang ditakdirkan untuk berakhir menyedihkan. Ketika menatap foto pernikahan di dinding, hatiku bak disayat pisau. Aku tidak bisa berlama-lama di kamar ini lagi.

Aku keluar dan mengemudikan mobilku tanpa tujuan. Tanpa disadari, aku malah tiba di kampus kami dulu.

Di papan buletin, masih ada foto kelulusan kelas unggulan. Saat itu, aku berusaha keras supaya bisa berdiri di samping Matthew. Namun, saat tombol shutter ditekan, tatapan Matthew malah tertuju pada wanita lain.

Ternyata, akhirnya memang sudah ditakdirkan.

Sejak SMA, aku menyukai Matthew. Saat itu, Matthew adalah pria tertampan dan terpintar di sekolah. Apalagi, latar belakang keluarganya tidak biasa, membuatnya seperti anak emas yang dilahirkan dengan segala keberuntungan.

Demi mendekatinya, aku berusaha keras menciptakan peluang. Demi bersanding dengannya, aku belajar dengan giat setiap hari. Demi menarik perhatiannya, aku menghafal semua hal yang dia sukai.

Sayangnya, hanya ada satu wanita di dalam hatinya. Dia tidak pernah peduli padaku.

Saat kuliah, Matthew dan Yuna mulai berpacaran. Setelah menangis dengan sedih, aku diam-diam menjauh.

Siapa sangka, setelah kami lulus, Keluarga Sanjaya berada dalam krisis. Ayah Matthew jatuh sakit dan diopname, sedangkan Yuna pergi ke luar negeri.

Ketika melihat Matthew yang cemas dan pusing, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan studi di luar negeri dan membantunya mengatasi masalah perusahaan, juga merawat ayahnya.

Setelah situasi tenang kembali, Matthew menanyakan keinginanku. Aku menatap pria yang kusukai selama bertahun-tahun, lalu menjawab dengan jantung berdebar-debar, "Aku mau kamu menikahiku."

Pada akhirnya, keinginanku terpenuhi, tetapi dia tidak mencintaiku. Kami sudah menikah tiga tahun, tetapi hubungan kami sangat hambar.

Sikapnya yang cuek seolah-olah adalah hukuman untukku yang terus mendekatinya. Meskipun demikian, aku tidak menyerah dan mencoba mempertahankan pernikahan ini dengan cintaku.

Namun, kini Yuna telah kembali. Usahaku untuk mempertahankan Matthew tidak bisa dibandingkan dengan satu panggilan telepon dari Yuna.

Tiba-tiba, muncul banyak notifikasi pesan di ponselku.

[ Aku ketemu Yuna dan Matthew di rumah sakit! ]

[ Mereka mau balikan ya? ]

[ Begini baru benar! Soalnya mereka serasi sekali! ]

[ Tapi, aku dengar Matthew sudah nikah? ]

[ Benar, tapi aku dengar wanitanya sangat licik dan terus mengganggunya. Matthew nggak pernah bahas. Mungkin mereka sudah cerai? ]

Pesan di grup obrolan bak jarum yang menusuk mata dan hatiku. Aku kesakitan hingga tidak bisa menegakkan tubuhku. Air mataku berderai.

Ya, mereka memang serasi. Sementara itu, aku hanya ibu rumah tangga biasa, wanita licik, dan istri yang tidak pernah dihargai.

Sejak awal, cintaku hanya lelucon bagi Matthew. Jika aku tidak mencintai Matthew dulu ....

Lampu jauh tiba-tiba menyorot mataku. Sebuah mobil hitam tiba-tiba muncul, lalu menyerbu ke arahku. Aku tanpa sadar menggenggam kemudi. Dunia seolah-olah berputar.

Entah berapa lama kemudian ....

Telingaku berdengung. Aku mendengar suara orang berbicara tanpa henti. Karena merasa bising, aku memijat dahiku dan berkata, "Diam."

Seketika, tidak ada suara lagi.

Aku seperti terlepas dari sebuah kekangan. Aku sontak membuka mata dan bertatapan dengan mata yang dingin dan suram. Penampilan yang berkarisma itu terasa familier sekaligus asing.

Aku memanggil, "Matthew ...."

Hal terakhir yang kuingat adalah aku terjatuh ke tebing, lalu terdengar suara ledakan. Jadi, aku diselamatkan?

Pemuda di depanku tampak mengernyit. Dia bertanya dengan nada datar, "Leila, apa lagi yang ingin kamu lakukan?"

Suara dingin itu membuatku tak kuasa bergidik. Pemuda di depanku yang memakai seragam ini memang terlihat angkuh, tetapi tidak sedingin biasanya. Ini Matthew saat SMA?

Aku mengamati sekeliling dengan bengong. Saat ini, aku dan Matthew berada di atas panggung. Di bawah sana adalah para siswa. Di sampingku adalah kepala sekolah yang berwajah masam. Di atas pohon terdapat spanduk "Pengambilan Sumpah"

Aku mencubit diriku sendiri. Rasa sakit itu membuatku tak kuasa menarik napas dalam-dalam. Jantungku terus berdetak kencang.

Aku bukan sedang bermimpi? Aku terlahir kembali? Aku kembali ke tujuh tahun lalu, 100 hari sebelum ujian masuk universitas. Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-18.

Matthew yang sekarang hanya terlihat tidak sabar padaku, bukan pengabaian yang kudapat setelah menikah.

Saat melihatku tidak berbicara, alis Matthew berkerut. Dia berkata dengan serius, "Leila, ini acara penting. Fokus kita ada pada ujian masuk universitas dan mengejar impian masing-masing. Sisanya bisa ditunggu setelah ujian selesai, 'kan?"

Ucapan yang familier ini membangkitkan ingatanku. Benar, hadiah untuk diriku sendiri adalah mengungkapkan perasaan kepada Matthew!

Aku buru-buru mundur tiga langkah. Mikrofon di tanganku mengeluarkan suara tajam. Sambil menatap Matthew, aku merasa sangat canggung dan malu!