"Ma-maksudmu ... Pandu yang akan menanggung dosa papanya, begitu?" tanya Nathan sedikit terbata. Arfeen hanya menjinjing satu alis, membuat Nathan harus menghela nafas berat. "Feen, bukannya aku ingin ikut campur. Tapi ... apa itu tidak berlebihan?" Arfeen menyesap minumannya dengan santai lalu mengeluarkan sekotak rokok. Melolos satu batang kemudian menyelipkan di bibir. Menyulut ujungnya dengan korek sembari mengisap hingga mengepulkan asap putih ke udara. "Pandu bukan anak kecil, dia sudah cukup umur untuk menggantikan hukuman papanya!" Celeguk!Nathan menelan salivanya. Dari ekspresi Arfeen, Nathan yakin sahabatnya itu tidak main-main. Apalagi Arfeen adalah Zagan. Tentu saja apa yang diucapkannya akan dilakukan. Tapi jika Pandu bersih, kenapa harus dia yang menerima hukuman. Padahal papanyalah yang bersalah. "Terkadang kita harus memberi seseorang pelajaran yang sangat berharga agar dia bisa berfikir seribu kali sebelum bertindak!" saut Arfeen menjelaskan. Apa yang dikatak
"Kau?" seru Pandu yang sangat terkejut mengetahui sosok yang baru saja muncul di hadapannya. "Arfeen kan?" Dengan sangat santai Arfeen duduk di salah satu single sofa berhadapan dengan Pandu. "Apa kabar, Pandu?" tanyanya ramah. "Apa maksud semua ini? Kenapa kau menahanku?" tanya Pandu yang masih tak mengerti. Arfeen menyandarkan punggung dan menyilang kedua kakinya dengan gaya elegant. "Bagaimana jika kusarankan kau untuk bertanya pada ayahmu saja?" saut Arfeen penuh arti. Pandu kian melebarkan mata. Bertanya pada papanya? Kenapa Arfeen memintanya bertanya pada sang papa? Apakah ini ada hubungannya dengan papanya? "Papa?" "Tempo hari ... kalian bercengkerama di telepon kan? Kau pasti tahu di mana papamu bersembunyi!" Pandu tak menjawab. "Kau tak memerlukan penjelasan apa pun dariku, kau tidak memiliki otoritas untuk itu!" ujar Arfeen yang masih lekat menatap Pandu yang masih tampak bingung. "Kau tahu, Pandu?" imbuh Arfeen. "Tak ada seorang yang pun yang bisa lolos, ji
Freya masih duduk diam di kursi tunggu, ia masih ingat percakapan terakhir dengan suaminya itu.'Apa maksudmu jika Arfeen bukan orang sembarangan, sejak dulu kita tahu bahwa Arfeen hanyalah orang rendahan!''Tapi dia sekarang berbeda.''Persetan, aku tidak peduli. Bagiku Arfeen masih sama seperti dulu, dia hanya sampah! Dan aku sangat tidak rela jika akhirnya kau tergoda padanya.''Aku akan menghancurkannya, aku akan menghabisinya!''Kau tak akan bisa menyentuhnya, Robert!'Robert sama sekali tak peduli dengan apa yang diucapkan Freya. Ia juga terlanjur kecewa karena mengetahui Freya mulai tergoda pada Arfeen hanya karena sebuah Maybach! Freya tahu Robert tidak main-main dengan ucapannya. Suaminya itu pergi untuk mencelakai Arfeen, dan sekarang justru Robert yang terkapar di rumah sakit. Dokter keluar dari ruang ICU. "Dokter, bagaimana putraku?" tanya Anika tidak sabaran. Dokter memasang wajah muram. "Kondisi Tuan Collins cukup kritis, salah satu kakinya patah dan terpaksa harus d
Usai pertemuannya dengan Jenderal Amar, Arfeen langsung pulang. Ia ingin segera istirahat karena hari ini sangat melelahkan. Larena sudah lelap saat ia sampai. Biasanya wanita itu akan menunggunya pulang, tapi mungkin karena terlalu lelah jadi tertidur lebih dulu. Arfeen menatap wajahnya yang pulas untuk beberapa waktu sebelum ia membersihkan diri di kamar mandi. Larena terbangun saat mendengar suara dering handphone yang berulang. Ia tahu itu handphone sang suami, jadi suaminya sudah pulang!Mungkin saja penting karena sang penelepon mengulangi hingga beberapa kali. Maka ia pun berinisiatif untuk mengangkat. Ia meraih benda itu di atas nakas. "Kakak?" desis Larena bingung. Apakah kakak yang dimaksud ini adalah keluarga yang pernah Arfeen ceritakan?Suara bunyi kamar mandi terbuka membuat Larena sedikit melonjak. Dengan cepat ia menutup layar handphone Arfeen dan meletakkan benda itu ke tempat semula.Dengan kilat pula ia kembali merebah, berpura-pura tertidur. Arfeen buru-buru
"Tapi kau memberikan proyek kepada mereka?" tanya Radika. "Untuk lebih mengenal trik apa yang mereka gunakan aku harus mengenal mereka!" saut Arfeen. Sekarang ia menatap sang kakek dengan penuh selidik. "Kakek tidak terlibat insiden Megaproyek kan?"Radika tertegun. "Apa maksudmu?""Ada konspirasi besar di dalam Megaproyek, yang entah melibatkan siapa saja. Yang jelas, Papa meninggal karena hendak membuka kasus Megaproyek kembali!"Radika benar-benar terperangah, Liam belum memberitahunya tentang hal ini karena khawatir akan kesehatan Radika. "Konspirasi?" beo Radika. "Megaproyek melibatkan Mahesvara dan juga Jayendra, disamping itu juga ada nama keluarga lain. Aku akan mencari tahu siapa saja yang terlibat konspirasi itu, aku sangat berharap Kakek sama sekali tidak terlibat!" "Kakek bahkan baru mengetahui akan hal ini, setahu Kakek ... Megaproyek dihentikan karena Vano melakukan kesalahan yang membuat proyek mengalami kerugian total!""Inilah yang janggal, Kek. Aku sangat yakin
Bukti! Itulah yang harusnya ia cari sebelum datang ke kediaman Vano Jayendra. Anika menggerutu sendiri karena terlalu gegabah. Karena terlalu marah ia tak berfikir sampai ke sana. Setelah mendengar cerita dari Devon ia langsung tancap gas ke kediaman Jayendra. Kenapa ia bisa begitu ceroboh?"Kau benar, aku memang tidak memiliki bukti. Tapi secepatnya ... aku pasti akan menyeretnya ke penjara. Dia harus membayar perbuatannya dengan mahal!" ujarnya bangkit berdiri. Viera mulai berfikir jika mungkin saja itu benar. Arfeen itu berasal dari jalanan, tak menutup kemungkinan jika menantunya itu melakukan hal diluar nalar dengan menganiaya orang! Awas saja jika itu benar, ia pasti akan menghajarnya lebih dulu sebelum memberikannya pada Anika."Saat ini Arfeen sedang ada di kantor, aku tak tahu dia pulang jam berapa. Jika kau ingin menunggu silakan, tapi aku harus pergi karena ada urusan!" Anika berdiri. "Aku akan kembali lagi nanti, dengan bukti yang bisa membawa menantu gembelmu ke penj
Tawa Ariel membuat Arfeen mengerutkan kening, sementara Jordi mengepalkan tinju. Ia tahu jika pemuda bernama Ariel itu pasti ingin merendahkan bosnya. "Apakah ada yang lucu, Ariel?" "Tentu saja! Kau yang lucu. Ha ... aaa ...." Arfeen hanya menyimpulkan senyum kecut. "Hei, kau!" seru Ariel pada security itu. "Seharusnya kau usir gembel ini dari sini, dia tidak akan mampu membayar kartu member. Eh tapi ...," ia kembali menatap Arfeen. "Mungkin sekarang kau sudah banyak uang ya? Kau kan menikahi Tante-tante tajir, dia pasti memberimu banyak uang kan?" Arfeen tak menyahut. "Tapi kenapa kau harus latihan menembak? Atau kau merangkap sebagai bodyguard istrimu? Dia kan ratu kecantikan, pasti menjadi incaran para rivalnya juga kan?" "Maaf, Ariel. Aku tak memiliki waktu untuk berdebat denganmu!" dalih Arfeen yang berharap Ariel segera pergi. Namun ucapan Arfeen justru membuat Ariel tersinggung. "Kau berani bersikap kurang ajar padaku? Kau sudah bosan hidup rupanya!" "Aku hanya sedang
Jordi tertegun atas ucapan Arfeen, jadi apakah ke depannya mereka akan sering menghadapi bahaya? Artinya ia memang harus banyak berlatih untuk melindungi tuannya itu. "Baik, Presdir."Jordi pergi ke meja di mana terdapat dua handuk putih di sana, ia mengambil satu untuk diberikan kepada Arfeen yang langsung menerimanya. Arfeen menggunakan handuk itu untuk mengeringkan keringat. Sementara Jordi mengeringkan keringatnya sendiri sebelum mengambil sebotol air mineral dingin untuk Arfeen. "Di mana handphoneku?" tanya Arfeen. Jordi lekas kembali ke meja untuk mengambil handphone Arfeen, berjalan cepat ke arah tuannya yang kini duduk di sofa. Arfeen ingin menghubungi Larena karena malam ini harus pulang larut. Wanita itu cepat mengangkat telepon darinya. "Halo!""Malam Wife, sedang apa?""Bersiap untuk pulang!""Kau pulang dikawal Jean seperti biasa ya, aku harus pulang sedikit malam kali ini!" Larena mengerucutkan bibir padahal ia tahu suaminya tak akan bisa melihat protesannya itu.
Arfeen terpaku menatap sosok di depannya itu. "Bella! Apa yang kau lakukan di sini?" "Menyelamatkanmu dari para gadis itu, apalagi?" jawab wanita itu dengan senyum hangat. "Aku masih bisa mengatasi mereka sendiri!" "Oya, lalu kenapa kau lari?" "Aem!" Arfeen kebingungan untuk menjawab. "Ayolah, Arfeen. Kau memang seorang Casanova, tapi kau benci dikerubungi para gadis. Seharusnya kau menempatkan pengawalan ketat untuk mengantisipasi. Di acara seperti ini sudah pasti jati dirimu akan terbongkar!" Arfeen menghela nafas panjang. "Terima kasih, tapi aku harus pergi!" ia hendak melangkah namun Bella kembali menyandarkan tubuhnya menggunakan telunjuk. "Kau mau aku berteriak bahwa kau sedang melecehkan aku?" Arfeen menyimpulkan senyum miring. "Kau mengancamku?" "Aku hanya ... argh!" kalimat Bella belum berlanjut karena Arfeen sudah lebih dulu membalik tubuh wanita itu yang kini justru dirinya yang bersandar tembok dengan tangan Arfeen di lehernya. "Dengar Bella, sudah aku katakan
"Rena, apa kau tega pada Kakek?" seru Ferano yang mencoba membujuk cucunya. Dua orang polisi sudah memegangi lengannya kanan dan kiri. "Larena, Papa sudah tua. Tega sekali kalian lalukan itu?" seru Arland tak terima. "Kami masih keluargamu!""Keluarga!" desis Arfeen dengan kecut, "Keluarga tidak menumbalkan anggota keluarganya sendiri."Arland menatap tajam kepada Arfeen. "Ini pasti ulahmu kan?" ia hendak menyerang nalun lekas digentikan oleh anak buah Arfeen. Kedua tangannya dicengkeram dan langsung diborgol ke belakang. "Lepaskan aku!"Buk!Satu tinju mendarat di wajah Arland. Nyaris semua anggota keluarga Jayendra sudah ditahan. "Arfeen!""Lancang kau hanya menyebutkan nama saja, panggil Tuan Zagan!" seru Gray. Mereka semua membeliak, Tuan Zagan?Jadi Arfeen ... Arfeen adalah Tuan Muda Mahesvara? Kenapa Lyra tak pernah memberitahu? "Tuan Muda, kami tidak melakukan kesalahan apa pun padamu. Tolong ampuni kami!" pinta Radika. Arfeen mengeraskan rahang. "Korban kecelakaan Papa
"Ahk, jangan terlalu kencang. Itu menyakitiku!"Seketika kedua mata Larena mendelik, ia melepas peluknya dna menatap wajah di bawahnya. Mata pemuda itu sudah membuka, tengah menatapnya. "Kau ... kau sudah siuman?" beonya. Arfeen mengulum senyum. "Jadi ... pesonaku begitu mengagumkan ya, sampai kau jatuh cinta berkali-kali?" celetuknya memainkan satu alis. "Sejak kapan kau sadar?" tanya Larena mencubit perut Arfeen. "Argh ... sakit, Wife. Sakit, aku masih sakit kenapa kau menganiaya aku?" protesnya mengelus bekas cubitan sang istri. Larena menatap wajah di depannya masih dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan kau sadar? Kau sengaja ingin membuatku takut? Hah?" air mata langsung mengalir deras di pipinya. Arfeen menyentuh pipi sang istri, mengusap cairan hangat itu dengan ibu jarinya. "Maaf!" ucapnya lirih. Larena pun langsung merebahkan diri ke pelukannya."Kenapa kau lakukan itu?" isaknya, "Aku pikir ... kau akan benar-benar meninggalkan aku ... jangan seperti itu lagi ...
"Keluarga Adipradana?" seru Vano. "Kau dan Arfeen?""Iya, Tuan. Saya dan Presdir sama-sama mimiliki darah kleuarga Adipradana. Presdir ... adalah cucu dari Jenderal Wira Adipradana!"Vano menghela nafas dalam. Pantas saja Arfeen berbeda dari semua keluarga Mahesvara yang lainnya. Anak itu jelas memiliki jiwa seorang pemimpin. Ternyata di dalam darahnya mengalir darah orang hebat. Larena sangat beruntung bisa menikahi dengannya. "Golongan darah Anda sama dengan pasien?" tanya si dokter. "Iya, Dok. Anda bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan!" jawabnya dengan iklas. "Mari ikut saya!"Jordi tetap harus melakukan mengecekan terlebih dahulu, setelah cocok baru transfusi bisa dilakukan. Beruntung Arfeen hanya membutuhkan dua kantung darah, sehingga masih bisa mengambil dari tubuh Jordi. Di luar ruangan, Larena masih menangis. Bahkan tangisnya kian pilu. Arfeen rela mengorbankan nyawa demi dirinya, pemuda itu membuktikan kata-kata yang rela mati demi dirinya. Sementara ia ... apa yang
"Arfeen!" suara Larena bergetar. Ia menggengam erat tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin. Biasanya tangan Arfeen sangat hangat! Sekarang, ia benar-benar takut jika pemuda itu akan pergi untuk selamanya. Larena meletakan telapak tangan itu ke pipinya yang basah oleh cairan hangat yang tak bisa ia bendung. Berharap tangan dingin itu akan menghangat, nyatanya justru kian dingin. Ia bahkan menggosok telapak tangan Arfeen dengan kedua tangannya lalu kembali menempelkan pada pipinya. Tapi tetap tak berhasil. Dokter sedang mencoba menghentikan pendarahan di luka Arfeen. Peluru yang mengenainya berkaliber cukup besar, itu mengakibatkan darah terus mengalir keluar meski posisi Arfeen terngkurap. Tapi tak mungkin melakukan tindakan untuk mengeluarkan pelurunya di dalam helikopter. Sang dokter tak ingin mengambil resiko. Larena sungguh tak tega melihat kondisi punggung pemuda itu, tangisnya semakin menjadi. Berkali-kali ia mengecupi telapak tangan Arfeen yang ia genggam. Bahkan keti
"Larena!"Larena menghentikan langkah dua meter di hadapan Arfeen. Arfeen langsung berhambur memeluk wanita itu, Larena sama sekali tak memberikan respon apa pun. wanita itu hanya mematung, membiarkan sang suami memeluk tubuhnya. Karena mungkin saja itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Jujur saja Larena merasa merindukan pelukan itu. Ketika berada di dalam pelukan Arfeen ia merasa sangat tenang. Tapi ia hanya memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Lyra bilang jika bayi itu lahir laki-laki maka itu akan menjadi ancaman, maka wanita itu akan datang untuk menghabisi putranya. Untuk itu ia harus menjauh dari Arfeen. Lagipula apa yang dilakukan lelaki itu juga banyak membuatnya kecewa. "Kau baik-baik saja kan? Lyra tidak menyakitimu?"Larena hanya menggeleng. Arfeen tampak sangat bahagia lalu memeluknya sekali lagi namun kali ini Larena menolak pelukannya. Hal itu membuat Arfeen terpaku. "Ada apa?""Aku ingin kita tetap berpisah!" pinta Larena. "Berpisah? Sayang!""Jang
Suara lembut itu membuat Tantra terpaku, rahangnya langsung mengeras menatap sepupunya. Wanita itu! Darah keluarga Wijaya rupanya lebih kuat di tubuh Lyra daripada keluarga Mahesvara. "Kau tak sepantasnya melakukan ini terhadap Kakek, Lyra.""Apakah aku meminta pendapatmu?" tanya Lyra sinis. Tentu saja hal itu membuat tangan terasa sedikit marah. Tapi Tantra tahu harusnya ia tak berdebat dengan Lyra. Sejak awal Lyra memang yang selalu menghasut dirinya untuk merasa iri kepada Arfeen. Bahkan selalu mendorongnya untuk membenci sepupunya itu. Tapi rupanya itu semua ada niat picik! Lyra hanya memanfaatkann dirinya untuk membenci Arfeen. Karena wanita itu membutuhkan dukungan. Tantra yang saat itu masih polos selalu berhasil termakan oleh bujukan dari Lyra untuk membenci Arfeen. Sejak kecil Lyra selalu berpura-pura baik di depan Arfeen dan juga selalu keluarga. Tapi di belakang ia selaku menatap Arfeen penuh benci. "Lyra, Seharusnya kau tak perlu melakukan ini!" ucap Radika. "Aku t
"Tantra!" desis Radika dengan bibir gemetar. Meski Tantra tak memiliki kelebihan seperti Arfeen, tapi pemuda itu tetap cucunya. "Tuan Muda, Tantra!" desis Liam."Kakek, jangan pikirkan aku!" seru Tantra yang sama sekali tak ada rasa takut. "Kelangsungan Klan Mahesvara jauh lebih penting dari nyawaku yang sama sekali tak berharga!" Tantra memberanikan diri berucap demikian. Ia masih ingin hidup, tapi jika hanya karena dirinya akuenya klan Mahesvara harus hancur, ia tidak akan pernah rela. Seumur hidupnya ia belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk keluarganya. Paling tidak nyawanya bisa berarti untuk bisa menyelamatkan kekuasaan klan Mahesvara. Ia yakin Arfeen mampu membawa keluarga Mahesvara menjadi lebih berjaya. Apalagi jika dalam pertarungan ini mereka menang. Maka ia tidak akan menyesal mati untuk itu. "Sepertinya kakekmu tidak menyayangimu, Tuan Muda Tantra. Sayang sekali ... harusnya kau memilih pihak yang benar untuk bisa mendapatkan hakmu!" Maher sengaja mengatakan
Arfeen memutuskan untuk mendekat. "Jadi kalian semua bersatu untuk menjatuhkan aku? Ini sangat menarik!" Dewa menyimpulkan senyum getir. "Andai saja sejak awal kau mau mengalah, ini tidak akan terjadi. Aku pasti akan memberikan dukungan kepada klan Mahesvara, dan kita bisa bersama menjadi lebih besar!" Arfeen menimpai dengan tawa ringan yang getir. "Maaf, Tuan Dewa Wijaya. Aku tidak membutuhkan dukunganmu untuk bisa berjaya. Aku masih memiliki kemampuan!" "Sombong sekali, kau hanya beruntung karena terlahir sebagai anak lelaki, Arfeen. Jika tidak! Kau pasti sudah buang ke tong sampah!""Yakin? Aku ragukan itu, Kakek memiliki alasan kuat kenapa mempertahankan aku. Karena pada kenyataannya ... akulah yang kelak akan membuat nama Mahesvara semakin besar. Kau tidak percaya itu?""Jangan pernah bermimpi, karena hari ini ... akan menjadi hari terakhirmu menghela nafas!"Arfeen menaruh telunjuk di bibirnya seolah sedang berfikir. "Sayangnya setelah aku pikirkan ... hari ini tidak akan me