"Siapa kau sebenarnya?" tanya Robert menatap Arfeen. Arfeen hanya tersenyum menyeringai. "Bedebah!" umpat Robert menyerangnya lagi, dengan mudah Arfeen menangkap tangan Robert lalu memukul wajahnya hingga terpental ke belakang. Robert menyentuh darah di hidungnya, menatap ujung tangan yang berwarna merah kemudian menyeka darah di hidungnya itu. Pukulan Arfeen sangat kuat, teman kampusnya itu seolah sudah sangat terlatih. Siapa dia sebenarnya? "Katanya kau ingin menghabisiku, Robert. Lakukanlah, jika kau mampu!" ujar Arfeen sengaja menantang. Robert mengepalkan tinjunya yang sudah terasa perih. Jika ia ingin keluar dari tempat itu ia harus bisa menghabisi Arfeen. Robert tak langsung menghantam Arfeen, namun ia melakukan gerakan memutar sambil merunduk untuk memungut pecahan kaca dalam genganggam. Dengan cepat ia kembali bangkit untuk melemparkan pecahan kaca itu ke arah Arfeen. Arfeen mengangkat lengan untuk menutupi wajahnya dari pecahan kaca itu. Beberapa pacahan kaca yang ta
"Ma-maksudmu ... Pandu yang akan menanggung dosa papanya, begitu?" tanya Nathan sedikit terbata. Arfeen hanya menjinjing satu alis, membuat Nathan harus menghela nafas berat. "Feen, bukannya aku ingin ikut campur. Tapi ... apa itu tidak berlebihan?" Arfeen menyesap minumannya dengan santai lalu mengeluarkan sekotak rokok. Melolos satu batang kemudian menyelipkan di bibir. Menyulut ujungnya dengan korek sembari mengisap hingga mengepulkan asap putih ke udara. "Pandu bukan anak kecil, dia sudah cukup umur untuk menggantikan hukuman papanya!" Celeguk!Nathan menelan salivanya. Dari ekspresi Arfeen, Nathan yakin sahabatnya itu tidak main-main. Apalagi Arfeen adalah Zagan. Tentu saja apa yang diucapkannya akan dilakukan. Tapi jika Pandu bersih, kenapa harus dia yang menerima hukuman. Padahal papanyalah yang bersalah. "Terkadang kita harus memberi seseorang pelajaran yang sangat berharga agar dia bisa berfikir seribu kali sebelum bertindak!" saut Arfeen menjelaskan. Apa yang dikatak
"Kau?" seru Pandu yang sangat terkejut mengetahui sosok yang baru saja muncul di hadapannya. "Arfeen kan?" Dengan sangat santai Arfeen duduk di salah satu single sofa berhadapan dengan Pandu. "Apa kabar, Pandu?" tanyanya ramah. "Apa maksud semua ini? Kenapa kau menahanku?" tanya Pandu yang masih tak mengerti. Arfeen menyandarkan punggung dan menyilang kedua kakinya dengan gaya elegant. "Bagaimana jika kusarankan kau untuk bertanya pada ayahmu saja?" saut Arfeen penuh arti. Pandu kian melebarkan mata. Bertanya pada papanya? Kenapa Arfeen memintanya bertanya pada sang papa? Apakah ini ada hubungannya dengan papanya? "Papa?" "Tempo hari ... kalian bercengkerama di telepon kan? Kau pasti tahu di mana papamu bersembunyi!" Pandu tak menjawab. "Kau tak memerlukan penjelasan apa pun dariku, kau tidak memiliki otoritas untuk itu!" ujar Arfeen yang masih lekat menatap Pandu yang masih tampak bingung. "Kau tahu, Pandu?" imbuh Arfeen. "Tak ada seorang yang pun yang bisa lolos, ji
Freya masih duduk diam di kursi tunggu, ia masih ingat percakapan terakhir dengan suaminya itu.'Apa maksudmu jika Arfeen bukan orang sembarangan, sejak dulu kita tahu bahwa Arfeen hanyalah orang rendahan!''Tapi dia sekarang berbeda.''Persetan, aku tidak peduli. Bagiku Arfeen masih sama seperti dulu, dia hanya sampah! Dan aku sangat tidak rela jika akhirnya kau tergoda padanya.''Aku akan menghancurkannya, aku akan menghabisinya!''Kau tak akan bisa menyentuhnya, Robert!'Robert sama sekali tak peduli dengan apa yang diucapkan Freya. Ia juga terlanjur kecewa karena mengetahui Freya mulai tergoda pada Arfeen hanya karena sebuah Maybach! Freya tahu Robert tidak main-main dengan ucapannya. Suaminya itu pergi untuk mencelakai Arfeen, dan sekarang justru Robert yang terkapar di rumah sakit. Dokter keluar dari ruang ICU. "Dokter, bagaimana putraku?" tanya Anika tidak sabaran. Dokter memasang wajah muram. "Kondisi Tuan Collins cukup kritis, salah satu kakinya patah dan terpaksa harus d
Usai pertemuannya dengan Jenderal Amar, Arfeen langsung pulang. Ia ingin segera istirahat karena hari ini sangat melelahkan. Larena sudah lelap saat ia sampai. Biasanya wanita itu akan menunggunya pulang, tapi mungkin karena terlalu lelah jadi tertidur lebih dulu. Arfeen menatap wajahnya yang pulas untuk beberapa waktu sebelum ia membersihkan diri di kamar mandi. Larena terbangun saat mendengar suara dering handphone yang berulang. Ia tahu itu handphone sang suami, jadi suaminya sudah pulang!Mungkin saja penting karena sang penelepon mengulangi hingga beberapa kali. Maka ia pun berinisiatif untuk mengangkat. Ia meraih benda itu di atas nakas. "Kakak?" desis Larena bingung. Apakah kakak yang dimaksud ini adalah keluarga yang pernah Arfeen ceritakan?Suara bunyi kamar mandi terbuka membuat Larena sedikit melonjak. Dengan cepat ia menutup layar handphone Arfeen dan meletakkan benda itu ke tempat semula.Dengan kilat pula ia kembali merebah, berpura-pura tertidur. Arfeen buru-buru
"Tapi kau memberikan proyek kepada mereka?" tanya Radika. "Untuk lebih mengenal trik apa yang mereka gunakan aku harus mengenal mereka!" saut Arfeen. Sekarang ia menatap sang kakek dengan penuh selidik. "Kakek tidak terlibat insiden Megaproyek kan?"Radika tertegun. "Apa maksudmu?""Ada konspirasi besar di dalam Megaproyek, yang entah melibatkan siapa saja. Yang jelas, Papa meninggal karena hendak membuka kasus Megaproyek kembali!"Radika benar-benar terperangah, Liam belum memberitahunya tentang hal ini karena khawatir akan kesehatan Radika. "Konspirasi?" beo Radika. "Megaproyek melibatkan Mahesvara dan juga Jayendra, disamping itu juga ada nama keluarga lain. Aku akan mencari tahu siapa saja yang terlibat konspirasi itu, aku sangat berharap Kakek sama sekali tidak terlibat!" "Kakek bahkan baru mengetahui akan hal ini, setahu Kakek ... Megaproyek dihentikan karena Vano melakukan kesalahan yang membuat proyek mengalami kerugian total!""Inilah yang janggal, Kek. Aku sangat yakin
Bukti! Itulah yang harusnya ia cari sebelum datang ke kediaman Vano Jayendra. Anika menggerutu sendiri karena terlalu gegabah. Karena terlalu marah ia tak berfikir sampai ke sana. Setelah mendengar cerita dari Devon ia langsung tancap gas ke kediaman Jayendra. Kenapa ia bisa begitu ceroboh?"Kau benar, aku memang tidak memiliki bukti. Tapi secepatnya ... aku pasti akan menyeretnya ke penjara. Dia harus membayar perbuatannya dengan mahal!" ujarnya bangkit berdiri. Viera mulai berfikir jika mungkin saja itu benar. Arfeen itu berasal dari jalanan, tak menutup kemungkinan jika menantunya itu melakukan hal diluar nalar dengan menganiaya orang! Awas saja jika itu benar, ia pasti akan menghajarnya lebih dulu sebelum memberikannya pada Anika."Saat ini Arfeen sedang ada di kantor, aku tak tahu dia pulang jam berapa. Jika kau ingin menunggu silakan, tapi aku harus pergi karena ada urusan!" Anika berdiri. "Aku akan kembali lagi nanti, dengan bukti yang bisa membawa menantu gembelmu ke penj
Tawa Ariel membuat Arfeen mengerutkan kening, sementara Jordi mengepalkan tinju. Ia tahu jika pemuda bernama Ariel itu pasti ingin merendahkan bosnya. "Apakah ada yang lucu, Ariel?" "Tentu saja! Kau yang lucu. Ha ... aaa ...." Arfeen hanya menyimpulkan senyum kecut. "Hei, kau!" seru Ariel pada security itu. "Seharusnya kau usir gembel ini dari sini, dia tidak akan mampu membayar kartu member. Eh tapi ...," ia kembali menatap Arfeen. "Mungkin sekarang kau sudah banyak uang ya? Kau kan menikahi Tante-tante tajir, dia pasti memberimu banyak uang kan?" Arfeen tak menyahut. "Tapi kenapa kau harus latihan menembak? Atau kau merangkap sebagai bodyguard istrimu? Dia kan ratu kecantikan, pasti menjadi incaran para rivalnya juga kan?" "Maaf, Ariel. Aku tak memiliki waktu untuk berdebat denganmu!" dalih Arfeen yang berharap Ariel segera pergi. Namun ucapan Arfeen justru membuat Ariel tersinggung. "Kau berani bersikap kurang ajar padaku? Kau sudah bosan hidup rupanya!" "Aku hanya sedang