Share

Pesona Kekasih Rahasia Anak Asuh Presdir
Pesona Kekasih Rahasia Anak Asuh Presdir
Penulis: Yuli F. Riyadi

1. Bumi

"Sepi banget. Orang-orang pada ke mana?"

Kepala gadis bermata bulat legam itu celingukan mencari orang-orang yang biasa berkumpul di kantin fakultas. Biasanya jam makan siang begini, dirinya tidak akan pernah bisa mendapat kursi. Hari ini keajaiban sekali gadis itu bisa memilih meja.

"Ola!"

Teriakan itu membuat gadis dengan rambut cokelat lurus itu menggoyangkan kepala. Dia melihat langkah tergopoh gadis berkucir kuda mendekatinya. Yara, teman satu kelasnya itu datang dengan setumpuk buku dan langsung menghempaskan bokong di kursi sebelahnya. Seperti dirinya, Yara pun bingung melihat keadaan kantin yang lengang.

"Ini serius? Mana penghuninya?" tanyanya begitu duduk di hadapan gadis yang dia panggil Ola.

"Gue juga lagi bingung. Tapi malah enak kan? Kita bisa bebas pesan tanpa antri." Ola berdiri. "Lo mau pesen apa? Gue traktir, mumpung gue baru dapat kiriman uang jajan tambahan dari Mas Gyan."

"Hm, pantes aja langsung lari ke salon."

Ola mengulum senyum sambil merapikan rambut cokelatnya yang beberapa hari lalu baru dia smoothing. "Udah buruan mau pesen apa?"

"Gue bakso. Eh, Galen sekalian. Dia bentar lagi nyusul ke sini katanya."

Tepat setelah Ola memesan makanan ke salah satu tenan, dua orang datang dan duduk tidak jauh dari mejanya. Dua orang itu tampak tengah membahas seru tentang kedatangan alumni teknik mesin. Ngapain juga alumni teknik mesin datang ke FIB.

"Ganteng banget, ya. Gayanya itu loh, kalem dan cool. Tapi nggak sombong."

Ola yang berjalan sambil menyeruput teh botol melirik pemilik suara itu.

"Dia alumni lulusan terbaik di fakultas teknik kita. Denger-dengar dia juga lulusan S1 bisnis di universitas sebelah dan tahun kemarin baru dapat gelar masternya. Katanya tahun ini dia bakal terima gelar master teknik mesin di sini. Sepintar itu Otaknya terbuat dari apa ya?"

Diam-diam Ola duduk sambil terus menguping perbincangan dua orang yang dia tahu sebagai kating-katingnya itu. Siapa yang sedang mereka bicarakan? Tapi sepertinya tidak asing. Ola mengedikkan dagu ke arah Yara, lalu melirik dua kating dengan ujung matanya bertujuan menanyakan siapa yang dimaksud dua kating itu. Namun Yara cuma bisa mengangkat bahu.

"Ola! Yara!"

Kedua gadis itu menoleh serempak ketika nama mereka dipanggil. Seorang lelaki dengan rambut setengah gondrong berlari cepat meloncati tanaman hias area kantin FIB, bermaksud memotong jalan. Namun nahas, karena dia malah nyungsep ke tanaman hias lainnya. Tingkah bodohnya itu kontan mengundang tawa penghuni kantin yang bisa dihitung dengan jari itu.

"Heh! Bukannya nolongin malah ngetawain," ujarnya bersungut-sungut sambil menepuk bajunya yang kotor. Di rambutnya bahkan ada beberapa daun kering yang nyangkut.

"Makanya nggak usah sok-sokan, nyungsep kan lo! Rasain," timpal Yara dengan sadis.

Berbeda dengan Yara, Ola langsung menyodorkan satu teh botol dingin padanya.

"Tuh! Tiru Ola, temen susah dikasih minum. Bukan malah nyukurin." Lelaki itu melotot kesal pada Yara, dan langsung mengubah ekspresi manis ketika berpaling kepada Ola. "Makasih, Ola cantik."

"Sama-sama Galen ganteng...," sahut Ola balas tersenyum, tapi cuma berlangsung beberapa detik dan kembali ke ekspresi semula. "Tapi boong."

Senyum lelaki yang dipanggil Galen itu sontak luntur. "Kebiasaan. Suka bikin orang melayang, terus dihempas lagi. Sakit tau nggak sih."

"Nggak usah lebay." Yara dengan cepat mendorong pipi Galen yang berlagak sok sedih.

"Kantin sepi ya. Pasti gara-gara pada ngumpul di depan prodi." Celetukan Galen membuat Ola dan Yara kontan menoleh padanya.

"Emang ada apa di sana?" tanya Yara penasaran.

"Ada alumni teknik yang mampir ke sana. Nggak tau mau ngapain. Gue sempat liat sih tadi. Rame pada nyamperin dia. Katanya sih alumni terbaik di sini yang berhasil memecah rekor sejarah strata satu di fakultas teknik beberapa tahun silam. Dengar-dengar juga dia lagi nyelesein tesis keduanya. Makanya banyak yang penasaran. Heran gue, kok ada ya orang yang punya otak encer begitu. Einsten pasti minder di alam barzah sana."

Penjelasan Galen membuat Ola mengernyit. Bibirnya yang mengapit sedotan teh botol bergerak-gerak. Sementara Yara terlihat begitu tertarik dengan cerita yang baru didengarnya itu.

"Serius? Ganteng nggak?" tanya Yara yang mendadak kepo maksimal.

"Nggak lebih ganteng dari gue sih."

Yara langsung memutar bola mata, nyesel tanya. "Anter gue ke sana deh. Penasaran jadinya gue," ucapnya tersenyum seraya mengetuk-ngetuk jari ke dagu.

"Bakso kita gimana?" tanya Ola, dan secara bersamaan orang kantin mengantar pesanannya.

"Daripada gue nganter lo buat liat orang yang berpotensi jadi saingan kegantengan gue, mending gue makan bakso." Galen langsung menarik satu mangkok begitu mbak-mbak kantin menyajikan tiga mangkok bakso di meja. Dia tidak peduli dengan decakan Yara setelahnya dan memilih fokus menatap gadis cantik di depannya. "Ola, lo jadi balik ke Jakarta sekarang?"

Ola mengangguk. "Iya, jadi. Ini gue lagi nunggu supir papi. Harusnya udah datang satu jam lalu. Tapi ini batang hidungnya nggak kelihatan."

Ola mendesah, sementara dua sohibnya itu sudah terlanjur fokus dengan mangkok masing-masing. Sebenarnya dia malas pulang ke Jakarta. Ini bukan musim liburan, tapi papi menyuruhnya pulang. Dan Ola sangat tahu apa yang akan papi lakukan. Memaksanya ikut makan malam dengan koleganya, lalu memamerkan Ola kepada mereka dengan dalih untuk memperluas koneksi sebelum dia terjun bersama kakaknya di kerajaan bisnis keluarga Jagland. Ola tidak bisa menolak karena papi punya cara ampuh untuk membuatnya menurut. Limit credit card dikurangi, atau parahnya dinon-aktifkan. Papi kejam!

"Girls, kalau kalian mau tau si alumni teknik pemecah rekor sejarah yang sempat dikerubungi para cewek di depan prodi tadi. Ini saatnya," cetus Galen tiba-tiba. "Tapi menurut gue dia B aja sih."

Ola dan Yara yang tengah fokus makan pentol bakso langsung mengangkat wajah, menatap lelaki di depannya dengan alis terangkat. "Di mana?"

"Orangnya lagi jalan ke sini. Tuh!" Galen mengedikkan mata ke arah belakang punggung dua gadis itu.

Serta-merta kedua gadis itu memutar sedikit badan ke arah yang Galen maksud. Dan tatap masing-masing langsung bersirobok dengan seorang pria jangkung berkacamata hitam yang tengah berjalan mendekati bangunan kantin.

Yara sontak terbelalak di tempat. Pentol bakso yang baru saja dia masukkan ke mulut mendadak meloncat dan menggelinding ke lantai saking takjubnya. "Oh My God, Oh My Wow. Gue berasa lagi lihat Leandro Lima versi muda. Seksi banget, Anjir!" jerit Yara tertahan. Rasanya dia kehilangan napasnya selama beberapa saat.

Sementara Ola di samping perempuan itu malah memicingkan mata dan sedikit berdecap. Dia sangat mengenal dan tahu betul siapa pria itu. Pria yang selalu Ola wanti-wanti untuk tidak datang ke fakultas ilmu bisnis. Pria yang Ola tidak ingin ada seorang pun tahu eksistensinya, khususnya para wanita. Karena bagi Ola, pria itu hanya miliknya seorang. Tidak ada yang boleh mengaggumi pria itu selain dirinya. Tidak ada!

"Dia mengarah ke sini nggak sih? Kok gue deg-degan," ujar Yara menahan napas sambil memegangi dada. Dia buru-buru merapikan rambut.

Dan ternyata yang kehebohan bukan cuma Yara, tapi cewek-cewek lain juga. Kantin yang tadinya sepi mendadak ramai. Sialnya, Ola baru menyadari itu.

"Astaga! Dia beneran ke sini!" Kembali Yara menjerit tertahan sambil meremas lengan Ola. Sementara di belakangnya, Galen menggeleng tak habis mengerti dengan kelakuan para cewek itu.

Dengan malas, Ola memutar kembali badannya menghadap Galen. Dia memasang wajah bete akut melihat kehadiran pria itu yang tiba-tiba.

"Lo nggak ikut kehebohan kayak sahabat lo itu?" tanya Galen santai sambil mengunyah baksonya.

"Nggak!" sahutnya ketus, dan kembali fokus pada mangkok bakso yang sempat terbengkalai.

Namun, baru saja Ola mengangkat kembali sendok, suasana mendadak hening. Suara jejeritan Yara yang baru beberapa saat lalu dia dengar pun mendadak tidak terdengar lagi. Dan ketika Ola menatap Galen, dia sedikit heran dengan ekspresi lelaki itu yang malah mematung dengan sendok bakso di depan mulutnya.

"Kita pulang sekarang?"

Ola agak terkesiap ketika suara berat itu mengudara tepat di belakang punggungnya. Dia tahu betul pemilik suara itu. Tidak mau mengundang banyak perhatian, gadis itu segera mengambil selembar uang dari saku celana dan mendorongnya ke dekat Galen.

"Tolong, lo bayarin," ucapnya sebelum beranjak berdiri dengan tergesa mengabaikan muka bengong Yara dan Galen. Sebelum dua orang itu sadar, dia buru-buru melesat pergi.

Kedua sohib Ola itu baru tersadar saat pria di depannya berdeham keras. "Kalian teman Ola?"

Keduanya lantas mengangguk kompak. Yara dengan wajah mupengnya, dan Galen dengan wajah lempengnya tampak tersenyum kaku.

"Saya Bumi. Makasih ya udah jaga Ola. Permisi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status