Share

2. Mr. Stiff

"Kamu lapar?"

"Nggak!"

Terhitung sudah ketiga kalinya Bumi bertanya selama perjalanan menuju Jakarta. Dan jawaban Ola tetap sama. Pria itu tahu tidak sih kalau Ola sedang di ujung kekesalan? Melihat muka lempeng Bumi yang seperti tidak peduli dengan kekesalannya, membuat gadis 20 tahun itu makin jengkel.

Saat ini keduanya sedang berada di rest area. Beberapa menit lalu Bumi kembali masuk mobil setelah pergi ke toilet, sementara Ola menunggu dengan wajah terlipat.

"Minuman kamu," ujar pria itu sambil menaruh satu botol air mineral ke cup holder di sisi Ola. Sementara dirinya sibuk membuka segel botol minuman lainnya.

Hampir-hampir Ola memaki ketika melihat minumannya masih tersegel dan pria itu tampak tidak berniat membukanya untuk dirinya. Namun ketika kata makiannya sudah di ujung lidah, botol air minum yang tiba-tiba Bumi sodorkan padanya membuat Ola serta-merta menelan kembali niatnya memaki. Dengan wajah cemberut, gadis itu menerima minuman yang segelnya sudah Bumi buka itu. Tanpa terima kasih.

Bumi dengan santai lanjut membuka botol minum yang sempat dia simpan di cup holder dan langsung meminum isinya.

"Kak Bumi tau nggak sih kalau aku tuh lagi kesel sama kakak?" tanya Ola akhirnya. Lama-lama dia tidak tahan juga melihat manusia tidak peka di sebelahnya ini memasang wajah seolah tidak punya salah.

"Tau."

"Terus kenapa sikap Kakak kayak orang yang nggak merasa bersalah? Harusnya kakak berusaha baikin aku dong, bukan malah cuek begini."

Bukan hanya sekali dua kali Bumi menghadapi kelabilan bungsu dari orang tua asuhnya itu. Dia tahu persis apa yang akan terjadi jika kemarahan gadis itu dia layani. Selama ini kediamannya menjadi sikap paling aman.

"Kakak tau nggak kenapa aku marah?"

"Nggak."

Ola membuang napas kasar. Dia heran kenapa bisa suka dengan pria sekaku Bumi. Malah makin dewasa makin tidak bisa lepas dari jerat cinta yang dia buat sendiri. Meski kadang sikap kaku Bumi sering bikin stres, Ola tidak bisa jauh dari pria itu. Salah satu alasan kenapa dia memilih kuliah di dalam negeri, agar dirinya masih tetap bisa bertemu dengan pria yang sudah membuatnya mabuk kepayang dari kecil itu.

"Pertama, aku kesal karena Kak Bumi datang ke FIB dan bikin heboh cewek-cewek di sana. Seneng ya jadi pusat perhatian? Gedung pasca sarjana teknik bukan di situ tempatnya!" Ola melirik kesal pria yang masih dengan santai minum air mineral.

"Kedua, aku kesal karena yang ngantar aku itu kakak, bukannya supir papi. Itu artinya secara nggak langsung kakak setuju aku ikut kencan buta berselubung makan malam itu. Kakak serius mau menjerumuskan aku ke lobang perjodohan ala-ala angkatan Balai Pustaka?"

Angin yang berembus, menembus jendela mobil yang terbuka. Bersamaan dengan itu Bumi menutup botol minumnya. Dia tidak sadar jika gadis di sebelahnya membeku melihat adegan itu. Serupa slow motion, bagi Ola gerakan tangan Bumi yang tengah menutup botol minum disertai tiupan angin yang menggoyangkan helain rambut pria itu terlihat begitu epik.

"Maaf kalau begitu," ucap Bumi yang serta-merta langsung mencabut kembali kesadaran Ola.

Gadis itu berdecak sebal. "Nggak ada penjelasan?"

Bumi tahu Ola akan terus mencecarnya selama dia tetap diam. Demi lancarnya perjalanan, akhirnya pria itu sedikit memutar tubuhnya menghadap Ola. "Pertama aku datang ke fakultas kamu karena ada hal yang harus aku urus di sana. Kedua, itu bukan malam perjodohan. Papi akan makan malam dengan koleganya yang juga membawa turut serta keluarga. Wajar kalau papi juga melakukan hal sama."

Dari dua penjelasan itu, Ola lebih tertarik dengan alasan pertama. "Ada urusan apa kakak ke FIB? Jangan bilang mau ngawasi nilai aku."

"Nadira mau kuliah di sana. Aku membantu mengurus beberapa hal terkait persyaratan masuk. Dan Papi memintaku buat sekalian ngantar kamu."

Nadira. Ola tercenung mendengar nama itu disebut. Dia sudah pernah bertemu gadis manis dari panti milik papinya itu. Dan terakhir kali melihat, Nadira masih kelas sebelas SMA. Jadi, sekarang gadis yang katanya Bumi anggap adik itu sudah mau masuk perguruan tinggi?

"Peduli banget. Dia kan bisa mengurus sendiri. Aku juga pas daftar ngurus semuanya sendiri." Ada nada tak suka yang terdengar kental. Biar gimana juga status Nadira bukan adik kandung, tapi adik seperjuangannya. Bumi dan Nadira sempat tumbuh bersama di panti sebelum papi membawa Bumi. Dan jujur Ola tidak suka melihat Bumi bersikap baik pada gadis lain selain dirinya.

"Dia belum pernah ke Bandung sebelumnya. Sepertinya aku butuh bantuan kamu nanti perkara Nadira."

"Kamu mau aku jadi baby sitternya? Ih, ogah!"

"Bukan. Kamu lebih tahu lingkungan di sini. Jadi—"

"Nggak mau! Nanti lama-lama juga dia tahu sendiri."

Debat dengan Ola, Bumi tidak akan pernah menang. Dia memutuskan mengakhiri obrolan dan kembali menyalakan mesin mobil. "Kita harus bergegas. Sudah sore."

Selama sisa perjalanan Bumi fokus mengemudi. Ola juga tampak tidak tertarik membangun obrolan kembali dan lebih memilih sibuk dengan ponselnya. Namun secara diam-diam dia mencuri potret lengan Bumi yang sedang mengendalikan setir. Dengan lengan kemeja yang terlipat hingga siku membuat otot-otot lengannya terlihat. Itu sangat seksi bagi Ola. Dan dia tergelitik mengunggah foto tangan Bumi itu ke media sosial dengan caption :

"Ride with Mr. Stiff."

Dan dalam sekejap unggahannya itu banjir komen dan like.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status