"Sepi banget. Orang-orang pada ke mana?" Kepala gadis bermata bulat legam itu celingukan mencari orang-orang yang biasa berkumpul di kantin fakultas. Biasanya jam makan siang begini, dirinya tidak akan pernah bisa mendapat kursi. Hari ini keajaiban sekali gadis itu bisa memilih meja. "Ola!" Teriakan itu membuat gadis dengan rambut cokelat lurus itu menggoyangkan kepala. Dia melihat langkah tergopoh gadis berkucir kuda mendekatinya. Yara, teman satu kelasnya itu datang dengan setumpuk buku dan langsung menghempaskan bokong di kursi sebelahnya. Seperti dirinya, Yara pun bingung melihat keadaan kantin yang lengang. "Ini serius? Mana penghuninya?" tanyanya begitu duduk di hadapan gadis yang dia panggil Ola. "Gue juga lagi bingung. Tapi malah enak kan? Kita bisa bebas pesan tanpa antri." Ola berdiri. "Lo mau pesen apa? Gue traktir, mumpung gue baru dapat kiriman uang jajan tambahan dari Mas Gyan." "Hm, pantes aja langsung lari ke salon." Ola mengulum senyum sambil merapikan rambut c
"Kamu lapar?" "Nggak!" Terhitung sudah ketiga kalinya Bumi bertanya selama perjalanan menuju Jakarta. Dan jawaban Ola tetap sama. Pria itu tahu tidak sih kalau Ola sedang di ujung kekesalan? Melihat muka lempeng Bumi yang seperti tidak peduli dengan kekesalannya, membuat gadis 20 tahun itu makin jengkel. Saat ini keduanya sedang berada di rest area. Beberapa menit lalu Bumi kembali masuk mobil setelah pergi ke toilet, sementara Ola menunggu dengan wajah terlipat. "Minuman kamu," ujar pria itu sambil menaruh satu botol air mineral ke cup holder di sisi Ola. Sementara dirinya sibuk membuka segel botol minuman lainnya. Hampir-hampir Ola memaki ketika melihat minumannya masih tersegel dan pria itu tampak tidak berniat membukanya untuk dirinya. Namun ketika kata makiannya sudah di ujung lidah, botol air minum yang tiba-tiba Bumi sodorkan padanya membuat Ola serta-merta menelan kembali niatnya memaki. Dengan wajah cemberut, gadis itu menerima minuman yang segelnya sudah Bumi buka itu.
Dugaan Ola benar. Makan malam itu bukan hanya sekedar bussines dinner. Lebih dari itu Ola mendapat kenalan baru, putra pemilik salah satu perusahaan waralaba retail terbesar di negara ini. Sepanjang makan malam Ola terus memasang senyum palsu tiap kali dirinya diajak bicara. Berbeda dengan Bumi yang tampak sopan dan terlihat ramah. Pria itu benar-benar sangat berdedikasi menyenangkan orang tua asuhnya. Bertingkah menjadi sosok kakak terbaik bagi Ola, dan anak pintar bagi Daniel dan Delotta. Untuk sampai di meja ini, Ola sukses membuat pria itu kesal beberapa jam lalu. Dia bermalas-malasan ketika Bumi menyuruhnya bersiap. Sore tadi, begitu sampai ibukota, pria itu membawanya langsung ke butik langganan keluarga. Di saat Bumi sudah rapi dengan pakaian semi formalnya, Ola malah masih bersantai duduk di sofa, main gadget."Ola, waktu kita nggak banyak," ujar Bumi masih bersikap sabar. Namun hanya dibalas lirikan singkat gadis itu. Bumi menarik napas panjang. "Aku pastikan kamu nggak bol
"Om Daniel, bolehkah besok saya ajak Ola jalan keluar?" "Tentu saja boleh. Besok Ola masih di Jakarta kok. Sorenya baru dia balik lagi ke Bandung.""Kalau begitu biar sekalian saya antar Ola ke Bandung. Saya kebetulan ada rencana survei salah satu perguruan tinggi di sana." Ola jelas keberatan, tapi dengan menyebalkan sang papi malah mengizinkan Rean mengajaknya jalan. Alhasil, Minggu dia harus bangun pagi karena dari pukul sembilan Rean sudah menunggu di rumah besar papinya. Bahkan ultahnya yang ke 20 masih dua bulan lagi, tapi papi sudah sok-sokan menjodohkannya dengan anak kolega. Bodo amat Rean di bawah menunggu lama. Siapa suruh datang kepagian. Satu jam kemudian, Ola baru bisa keluar kamar. Dia mengenakan croptop hitam disambung jins panjang longgar. Memamerkan perutnya yang rata serta pusarnya yang bertindik. Rambut panjangnya sengaja dia kuncir kuda lantaran cuaca di luar sudah seperti musim panas di California. Ola berjalan hendak turun ke lantai satu dengan kepala menund
"Aku nggak nyangka kalau Kak Bumi ngikutin kami!" seru Ola jengkel ketika mereka sampai di apartemen milik Bumi yang terletak di daerah Dago. Alih-alih membawa Ola pulang ke kosan gadis itu, Bumi berputar ke arah apartemennya. Dia tahu gadis manja itu bakal ngamuk-ngamuk karena aktiviasnya dengan dengan Rean merasa terganggu. Dan benar, Bumi sengaja mengikuti Ola. Hanya untuk memastikan keamanan gadis itu. Segalanya terasa normal ketika Rean membawa Ola ke mall. Namun ketika keduanya ke Bandung bersama dan membawa Ola ikut serta ke kamar hotel, radar bahaya Bumi langsung bereaksi. "Kalau aku nggak ngikutin kalian, kalian mau apa di kamar hotel berdua tadi?" Dahi Ola berkerut, alis gadis itu hampir menyatu. "Kami nggak ngapa-ngapain. Aku cuma pengin lihat kamar hotel itu sambil numpang istirahat. Emang salah?" "Masih nanya emang salah? Kalian baru kenal semalam, kalau kamu diapa-apain sama anak yang baru pulang dari New York itu gimana?!" Ola terhenyak saat suara Bumi tiba-tiba
Ransel besar terhempas dari punggung gadis itu. Dua tangan dengan tone kulit putih itu ikut merentang bebas. Sementara senyum manisnya terukir lebar. Saking lebarnya Bumi takut kalau bibir gadis di depannya itu bisa robek. Kontras dengan gadis itu, Bumi sendiri mendadak migrain melihat kedatangan bungsu dari ayah angkatnya itu. Kepalanya berdenyut seketika. Sehari saja gadis itu berkeliaran di apartemennya bisa bikin kepala nyut-nyutan, apalagi sampai menginap berhari-hari? "Akhirnya aku bisa tinggal di sini juga!" seru Ola, sambil mengempaskan diri di samping Bumi. "Cuma tiga hari," sahut Bumi mengingatkan. Tatapnya melirik ransel Ola yang teronggok begitu saja di lantai. "Kamu bawa aja? Kayaknya berat banget. Ingat, Ola. Hanya tiga hari kamu di sini. Setelah Nadira selesai dengan urusannya kamu harus balik ke kosan." "Ya ampun, iya bawel. Takut banget sih aku nginap di sini lama-lama. Lagi pula..." Ola beringsut mendekati Bumi sambil melempar senyum muslihat. "Emang Kak Bumi ngg
Ola mengusap hidung mancungnya dengan ibu jari. Senyumnya terkulum bangga lantaran bisa bangun pagi. Dengan langkah penuh percaya diri dia keluar dari kamar sudah berpakaian rapi, berniat membangunkan Bumi. Namun hal tidak terduga terjadi. Saat membuka pintu hidungnya menghidu aroma wangi masakan. Tatapnya otomatis bergeser ke arah dapur. Di sana dia melihat Bumi dengan rambut setengah basah sudah berkutat di depan wajan. Spontan bahunya meluruh. Dari dulu kebiasaan bangun pagi pria itu memang tidak bisa tertandingi. Sepagi apa pun Ola berusaha bangun, tetap saja akan Bumi dahului. "Kenapa bengong? Kamu nggak mau sarapan?" sapa Bumi sambil terus sibuk dengan masakannya. Dia memasukan daun bawang yang sudah dicincang lalu mengaduk masakannya lagi. Dengan lunglai Ola melangkah mendekat. "Kak Bumi masak apa?" "Nasi goreng. Hari ini aku bakal sibuk. Dengar, Ola." Dia menatap gadis 20 tahun itu dengan pandangan serius. "Hari ini kamu harus benar-benar membantu Dira. Dia akan mengurus b
Badan Ola berjengit mundur saat Yara mengangkat tangan tepat di depan wajahnya. Bahkan telapak tangan gadis itu menempel ke bibirnya seolah tidak memberi kesempatan buatnya bersuara. Mata Yara melotot dan telunjuknya terangkat. "Lo masih berhutang penjelasan ke gue!" kecamnya dengan pangkal hidung mengernyit. Ola meringis. Dia tahu maksud sahabatnya itu. Ini masih perkara Bumi. Sampai saat ini dia belum menjelaskan apa pun pada Yara atau pun Galen tentang Bumi meskipun dua sohibnya itu sudah ribut di grup chat dari kemarin. "Iya, nanti gue jelasin. Tapi nggak sekarang." "Nggak bisa! Harus sekarang," tolak Yara mentah-mentah. "Lo kabur gitu aja. Chat nggak dijawab, telepon apa lagi. Lo mau bikin gue mati penasaran?" "Iya, iya. Pasti gue jelasin kok." Ola mencoba menenangkan tapi matanya berkeliaran mencari seseorang. "Galen belum datang?" "Tau!" sahut Yara sembari melengos. Dan saat itulah dia sadar akan keberadaan seseorang yang membersamai Ola. Dahinya kontan mengernyit. "Kamu
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m