Share

4. Menguntit

"Om Daniel, bolehkah besok saya ajak Ola jalan keluar?"

"Tentu saja boleh. Besok Ola masih di Jakarta kok. Sorenya baru dia balik lagi ke Bandung."

"Kalau begitu biar sekalian saya antar Ola ke Bandung. Saya kebetulan ada rencana survei salah satu perguruan tinggi di sana."

Ola jelas keberatan, tapi dengan menyebalkan sang papi malah mengizinkan Rean mengajaknya jalan. Alhasil, Minggu dia harus bangun pagi karena dari pukul sembilan Rean sudah menunggu di rumah besar papinya. Bahkan ultahnya yang ke 20 masih dua bulan lagi, tapi papi sudah sok-sokan menjodohkannya dengan anak kolega.

Bodo amat Rean di bawah menunggu lama. Siapa suruh datang kepagian. Satu jam kemudian, Ola baru bisa keluar kamar. Dia mengenakan croptop hitam disambung jins panjang longgar. Memamerkan perutnya yang rata serta pusarnya yang bertindik. Rambut panjangnya sengaja dia kuncir kuda lantaran cuaca di luar sudah seperti musim panas di California.

Ola berjalan hendak turun ke lantai satu dengan kepala menunduk sembari sibuk mantengin layar ponsel. Karena tidak memperhatikan sekitar, kepalanya terantuk benda keras yang tidak sengaja dia tabrak. Spontan gadis itu meringis sambil memegangi kepalanya. Saat mendongak, sosok Bumi tepat berada di depannya.

"Itu dada apa batu sih?" gerutu Ola jengkel, lantaran tiba-tiba saja pria itu berdiri di hadapannya.

Bumi seperti habis nge-gym. Kulit machonya terlihat mengkilat. Rambutnya juga basah. Dia masih mengenakan singlet dan celana pendek, lengkap dengan sepatu olahraga.

"Ganti baju kamu, gih," perintahnya seraya mengedikkan kepala.

"Dih, kenapa?" Ola melihat penampilannya sendiri. "Nggak ada yang salah sama bajuku kok."

"Itu terlalu terbuka."

"Styleku emang begini. Masalahnya apa? Kakak kan sering liat—"

"Jangan membantah. Kamu mau jalan sama orang yang baru semalam kamu kenal. Pakai baju yang sopan." Saat mengatakan itu mata legam Bumi jatuh ke pusar Ola. Ada tatapan tak suka saat melihat sesuatu tampak berkilau di sana.

"Ini udah sopan."

"Kamu mau mamerin pusar kamu ke Rean?"

Refleks Ola menutupi pusarnya seraya melotot. "Enggak!"

"Kalau gitu cepat ganti baju kamu."

Dengan kesal Ola mengentakan kaki, lantas berbalik menuju kamarnya lagi. Tepat sebelum gadis itu masuk, dia menoleh ke arah Bumi dan mengacungkan jari tengahnya sambil menjulurkan lidah. Melihat itu Bumi hanya bisa menggelengkan kepala.

*

Ola akui Rean itu goodlooking. Ciri-ciri lelaki yang banyak digandrungi cegil. Memiliki tubuh jangkung dan ramping. Wajah bersih dan mulusnya juga bikin iri dengki. Sudah seperti oppa-oppa di Korea. Yang penting lagi dia berattitude, tidak seperti Galen teman sekelas Ola yang suka ceplas-ceplos dan kadang kelewatan kalau bercanda.

Hanya saja semua nilai plus yang lelaki itu miliki sama sekali tidak menyentuh hati Ola. Bahkan untuk sekedar kagum pun tidak. Rasanya flat. Tidak menarik sama sekali bagi gadis itu. Kalau saja Rean tidak royal, mungkin Ola sudah cabut sejak tadi. Gila saja, baru pertama kali jalan lelaki itu sudah mau merogoh kocek lumayan dalam. Ola yang notabene suka belanja, seperti mendapat angin segar.

"Kamu yakin cuma mau beli dompet itu aja? Tas sepatu enggak?" tanya Rean ketika mereka makan siang bersama di restoran yang terkenal dengan menu udon dan tempuranya.

Ola tersenyum kecil sambil melipat bibirnya. "Uang kamu banyak ya? Kita baru pertama kali jalan loh, tapi kamu udah beliin aku dompet semahal ini."

Rean hanya tertawa seolah yang dia lakukan tidak berarti apa-apa. "Yang penting kamu suka," ujarnya kalem.

Setelah makan siang keduanya langsung bertolak ke Bandung. Memburu waktu agar sampai sana tidak terlalu malam.

"Kenapa aku merasa diikuti ya? Atau cuma perasaanku aja," cetus Rean tiba-tiba, pandangannya sesekali melihat spion depan. SUV hitam doff terlihat berjarak tak jauh di belakangnya. Dia yakin itu mobil yang sama seperti yang dia lihat saat masih berada di dalam kota.

"Diikuti siapa?"

"Itu SUV hitam di belakang kita. Kayaknya kalau kita jalan dia selalu ada di belakang kita. Dari kita di Jakarta loh."

Ola kontan mengerjap, dan menoleh ke belakang. Dia melebarkan mata saat melihat mobil yang Rean maksud. Dia sangat hapal dengan mobil itu. Itu mobil milik Bumi. Jangan bilang pria itu terus mengikutinya. Diam-diam Ola tersenyum miring, matanya menyipit dan otak jailnya langsung bekerja dengan cepat.

Memasuki kota Bandung, Ola menyarankan Rean untuk langsung check in hotel. Dia sengaja melakukan itu lantaran ingin melihat reaksi Bumi. Bahkan ketika memasuki lobi, gadis itu tak segan melingkari lengan Rean. Sikapnya cukup membuat Rean terkejut. Pasalnya selama jalan-jalan di mall, Ola selalu menjaga jarak. Bahkan ketika mencoba mencari kesempatan untung menggandeng tangan gadis itu, Rean selalu gagal.

Rean berdeham singkat untuk menetralisir perasaannya yang tiba-tiba membuncah. Bibirnya spontan menyunggingkan senyum.

"Aku boleh lihat kamarnya nggak?"

Kejutan kedua yang Rean dapatkan. Dia mengira ini adalah sinyal yang sedang coba gadis itu lempar padanya. Seperti gadis-gadis di New York ketika ingin mendekatinya. Namun, Rean mencoba bersikap tenang, berusaha menahan ekspresi agar tidak terlihat terlalu senang.

"Boleh."

Kembali Ola menggandeng lengan Rean saat mereka menuju lift. Di saat yang bersamaan ujung matanya sedikit melirik ke belakang. Dia menyeringai kecil ketika merasakan keberadaan Bumi. Pria itu benar-benar mengikutinya. Dasar stalker.

Kamar Rean ada di lantai sepuluh. Dia memilih kamar tipe eksklusif yang langsung menghadap pemandangan kota. Bukti bahwa dirinya putra dari salah satu pengusaha sukses negeri.

"Kamu suka kamarnya?" tanya Rean saat Ola sedang melakukan tour room.

"Apa pentingnya nanya itu ke aku. Ini kan kamar kamu. Yang akan tinggal di sini juga kamu."

Rean berjalan mendekat ke posisi Ola berdiri. "Kalau kamu mau, kamu bisa juga kok tinggal di sini selama aku di Bandung."

Ola agak terkesiap dengan jawaban Rean. Namun hanya berlangsung sesaat karena dia langsung menutupinya dengan senyum. Dalam hati dia mengumpat karena apa yang dikhawatirkan Bumi sepertinya bakal terbukti. Sialan! Ola lupa kalau lelaki di hadapannya ini lama tinggal di luar negeri.

"Apa pun yang kamu minta, pasti akan aku beri."

Demi papinya, Ola menahan diri untuk tidak menampar wajah Rean saat lelaki itu menyentuh pipinya.

"Kamu cantik, Ola. Sejak melihatmu semalam aku udah tertarik. Orang tua kita juga sepertinya setuju kalau kita punya hubungan. Apa kamu nggak mau mewujudkan harapan mereka? Hubungan kita pasti akan menguntungkan dua keluarga."

Dua tangan Ola di sisi tubuh mengepal erat. Bibirnya mengatup rapat kendati dirinya sudah ingin melontarkan kata makian.

"Aku nggak akan jadi orang yang nggak sopan. Jadi ... May I kiss you?"

Belum sempat Ola menjawab pertanyaan yang pasti akan dia tolak, bel pintu kamar berbunyi. Kompak keduanya menoleh ke arah pintu. Bel kembali berbunyi tidak lama berselang. Tidak cukup sekali, tapi berkali-kali hingga membuat Rean menggeram jengkel karena merasa terganggu.

Lelaki itu melangkah cepat menuju pintu lantas membukanya segera. Dia sudah siap memuntahkan makian. Tapi saat melihat sosok yang berdiri di depan kamarnya, dia mengernyit heran.

"Bumi?"

Tanpa permisi, Bumi nyelonong masuk ke kamar itu. Mengabaikan seruan Rean yang tidak terima dengan tindakannya, dia langsung mendekati Ola dan menyambar lengan gadis itu.

Rean mendadak bingung saat Bumi malah menyeret Ola. "Tu-tunggu. Kamu mau bawa Ola ke mana?"

"Pulang ke kosannya," sahut Bumi acuh tak acuh. Wajahnya yang mengeras, cukup bisa mengintimidasi Rean.

"Saya bisa mengantar dia ke sana."

"Tidak perlu."

Tatapan tajam Bumi membuat Rean bungkam dan hanya pasrah saat melihat Ola dibawa pergi. Bukan bermaksud membiarkan, tapi Rean tidak mau ada hal buruk mengenai dirinya yang dikabarkan kakak abal-abal Ola itu kepada Daniel. Dia butuh image bagus untuk memenangkan hati orang tua bermata biru itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status