Badan Ola berjengit mundur saat Yara mengangkat tangan tepat di depan wajahnya. Bahkan telapak tangan gadis itu menempel ke bibirnya seolah tidak memberi kesempatan buatnya bersuara. Mata Yara melotot dan telunjuknya terangkat. "Lo masih berhutang penjelasan ke gue!" kecamnya dengan pangkal hidung mengernyit. Ola meringis. Dia tahu maksud sahabatnya itu. Ini masih perkara Bumi. Sampai saat ini dia belum menjelaskan apa pun pada Yara atau pun Galen tentang Bumi meskipun dua sohibnya itu sudah ribut di grup chat dari kemarin. "Iya, nanti gue jelasin. Tapi nggak sekarang." "Nggak bisa! Harus sekarang," tolak Yara mentah-mentah. "Lo kabur gitu aja. Chat nggak dijawab, telepon apa lagi. Lo mau bikin gue mati penasaran?" "Iya, iya. Pasti gue jelasin kok." Ola mencoba menenangkan tapi matanya berkeliaran mencari seseorang. "Galen belum datang?" "Tau!" sahut Yara sembari melengos. Dan saat itulah dia sadar akan keberadaan seseorang yang membersamai Ola. Dahinya kontan mengernyit. "Kamu
Yara menyenggol lengan Ola saat pria tampan yang baginya asing itu berdiri di hadapannya. Matanya berkedip, memberi kode agar Ola mau mengenalkan pria itu padanya. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Ola ragu sambil menunjuk pria tampan, yang tak lain dan tak bukan adalah Rean. "Kan aku udah bilang kemarin mau survei perguruan tinggi," sahut Rean tersenyum. "Kamu masih ada kelas?" "Sebenarnya ada satu kelas lagi, tapi dosennya cuma nitipin tugas." "Oke, kalau gitu aku bisa ajak kamu makan." Ola refleks melirik pergelangan tangan. Masih ada cukup waktu sebelum dia meminta Galen untuk mengembalikan Dira. "Boleh. Tapi yang dekat aja ya." Ola menoleh saat lagi-lagi cewek di sebelah menyenggol lengannya. Bola matanya berputar ketika mendapat pelototan Yara—yang sejak tadi merasa diabaikan. "Oh, ya. Kenalin ini Yara, temanku."Begitu mendapat lampu hijau, Yara langsung sumringah. Dengan cepat dia mengulurkan tangan. "Hai, aku Yara."Rean memasang senyum mautnya dan menjabat uluran tanga
Ola berjalan mendekati Bumi—yang sedang menunggunya di kursi panjang—sembari menunduk. Meskipun dia tahu pria itu tidak akan mengomelinya di depan umum, rasa bersalah tetap mengepungnya. Akibat kurang koordinasi dan informasi segalanya jadi berantakan. Tapi demi apa pun Ola tidak mau jika Bumi memaksanya tukar tempat dengan Dira. Pelan gadis itu duduk di ujung kursi lainnya. Masih dengan kepala menunduk dan bibir mengerucut, Ola memindahkan tas punggung mini ke pangkuannya. Dia sadar Bumi sedang mengawasi gerakannya dalam diam. Tatap tajam pria itu cukup menunjukkan bahwa dia sedang kesal. "Tau kesalahan kamu apa?" tanya Bumi begitu bokong Ola menyentuh alas kayu kursi. Kepala Ola bergerak naik turun. Dia tidak akan membantah kali ini. Satu-satunya jalan agar tetap diizinkan tinggal di apartemen adalah mengalah. Bumi memundurkan badan sembari melipat lengan di depan dada. Duduk menyilangkan kaki dengan posisi condong ke arah Ola. "Kamu kan yang menawarkan diri buat menemani Dira d
Belum ada tanda-tanda Ola akan kembali. Beberapa kali Bumi menghela napas. Ujung jemarinya mengetuk-ngetuk lengan sofa yang dia duduki secara berulang. Sesekali tatapnya menengok pergerakan jarum jam. Sudah hampir pukul delapan malam, tapi belum ada tanda-tanda kepulangan Ola. Bumi menunggu dengan gelisah kabar dari gadis itu. Teleponnya tidak diangkat, bahkan pesan pun tidak dibalas. Jangankan balas, dibaca saja tidak. Sejak sedikit bersitegang di kampus, Ola sama sekali belum menghubunginya. Seharian ini ponsel Bumi sepi. Selain urusan pekerjaan, biasanya notif pesan dari Ola yang selalu meramaikan. Tidak bisa! Dia tidak bisa terus sabar menunggu. Bumi beranjak dari sofa dan segera menyambar kunci mobil. Hanya hotel tempat Rean menginap yang ada di kepalanya saat ini. Sial! Matanya terpejam, menahan panas yang tiba-tiba menggelegak di dada. "Awas saja kalau lelaki itu berani menyentuh Ola," gumamnya lalu bergegas menghampiri pintu. Namun baru saja dia membuka pintu, sosok yang d
Marahan dengan Bumi lama-lama itu tidak menyenangkan! Sejak subuh Ola mengintip dari balik pintu. Dia sengaja bangun cepat agar bisa mandi lebih dulu dan bikin sarapan. Ada beberapa rencana yang akan dia jalankan hari ini. Sebuah misi agar Bumi tidak menendangnya dari apartemen. Semalam masih aman, tapi belum tentu hari ini lelaki itu berbaik hati memintanya untuk tetap tinggal. Dan Ola tahu betul, anak asuh papinya itu tidak bakal minta maaf duluan kalau merasa tidak melakukan kesalahan. Jadi, pagi-pagi sekali dia keluar dari apartemen dan beranjak pergi ke mini market 24 jam yang ada di lantai bawah. Selain bergosip, kemarin sore Yara mengajarinya membuat sarapan sederhana tapi rasanya luar biasa. Setelah empat kali percobaan dan bolak balik digoblok-gobloki Yara, akhirnya Ola berhasil membuat roti panggang telur ala-ala anak kos. "Lo mau kasih makan orang bukan monster, ya kali cangkang - cangkang telurnya ikut dimasukin!" seru Yara ketika Ola melakukan percobaan pertama. "Ahe
Bunyi pletak terdengar keras. Refleks Ola mengaduh dan mengusap dahinya. Bibir dengan tone nude itu mencebik. Lagi-lagi dia kena jitak. Padahal gadis itu sangat yakin tidak ada yang salah dari pertanyaannya barusan. "Turun," perintah Bumi tegas sambil mengedikkan dagu. "Nggak mau. Cium dulu!" Ola terperanjat dan langsung menutupi dahinya ketika Bumi kembali ancang-ancang menyentil. "Kak Bumi KDRT!" "Udah, nggak usah drama." Setelah memastikan mukanya bersih, Bumi beranjak keluar. Namun rengekan Ola membuat pria itu urung bergerak. "Kok main pergi gitu aja. Turunin dulu dong!" pinta Ola manja dengan dua tangan teracung. "Kamu kan bisa turun sendiri." "Nggak bisa ini terlalu tinggi, Kak." Bumi menghela napas, dan tidak mau banyak berdebat. Dia bergerak meraih pinggang ramping Ola dan mengangkat tubuh gadis itu. Secara otomatis dua lengan Ola merangkul leher Bumi. Keisengan gadis itu sangat disadari Bumi, tapi dia membiarkan. Namun ketika lelaki itu hendak menurunkan tubuh Ola, ga
"Gimana? Sukses?" "Gagal total!" "Lo bego kok nggak ketulungan sih, La!" Yara menepuk jidatnya. Tidak habis pikir. Padahal diantara resep menu simpel yang dia kuasai roti telor itu sudah sangat paling simpel. Dan kemarin Ola sudah berhasil membuatnya dengan sempurna, tapi kenapa saat praktek lagi malah gagal? Hmmm, orang terlanjur kaya memang susah diajak hidup sederhana. "Bukan gue yang bego, kompornya aja nggak tau diri. Masa apinya gede banget. Untung gue selamat."Rasanya Yara ingin meraup muka cewek di depannya saking kesalnya. "Ya lo kecilin apinya, Pe'a. Ngapa jadi nyalain kompor lo!" Ola nyengir. Tidak merasa bersalah sama sekali. Yang pasti pagi ini dia happy karena Bumi tidak marah-marah lagi. Bahkan setelah insiden gagal membuat sarapan, Bumi lantas membuat roti sandwich isi daging yang rasanya lebih yummy daripada yang dijual restoran 24 jam. Hanya saja, dibalik kebahagiaan itu ada sedikit rasa kesal terselip saat tahu Bumi ternyata juga membuatkan menu yang sama untu
Sebenarnya siang ini Ola malas pulang bersama Bumi. Tapi dia juga tidak sudi melihat Dira dan Bumi terus berduaan seperti itu. Membayangkan mereka berdua sejak pagi selalu bersama saja sudah bikin dia naik darah. Akhirnya dengan terpaksa Ola mengamini ajakan Bumi pulang bersama. "Emang Dira nggak bisa masuk sendiri? Nggak perlu dianter gitu kan? Toh dia tahu di mana pintunya," ujar Ola dengan nada sinis ketika Bumi hendak turun dari mobil untuk mengantar Dira masuk ke kosan. Pria itu menghela napas dan menoleh pelan. "Kamu tunggu di sini ya kalau nggak mau ikut masuk," sahut Bumi tetap berusaha kalem meskipun sikap Ola sudah bikin dia ingin ngorek-ngorek tanah. Dia bergegas turun menyusul Dira yang sudah lebih dulu turun, mengabaikan Ola yang masih saja memasang tampang masam. Suasana kosan agak sepi ketika Bumi masuk ke area dalam. Kosan ini memiliki tiga lantai dengan pengamanan yang cukup bagus. Fasilitas juga lumayan lengkap. Kamar Ola ada di lantai dua. Bumi sendiri yang menca
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari