Sebenarnya siang ini Ola malas pulang bersama Bumi. Tapi dia juga tidak sudi melihat Dira dan Bumi terus berduaan seperti itu. Membayangkan mereka berdua sejak pagi selalu bersama saja sudah bikin dia naik darah. Akhirnya dengan terpaksa Ola mengamini ajakan Bumi pulang bersama. "Emang Dira nggak bisa masuk sendiri? Nggak perlu dianter gitu kan? Toh dia tahu di mana pintunya," ujar Ola dengan nada sinis ketika Bumi hendak turun dari mobil untuk mengantar Dira masuk ke kosan. Pria itu menghela napas dan menoleh pelan. "Kamu tunggu di sini ya kalau nggak mau ikut masuk," sahut Bumi tetap berusaha kalem meskipun sikap Ola sudah bikin dia ingin ngorek-ngorek tanah. Dia bergegas turun menyusul Dira yang sudah lebih dulu turun, mengabaikan Ola yang masih saja memasang tampang masam. Suasana kosan agak sepi ketika Bumi masuk ke area dalam. Kosan ini memiliki tiga lantai dengan pengamanan yang cukup bagus. Fasilitas juga lumayan lengkap. Kamar Ola ada di lantai dua. Bumi sendiri yang menca
"Aku nggak like! " "Aku lebih-lebih nggak like!" Ola terperanjat mundur saat Bumi memelotot padanya. Pangkal alisnya berkerut, dan bibirnya mencebik. Lalu kepalanya menunduk. Bukan menyesal, tapi malah makin sebal. Dia marah, tapi Bumi lebih marah. "Malu-maluin! Kamu udah mau 20 tahun, Ola. Tapi sikap kamu masih saja begini. Nggak semua kekesalan harus diungkapkan dengan cara begitu." "Pasti kamu udah kena pelet Dira nih." "Masih aja nyalahin orang!" Bumi kembali melotot sambil berkacak pinggang, membuat Ola mengkeret seketika. Bibir gadis itu kembali manyun. Ola memainkan ujung kemeja dengan kesal. Lirikan matanya menandakan dirinya masih sangat terbawa emosi. "Kenapa sih Kak Bumi selalu nyalahin aku?" gerutunya dengan nada lirih. "Ya karena kamu salah. Bukan hanya aku, kalau papi dengar kamu begini dia pasti kecewa." Kembali Ola terperanjat dan langsung mengangkat pandang. "Jangan kasih tau papi, Kak. Please..." Kontan dia memasang wajah memelas sambil menangkup dua tangan
Sudah hampir tiga puluh menit Bumi menekuri layar ponsel. Bolak-balik jarinya menggulir layar dengan gerakan tak sabar. Membuka aplikasi chat, pesan, dan log panggilan berulang-ulang. Memastikan tidak ada pesan atau panggilan yang terlewat dari Ola. Dua alisnya sudah saling menyatu. Beberapa kali dia menggaruk dahinya yang tidak berhenti berkerut. Kepalanya dipenuhi tanda tanya yang terus berkeliaran. Sudah terhitung lima hari gadis itu tidak menghubunginya, sejak terakhir Bumi menyuruhnya pulang ke kosan. Sebenarnya Bumi senang-senang saja lantaran tidak ada pengganggu lagi. Hanya saja dia merasa lain. Mungkinkah dia terlalu keras pada Ola? Bumi tahu Ola pasti jengkel padanya. Tapi semarah-marahnya Ola, gadis itu tidak pernah mendiamkannya lebih dari satu hari. Jangankan satu hari seringnya malah siang marah, sore sudah nempel-nempel lagi. Pria tiga puluh tahun itu membuang napas lelah. Dia menyandarkan punggung dan memutar-mutar kursi sembari mencubit-cubit kecil bibir bawahnya se
"Aku mau belajar buat ujian besok. Jadi lebih baik kamu pulang." Dahi Bumi kontan mengernyit diusir seperti itu. Seumur-umur Ola tidak pernah mengusirnya, yang ada dia yang selalu bujuk anak itu agar mau pulang ke kosan saat main ke apartemennya. Jadi mendengar dirinya diusir begini Bumi agak heran. Alisnya pun kontan naik tinggi-tinggi. "Tumben banget kamu ngusir aku?" "Ya udah kalau tau diusir, sana balik." Pertanyaan Bumi malah dijawab dengan ketus. Ini benar-benar aneh dan entah kenapa bikin Bumi merasa sebal. Bahkan Rean bilang dia sudah seharian di sini. Coba ngapain aja mereka seharian?"Rean seharian di sini ngapain aja?" tanya Bumi lagi alih-alih pergi. Ola menyilangkan lengan di dada lantas membuang muka. "Bukan urusan Kak Bumi." Jawaban yang lagi-lagi menyebalkan. "Kalau kalian macam-macam itu jadi urusanku," tekan Bumi memperingatkan. "Selama kamu di sini kamu tanggung jawabku. Bersikap dan bertingkah sewajarnya aja jadi mahasiswa." Sebenarnya Ola memendam rindu s
Dari posisinya Bumi bisa melihat mobil tipe sedan milik Rean memasuki gerbang kosan Ola. Sudah sejak pagi buta dia nongkrong di seberang area kosan Ola. Mengambil tempat agak jauh. Efek insomnia semalaman sedikit membuatnya gila begini. Kewasapadaannya meningkat kala dia kembali melihat mobil Rean keluar lagi dari gerbang kosan. Dari jendela kaca mobil yang terbuka, Bumi bisa melihat bersama Rean ada Ola di sisi lelaki itu. Begitu mobil sedan itu bergabung di jalan raya, Bumi pun segera tancap gas, mengekori mereka. Ini konyol. Tidak ada tujuan lain selain kampus lantaran seminggu ini Ola akan menjalani ujian akhir semester, tapi tetap saja Bumi ingin memastikan sendiri kalau Ola benar-benar ke kampus. Di balik kemudi, dia terus mengikuti arah mobil Rean bergerak. Dan setelah melihat Rean menurunkan Ola di depan kampus, dia baru bisa bernapas lega. Terlebih saat mobil Rean akhirnya meninggalkan pelataran kampus. Tepat ketika dia berbelok arah hendak melanjutkan perjalanan menuju kan
"Ada yang perlu saya tanda tangani lagi?" "Tidak ada, Pak." "Oke." Bumi menyerahkan dokumen yang baru saja dia bubuhi tandatangan kepada Mia. "Saya bisa pulang sekarang?" "Bisa, Pak. Tapi tolongn nanti cek email lagi, Pak." "Oke." Bumi bangkit dan menyambar jas yang tersampir di kepala kursi. Dia mengenakannya dengan segera. "Kelihatannya Anda sangat buru-buru. Ada masalah di bengkel?" tanya Mia menyaksikan atasannya itu bergerak cepat membereskan isi meja. "Nggak. Saya ada urusan lain." Sejak Ola menolak ajakannya dia dirundung gelisah seharian ini. Setelah berhasil memasukkan laptop ke tas, pria tiga puluh tahun itu bergegas keluar ruangan. Mia mengekorinya keluar ruangan. "Oh ya, Pak. Sore tadi saya sempat melihat Neng Viola sama cowok ganteng. Itu pacarnya ya?" Langkah gegas Bumi kontan terhenti. Dia memutar kepala menatap sekretarisnya. "Kamu lihat di mana?" "Di depan PVJ. Gila sih, Pak. Cowoknya bawa audi coupe terbaru." Kening Bumi berkerut samar. Setahu dia mobil Re
Ini di luar kendali. Entah apa yang merasuki jiwanya saat ini. Seperti bergerak dengan sendirinya tahu-tahu wajah dan bibirnya sudah melekat tanpa jarak. Bumi tahu ini salah ketika dia mencoba mengambil udara dari celah bibir Ola. Namun dia tidak bisa menahan diri atau pun berhenti. Mulutnya lantas mulai terbuka, mengulum bibir gadis itu yang menyambutnya dengan ragu-ragu. Matanya terpejam merasakan sensasi luar biasa yang mendebarkan. Ini benar-benar di luar dugaan. Kendati dirinya yang memulai, tak pelak jantungnya berdetak begitu hebat. Mereka berciuman lembut, penuh dengan perasaan. Bahkan keduanya masih saling memejamkan mata ketika ciuman itu terurai. Dari jarak dekat begini Bumi bisa melihat ekspresi bingung Ola. Bukan hanya bingung, gadis itu pasti juga terkejut. Namun daripada itu, tatapannya malah jatuh ke bibir Ola yang masih setengah terbuka. Baru saja dia merasakan aroma manis di sana yang ternyata begitu memabukan. Brengsek memang, tapi.... "Aku dapat kado ultahku l
"Aku nguping?" Bumi mendengus. "Seperti orang kurang kerjaan aja. Suara kalian kencang. Jadi terdengar sampai bawah."Ola jelas tidak percaya begitu saja. Apalagi melihat muka merah lelaki itu. Mata Ola menyipit selama beberapa saat hingga sebuah pikiran jahil terlintas. "Oke kamu benar. Selain ke Braga sama anak-anak, aku juga berniat ke Maribaya sama Rean." Seperti yang dia duga. Bumi melebarkan mata dengan gerakan tak siap. "Apa? Nggak boleh!" "Apa maksudnya nggak boleh?" Ola yang saat ini tengah duduk di kursi depan meja belajar membalas tatapan Bumi. "Sebagai kakak aku nggak ngizinin kamu pergi." "Mana ada kakak nyium adiknya di bibir." Ola menyeringai. Merasa menang sudah membuat Bumi kontan gelagapan. "Itu—" "Apa? Mau bilang khilaf?" Decihan Ola terdengar. "Munafik," cibirnya. "Kali ini aku nggak mau dengerin kata Kak Bumi. Ujian udah selesai aku punya hak refreshing. Papi juga pasti ngizinin." "Ola, aku banyak kerjaan. Nggak mungkin aku ninggalin kerjaanku." "Loh emang
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m