Share

Bab 2 Pria Penyelamat

“Biarkan aku ketemu ibuku dulu!”

Sementara itu, kedua pria berwajah bengis yang memegang erat tangan Luna, tidak menghiraukan ocehan wanita muda itu. Mereka tetap memaksanya, meskipun Luna dengan sekuat tenaga mempertahankan dirinya agar tidak bisa bergerak sedikit pun dari depan ruangan tersebut.

“Ibumu sudah sadar! Kau harus ikut kami sekarang!”

"Tidak! Jangan bawa saya! Saya harus menemani Ibu!"

"Jangan melawan! Ikut kami atau kamu akan tahu akibatnya!"

Kedua pria tersebut bergantian memberikan peringatan pada wanita muda yang sedang berusaha melawan. Bahkan seruannya membuat mereka bertambah geram dan marah. Pasalnya, pandangan semua orang di sekitar tertuju pada mereka.

"Hentikan!" 

Suara seorang pria dari dalam ruangan tersebut, membuat perhatian mereka beralih padanya. Kedua pria berbadan kekar itu tertegun melihat sosok pria yang seolah sedang menantang mereka. Pria tampan dengan tubuh proposional yang dibalut sebuah jas putih sedang menatap tajam pada keduanya.

"Jangan ikut campur, Dok!" bentak pria berkepala botak yang membalas tatapan sang dokter.

Sang dokter berjalan mendekati mereka. Pria yang memakai jas berwarna putih itu, berdiri tepat di hadapan keduanya, dan berkata dengan tegas, "Sebaiknya kalian berdua pergi dari rumah sakit ini! Seharusnya kalian tahu, jika di dalam rumah sakit dilarang membuat gaduh!"

"Dokter tidak perlu ikut campur! Tugas dokter hanya memeriksa dan mengobati pasien! Jangan mencampuri urusan orang lain!" ujar pria berambut ikal dengan tatapan yang seolah mengibarkan bendera permusuhan.

Sang dokter meraih tubuh wanita muda tersebut dengan paksa, sehingga kedua tangan pria yang akan membawanya, terlepas begitu saja dari tangan Luna. 

"Dia adalah anak pasien saya. Jadi, mulai sekarang dia menjadi tanggung jawab saya," tutur sang dokter dengan tegas, seolah tidak bisa dibantah oleh siapa pun.

Sontak saja kedua pria berpenampilan preman itu tertawa mendengar perkataan sang dokter yang dianggapnya hanya bualan semata. 

Selama perjalanan mereka sebagai penagih utang, tidak ada seorang pun merelakan dirinya untuk melindungi orang yang ditagih. Terlebih lagi membayar utang-utang mereka.

"Jangan bercanda, Dok!" ujar pria berkepala botak dengan tatapan yang mengisyaratkan ancaman. Bisa-bisa ia dihajar oleh bosnya jika tidak berhasil menagih utang. “Kami harus segera membawa perempuan ini!”

Kedua pria berbadan kekar tersebut masih saja berusaha menarik tangan wanita yang menjadi tawanan mereka. 

Namun, sang dokter melindungi Luna dari kedua preman tersebut, bahkan setengah mememeluk gadis itu.

“Hei, kalian!”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang disertai bunyi peluit, membuat perhatian kedua preman tersebut menoleh ke arah sumber suara. Dua orang berseragam satpam sedang berlari ke arah mereka. Sontak saja, keduanya berlari ke arah yang berlawanan dengan kedua satpam itu.

"Brengsek! Tunggu saja nanti!"

"Kami pasti akan membawamu!"

Teriakan kedua preman itu pun sampai di telinga Luna dan sang dokter. Kedua pria berwajah bengis meninggalkan ancaman yang mengiringi kaki mereka, ketika berlari keluar rumah sakit tersebut.

"Kamu baik-baik saja?" tanya sang dokter seraya memandang wajah cantik wanita muda yang masih dalam posisi dalam rangkulannya.

Seketika tubuh Luna menegang melihat wajah tampan sang dokter yang begitu teduh dan menenangkan. Terlebih lagi suara pria yang sedang merangkulnya, berhasil menggetarkan hatinya.

Luna, seorang gadis lugu yang menghabiskan masa mudanya dengan belajar dan bekerja. Kondisi sang ibu yang sudah berumur dan sakit-sakitan setelah kematian suaminya, membuat Luna kecil harus berjuang demi mencukupi kebutuhan mereka. Beruntungnya dia selalu mendapatkan beasiswa hingga tingkat akhir sekolahnya.

Dan … ini adalah pertama kalinya Luna sedekat ini dengan seorang pria.

"Kamu terluka?" tanya sang dokter kembali yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari wanita muda tersebut.

"Ti-tidak," jawab Luna dengan gugup. “Saya baik-baik saja.” 

Gadis itu berkedip beberapa kali. Bulu matanya yang lentik dan matanya yang besar menjadi daya tarik wajah ayu tersebut.

Mendapati gadis di hadapannya salah tingkah, sang dokter terkekeh pelan.

Jantung Luna semakin berdegup kencang. Bahkan wajahnya terasa panas, memunculkan semburat merah di kedua pipi gadis itu. 

Buru-buru, Luna menarik diri dari sang dokter dan menunduk.

"Maaf sudah membuatmu tidak nyaman,” ucap sang dokter. “Aku tidak ada maksud lain. Ibumu meminta bantuanku tadi." 

Seketika Luna teringat akan ibunya. Tanpa sadar dia memegang lengan sang dokter, dan bertanya dengan nada mendesak, "Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?"

Sang dokter tersenyum, dan mengarahkan tangannya ke arah pintu ruang IGD, seraya berkata, "Pasien sudah sadar. Masuklah ke dalam untuk menemuinya."

Tanpa menunggu lama, Luna pun berjalan cepat masuk ke dalam ruangan tersebut. Pandangan matanya mengitari ruangan untuk mencari sosok wanita yang sangat berarti dalam kehidupannya. Seketika kakinya bergerak cepat menghampiri sang ibu yang masih terbaring lemah di tempat tidur pasien. 

"Ibu!" serunya sembari memeluk tubuh ringkih sang ibu.

Air mata keduanya luruh begitu saja. Hanya sepasang ibu dan anak itu saja yang tahu akan perasaan mereka saat ini. Akan tetapi, suasana haru bisa dirasakan oleh sang dokter yang menolongnya.

Pria tampan yang menggunakan jas berwarna putih tersebut, menatap iba pada mereka. Seakan sedang merenungi sesuatu.

Sementara itu, sang ibu mengurai pelukan putrinya. Tangannya yang mulai keriput, mengusap lembut air mata di pipi putri kesayangannya. 

"Apa mereka melukaimu?" tanya ibu Luna.

Suara serak sang ibu membuat hati Luna terasa sakit. Wanita yang telah melahirkannya, berusaha keras untuk menahan tangis dan kesedihan di hadapannya. 

Saat itu juga Luna berjanji akan berusaha melakukan apa saja agar sang ibu bebas dari utangnya, dan dia pun berjanji akan membuat sang ibu bahagia dengan caranya sendiri.

"Tidak, Bu. Dokter datang pada saat mereka akan membawaku pergi," jawab Luna kemudian sembari tersenyum, berusaha menenangkan hati sang ibu.

Wanita tua itu melihat ke arah sang dokter yang berdiri tidak jauh dari mereka. Dia tersenyum tulus, dan berkata, "Terima kasih, Dok. Maaf telah merepotkan Dokter."

"Tidak masalah, Bu.” Dokter tersebut tersenyum kecil. “Lagi pula itu semua demi kenyamanan pasien dan lingkungan rumah sakit. Jadi, sudah sewajarnya saya membantu.”

Semburat merah menghiasi pipi Luna, ketika melihat senyuman sang dokter yang membuat jantungnya kembali berdebar kencang. Dia memeluk kembali tubuh sang ibu, untuk menyembunyikan wajahnya yang merona. 

“Luna,” ucap ibunya kemudian. Suara beliau yang lemah terdengar tegas. "Lebih baik kamu pergi dari sini, dan bersembunyi di suatu tempat yang aman. Jangan sampai mereka melihatmu dan membawamu untuk melunasi utang-utang Ibu,"

Luna mengurai pelukannya. Ditatapnya manik mata sang ibusembari berkata dengan tegas, "Tidak. Luna tidak akan meninggalkan Ibu sendirian. Luna akan melindungi Ibu dari mereka."

"Tidak, Luna. Pergilah. Kita tidak punya uang untuk membayar mereka," ujar sang ibu.

Bahkan tangan wanita tua itu memegang dadanya, dan berekspresi seolah sedang menahan rasa sakit.

Sang dokter bergegas menghampirinya. Dia mengetahui keadaan pasiennya yang sedang lemah dan belum stabil. 

"Sebaiknya Ibu berbaring. Saya akan memeriksa Ibu kembali," perintah sang dokter seraya memakai stetoskopnya. 

Wanita tua itu tidak menurut. Dia masih berusaha membuat putrinya pergi dari sisinya. 

"Pergilah. Cepat pergi dari sini," ucapnya dengan susah payah, dan berlinang air mata.

"Saya akan membayar utang kalian. Jadi, sebaiknya Ibu segera berbaring, dan biarkan anak Ibu tetap menemani di sini," ujar sang dokter dengan tegas.

Seketika sepasang ibu dan putrinya menatap ke arah sang dokter, seolah tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. 

Melihat kedua wanita yang berbeda usia itu menatap seolah ingin bertanya padanya, sang dokter pun kembali berkata,

"Saya akan melunasi utang kalian, dengan syarat anak Ibu harus memenuhi keinginan istri saya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status