Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat. Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara. "Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu. 'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya. Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di balik pintu tersebut. Seketika wajah gadis yang memakai baju pasien berwarna baby pink itu pun memerah. Tanpa sadar, pandangan matanya tertuju pada wajah tampan sang dokter yang mampu menghipnotisnya. "Kenapa diam? Cepatlah keluar! Jangan membuat semua orang menunggumu!" gertak sang dokter dengan suara lirih, tapi tegas dalam pelafalannya. Seketika Luna terhenyak dan menerobos keluar ruangan tersebut dengan menyingkirkan tubuh sang dokter yang menghalangi pintu. Dokter Kenzo menatap heran pada punggung gadis tersebut, seraya bergumam, "Dasar gadis aneh. Sialnya lagi aku akan sering bertemu dengannya." "Kenapa menatapnya seperti itu?" tanya Serena seraya tersenyum pada suaminya. Dokter Kenzo memaksakan senyumnya, sembari berjalan menghampiri sang wanita pujaan hati. "Dia gadis yang aneh," ucapnya setelah berdiri di sebelah sang istri. Serena tersenyum lega melihat suaminya tidak tertarik sedikit pun pada Luna yang nantinya akan sering bertemu dengan sang suami. Tentunya selama masa kontrak mereka berlangsung. Selang beberapa saat kemudian, datanglah Luna dengan ditemani seorang dokter untuk menemui sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tunggu VIP. "Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Serena seolah tidak sabar mendengarkannya. Dokter wanita yang berdiri di sebelah Luna, tersenyum padanya, dan berkata, "Tidak ada masalah. Semuanya baik-baik saja." Kemudian sang dokter wanita tersebut beralih menatap ke arah Dokter Kenzo. "Dokter Kenzo, saya rasa kita bisa melakukannya saat ini juga," tutur sang dokter wanita dengan serius. "Baiklah. Kita lakukan sekarang juga," ujar Dokter Kenzo dengan menatap tegas pada dokter wanita tersebut. Serena tersenyum membayangkan keberhasilan rencana mereka untuk mengambil hak sang suami dari keluarganya. Tidak hanya itu saja, dia pun merasa bahagia membayangkan adanya seorang bayi dalam gendongannya yang diakui sebagai anak mereka. Berbeda dengan Luna. Gadis lugu tersebut merasa kaget dan takut mendengar keputusan sang dokter. Jantungnya berdegup dengan kencang, dan hanya bisa merintih dalam hatinya. 'Bagaimana ini? Kenapa semuanya begitu mendadak? Apa aku siap menjalani semua ini? Apa aku bisa melakukannya?' "Berhenti!" Seketika seruan seorang pria yang bersuara berat, telah mengalihkan pandangan mereka semua padanya. "Batalkan apa yang akan kalian lakukan saat ini! Kakek tidak akan menerima bayi itu jika dihasilkan dari program inseminasi buatan. Kakek hanya akan mengakui bayi yang dilahirkan dari hubungan alami seorang suami dan istri dengan penuh cinta." "Tapi, Kek--" "Tidak usah membantahku, Kenzo! Ini adalah persyaratan dari Kakek padamu. Jika kalian tetap melanjutkan program ini, maka Kakek sendiri yang akan melaporkannya pada polisi. Bukankah kalian tahu betul jika ini melanggar hukum?! Negara kita tidak membenarkan seorang wanita untuk menjadi ibu pengganti dan menyerahkan bayinya pada mereka yang telah melakukan perjanjian dengannya." Seketika situasi menegang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan ancaman dari sang Presdir Metro Healthy Hospital, Ron Matteo. Terlebih lagi pria yang sudah berumur itu terkenal akan ketegasannya. Tatapan mata Ron mengisyaratkan kebengisan seorang pemimpin yang mampu mengintimidasi semua orang di bawah kekuasaannya. Dan sikap itulah yang ingin diwariskannya pada Kenzo, cucu sematawayangnya. Bukan hanya itu saja, kekuasaan dan semua aset berharganya ingin diberikan pada sang cucu dengan syarat dan ketentuan yang telah dibuat olehnya. Serena pun tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan terlihat gurat kekecewaan yang tersirat pada wajah cantiknya. Berbeda dengan Luna. Gadis cantik nan lugu itu beringsut ketakutan melihat kemarahan dari seorang kakek yang sempat menatap tajam padanya. Semua pihak rumah sakit yang berada di dalam ruangan tersebut pun berpamitan pada sang Presdir untuk kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Tak terkecuali Dokter Sani yang hendak melakukan program tersebut pada Luna. "Bagaimana Kenzo bisa melakukan keinginan Kakek jika Kakek sendiri yang menghentikan semuanya?" tutur Kenzo dengan tatapan memohon pada pria tua tersebut. Smirk sang kakek membuat Kenzo merasa kesal. Bahkan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk bisa menaklukan syarat yang diajukan oleh pria tua yang sangat berkuasa itu, agar bisa mendapatkan semua haknya sebagai cucu dari keluarga Matteo. Pria beruban tersebut menatap ke arah Luna yang terlihat ketakutan padanya. Dari mata almond sang gadis, dia bisa melihat kejujuran dan kelembutan hatinya. "Kenapa tidak kamu nikahi saja dia?" Semua mata tertuju pada Luna, sehingga membuat gadis yang memakai baju pasien tersebut menunduk ketakutan. Kedua tangannya yang gemetar, mencengkeram ujung bajunya, seolah sedang mencari pegangan untuk perlindungannya. "Apa maksud Kakek?!" sentak Kenzo dengan menatap marah pada pria tua yang ada di hadapannya. "Sederhana saja, Kenzo. Seperti yang kamu tahu, Kakek sangat menginginkan keturunan darimu sebagai penerus keluarga Matteo nantinya. Dan Kakek rasa semuanya akan kamu dapatkan, jika kamu menikahinya," ujar sang kakek seraya melihat ke arah Luna. "Menikah?!" Semua pasang mata mengarah pada Luna yang seolah menjadi terdakwa saat ini. Rasa tidak percaya diri pun kembali menghampirinya. Ron Matteo, pria tua yang sangat berkuasa itu menatap Kenzo dengan menahan senyum, seolah sedang menantangnya. "Aku akan menikahinya," tegas Kenzo menjawab tantangan dari sang kakek. Pernyataan dari Kenzo membuat sang istri terkesiap. Seketika dia mengalihkan pandangannya pada sang suami. "Sayang, apa maksudmu?!" tanya Serena dengan memicingkan matanya. Tatapan Serena menyadarkan Kenzo akan kekecewaan sang istri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain yang bisa dilakukannya untuk menguasai seluruh aset berharga keluarga Matteo. Kenzo meraih tubuh Serena ke dalam pelukannya, serta berbisik di telinga sang istri. "Maafkan aku, Sayang. Aku melakukan pernikahan ini hanya untuk rencana kita saja, tidak untuk memberikan hati dan cintaku padanya. Setelah bayi kita lahir, maka perjanjian kita dengannya pun berakhir, dan aku akan menceraikannya. Percayalah padaku." Serena tidak bisa mengatakan apa pun. Pikirannya kacau, dan hatinya bergejolak tidak menyetujui keinginan sang suami. 'Bukan ini yang aku mau. Aku hanya menginginkan bayinya, bukan kehadiran ibunya dalam rumah tanggaku.' Namun, semuanya tetap menjadi suara hati Serena. Dia tidak bisa menerima dan tidak bisa menolaknya. "Segera percepat pernikahan kalian, agar Kakek bisa secepatnya mendapatkan kabar baik dari kalian," tutur sang kakek disertai tawa di akhir ucapannya. Sepeninggalan Ron Matteo dari hadapan mereka, suasana pun menjadi canggung. Hanya ada Kenzo, Serena dan Luna yang saling terdiam membisu dalam ruangan tersebut. Tiba-tiba saja terdengar getaran ponsel yang membelah kesunyian dalam ruangan tunggu VIP. Dokter Kenzo segera mengambil ponsel dari saku celananya, dan bergegas menjawab panggilan telpon tersebut, setelah melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. "Ajak gadis itu makan malam di rumah utama nanti malam. Tapi, sebelumnya kamu harus melamar dia di hadapan orang tuanya." Suara sang kakek pun menghilang setelah mengakhiri panggilan telponnya secara sepihak. "Sudah saya putuskan. Kita akan menikah secepatnya. Saat ini juga, pertemukan saya dengan orang tua kamu, Luna," ujar Kenzo dengan menatap serius pada gadis yang sudah melakukan perjanjian dengannya. "Apa?! Kenapa harus--" "Tidak ada jalan lain!" tegas Kenzo menyahuti sang istri tanpa melihat ke arahnya. "Tapi orang tua saya--" "Pertemukan saya dengan mereka!"Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
"Sayang?!" celetuk Kenzo ketika melihat sang istri berdiri di depan pintu. Serena menatap tajam pada pria yang berstatuskan suami sahnya. Dengan amarahnya yang menggebu, dia melangkah menghampiri mereka. "Apa maksud semua ini?!" tanyanya dengan tatapan yang memperlihatkan kilatan amarahnya. Seketika Kenzo menghempaskan tangan Luna, dan meraih kedua tangan sang istri, berusaha untuk meredamkan amarahnya. "Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku akan menjelaskannya padamu nanti," ucapnya dengan tatapan mengiba. Serena menoleh ke arah Luna, dan menatapnya dengan penuh kebencian. Sontak saja Luna meletakkan kartu yang sedang dipegangnya di atas meja. "Maaf, dok. Saya tidak bisa memakainya." "Kenapa? Kamu tinggal memberikannya saja pada kasir saat membayar," ujar Kenzo seolah tidak terima dengan penolakan calon istri keduanya. Serena menghempaskan dengan keras tangan suaminya. Kedua tangannya berada di depan dada, dan menatap marah pada sang suami. "Apa kamu suda
"Kenapa tidak? Bukankah kamu akan merasa sangat tidak nyaman jika memakai baju pengantin seperti itu?" tanya Serena sembari menunjuk sebuah manekin yang menggunakan pakaian pengantin modern.Hanya dengan mendengarkan perkataan dari istri sang dokter, terlihat sekali kesenjangan sosial di antara mereka. 'Padahal aku ingin sekali memakai gaun itu,' batin Luna seraya menatap kecewa pada manekin tersebut.Meskipun Luna seorang gadis polos dan lugu yang sangat sederhana, tapi dia tetaplah seorang gadis yang mendambakan pernikahan sempurna. Setiap dia melihat pengantin di pelaminan, saat itu juga dia membayangkan sedang bersanding dengan seorang pria tampan yang dicintainya. Tentu saja dengan menggunakan gaun pengantin indah berwarna putih yang sangat cantik dipakainya.Namun, kini semua mimpi dan harapannya hancur. Status gadisnya akan diserahkan untuk Dokter Kenzo, seorang pria yang telah membuat kesepakatan dengannya."Kenapa diam? Ambillah! Cepat pakai ini di ruang ganti!" ujar Serena
Pagi ini Kenzo telah mempersiapkan dirinya menjadi seorang pengantin. Tidak ada persiapan spesial darinya. Baginya pernikahan kedua ini hanyalah formalitas untuk mendapatkan hak warisnya, bukan berdasarkan atas perasaan suka ataupun cintanya pada gadis yang menjadi calon istri keduanya.Balutan setelan jas berwarna putih dari designer ternama, menambah ketampanan wajahnya. Tidak ada yang bisa meragukan pesona dari seorang Kenzo Matteo, calon penguasa keturunan dari keluarga Matteo.Namun, seketika kesempurnaan Kenzo dinodai oleh penampilan calon istri keduanya. Seorang gadis dengan memakai pakaian pengantin yang sederhana, memakai sandal rumahan, rambut panjangnya diikat kuncir kuda, dan wajahnya berhiaskan makeup tebal. Persis sekali seperti seorang badut yang sedang mengamen di jalanan.Serena tersenyum puas melihat betapa hancurnya penampilan calon madunya saat akan melakukan janji pernikahan bersama suaminya. Begitu pula dengan semua orang yang berada di tempat itu. Hanya sekumpul
Dari balik pintu, Serena mencoba mencuri dengar apa yang terjadi di dalam kamar pengantin baru. Dia menempelkan telinga kanannya lekat-lekat, berharap mendengar sesuatu."A-apa yang akan anda lakukan, dok?""Karena kamu telah mempermalukan saya di depan mereka semua, maka kamu harus menerima hukuman dariku," jawab Kenzo sembari tersenyum bengis, layaknya binatang buas yang akan menerkam mangsanya.'Apa? Kenzo benar-benar akan melakukannya? Bukankah dia berjanji padaku untuk tidur bersamaku setelah acara selesai? Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa lupa?' batin Serena memberontak marah, seraya berusaha membuka pintu kamar tersebut.Namun, usahanya sia-sia belaka. Pintu kamar tersebut terkunci secara otomatis, ketika pintu sudah tertutup rapat. "Sial! Kenapa tidak ada yang berpihak padaku?!" Merasa usahanya sia-sia, dia pun kembali menempelkan telinga kanannya pada kamar tersebut. "Aku mohon. Jangan lakukan itu, Ken. Lakukan lain hari saja, agar tidak ada malam pertama untuk pernikahan
"Maafkan Papa, Carla."Tiba-tiba saja terdengar suara pria yang membuat Carla terhenyak dari lamunannya. Wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara yang sangat diyakininya milik Damian, papa tirinya. "Papa," ucapnya lemah sambil memaksakan senyumnya. Damian tersenyum menanggapinya. Pria paruh baya tersebut duduk di samping putri tirinya, dan menatap ke arah yang sama dengannya. "Papa tidak mengira jika kamu sudah mengetahuinya," tukas Damian sembari menatap lurus ke depan."Maafkan Carla, Pa. Bukan maksud Carla untuk menutupi atau berada di pihak Mama. Carla hanya butuh waktu untuk membuktikan kecurigaan Carla selama ini pada Mama," tutur putri tiri Damian dengan penuh penyesalan. Pria paruh baya yang berkarisma itu menoleh ke arah sampingnya, di mana putri tirinya sedang duduk bersamanya. "Kenapa kamu meminta maaf pada Papa? Kamu sama sekali tidak bersalah, Carla. Semua ini terjadi karena Papa. Jadi, jangan menyalahkan atau membenci mamamu."Senyuman Damian yang tulus membuat
Tubuh Kania lemas seketika. Tak pernah sedikit pun dia mengira, jika sang suami mengetahui perselingkuhannya. "Bagaimana bisa itu terjadi?" gumamnya sembari duduk lemas di lantai, dan bersandar pada dinding. "Kenapa, Ma? Apa Mama tidak mengira jika Papa Damian akan mengetahuinya?" tanya Carla dengan sinis. Wanita muda itu menyeringai melihat sang mama lemas tidak berdaya, seolah telah kehilangan semangat hidupnya. Kania menatap kesal pada putri tunggalnya. Bagaimana tidak, Carla yang notabenenya adalah putri kandungnya, malah memihak papa tirinya. "Hilangkan pikiran jelek Mama tentangku. Carla tidak memihak siapa pun, Ma. Carla hanya berada di pihak yang benar. Jika memang Mama sudah tidak mencintai Papa Damian, lebih baik katakan baik-baik padanya, dan mintalah untuk berpisah secara baik-baik pula. Carla ingin hubungan baik kita tetap baik dengan keluarga Matteo," tutur Carla yang mencoba menebak isi hati sang mama ketika melihat tatapan kesalnya. "Sok tahu sekali kamu, Carla! K
Luna terkesiap mendengar pertanyaan dari sang ibu yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Dia tidak menyangka jika ibunya mengetahui tentang buah hatinya bersama dengan Kenzo yang masih dalam kandungannya."I-ibu," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Lidahnya kelu, tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk meneruskan apa yang ingin dikatakannya pada sang ibu.Tangan wanita paruh baya itu bergerak perlahan untuk mengusap air mata putrinya. Dia tersenyum tipis, dan menatap dalam pada kedua mata putri kesayangannya. Sang ibu melihat ada kesedihan yang teramat mendalam pada mata indah tersebut. "Maafkan Ibu, Luna," ucapnya dengan susah payah. "Tidak. Tidak, Bu. Ibu tidak salah," sahut Luna dengan cepat, sembari menggelengkan kepalanya. Tanpa sadar air matanya pun kembali menetes di pipinya. Suasana haru itu berlangsung beberapa saat. Ibu dan anak tersebut saling melepaskan kerinduannya. Luna pun menceritakan semua yang terjadi padanya selama sang ibu berada di rumah sakit. Han
Kenzo dapat melihat kekhawatiran sang istri yang mengarah pada kecemburuan. Pria beristri dua itu tersenyum, dan mendekati sang istri, seraya memperlihatkan layar ponselnya. "Dari rumah sakit, Sayang. Sebentar ya, aku akan menjawab panggilan ini dulu. Siapa tahu panggilan ini sangat penting, dan mungkin saja mereka sedang membutuhkanku," ucapnya dengan lembut, sembari tersenyum pada sang istri. Luna menganggukkan kepalanya. Dia mengijinkan suaminya untuk menjawab panggilan tersebut. Hanya saja, wanita yang sedang hamil itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang suami. Bahkan dia memasang baik-baik indera pendengarnya untuk bisa mendengarkan percakapan suaminya dengan si penelpon. "Apa?!" ujarnya terperanjat kaget, sembari beranjak dari duduknya. Sontak saja Luna terhenyak, dan berusaha untuk mencari tahu dengan mendekati suaminya. "Lalu, bagaimana keadaannya sekarang? Apa ada yang tidak beres?" tanyanya dengan cemas pada seseorang di seberang sana. Kenzo bernafas lega. Ad
Setelah berkali-kali tersedak, Serena masih saja mengalami kesialan. Madam Anna mengharuskannya untuk mencuci peralatan makan yang telah dipakainya. "Sialan! Apa mereka kira aku pembantu?!" umpatnya sambil berjalan menuju dapur. Omelannya turut menyertai sepanjang perjalanannya menuju dapur yang terletak di ujung paling belakang rumah tersebut. Karena sibuknya merangkai umpatan, Serena tidak memperhatikan sekelilingnya. Keadaan lorong dan sekitarnya yang sangat sepi pun tidak disadarinya. Wanita angkuh itu berjalan dengan sangat percaya diri dengan membawa piring yang di atasnya terdapat sendok, garpu, dan juga gelas bekas dipakainya. Bahkan ketika masuk ke dalam dapur yang sunyi itu pun Serena masih saja mengomel tanpa henti. Piring beserta pelengkapnya itu diletakkan dengan keras pada sink pencuci piring, hingga mengeluarkan bunyi yang membuatnya kaget."Apa piringnya pecah?" gumamnya sembari melihat keadaan piring tersebut. Seketika dia tersenyum melihat kondisi piring tersebut
Selama perjalanan, Luna memperlihatkan wajah kesalnya. Di dalam mobil pun dia duduk menjauh dari suaminya. Melihat hal itu, Kenzo tidak tahan. Apalagi dijauhi oleh istri kesayangannya, ibu dari anak-anaknya. Kenzo meraih pinggang sang istri, dan menariknya hingga berdempetan dengannya. Luna terkesiap. Dengan reflek dia menoleh ke arah sang suami. Kedua mata mereka pun saling bertemu."Sayang, jangan kesal seperti ini. Aku sangat tersiksa," ucap Kenzo sembari mengiba dengan tatapan matanya.Hati Luna benar-benar tidak tega melihatnya. Rasa cintanya pada sang suami begitu besar, sehingga mengalahkan rasa kesalnya pada pria yang berstatus sebagai suaminya. "Aku mohon," sambungnya dengan penuh harap.Hati Luna bergetar. Egonya mengatakan untuk tetap bersikap kesal, dan mengacuhkan suaminya. Akan tetapi, dia tidak bisa membohongi hatinya. Cinta seorang wanita yang telah mengandung buah hati dari pria tersebut, membuatnya luluh. Tanpa sadar dia pun menganggukkan kepalanya.Seketika senyum
Kenzo menghempaskan tangan istri pertamanya, dan menghampiri istri keduanya. Pria beristri dua tersebut memeluk erat istri keduanya, dan menatap tajam pada istri pertamanya. "Luna akan tetap bersamaku. Di mana pun dia berada, aku akan selalu ada di sampingnya," ucapnya dengan tegas. Serena terperangah melihatnya. Kini, dia bagaikan seorang istri yang terbuang. Parahnya lagi posisinya telah digantikan oleh madunya. Semua orang menatapnya seolah sedang menertawakannya. "Baguslah. Ayo kita pulang sekarang. Badanku sudah sangat lelah," ujar Kania sembari memijit tengkuk lehernya. "Tetap di tempat! Semua sudah diputuskan. Hukuman kalian bertiga harus tetap dilakukan hingga selesai. Jika kalian tidak melakukan hukuman dengan baik, maka akan ditambah satu hari lagi untuk setiap kesalahan," tutur Ron Matteo dengan tegas. "Tapi, Pa--" "Diam!" bentak Ron Matteo menyahuti sang menantu yang ingin memprotesnya. Seketika Kania bersembunyi di belakang tubuh suaminya. Tangannya mence
"Ayo turun!" bentak seorang polisi yang membukakan pintu mobil untuk mereka. Kania, Serena, dan Carla turun bergantian dari dalam mobil. Kaki mereka terasa berat, sehingga enggan melangkah. "Kenapa masih berdiri di sini?!" tanya polisi tersebut dengan tegas.Ketiga wanita itu saling mendekat, merasa takut akan wajah garang polisi yang menggertak mereka. "Cepat jalan!" bentak polisi tersebut dengan mempertegas wajah garangnya. Sontak saja mereka bertiga saling mendorong untuk berjalan terlebih dahulu. Tidak hanya itu saja, bahkan suara mereka layaknya lebah yang mendengung untuk saling memerintah."Sepertinya peluru ini tidak akan meleset, meskipun dari jarak jauh," ujar sang polisi dengan meninggikan suaranya. Seketika badan mereka menegang. Saat itu juga ketiga wanita tersebut berjalan cepat, seolah sedang berlomba menuju bangunan yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Para polisi terkekeh melihat tingkah ketiga wanita yang akan dihukum oleh keluarga Matteo, kelua
Seketika senjata yang dipegang oleh beberapa polisi mengarah pada Luna, wanita yang berdiri di samping Kenzo, suami Serena. Sontak saja Luna beringsut ketakutan. Wanitayang sedang hamil tersebut mencengkeram tangan suaminya, dan berpegangan erat padanya."Turunkan senjata kalian!" perintah Kenzo dengan tegas pada polisi-polisi tersebut. Sebagian polisi masih mengarahkan senjatanya pada ketiga wanita yang telah membuat keributan dalam rumah utama keluarga Matteo, dan sebagian lagi mengarahkan senjatanya pada Luna."Apa kalian tuli?! Turunkan senjata kalian! Wanita ini istriku! Dia sedang mengandung anakku!" bentak Kenzo sambil merangkul tubuh istri kecilnya. Ron Matteo memberikan tanda pada sang putra untuk menyelesaikan kekacauan yang ada. Damian pun mengerti. Pria paruh baya tersebut berjalan dengan penuh wibawa mendekati salah satu polisi yang mengarahkan senjatanya ke arah Luna. "Turunkan senjata kalian. Dia menantuku, dan sedang mengandung keturunan Matteo," perintahnya dengan