Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat. Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara. "Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu. 'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya. Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di balik pintu tersebut. Seketika wajah gadis yang memakai baju pasien berwarna baby pink itu pun memerah. Tanpa sadar, pandangan matanya tertuju pada wajah tampan sang dokter yang mampu menghipnotisnya. "Kenapa diam? Cepatlah keluar! Jangan membuat semua orang menunggumu!" gertak sang dokter dengan suara lirih, tapi tegas dalam pelafalannya. Seketika Luna terhenyak dan menerobos keluar ruangan tersebut dengan menyingkirkan tubuh sang dokter yang menghalangi pintu. Dokter Kenzo menatap heran pada punggung gadis tersebut, seraya bergumam, "Dasar gadis aneh. Sialnya lagi aku akan sering bertemu dengannya." "Kenapa menatapnya seperti itu?" tanya Serena seraya tersenyum pada suaminya. Dokter Kenzo memaksakan senyumnya, sembari berjalan menghampiri sang wanita pujaan hati. "Dia gadis yang aneh," ucapnya setelah berdiri di sebelah sang istri. Serena tersenyum lega melihat suaminya tidak tertarik sedikit pun pada Luna yang nantinya akan sering bertemu dengan sang suami. Tentunya selama masa kontrak mereka berlangsung. Selang beberapa saat kemudian, datanglah Luna dengan ditemani seorang dokter untuk menemui sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tunggu VIP. "Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Serena seolah tidak sabar mendengarkannya. Dokter wanita yang berdiri di sebelah Luna, tersenyum padanya, dan berkata, "Tidak ada masalah. Semuanya baik-baik saja." Kemudian sang dokter wanita tersebut beralih menatap ke arah Dokter Kenzo. "Dokter Kenzo, saya rasa kita bisa melakukannya saat ini juga," tutur sang dokter wanita dengan serius. "Baiklah. Kita lakukan sekarang juga," ujar Dokter Kenzo dengan menatap tegas pada dokter wanita tersebut. Serena tersenyum membayangkan keberhasilan rencana mereka untuk mengambil hak sang suami dari keluarganya. Tidak hanya itu saja, dia pun merasa bahagia membayangkan adanya seorang bayi dalam gendongannya yang diakui sebagai anak mereka. Berbeda dengan Luna. Gadis lugu tersebut merasa kaget dan takut mendengar keputusan sang dokter. Jantungnya berdegup dengan kencang, dan hanya bisa merintih dalam hatinya. 'Bagaimana ini? Kenapa semuanya begitu mendadak? Apa aku siap menjalani semua ini? Apa aku bisa melakukannya?' "Berhenti!" Seketika seruan seorang pria yang bersuara berat, telah mengalihkan pandangan mereka semua padanya. "Batalkan apa yang akan kalian lakukan saat ini! Kakek tidak akan menerima bayi itu jika dihasilkan dari program inseminasi buatan. Kakek hanya akan mengakui bayi yang dilahirkan dari hubungan alami seorang suami dan istri dengan penuh cinta." "Tapi, Kek--" "Tidak usah membantahku, Kenzo! Ini adalah persyaratan dari Kakek padamu. Jika kalian tetap melanjutkan program ini, maka Kakek sendiri yang akan melaporkannya pada polisi. Bukankah kalian tahu betul jika ini melanggar hukum?! Negara kita tidak membenarkan seorang wanita untuk menjadi ibu pengganti dan menyerahkan bayinya pada mereka yang telah melakukan perjanjian dengannya." Seketika situasi menegang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan ancaman dari sang Presdir Metro Healthy Hospital, Ron Matteo. Terlebih lagi pria yang sudah berumur itu terkenal akan ketegasannya. Tatapan mata Ron mengisyaratkan kebengisan seorang pemimpin yang mampu mengintimidasi semua orang di bawah kekuasaannya. Dan sikap itulah yang ingin diwariskannya pada Kenzo, cucu sematawayangnya. Bukan hanya itu saja, kekuasaan dan semua aset berharganya ingin diberikan pada sang cucu dengan syarat dan ketentuan yang telah dibuat olehnya. Serena pun tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan terlihat gurat kekecewaan yang tersirat pada wajah cantiknya. Berbeda dengan Luna. Gadis cantik nan lugu itu beringsut ketakutan melihat kemarahan dari seorang kakek yang sempat menatap tajam padanya. Semua pihak rumah sakit yang berada di dalam ruangan tersebut pun berpamitan pada sang Presdir untuk kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Tak terkecuali Dokter Sani yang hendak melakukan program tersebut pada Luna. "Bagaimana Kenzo bisa melakukan keinginan Kakek jika Kakek sendiri yang menghentikan semuanya?" tutur Kenzo dengan tatapan memohon pada pria tua tersebut. Smirk sang kakek membuat Kenzo merasa kesal. Bahkan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk bisa menaklukan syarat yang diajukan oleh pria tua yang sangat berkuasa itu, agar bisa mendapatkan semua haknya sebagai cucu dari keluarga Matteo. Pria beruban tersebut menatap ke arah Luna yang terlihat ketakutan padanya. Dari mata almond sang gadis, dia bisa melihat kejujuran dan kelembutan hatinya. "Kenapa tidak kamu nikahi saja dia?" Semua mata tertuju pada Luna, sehingga membuat gadis yang memakai baju pasien tersebut menunduk ketakutan. Kedua tangannya yang gemetar, mencengkeram ujung bajunya, seolah sedang mencari pegangan untuk perlindungannya. "Apa maksud Kakek?!" sentak Kenzo dengan menatap marah pada pria tua yang ada di hadapannya. "Sederhana saja, Kenzo. Seperti yang kamu tahu, Kakek sangat menginginkan keturunan darimu sebagai penerus keluarga Matteo nantinya. Dan Kakek rasa semuanya akan kamu dapatkan, jika kamu menikahinya," ujar sang kakek seraya melihat ke arah Luna. "Menikah?!" Semua pasang mata mengarah pada Luna yang seolah menjadi terdakwa saat ini. Rasa tidak percaya diri pun kembali menghampirinya. Ron Matteo, pria tua yang sangat berkuasa itu menatap Kenzo dengan menahan senyum, seolah sedang menantangnya. "Aku akan menikahinya," tegas Kenzo menjawab tantangan dari sang kakek. Pernyataan dari Kenzo membuat sang istri terkesiap. Seketika dia mengalihkan pandangannya pada sang suami. "Sayang, apa maksudmu?!" tanya Serena dengan memicingkan matanya. Tatapan Serena menyadarkan Kenzo akan kekecewaan sang istri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain yang bisa dilakukannya untuk menguasai seluruh aset berharga keluarga Matteo. Kenzo meraih tubuh Serena ke dalam pelukannya, serta berbisik di telinga sang istri. "Maafkan aku, Sayang. Aku melakukan pernikahan ini hanya untuk rencana kita saja, tidak untuk memberikan hati dan cintaku padanya. Setelah bayi kita lahir, maka perjanjian kita dengannya pun berakhir, dan aku akan menceraikannya. Percayalah padaku." Serena tidak bisa mengatakan apa pun. Pikirannya kacau, dan hatinya bergejolak tidak menyetujui keinginan sang suami. 'Bukan ini yang aku mau. Aku hanya menginginkan bayinya, bukan kehadiran ibunya dalam rumah tanggaku.' Namun, semuanya tetap menjadi suara hati Serena. Dia tidak bisa menerima dan tidak bisa menolaknya. "Segera percepat pernikahan kalian, agar Kakek bisa secepatnya mendapatkan kabar baik dari kalian," tutur sang kakek disertai tawa di akhir ucapannya. Sepeninggalan Ron Matteo dari hadapan mereka, suasana pun menjadi canggung. Hanya ada Kenzo, Serena dan Luna yang saling terdiam membisu dalam ruangan tersebut. Tiba-tiba saja terdengar getaran ponsel yang membelah kesunyian dalam ruangan tunggu VIP. Dokter Kenzo segera mengambil ponsel dari saku celananya, dan bergegas menjawab panggilan telpon tersebut, setelah melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. "Ajak gadis itu makan malam di rumah utama nanti malam. Tapi, sebelumnya kamu harus melamar dia di hadapan orang tuanya." Suara sang kakek pun menghilang setelah mengakhiri panggilan telponnya secara sepihak. "Sudah saya putuskan. Kita akan menikah secepatnya. Saat ini juga, pertemukan saya dengan orang tua kamu, Luna," ujar Kenzo dengan menatap serius pada gadis yang sudah melakukan perjanjian dengannya. "Apa?! Kenapa harus--" "Tidak ada jalan lain!" tegas Kenzo menyahuti sang istri tanpa melihat ke arahnya. "Tapi orang tua saya--" "Pertemukan saya dengan mereka!"Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
"Sayang?!" celetuk Kenzo ketika melihat sang istri berdiri di depan pintu. Serena menatap tajam pada pria yang berstatuskan suami sahnya. Dengan amarahnya yang menggebu, dia melangkah menghampiri mereka. "Apa maksud semua ini?!" tanyanya dengan tatapan yang memperlihatkan kilatan amarahnya. Seketika Kenzo menghempaskan tangan Luna, dan meraih kedua tangan sang istri, berusaha untuk meredamkan amarahnya. "Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku akan menjelaskannya padamu nanti," ucapnya dengan tatapan mengiba. Serena menoleh ke arah Luna, dan menatapnya dengan penuh kebencian. Sontak saja Luna meletakkan kartu yang sedang dipegangnya di atas meja. "Maaf, dok. Saya tidak bisa memakainya." "Kenapa? Kamu tinggal memberikannya saja pada kasir saat membayar," ujar Kenzo seolah tidak terima dengan penolakan calon istri keduanya. Serena menghempaskan dengan keras tangan suaminya. Kedua tangannya berada di depan dada, dan menatap marah pada sang suami. "Apa kamu suda
"Kenapa tidak? Bukankah kamu akan merasa sangat tidak nyaman jika memakai baju pengantin seperti itu?" tanya Serena sembari menunjuk sebuah manekin yang menggunakan pakaian pengantin modern.Hanya dengan mendengarkan perkataan dari istri sang dokter, terlihat sekali kesenjangan sosial di antara mereka. 'Padahal aku ingin sekali memakai gaun itu,' batin Luna seraya menatap kecewa pada manekin tersebut.Meskipun Luna seorang gadis polos dan lugu yang sangat sederhana, tapi dia tetaplah seorang gadis yang mendambakan pernikahan sempurna. Setiap dia melihat pengantin di pelaminan, saat itu juga dia membayangkan sedang bersanding dengan seorang pria tampan yang dicintainya. Tentu saja dengan menggunakan gaun pengantin indah berwarna putih yang sangat cantik dipakainya.Namun, kini semua mimpi dan harapannya hancur. Status gadisnya akan diserahkan untuk Dokter Kenzo, seorang pria yang telah membuat kesepakatan dengannya."Kenapa diam? Ambillah! Cepat pakai ini di ruang ganti!" ujar Serena
Pagi ini Kenzo telah mempersiapkan dirinya menjadi seorang pengantin. Tidak ada persiapan spesial darinya. Baginya pernikahan kedua ini hanyalah formalitas untuk mendapatkan hak warisnya, bukan berdasarkan atas perasaan suka ataupun cintanya pada gadis yang menjadi calon istri keduanya.Balutan setelan jas berwarna putih dari designer ternama, menambah ketampanan wajahnya. Tidak ada yang bisa meragukan pesona dari seorang Kenzo Matteo, calon penguasa keturunan dari keluarga Matteo.Namun, seketika kesempurnaan Kenzo dinodai oleh penampilan calon istri keduanya. Seorang gadis dengan memakai pakaian pengantin yang sederhana, memakai sandal rumahan, rambut panjangnya diikat kuncir kuda, dan wajahnya berhiaskan makeup tebal. Persis sekali seperti seorang badut yang sedang mengamen di jalanan.Serena tersenyum puas melihat betapa hancurnya penampilan calon madunya saat akan melakukan janji pernikahan bersama suaminya. Begitu pula dengan semua orang yang berada di tempat itu. Hanya sekumpul
Dari balik pintu, Serena mencoba mencuri dengar apa yang terjadi di dalam kamar pengantin baru. Dia menempelkan telinga kanannya lekat-lekat, berharap mendengar sesuatu."A-apa yang akan anda lakukan, dok?""Karena kamu telah mempermalukan saya di depan mereka semua, maka kamu harus menerima hukuman dariku," jawab Kenzo sembari tersenyum bengis, layaknya binatang buas yang akan menerkam mangsanya.'Apa? Kenzo benar-benar akan melakukannya? Bukankah dia berjanji padaku untuk tidur bersamaku setelah acara selesai? Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa lupa?' batin Serena memberontak marah, seraya berusaha membuka pintu kamar tersebut.Namun, usahanya sia-sia belaka. Pintu kamar tersebut terkunci secara otomatis, ketika pintu sudah tertutup rapat. "Sial! Kenapa tidak ada yang berpihak padaku?!" Merasa usahanya sia-sia, dia pun kembali menempelkan telinga kanannya pada kamar tersebut. "Aku mohon. Jangan lakukan itu, Ken. Lakukan lain hari saja, agar tidak ada malam pertama untuk pernikahan
Seperti biasa, Serena tidak pernah mau kalah atau pun mengalah dari siapa pun. Dia tetap saja pada keyakinannya bahwa dirinya positif hamil. Bahkan suaminya sendiri sebagai seorang dokter yang dikenal hebat, telah menjelaskan padanya. Akan tetapi, semuanya percuma. Serena tetap berkeyakinan bahwa dirinya sedang hamil saat ini.Suasana ruangan Dokter Kenzo menjadi hening sejak Dokter Ludwig berpamitan keluar dari tempat itu. Kenzo sengaja memberikan waktu untuk sang istri menenangkan dirinya, setelah beberapa kali tidak bisa dibujuk olehnya. Istri pertamanya semakin marah padanya."Harusnya kamu membelaku! Bukan membela dokter abal-abal dan orang-orang bodoh di laboratorium rumah sakit ini!" bentak Serena dengan kekesalannya yang menjadi-jadi."Suami macam apa yang diam saja melihat istrinya dipermalukan?!" sambungnya dengan menatap sinis pada suaminya."Jangan-jangan kamu tidak suka dengan kehamilanku ini," imbuhnya dengan ketus menyudutkan sang suami yang masih ditatap sinis olehnya.
Kenzo sudah membuat keputusan. Setelah meminum obat dari Dokter Lu dwig untuk mengatasi mualnya, kini sang dokter kembali ke ruangannya. Dengan gerakan cepat, dia membuka semua jendela kaca, dan menyemprot ruangan tersebut menggunakan pengharum ruangan yang mempunyai wangi lembut layaknya Luna, istri keduanya. Serena menatap heran pada suaminya. Baru kali ini dia melihat sang suami seperti itu. Bahkan dia sangat penasaran dengan apa yang sedang dirasakan oleh suaminya. "Sayang, sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu bersikap seperti ini?" tanyanya sambil berjalan menghampiri sang suami."Sepertinya aku sedang mengalami mual di pagi hari, seperti yang biasa dialami oleh ibu hamil," jawab Kenzo sambil berjalan menuju meja kerjanya.Serena mengernyitkan dahinya. Dia memperhatikan sang suami dari ujung kaki hingga ujung kepalanya, seolah sedang mencari sesuatu."Tapi, kamu seorang pria, Sayang. Bagaimana mungkin kamu bisa mengalaminya?" "Buktinya aku sedang mengalaminya. Buka
Kenzo masih terngiang pertanyaan yang diberikan oleh sang nenek padanya. Dia sendiri tidak tahu sampai kapan bisa menyembunyikan istri keduanya di dalam kamar tamu yang dikhususkan untuk kakeknya ketika berkunjung ke rumahnya. "Sayang, kenapa diam? Apa ada masalah?" tanya Serena ketika melihat sang suami sedang duduk melamun di kursi kerja dalam ruangannya.Seketika Kenzo tersadar. Dia tersenyum pada sang istri, berusaha untuk mengalihkan perhatiannya. "Tidak. Aku hanya tidak sabar menunggu hasil pemeriksaan kehamilanmu tadi," jawabnya sambil berdiri dari duduknya. Sang dokter berjalan menghampiri istrinya yang sedang duduk di sofa. Dia duduk di sebelah istri pertamanya yang baru saja melakukan beberapa tes kehamilan di rumah sakit tersebut.Serena bergeser sehingga duduknya merapat dengan suaminya. Kemudian, dia bersandar pada tubuh sang suami, dan meletakkan kepalanya pada pundak suaminya."Aku juga tidak sabar menggendong bayi kita," ucapnya sambil tersenyum.Kenzo tersenyum get
Serena terdiam melihat isi dalam salah satu kamar tamu yang dimasukinya. Dia sama sekali tidak menyangka jika bisa menemukan semua itu di kamar tersebut. Perlahan kakinya melangkah menghampiri ranjang yang ada di sana."Apa semua ini nyata?" gumamnya sembari melihat apa yang ada di hadapannya.Perlahan tangannya bergerak menyentuh barang-barang yang ada di atas ranjang. Matanya berkaca-kaca ketika memegang beberapa baju bayi dan perlengkapan bayi yang tertata rapi di sana. "Ternyata Kenzo meletakkan semuanya di sini. Aku pikir dia sudah membuang semua barang-barang ini," gumam Serena seraya tersenyum bahagia, seolah sedang menemukan sesuatu yang berharga. Setelah itu pandangannya beralih pada ranjang bayi yang berada di dekat ranjang tersebut. Dia beranjak dari duduknya, dan menghampirinya. Matanya berbinar melihat mainan yang tergantung di atas ranjang bayi itu.Tanpa sadar tangannya menyentuh mainan tersebut, sehingga bergerak dan mengeluarkan suara musik. Sama seperti dahulu, Ser
"Sayang, bangun. Sudah pagi," bisik Luna di telinga sang suami. Kenzo hanya diam, tanpa bergerak atau pun merespon dengan kata-kata. Kedua matanya masih terpejam, layaknya orang yang masih sibuk di alam mimpinya. "Apa dia masih tidur?" gumamnya sambil menatap kagum pada wajah tampan pria yang ada di hadapannya. Tanpa sadar tangannya menyentuh wajah suaminya. Wajah tampan yang bak pahatan sempurna itu, membuat Luna tidak bisa menahan keinginannnya. Jari tangannya bergerak menyusuri lekuk wajah sang suami, layaknya sedang menggambar pada sebuah kanvas. Kenzo sebisa mungkin menahan gerakan jemari lentik sang istri yang bergerak halus dari alis, hidung, dan berakhir di bibir. Lagi-lagi dia tidak bisa menahan keinginannya. Bibir pink alami milik sang suami membuatnya terpesona, sehingga ingin merasakan kembali sentuhan kenyal dari bibir tersebut. Perlahan wajah Luna bergerak mendekati wajah suaminya, seolah se
Ranjang di kamar tersebut berantakan. Kain berwarna putih yang menutupi ranjang tersebut menjadi kusut, sehingga membuat Serena berpikiran buruk pada si pemilik kamar dan suaminya. Kemudian dia melihat piring dan gelas bekas yang sudah kosong."Apa-apaan ini?!" ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Apa yang sudah mereka lakukan?!" sambungnya dengan menatap marah pada ranjang yang ada di hadapannya.Matanya kembali menyusuri kamar berukuran kecil yang sangat anti untuk dimasukinya. Dia kembali kesal, karena tidak menemukan apa yang dicarinya. Dengan kemarahan yang telah merajai hatinya, Serena keluar dari kamar tersebut untuk mencari suaminya.Pikirannya kalut, bayangan antara madunya bersama dengan sang suami yang sedang bersenang-senang dalam kamar tersebut, senantiasa mengganggunya. Terlebih lagi si pemilik kamar dan juga suaminya tidak ada dalam kamar yang didatanginya."Ke mana mereka sebenarnya?""Apa mereka berdua sedang bersama?"Pertanyaan-pertanyaan itu han
"Tuan, kamarnya sudah siap. Apa ada hal lain lagi yang perlu saya bantu?" tanya seorang wanita dengan suara serak khas nenek-nenek.Kenzo menoleh ke arah sumber suara, dan tersenyum pada sosok wanita tua yang sedang berdiri di depan pintu."Terima kasih, Nek. Setelah Luna menghabiskan semua makanan, buah-buahan dan susunya, saya akan membawanya ke sana.""Ke mana?" tanya Luna penasaran.Kenzo tersenyum pada sang istri, dan menyuapkan makanan yang ada di piring."Habiskan dulu makanannya. Setelah itu, aku akan memberitahukan sesuatu padamu," tutur Kenzo yang dengan telaten menyuapi sang istri.Wanita tua tersebut berjalan menghampiri mereka, dan menunduk tepat di samping tuannya yang sudah dianggap cucunya sendiri."Apa Nenek perlu membawakan semua pakaian Luna ke kamar yang akan ditempatinya?" bisik sang nenek di telinga Kenzo.Luna memperhatikan mereka berdua yang terlihat seolah sedang menyembunyikan sesuatu. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya sembari menatap suaminya dan
Luna memegang tangan suaminya yang sedang menyentuh wajahnya. "Jangan ambil anakku!" serunya dengan mata terpejam.Seketika Kenzo terhenyak, dan memegang tangan sang istri yang masih dalam kondisi matanya terpejam. "Sayang, ada apa?" tanyanya dengan lembut."Pergi!" seru Luna seraya menarik tangannya dari genggaman suaminya.Namun, Kenzo tidak menyerah begitu saja. Dia tidak terima diperlakukan seperti itu oleh istri keduanya yang kini telah mempunyai tempat tersendiri dalam hatinya. Kenzo meraih kembali tangan sang istri, dan memegangnya dengan sangat erat. "Pergi dari sini!" seru Luna kembali dengan mata terpejam, sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman suaminya."Sayang, ini aku, Kenzo, suamimu!" ucap Kenzo dengan tegas, berusaha untuk menyadarkan sang istri.Mendengar nama sang suami, Luna semakin memberontak. Dia tidak hanya berusaha untuk melepaskan tangannya, tapi dia juga berusaha untuk menyingkirkan sang suami yang semakin menempel padanya."Pergi!""Jangan ga
"Tidurlah. Istirahatkan tubuh dan pikiranmu," tutur Carla sambil menyelimuti Luna yang terbaring di ranjangnya.Luna memaksakan senyumnya, dan memegang tangan Carla yang selimutnya. "Terima kasih, Carla. Kamu selalu ada untukku, meskipun aku tahu jika kamu tidak memihak ku," ucap Luna dengan lemah."Apa maksudmu, Luna?!" tanya Carla dengan menunjukkan ekspresi marahnya.Luna memaksakan senyumnya yang terlihat sangat lemah. Wanita yang sedang hamil itu menggeleng lemah, seolah tidak bertenaga.Carla menghela nafasnya melihat istri kedua saudara tirinya yang terlihat begitu menyedihkan. Dia duduk di tepi ranjang, dan memegang tangan Luna."Aku tidak memihak siapa pun. Tidak memihak Serena atau pun kamu. Aku hanya memihak pada kebenaran," tuturnya dengan serius.Luna hanya diam, tidak berkomentar apa pun untuk menanggapi perkataan saudara tiri suaminya. Dia tidak memiliki banyak tenaga untuk melakukan apa pun saat ini. Yang bisa dilakukannya hanyalah memejamkan matanya."Kamu harus ber