Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat. Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara. "Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu. 'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya. Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di balik pintu tersebut. Seketika wajah gadis yang memakai baju pasien berwarna baby pink itu pun memerah. Tanpa sadar, pandangan matanya tertuju pada wajah tampan sang dokter yang mampu menghipnotisnya. "Kenapa diam? Cepatlah keluar! Jangan membuat semua orang menunggumu!" gertak sang dokter dengan suara lirih, tapi tegas dalam pelafalannya. Seketika Luna terhenyak dan menerobos keluar ruangan tersebut dengan menyingkirkan tubuh sang dokter yang menghalangi pintu. Dokter Kenzo menatap heran pada punggung gadis tersebut, seraya bergumam, "Dasar gadis aneh. Sialnya lagi aku akan sering bertemu dengannya." "Kenapa menatapnya seperti itu?" tanya Serena seraya tersenyum pada suaminya. Dokter Kenzo memaksakan senyumnya, sembari berjalan menghampiri sang wanita pujaan hati. "Dia gadis yang aneh," ucapnya setelah berdiri di sebelah sang istri. Serena tersenyum lega melihat suaminya tidak tertarik sedikit pun pada Luna yang nantinya akan sering bertemu dengan sang suami. Tentunya selama masa kontrak mereka berlangsung. Selang beberapa saat kemudian, datanglah Luna dengan ditemani seorang dokter untuk menemui sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tunggu VIP. "Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Serena seolah tidak sabar mendengarkannya. Dokter wanita yang berdiri di sebelah Luna, tersenyum padanya, dan berkata, "Tidak ada masalah. Semuanya baik-baik saja." Kemudian sang dokter wanita tersebut beralih menatap ke arah Dokter Kenzo. "Dokter Kenzo, saya rasa kita bisa melakukannya saat ini juga," tutur sang dokter wanita dengan serius. "Baiklah. Kita lakukan sekarang juga," ujar Dokter Kenzo dengan menatap tegas pada dokter wanita tersebut. Serena tersenyum membayangkan keberhasilan rencana mereka untuk mengambil hak sang suami dari keluarganya. Tidak hanya itu saja, dia pun merasa bahagia membayangkan adanya seorang bayi dalam gendongannya yang diakui sebagai anak mereka. Berbeda dengan Luna. Gadis lugu tersebut merasa kaget dan takut mendengar keputusan sang dokter. Jantungnya berdegup dengan kencang, dan hanya bisa merintih dalam hatinya. 'Bagaimana ini? Kenapa semuanya begitu mendadak? Apa aku siap menjalani semua ini? Apa aku bisa melakukannya?' "Berhenti!" Seketika seruan seorang pria yang bersuara berat, telah mengalihkan pandangan mereka semua padanya. "Batalkan apa yang akan kalian lakukan saat ini! Kakek tidak akan menerima bayi itu jika dihasilkan dari program inseminasi buatan. Kakek hanya akan mengakui bayi yang dilahirkan dari hubungan alami seorang suami dan istri dengan penuh cinta." "Tapi, Kek--" "Tidak usah membantahku, Kenzo! Ini adalah persyaratan dari Kakek padamu. Jika kalian tetap melanjutkan program ini, maka Kakek sendiri yang akan melaporkannya pada polisi. Bukankah kalian tahu betul jika ini melanggar hukum?! Negara kita tidak membenarkan seorang wanita untuk menjadi ibu pengganti dan menyerahkan bayinya pada mereka yang telah melakukan perjanjian dengannya." Seketika situasi menegang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan ancaman dari sang Presdir Metro Healthy Hospital, Ron Matteo. Terlebih lagi pria yang sudah berumur itu terkenal akan ketegasannya. Tatapan mata Ron mengisyaratkan kebengisan seorang pemimpin yang mampu mengintimidasi semua orang di bawah kekuasaannya. Dan sikap itulah yang ingin diwariskannya pada Kenzo, cucu sematawayangnya. Bukan hanya itu saja, kekuasaan dan semua aset berharganya ingin diberikan pada sang cucu dengan syarat dan ketentuan yang telah dibuat olehnya. Serena pun tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan terlihat gurat kekecewaan yang tersirat pada wajah cantiknya. Berbeda dengan Luna. Gadis cantik nan lugu itu beringsut ketakutan melihat kemarahan dari seorang kakek yang sempat menatap tajam padanya. Semua pihak rumah sakit yang berada di dalam ruangan tersebut pun berpamitan pada sang Presdir untuk kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Tak terkecuali Dokter Sani yang hendak melakukan program tersebut pada Luna. "Bagaimana Kenzo bisa melakukan keinginan Kakek jika Kakek sendiri yang menghentikan semuanya?" tutur Kenzo dengan tatapan memohon pada pria tua tersebut. Smirk sang kakek membuat Kenzo merasa kesal. Bahkan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk bisa menaklukan syarat yang diajukan oleh pria tua yang sangat berkuasa itu, agar bisa mendapatkan semua haknya sebagai cucu dari keluarga Matteo. Pria beruban tersebut menatap ke arah Luna yang terlihat ketakutan padanya. Dari mata almond sang gadis, dia bisa melihat kejujuran dan kelembutan hatinya. "Kenapa tidak kamu nikahi saja dia?" Semua mata tertuju pada Luna, sehingga membuat gadis yang memakai baju pasien tersebut menunduk ketakutan. Kedua tangannya yang gemetar, mencengkeram ujung bajunya, seolah sedang mencari pegangan untuk perlindungannya. "Apa maksud Kakek?!" sentak Kenzo dengan menatap marah pada pria tua yang ada di hadapannya. "Sederhana saja, Kenzo. Seperti yang kamu tahu, Kakek sangat menginginkan keturunan darimu sebagai penerus keluarga Matteo nantinya. Dan Kakek rasa semuanya akan kamu dapatkan, jika kamu menikahinya," ujar sang kakek seraya melihat ke arah Luna. "Menikah?!" Semua pasang mata mengarah pada Luna yang seolah menjadi terdakwa saat ini. Rasa tidak percaya diri pun kembali menghampirinya. Ron Matteo, pria tua yang sangat berkuasa itu menatap Kenzo dengan menahan senyum, seolah sedang menantangnya. "Aku akan menikahinya," tegas Kenzo menjawab tantangan dari sang kakek. Pernyataan dari Kenzo membuat sang istri terkesiap. Seketika dia mengalihkan pandangannya pada sang suami. "Sayang, apa maksudmu?!" tanya Serena dengan memicingkan matanya. Tatapan Serena menyadarkan Kenzo akan kekecewaan sang istri. Akan tetapi, tidak ada jalan lain yang bisa dilakukannya untuk menguasai seluruh aset berharga keluarga Matteo. Kenzo meraih tubuh Serena ke dalam pelukannya, serta berbisik di telinga sang istri. "Maafkan aku, Sayang. Aku melakukan pernikahan ini hanya untuk rencana kita saja, tidak untuk memberikan hati dan cintaku padanya. Setelah bayi kita lahir, maka perjanjian kita dengannya pun berakhir, dan aku akan menceraikannya. Percayalah padaku." Serena tidak bisa mengatakan apa pun. Pikirannya kacau, dan hatinya bergejolak tidak menyetujui keinginan sang suami. 'Bukan ini yang aku mau. Aku hanya menginginkan bayinya, bukan kehadiran ibunya dalam rumah tanggaku.' Namun, semuanya tetap menjadi suara hati Serena. Dia tidak bisa menerima dan tidak bisa menolaknya. "Segera percepat pernikahan kalian, agar Kakek bisa secepatnya mendapatkan kabar baik dari kalian," tutur sang kakek disertai tawa di akhir ucapannya. Sepeninggalan Ron Matteo dari hadapan mereka, suasana pun menjadi canggung. Hanya ada Kenzo, Serena dan Luna yang saling terdiam membisu dalam ruangan tersebut. Tiba-tiba saja terdengar getaran ponsel yang membelah kesunyian dalam ruangan tunggu VIP. Dokter Kenzo segera mengambil ponsel dari saku celananya, dan bergegas menjawab panggilan telpon tersebut, setelah melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. "Ajak gadis itu makan malam di rumah utama nanti malam. Tapi, sebelumnya kamu harus melamar dia di hadapan orang tuanya." Suara sang kakek pun menghilang setelah mengakhiri panggilan telponnya secara sepihak. "Sudah saya putuskan. Kita akan menikah secepatnya. Saat ini juga, pertemukan saya dengan orang tua kamu, Luna," ujar Kenzo dengan menatap serius pada gadis yang sudah melakukan perjanjian dengannya. "Apa?! Kenapa harus--" "Tidak ada jalan lain!" tegas Kenzo menyahuti sang istri tanpa melihat ke arahnya. "Tapi orang tua saya--" "Pertemukan saya dengan mereka!"Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
"Sayang?!" celetuk Kenzo ketika melihat sang istri berdiri di depan pintu. Serena menatap tajam pada pria yang berstatuskan suami sahnya. Dengan amarahnya yang menggebu, dia melangkah menghampiri mereka. "Apa maksud semua ini?!" tanyanya dengan tatapan yang memperlihatkan kilatan amarahnya. Seketika Kenzo menghempaskan tangan Luna, dan meraih kedua tangan sang istri, berusaha untuk meredamkan amarahnya. "Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku akan menjelaskannya padamu nanti," ucapnya dengan tatapan mengiba. Serena menoleh ke arah Luna, dan menatapnya dengan penuh kebencian. Sontak saja Luna meletakkan kartu yang sedang dipegangnya di atas meja. "Maaf, dok. Saya tidak bisa memakainya." "Kenapa? Kamu tinggal memberikannya saja pada kasir saat membayar," ujar Kenzo seolah tidak terima dengan penolakan calon istri keduanya. Serena menghempaskan dengan keras tangan suaminya. Kedua tangannya berada di depan dada, dan menatap marah pada sang suami. "Apa kamu suda
"Kenapa tidak? Bukankah kamu akan merasa sangat tidak nyaman jika memakai baju pengantin seperti itu?" tanya Serena sembari menunjuk sebuah manekin yang menggunakan pakaian pengantin modern.Hanya dengan mendengarkan perkataan dari istri sang dokter, terlihat sekali kesenjangan sosial di antara mereka. 'Padahal aku ingin sekali memakai gaun itu,' batin Luna seraya menatap kecewa pada manekin tersebut.Meskipun Luna seorang gadis polos dan lugu yang sangat sederhana, tapi dia tetaplah seorang gadis yang mendambakan pernikahan sempurna. Setiap dia melihat pengantin di pelaminan, saat itu juga dia membayangkan sedang bersanding dengan seorang pria tampan yang dicintainya. Tentu saja dengan menggunakan gaun pengantin indah berwarna putih yang sangat cantik dipakainya.Namun, kini semua mimpi dan harapannya hancur. Status gadisnya akan diserahkan untuk Dokter Kenzo, seorang pria yang telah membuat kesepakatan dengannya."Kenapa diam? Ambillah! Cepat pakai ini di ruang ganti!" ujar Serena
Pagi ini Kenzo telah mempersiapkan dirinya menjadi seorang pengantin. Tidak ada persiapan spesial darinya. Baginya pernikahan kedua ini hanyalah formalitas untuk mendapatkan hak warisnya, bukan berdasarkan atas perasaan suka ataupun cintanya pada gadis yang menjadi calon istri keduanya.Balutan setelan jas berwarna putih dari designer ternama, menambah ketampanan wajahnya. Tidak ada yang bisa meragukan pesona dari seorang Kenzo Matteo, calon penguasa keturunan dari keluarga Matteo.Namun, seketika kesempurnaan Kenzo dinodai oleh penampilan calon istri keduanya. Seorang gadis dengan memakai pakaian pengantin yang sederhana, memakai sandal rumahan, rambut panjangnya diikat kuncir kuda, dan wajahnya berhiaskan makeup tebal. Persis sekali seperti seorang badut yang sedang mengamen di jalanan.Serena tersenyum puas melihat betapa hancurnya penampilan calon madunya saat akan melakukan janji pernikahan bersama suaminya. Begitu pula dengan semua orang yang berada di tempat itu. Hanya sekumpul
Dari balik pintu, Serena mencoba mencuri dengar apa yang terjadi di dalam kamar pengantin baru. Dia menempelkan telinga kanannya lekat-lekat, berharap mendengar sesuatu."A-apa yang akan anda lakukan, dok?""Karena kamu telah mempermalukan saya di depan mereka semua, maka kamu harus menerima hukuman dariku," jawab Kenzo sembari tersenyum bengis, layaknya binatang buas yang akan menerkam mangsanya.'Apa? Kenzo benar-benar akan melakukannya? Bukankah dia berjanji padaku untuk tidur bersamaku setelah acara selesai? Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa lupa?' batin Serena memberontak marah, seraya berusaha membuka pintu kamar tersebut.Namun, usahanya sia-sia belaka. Pintu kamar tersebut terkunci secara otomatis, ketika pintu sudah tertutup rapat. "Sial! Kenapa tidak ada yang berpihak padaku?!" Merasa usahanya sia-sia, dia pun kembali menempelkan telinga kanannya pada kamar tersebut. "Aku mohon. Jangan lakukan itu, Ken. Lakukan lain hari saja, agar tidak ada malam pertama untuk pernikahan
Serena tersenyum puas berada di antara sang suami dan madunya. Statusnya sebagai istri pertama dari Kenzo Matteo, memberikan keuntungan tersendiri baginya. Tanpa bertanya pada suaminya, wanita angkuh tersebut duduk di kursi depan yang berada di samping sopir. Kenzo hanya bisa menghela nafas, tanpa bisa melarangnya. Bukan karena dia tunduk dan takut pada sang istri, lebih tepatnya karena dia enggan memperburuk situasi saat ini. Sekilas pria beristri dua tersebut melirik ke arah kaca spion yang berada di tengah untuk melihat wanita kesayangannya. Luna pun menyadari hal itu. Dari tempat duduknya yang berada di belakang suaminya, dia hanya bisa tersenyum tipis melihat ke arah kaca spion tersebut. Entah mengapa hatinya merasa gusar saat ini. Keberaniannya yang tiba-tiba datang pada saat menghadapi istri pertama suaminya, kini seketika terkubur oleh kegundahan hatinya. Carla yang duduk di sampingnya dapat dengan mudah merasakannya. Tanpa berpikir panjang, dia pun memegang tangan Luna dan
Di taman belakang yang sangat tenang, berdirilah beberapa pelayan wanita dengan berjejer rapi di tepi kolam renang. Semua kepala menunduk, tidak berani melihat sosok orang yang berdiri di hadapan mereka. "Siapa yang hendak menjelaskan semuanya?" tanya orang tersebut dengan tegas dan menatap satu per satu dari semua pelayan yang berdiri di hadapannya. Seketika semuanya menegang. Jantung mereka berdetak cepat, seolah sedang berpacu, saling berlomba antar satu sama lainnya. Suara gemericik air yang berasal dari kolam ikan di sudut taman tersebut, menjadi alunan penenang ketegangan hati mereka. "Kami ...," ucap ragu salah satu pelayan dengan gugup, sehingga tidak dapat menyelesaikan perkataannya."Jawab!' bentak orang yang berdiri di hadapan para pelayan dengan memperlihatkan ekspresi kemarahannya. Sontak saja mereka semua bergandengan tangan dengan sangat erat, seolah tidak mau terpisahkan dan siap untuk dihukum bersama-sama. "Apa perlu saya pecat kalian semua agar mau bersuara?!"
Luna menganggukkan kepala, ketika kedua matanya bertatapan dengan mata suaminya. Sepasang suami istri tersebut saling mengutarakan perasaan cinta yang mendalam dan kerinduan masing-masing melalui tatapan mata mereka. Bibir Kenzo pun melengkung ke atas, mengulas senyuman manisnya pada sang istri. "Terima kasih," ucapnya tanpa bersuara.Kemudian, pria beristri dua itu mengubah ekspresi wajahnya yang penuh cinta, seketika menjadi serius dan menghadap ke semua orang."Luna akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla dan Nenek. Aku sendiri yang akan mengantar jemput mereka. Ini sudah menjadi keputusanku. Tidak ada yang bisa merubahnya," tuturnya dengan tegas, sembari menatap semua pasang mata di hadapannya secara bergantian.Serena menatap kesal pada suaminya. Pasalnya, keputusan sang suami sangat berbeda jauh dari harapannya. Bahkan semua yang dilakukan oleh suaminya sangatlah jauh dari keinginannya. Carla mendekati Luna yang berdiri tidak jauh darinya. Dia pun segera mencari
"Aku bertaruh untuk Nyonya Serena. Kalian mau bertaruh untuk siapa?" tanya lirih seorang pelayan wanita, sembari menengadahkan tangannya di hadapan kerumunan para pelayan yang sedang bersembunyi di balik tembok ruang makan untuk menguping. "Kamu mengajak kita taruhan?" tanya pelayan kepercayaan Serena dengan setengah berbisik. Pelayan wanita tersebut menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menunjuk tangannya yang masih dalam posisi menengadah dengan menggunakan dagunya. Tanpa berpikir panjang, pelayan yang merupakan kepercayaan sang nyonya merogoh sakunya dan meletakkan dua lembar uang kertas pada telapak tangan tersebut, sembari menyebutkan pilihannya. "Tentu saja aku bertaruh untuk Nyonya Serena," ucapnya dengan penuh keyakinan. Satu per satu dari mereka pun memilih Serena untuk dijagokan. Sang nyonya memang tidak pernah membiarkan dirinya kalah dari siapa pun. Terlebih lagi dari Luna, istri kedua suaminya yang kini tinggal bersama mereka. "Ada apa ini?!" Tiba-tiba saja terde
"Berhenti!" seru Luna sembari berdiri dari duduknya. Sontak saja semua pasang mata yang ada di ruang makan tersebut mengarah padanya. "Kamu tidak berhak mengatakan itu pada Carla. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dokter Ludwig padaku," ujarnya dengan ekspresi datar. Seketika Kenzo sadar bahwa emosinya telah tersulut oleh api kecemburuannya pada Dokter Ludwig. Dengan gerakan cepat, dia meraih kedua tangan istri keduanya, berharap sang istri tidak marah padanya. "Sayang, maaf. Maafkan aku," ucapnya dengan tatapan mengiba pada istrinya yang sedang hamil.Luna menghempaskan tangan suaminya. Wajah dinginnya membuat sang suami mengetahui betapa marah dan kecewanya saat ini. "Aku akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla," tuturnya tanpa meminta ijin pada sang suami, seperti sedia kala. Kenzo kembali meraih tangan sang istri, berusaha untuk bisa meyakinkannya. "Aku tidak akan melarang mu, tapi aku akan ikut denganmu," pintanya dengan penuh harap. Carla memang sakit hati
Makan malam kali ini berbeda dengan malam sebelum-sebelumnya. Serena berada dalam satu meja makan dengan madunya. Suasana di ruangan tersebut begitu damai. Bahkan sang nyonya bersikap ramah dan selalu tersenyum pada istri kedua suaminya.Hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja pun sangat beraneka ragam. Semuanya merupakan menu andalan dari keluarga tersebut. Bisa dikatakan jika semua menu makanan kali ini merupakan kesukaan Kenzo. "Apa mataku tidak salah melihat?" celetuk Carla sambil menatap takjub pada semua makanan yang ada di meja makan. "Sebaiknya sekarang juga kamu ke rumah sakit untuk memeriksakan matamu. Jangan mengganggu makan malam kami," ujar Serena dengan ketus.Sayangnya Carla tidak terpengaruh dengan ucapan Serena. Dia bersikap layaknya seorang bocah yang ketika dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut malah dikerjakannya."Terima kasih," ucap Carla sambil tersenyum setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan sang nyonya.Sontak saja Serena menat
Seketika Serena menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap tidak suka pada si pemilik suara yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan sewot pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. "Kenapa kamu peduli dengan kehadiranku di rumah ini?" tanya balik sang wanita pada sang nyonya rumah tersebut. Serena membalikkan badannya. Dia menatap wanita tersebut seolah sedang menantangnya. "Aku adalah nyonya di rumah ini. Semua yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuanku," ujarnya sembari menyeringai dan menaikkan dagunya.Sang tamu wanita tersenyum, seolah sedang meremehkannya. Dia menatap nyonya rumah tersebut dengan penuh percaya diri. "Begitu pula dengan tamu. Aku berhak menerima atau mengusir tamu yang tidak aku inginkan," tutur sang nyonya sembari memberikan tatapan layaknya penjahat yang sedang mengancam korbannya. Sang tamu wanita tidak gentar sedikit pun. Kakinya melangkah maju, sehingga berada tepat di hadapan wanita angkuh te
Wajah kesal Kenzo bertahan seharian. Pasalnya, dia tidak terima jika Dokter Ludwig mempunyai nomor Luna, istri keduanya yang kini telah mengandung anaknya. Pikirannya tidak tenang berpisah dengan sang istri, meskipun hanya beberapa jam saja. Sang dokter tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan makanan yang ada di hadapannya pun hanya dilihat dan diaduk-aduk saja, seolah enggan untuk memakannya. Damian yang sedang makan di depan sang putra pun menyadari kerisauan hati putranya. Seketika dia teringat akan perkataan papanya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis menyadari persamaan di antara mereka berdua."Apa rencanamu selanjutnya, Ken?" tanya Damian ketika sedang makan siang bersama sang putra.Kenzo mengalihkan pandangannya pada sang papa yang sedang menunggu jawaban darinya. Dia menatap malas pada pria paruh baya tersebut, seolah tidak ada tenaga untuk berbicara. "Apa malammu tidak menyenangkan?" tanya sang papa kembali. Kenzo menghela nafas mengingat malam yang sangat menguras hati
Saat itu juga Kenzo dan Serena menoleh ke sumber suara. Serena tersenyum puas melihat sosok wanita yang sedang berdiri dan terlihat syok dengan mata yang berkaca-kaca. Berbeda dengan Kenzo, sontak saja matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran wanita tersebut."Luna?!" celetuk Kenzo tanpa sadar, seraya menatapnya tidak percaya. Seketika Luna merasa tubuhnya lemah, tidak bertenaga, sehingga dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Bahkan untuk memaki suaminya saja tidak sanggup. Matanya berkaca-kaca menahan sekuat tenaga air matanya yang terkumpul di pelupuk mata. Bibirnya bergetar, menahan suara tangisnya yang ingin keluar dengan sendirinya. Hati Kenzo benar-benar merasa sakit saat melihat wajah sedih belahan jiwanya. Tanpa sadar kakinya pun melangkah dengan sendirinya. Seketika kaki Luna reflek bergerak dengan sendirinya. Kekuatannya terkumpul karena rasa kecewanya yang begitu dalam pada sang suami."Sayang! Tunggu aku!" seru Kenzo sambil berjalan cepat