Seketika Dokter Kenzo menoleh ke arah Luna, gadis yang akan menjadi tempat penitipan benihnya.
"Enyahkan pikiran dangkal mu itu! Menjadi ibu pengganti bukan berarti harus menikah! Sekarang jaman sudah modern. Banyak tekhnologi canggih yang bisa membantu seorang wanita menjadi ibu tanpa melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya!" tegas Kenzo dengan emosinya. Terlihat kekesalan dari mata sang dokter yang sangat mencintai istrinya. Dia tidak mau jika sang kekasih hati meragukan cintanya. Bagi seorang Kenzo Matteo, Serena Hogan merupakan wanita sempurna. Selain cantik dan pintar, menurut Kenzo, Serena merupakan wanita terhebat di antara semua wanita yang pernah ditemuinya. Bahkan sejak pertama kali bertemu, sang dokter telah jatuh hati padanya. Seketika Luna beringsut ketakutan. Dia tidak berani menatap sang dokter yang sedang kesal padanya. Keberanian Luna pada Dokter Kenzo yang merasa dekat dengannya, kini pun telah sirna. "Maaf karena telah lancang bertanya. Hanya itu yang ada di dalam pikiran saya. Sekali lagi saya minta maaf pada Dokter Kenzo dan Nyonya Serena," tutur Luna dengan melampiaskan ketakutannya pada ujung kursi yang dicengkeram jari-jari tangannya. "Sudah. Maklumi saja suami saya, Luna. Dia hanya takut jika saya meragukan cintanya," ujar Serena seraya tersenyum pada gadis sederhana yang sedang duduk dengannya. Gadis lugu itu hanya memaksakan senyumnya. Dalam hati, dia pun mengagumi kecantikan wajah dan hati dari seorang Serena, wanita yang dilahirkan dari keluarga kaya raya, dan sangat disegani banyak orang. "Setelah ini, jangan asal mengeluarkan pernyataan yang membuat orang salah paham pada saya, dan terutama pada hubungan kita," omel sang dokter sembari menggerakkan jari-jarinya dengan lincah pada keyboard, serta pandangan kedua matanya fokus pada layar komputer yang ada di hadapannya. Seketika Luna kembali menundukkan kepalanya, seraya berkata penuh penyesalan, "Maafkan saya, dok. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Dokter Kenzo hanya diam, tanpa melihat ke arah dua wanita yang sedang duduk bersama menantikan jawabannya. "Sudahlah. Leih baik segera tandatangani saja surat perjanjian kontrak kamu sebagai ibu pengganti anak kami," tutur Serena dengan sangat antusias. Melihat binar kebahagiaan di mata istri sang dokter, Luna tidak bisa menolaknya. Tanpa sadar dia pun menganggukkan kepalanya dan melengkungkan bibirnya. Hanya dengan hal sederhana seperti itu saja membuat istri sang dokter terlihat sangat bahagia. 'Ya, benar. Aku bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan mereka. Jadi, apa yang bisa aku banggakan untuk menolak permintaan orang baik seperti mereka?' batin Luna mengingatkan dirinya. Kenzo beranjak dari duduknya, dan meletakkan map berwarna putih di atas meja yang ada di hadapan kedua wanita tersebut. "Bukalah map itu, dan segera tandatangani surat perjanjian yang ada di dalamnya." Kenzo menatap lekat manik mata sang gadis yang terkesiap ketika bertatap mata dengannya. Luna pun meraih map tersebut, dan segera membacanya. Ekor matanya mencuri pandang ke arah sang dokter yang sedang memperhatikannya, seolah menunggu dirinya untuk menandatangani lembar perjanjian tersebut. Tanpa berpikir panjang, gadis cantik nan lugu tersebut membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian yang hanya sekilas dibaca olehnya. "Apalagi yang harus saya lakukan?" Tatapan mata Luna menyiratkan kesedihan yang mendalam. Kenzo tidak bodoh. Dia bisa membacanya. Berbeda dengan Serena. Istri dari Dokter Kenzo terlihat sangat bahagia. Sang Nyonya Besar Serena meraih map tersebut dengan sangat antusias. "Kita harus segera melakukannya, sebab kita sudah tidak mempunyai banyak waktu lagi," ujarnya diiringi senyum kebahagiaan. Kenzo menghela nafasnya. Dia tahu betul jika istrinya tidak bisa dibantah. Akan tetapi, hati kecilnya merasa sangat keberatan untuk melakukan rencana tersebut. 'Apa keputusanku sudah benar? Aku harap semua akan berjalan dengan baik dan lancar,' batinnya melihat kebahagiaan Serena yang membuat hatinya merasakan kesedihan. Dengan senyumnya yang merekah, Serena meraih tangan Luna, seraya menariknya agar berdiri dari sofa. "Lebih baik sekarang saja kita lakukan," ujarnya dengan sangat antusias. "Sekarang?" tanya Luna terbata-bata. "Kenapa tidak? Kamu sudah bersedia untuk melakukannya, dan kita juga sedang berada di rumah sakit. Lalu, apa lagi yang kita tunggu?" jelas Serena sembari tersenyum menatap sang suami dan Luna secara bergantian. Kenzo menghela nafasnya, dan mengenyahkan rasa enggannya untuk melakukan semua rencana sang istri. Dalam hati dia meyakinkan dirinya bahwa tidak ada cara lain untuk mendapatkan semua hak warisnya sebagai anak kandung dari Direktur Utama dan cucu tunggal dari Presdir Healthy Hospital, kecuali dengan memberikan keturunan untuk keluarga Matteo. "Apa kamu sudah siap, Luna?" tanya sang dokter dengan serius pada gadis yang baru saja mengesahkan perjanjian kontrak dengannya. Seketika Luna terkesiap. Bahkan dia terlihat gugup dan salah tingkah mendapatkan tatapan serius dari sang dokter. "Bukankah saya harus bersiap-siap terlebih dahulu sebelum melakukannya?" tanyanya dengan terbata-bata. "Jika kamu dalam keadaan sehat dan sudah menyetujuinya, saya rasa kamu sudah siap. Jadi, kita bisa melakukannya sekarang juga," jawab Kenzo dengan tegas dan berjalan keluar ruangan tersebut. Dengan sangat antusias, Serena menarik tangan Luna untuk menyusul sang suami yang sudah terlebih dahulu meninggalkan mereka. Gadis yang sudah setuju untuk menjadi seorang ibu pengganti itu, kini hanya bisa menuruti semua keinginan sang dokter dan istrinya. Pikiran kosongnya mengiringi kedua langkah kaki Luna mengikuti pria yang berjalan dengan berbalut jas putih di hadapannya. Terlihat jelas kebingungan dari raut wajah gadis lugu tersebut ketika masuk ke dalam suatu ruangan bersama dengan sang dokter dan istrinya. Matanya menatap sekeliling ruangan, seolah sedang mencari sesuatu. 'Kenapa aku dibawa ke sini? Apa aku akan dinikahkan di tempat ini? Tidak, tidak mungkin aku melepas status lajangku tanpa busana pengantin seperti pengantin pada umumnya,' batinnya menggerutu kesal. "Silahkan ganti pakaian anda dengan menggunakan ini," tutur seorang perawat seraya memberikan lipatan kain berwarna baby pink padanya. Seketika Luna mengernyitkan dahi, ketika melihat pakaian yang dibentangkannya. "Pakaian apa ini? Apa aku harus memakainya untuk acara penting seperti sekarang ini?' gumamnya tanpa sadar. "Kenapa, Luna? Apa ada yang aneh dengan pakaiannya?" tanya Serena sembari memegang bahunya. Luna terperanjat dan memaksakan senyumnya. Tanpa sadar dia mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. "Kenapa harus memakai ini? Bukankah seharusnya aku memakai pakaian--" "Cepatlah ganti! Jangan membuang-buang waktu. Sebentar lagi kita akan melakukan inseminasi buatan," tegas Dokter Kenzo yang mengerti arah pembicaraan gadis lugu tersebut. "A-apa?! Inseminasi buatan?!" seru Luna dengan memperlihatkan wajah kagetnya menatap sang dokter seolah ingin meminta penjelasan darinya. Dokter Kenzo mendekati sang gadis dan berbisik di telinganya, "Kutitipkan benihku padamu." Seketika mata Luna terbelalak, dan menoleh ke arah sang dokter, seraya berseru, "Tapi, ini--"Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara."Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu.'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya.Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di bal
Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
"Sayang?!" celetuk Kenzo ketika melihat sang istri berdiri di depan pintu. Serena menatap tajam pada pria yang berstatuskan suami sahnya. Dengan amarahnya yang menggebu, dia melangkah menghampiri mereka. "Apa maksud semua ini?!" tanyanya dengan tatapan yang memperlihatkan kilatan amarahnya. Seketika Kenzo menghempaskan tangan Luna, dan meraih kedua tangan sang istri, berusaha untuk meredamkan amarahnya. "Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku akan menjelaskannya padamu nanti," ucapnya dengan tatapan mengiba. Serena menoleh ke arah Luna, dan menatapnya dengan penuh kebencian. Sontak saja Luna meletakkan kartu yang sedang dipegangnya di atas meja. "Maaf, dok. Saya tidak bisa memakainya." "Kenapa? Kamu tinggal memberikannya saja pada kasir saat membayar," ujar Kenzo seolah tidak terima dengan penolakan calon istri keduanya. Serena menghempaskan dengan keras tangan suaminya. Kedua tangannya berada di depan dada, dan menatap marah pada sang suami. "Apa kamu suda
"Kenapa tidak? Bukankah kamu akan merasa sangat tidak nyaman jika memakai baju pengantin seperti itu?" tanya Serena sembari menunjuk sebuah manekin yang menggunakan pakaian pengantin modern.Hanya dengan mendengarkan perkataan dari istri sang dokter, terlihat sekali kesenjangan sosial di antara mereka. 'Padahal aku ingin sekali memakai gaun itu,' batin Luna seraya menatap kecewa pada manekin tersebut.Meskipun Luna seorang gadis polos dan lugu yang sangat sederhana, tapi dia tetaplah seorang gadis yang mendambakan pernikahan sempurna. Setiap dia melihat pengantin di pelaminan, saat itu juga dia membayangkan sedang bersanding dengan seorang pria tampan yang dicintainya. Tentu saja dengan menggunakan gaun pengantin indah berwarna putih yang sangat cantik dipakainya.Namun, kini semua mimpi dan harapannya hancur. Status gadisnya akan diserahkan untuk Dokter Kenzo, seorang pria yang telah membuat kesepakatan dengannya."Kenapa diam? Ambillah! Cepat pakai ini di ruang ganti!" ujar Serena
Pagi ini Kenzo telah mempersiapkan dirinya menjadi seorang pengantin. Tidak ada persiapan spesial darinya. Baginya pernikahan kedua ini hanyalah formalitas untuk mendapatkan hak warisnya, bukan berdasarkan atas perasaan suka ataupun cintanya pada gadis yang menjadi calon istri keduanya.Balutan setelan jas berwarna putih dari designer ternama, menambah ketampanan wajahnya. Tidak ada yang bisa meragukan pesona dari seorang Kenzo Matteo, calon penguasa keturunan dari keluarga Matteo.Namun, seketika kesempurnaan Kenzo dinodai oleh penampilan calon istri keduanya. Seorang gadis dengan memakai pakaian pengantin yang sederhana, memakai sandal rumahan, rambut panjangnya diikat kuncir kuda, dan wajahnya berhiaskan makeup tebal. Persis sekali seperti seorang badut yang sedang mengamen di jalanan.Serena tersenyum puas melihat betapa hancurnya penampilan calon madunya saat akan melakukan janji pernikahan bersama suaminya. Begitu pula dengan semua orang yang berada di tempat itu. Hanya sekumpul
Kenzo menghempaskan tangan istri pertamanya, dan menghampiri istri keduanya. Pria beristri dua tersebut memeluk erat istri keduanya, dan menatap tajam pada istri pertamanya. "Luna akan tetap bersamaku. Di mana pun dia berada, aku akan selalu ada di sampingnya," ucapnya dengan tegas. Serena terperangah melihatnya. Kini, dia bagaikan seorang istri yang terbuang. Parahnya lagi posisinya telah digantikan oleh madunya. Semua orang menatapnya seolah sedang menertawakannya. "Baguslah. Ayo kita pulang sekarang. Badanku sudah sangat lelah," ujar Kania sembari memijit tengkuk lehernya."Tetap di tempat! Semua sudah diputuskan. Hukuman kalian bertiga harus tetap dilakukan hingga selesai. Jika kalian tidak melakukan hukuman dengan baik, maka akan ditambah satu hari lagi untuk setiap kesalahan," tutur Ron Matteo dengan tegas."Tapi, Pa--""Diam!" bentak Ron Matteo menyahuti sang menantu yang ingin memprotesnya. Seketika Kania bersembunyi di belakang tubuh suaminya. Tangannya mencengkeram erat
"Ayo turun!" bentak seorang polisi yang membukakan pintu mobil untuk mereka. Kania, Serena, dan Carla turun bergantian dari dalam mobil. Kaki mereka terasa berat, sehingga enggan melangkah. "Kenapa masih berdiri di sini?!" tanya polisi tersebut dengan tegas.Ketiga wanita itu saling mendekat, merasa takut akan wajah garang polisi yang menggertak mereka. "Cepat jalan!" bentak polisi tersebut dengan mempertegas wajah garangnya. Sontak saja mereka bertiga saling mendorong untuk berjalan terlebih dahulu. Tidak hanya itu saja, bahkan suara mereka layaknya lebah yang mendengung untuk saling memerintah."Sepertinya peluru ini tidak akan meleset, meskipun dari jarak jauh," ujar sang polisi dengan meninggikan suaranya. Seketika badan mereka menegang. Saat itu juga ketiga wanita tersebut berjalan cepat, seolah sedang berlomba menuju bangunan yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Para polisi terkekeh melihat tingkah ketiga wanita yang akan dihukum oleh keluarga Matteo, kelua
Seketika senjata yang dipegang oleh beberapa polisi mengarah pada Luna, wanita yang berdiri di samping Kenzo, suami Serena. Sontak saja Luna beringsut ketakutan. Wanitayang sedang hamil tersebut mencengkeram tangan suaminya, dan berpegangan erat padanya."Turunkan senjata kalian!" perintah Kenzo dengan tegas pada polisi-polisi tersebut. Sebagian polisi masih mengarahkan senjatanya pada ketiga wanita yang telah membuat keributan dalam rumah utama keluarga Matteo, dan sebagian lagi mengarahkan senjatanya pada Luna."Apa kalian tuli?! Turunkan senjata kalian! Wanita ini istriku! Dia sedang mengandung anakku!" bentak Kenzo sambil merangkul tubuh istri kecilnya. Ron Matteo memberikan tanda pada sang putra untuk menyelesaikan kekacauan yang ada. Damian pun mengerti. Pria paruh baya tersebut berjalan dengan penuh wibawa mendekati salah satu polisi yang mengarahkan senjatanya ke arah Luna. "Turunkan senjata kalian. Dia menantuku, dan sedang mengandung keturunan Matteo," perintahnya dengan
"A-apa?!""Panti Asuhan?!" Kania, Serena dan Carla serentak berseru, seraya membelalakkan matanya. Mereka terperangah mendengar perintah dari Ron Matteo. Damian menahan tawanya melihat ketiga wanita yang baru saja berulah bak seorang jagoan, kini terlihat pasrah dan tidak berdaya di hadapan seorang kakek tua bernama Ron Matteo. "Kalian bertiga harus tinggal di Panti Asuhan selama satu bulan," tegas Ron Matteo dengan menatap satu per satu dari ketiga wanita tersebut. "Tapi, Kek!""Satu bulan?!" "Kakek bercanda, kan?!" Suara mereka bertiga kembali bersahut-sahutan, sehingga membuat kemarahan sang kakek meluap, hingga naik ke kepala. "Diam!" bentak Ron Matteo dengan kilatan amarahnya yang terlihat pada kedua matanya.Seketika bibir ketiga wanita tersebut menutup rapat. Mereka kembali menundukkan kepalanya, setelah mata mereka saling bertemu dengan mata sang kakek. "Di sana kalian harus bekerja sosial selama dua puluh empat jam dalam sebulan penuh. Keputusan ini tidak bisa digangg
"Berhenti!" seru sang penguasa keluarga Matteo dari tempatnya berdiri saat ini. Seketika semua orang berhenti bergerak. Akan tetapi, mereka semua tidak berani menoleh ke arah sumber suara. Selama beberapa detik mereka tampak seperti patung yang tidak bergerak sedikit pun. Namun, tidak ada kelanjutan dari seruan tersebut, sehingga membuat tangan Serena kembali bergerak untuk melampiaskan kemarahannya kembali."Aaaaaaaahhhhhh!" Wanita paruh baya tersebut berteriak kaget, ketika tangan sang menantu berhasil meraih rambutnya, dan menjambaknya sekuat tenaga. Berbanding terbalik dengan Serena. Wanita muda yang mempunyai persamaan sifat dengan ibu mertua tirinya itu, kini tersenyum lebar melihat si pemilik rambut tersebut sedang berteriak kesakitan. "Lepaskan mamaku, Serena!' seru Carla sembari berusaha melepaskan tangan Serena dari rambut sang mama. Sayangnya, Serena tidak akan berhenti menyiksa orang yang menghinanya, sebelum orang tersebut meminta maaf sambil berlutut di hadapannya.
"Luna?!" ucap Kania tanpa sadar, kaget melihat istri kedua dari putra tirinya berani menegurnya. "Berani juga wanita udik ini berbicara seperti itu padaku," tukas Serena sembari menyeringai.Wanita angkuh tersebut berjalan menghampiri madunya yang berdiri tidak jauh darinya. Dengan cekatan Carla bergerak untuk menghalanginya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan ketus. Carla tidak gentar. Dia tidak bergerak sedikit pun dari hadapan Serena. Dengan tubuhnya, wanita yang pernah menaruh hati pada saudara tirinya itu berusaha melindungi istri kedua dari pria yang dicintainya. "Minggir!" bentak Serena dengan kilatan amarah yang terlihat jelas pada sorot matanya. "Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!" ujar Carla tanpa takut sedikit pun padanya. Serena maju selangkah untuk mendekatinya. Wajah yang memancarkan begitu besar amarahnya, kini berada tepat di hadapan wajah Carla. "Apa kamu tahu akibatnya, jika menantang ku?" tanyanya dengan penuh penekanan."Ap
Serena menatap tajam pada Carla. Pasalnya, saudara tiri dari suaminya itu telah berani membentaknya. "Apa?! Kamu marah?! Tidak terima aku bilang mamamu berambisi menjadi seorang istri dan seorang ibu yang baik?! Kenyataannya memang seperti itu! Kenapa kamu marah?!" bentaknya membalas saudara ipar tirinya. "Jangan-jangan mamamu ini juga berambisi untuk menguasai semua harta dan aset keluarga Matteo, sama seperti kamu!" sambungnya sembari menyeringai.Seketika Carla melebarkan bola matanya, menatap tajam pada istri pertama dari saudara tirinya. Serena berdiri tegak dengan mengangkat dagunya, tidak gentar sedikit pun dengan perlawanan Carla bersama dengan ibunya."Tutup mulutmu, Serena!" sentak Carla dengan menatap penuh kebencian padanya. Wanita angkuh itu hanya tertawa melihat reaksi dari saudara tiri sang suami yang sedang direndahkannya. "Kenapa? Apa kamu merasa malu karena semua yang aku sampaikan semuanya benar?" tanyanya dengan santai, sambil tertawa melihat kedua wanita di ha
Sontak saja semua pasang mata mengarah pada sumber suara. Damian, pria paruh baya yang merupakan orang tua laki-laki dari Kenzo dan juga merupakan suami dari Kania, telah menyerukan perintah pada keduanya untuk menghentikan perdebatan mereka. Seketika bibir Kania melengkung ke atas. Hatinya merasa bahagia melihat sang suami yang sedang menghentikan putra kandungnya, ketika hendak mengarahkan tangannya, seolah akan memukulnya. Berbanding terbalik dengan Kenzo. Dirinya merasa kesal telah dihentikan oleh sang papa yang seolah lebih membela istri keduanya dibandingkan dengan putra kandungnya."Sayang, lihatlah Kenzo. Dia berani membentak ku dan mengangkat tangannya untuk memukulku," ucap Kania dengan memperlihatkan ekspresi mengibanya."Diam, Kania!" bentak Damian sembari menatap tegas padanya. Sontak saja semua orang terhenyak mendengarnya. Mereka diam, dan menantikan reaksi Damian selanjutnya. Termasuk Kenzo yang tidak menyangka jika sang papa bida membentak istrinya. "Sayang, kenapa
Dari balik tembok Kenzo mendengar sang ibu tirinya sedang protes pada sikap acuh papanya. Kini, dia merasa terjebak di tempat tersebut. 'Bagaimana ini? Jika aku kembali, maka aku harus menghadapi wanita licik itu. Aku yakin, jika dia punya sejuta rencana licik untuk menjatuhkan ku dari Luna. Tapi, jika aku tetap di sini, aku akan mendengar semua perdebatan antara Papa dengan istrinya. Lebih parahnya lagi, jika wanita itu yang terlebih dahulu pergi dari ruangan itu, maka dia akan mengira bahwa aku telah menguping pembicaraan mereka. Ah, harusnya wanita itu menemui Papa setelah aku duduk bersama dengan Kakek,' batinnya sembari menghela nafas. "Apa maksudmu, Kania? Siapa yang menghindari mu? Aku tidak menghindari mu. Mungkin hanya perasaanmu saja," ujar Damian sambil berpura-pura sibuk melihat sekelilingnya."Perasaanku saja, katamu? Seperti saat ini, kamu berbicara denganku, tapi sama sekali tidak melihat ke arahku. Apa ini juga hanya perasaanku saja?!" ucap Kania dengan meninggikan s