Seketika Dokter Kenzo menoleh ke arah Luna, gadis yang akan menjadi tempat penitipan benihnya.
"Enyahkan pikiran dangkal mu itu! Menjadi ibu pengganti bukan berarti harus menikah! Sekarang jaman sudah modern. Banyak tekhnologi canggih yang bisa membantu seorang wanita menjadi ibu tanpa melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya!" tegas Kenzo dengan emosinya. Terlihat kekesalan dari mata sang dokter yang sangat mencintai istrinya. Dia tidak mau jika sang kekasih hati meragukan cintanya. Bagi seorang Kenzo Matteo, Serena Hogan merupakan wanita sempurna. Selain cantik dan pintar, menurut Kenzo, Serena merupakan wanita terhebat di antara semua wanita yang pernah ditemuinya. Bahkan sejak pertama kali bertemu, sang dokter telah jatuh hati padanya. Seketika Luna beringsut ketakutan. Dia tidak berani menatap sang dokter yang sedang kesal padanya. Keberanian Luna pada Dokter Kenzo yang merasa dekat dengannya, kini pun telah sirna. "Maaf karena telah lancang bertanya. Hanya itu yang ada di dalam pikiran saya. Sekali lagi saya minta maaf pada Dokter Kenzo dan Nyonya Serena," tutur Luna dengan melampiaskan ketakutannya pada ujung kursi yang dicengkeram jari-jari tangannya. "Sudah. Maklumi saja suami saya, Luna. Dia hanya takut jika saya meragukan cintanya," ujar Serena seraya tersenyum pada gadis sederhana yang sedang duduk dengannya. Gadis lugu itu hanya memaksakan senyumnya. Dalam hati, dia pun mengagumi kecantikan wajah dan hati dari seorang Serena, wanita yang dilahirkan dari keluarga kaya raya, dan sangat disegani banyak orang. "Setelah ini, jangan asal mengeluarkan pernyataan yang membuat orang salah paham pada saya, dan terutama pada hubungan kita," omel sang dokter sembari menggerakkan jari-jarinya dengan lincah pada keyboard, serta pandangan kedua matanya fokus pada layar komputer yang ada di hadapannya. Seketika Luna kembali menundukkan kepalanya, seraya berkata penuh penyesalan, "Maafkan saya, dok. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Dokter Kenzo hanya diam, tanpa melihat ke arah dua wanita yang sedang duduk bersama menantikan jawabannya. "Sudahlah. Leih baik segera tandatangani saja surat perjanjian kontrak kamu sebagai ibu pengganti anak kami," tutur Serena dengan sangat antusias. Melihat binar kebahagiaan di mata istri sang dokter, Luna tidak bisa menolaknya. Tanpa sadar dia pun menganggukkan kepalanya dan melengkungkan bibirnya. Hanya dengan hal sederhana seperti itu saja membuat istri sang dokter terlihat sangat bahagia. 'Ya, benar. Aku bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan mereka. Jadi, apa yang bisa aku banggakan untuk menolak permintaan orang baik seperti mereka?' batin Luna mengingatkan dirinya. Kenzo beranjak dari duduknya, dan meletakkan map berwarna putih di atas meja yang ada di hadapan kedua wanita tersebut. "Bukalah map itu, dan segera tandatangani surat perjanjian yang ada di dalamnya." Kenzo menatap lekat manik mata sang gadis yang terkesiap ketika bertatap mata dengannya. Luna pun meraih map tersebut, dan segera membacanya. Ekor matanya mencuri pandang ke arah sang dokter yang sedang memperhatikannya, seolah menunggu dirinya untuk menandatangani lembar perjanjian tersebut. Tanpa berpikir panjang, gadis cantik nan lugu tersebut membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian yang hanya sekilas dibaca olehnya. "Apalagi yang harus saya lakukan?" Tatapan mata Luna menyiratkan kesedihan yang mendalam. Kenzo tidak bodoh. Dia bisa membacanya. Berbeda dengan Serena. Istri dari Dokter Kenzo terlihat sangat bahagia. Sang Nyonya Besar Serena meraih map tersebut dengan sangat antusias. "Kita harus segera melakukannya, sebab kita sudah tidak mempunyai banyak waktu lagi," ujarnya diiringi senyum kebahagiaan. Kenzo menghela nafasnya. Dia tahu betul jika istrinya tidak bisa dibantah. Akan tetapi, hati kecilnya merasa sangat keberatan untuk melakukan rencana tersebut. 'Apa keputusanku sudah benar? Aku harap semua akan berjalan dengan baik dan lancar,' batinnya melihat kebahagiaan Serena yang membuat hatinya merasakan kesedihan. Dengan senyumnya yang merekah, Serena meraih tangan Luna, seraya menariknya agar berdiri dari sofa. "Lebih baik sekarang saja kita lakukan," ujarnya dengan sangat antusias. "Sekarang?" tanya Luna terbata-bata. "Kenapa tidak? Kamu sudah bersedia untuk melakukannya, dan kita juga sedang berada di rumah sakit. Lalu, apa lagi yang kita tunggu?" jelas Serena sembari tersenyum menatap sang suami dan Luna secara bergantian. Kenzo menghela nafasnya, dan mengenyahkan rasa enggannya untuk melakukan semua rencana sang istri. Dalam hati dia meyakinkan dirinya bahwa tidak ada cara lain untuk mendapatkan semua hak warisnya sebagai anak kandung dari Direktur Utama dan cucu tunggal dari Presdir Healthy Hospital, kecuali dengan memberikan keturunan untuk keluarga Matteo. "Apa kamu sudah siap, Luna?" tanya sang dokter dengan serius pada gadis yang baru saja mengesahkan perjanjian kontrak dengannya. Seketika Luna terkesiap. Bahkan dia terlihat gugup dan salah tingkah mendapatkan tatapan serius dari sang dokter. "Bukankah saya harus bersiap-siap terlebih dahulu sebelum melakukannya?" tanyanya dengan terbata-bata. "Jika kamu dalam keadaan sehat dan sudah menyetujuinya, saya rasa kamu sudah siap. Jadi, kita bisa melakukannya sekarang juga," jawab Kenzo dengan tegas dan berjalan keluar ruangan tersebut. Dengan sangat antusias, Serena menarik tangan Luna untuk menyusul sang suami yang sudah terlebih dahulu meninggalkan mereka. Gadis yang sudah setuju untuk menjadi seorang ibu pengganti itu, kini hanya bisa menuruti semua keinginan sang dokter dan istrinya. Pikiran kosongnya mengiringi kedua langkah kaki Luna mengikuti pria yang berjalan dengan berbalut jas putih di hadapannya. Terlihat jelas kebingungan dari raut wajah gadis lugu tersebut ketika masuk ke dalam suatu ruangan bersama dengan sang dokter dan istrinya. Matanya menatap sekeliling ruangan, seolah sedang mencari sesuatu. 'Kenapa aku dibawa ke sini? Apa aku akan dinikahkan di tempat ini? Tidak, tidak mungkin aku melepas status lajangku tanpa busana pengantin seperti pengantin pada umumnya,' batinnya menggerutu kesal. "Silahkan ganti pakaian anda dengan menggunakan ini," tutur seorang perawat seraya memberikan lipatan kain berwarna baby pink padanya. Seketika Luna mengernyitkan dahi, ketika melihat pakaian yang dibentangkannya. "Pakaian apa ini? Apa aku harus memakainya untuk acara penting seperti sekarang ini?' gumamnya tanpa sadar. "Kenapa, Luna? Apa ada yang aneh dengan pakaiannya?" tanya Serena sembari memegang bahunya. Luna terperanjat dan memaksakan senyumnya. Tanpa sadar dia mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. "Kenapa harus memakai ini? Bukankah seharusnya aku memakai pakaian--" "Cepatlah ganti! Jangan membuang-buang waktu. Sebentar lagi kita akan melakukan inseminasi buatan," tegas Dokter Kenzo yang mengerti arah pembicaraan gadis lugu tersebut. "A-apa?! Inseminasi buatan?!" seru Luna dengan memperlihatkan wajah kagetnya menatap sang dokter seolah ingin meminta penjelasan darinya. Dokter Kenzo mendekati sang gadis dan berbisik di telinganya, "Kutitipkan benihku padamu." Seketika mata Luna terbelalak, dan menoleh ke arah sang dokter, seraya berseru, "Tapi, ini--"Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara."Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu.'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya.Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di bal
Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
"Sayang?!" celetuk Kenzo ketika melihat sang istri berdiri di depan pintu. Serena menatap tajam pada pria yang berstatuskan suami sahnya. Dengan amarahnya yang menggebu, dia melangkah menghampiri mereka. "Apa maksud semua ini?!" tanyanya dengan tatapan yang memperlihatkan kilatan amarahnya. Seketika Kenzo menghempaskan tangan Luna, dan meraih kedua tangan sang istri, berusaha untuk meredamkan amarahnya. "Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku akan menjelaskannya padamu nanti," ucapnya dengan tatapan mengiba. Serena menoleh ke arah Luna, dan menatapnya dengan penuh kebencian. Sontak saja Luna meletakkan kartu yang sedang dipegangnya di atas meja. "Maaf, dok. Saya tidak bisa memakainya." "Kenapa? Kamu tinggal memberikannya saja pada kasir saat membayar," ujar Kenzo seolah tidak terima dengan penolakan calon istri keduanya. Serena menghempaskan dengan keras tangan suaminya. Kedua tangannya berada di depan dada, dan menatap marah pada sang suami. "Apa kamu suda
"Kenapa tidak? Bukankah kamu akan merasa sangat tidak nyaman jika memakai baju pengantin seperti itu?" tanya Serena sembari menunjuk sebuah manekin yang menggunakan pakaian pengantin modern.Hanya dengan mendengarkan perkataan dari istri sang dokter, terlihat sekali kesenjangan sosial di antara mereka. 'Padahal aku ingin sekali memakai gaun itu,' batin Luna seraya menatap kecewa pada manekin tersebut.Meskipun Luna seorang gadis polos dan lugu yang sangat sederhana, tapi dia tetaplah seorang gadis yang mendambakan pernikahan sempurna. Setiap dia melihat pengantin di pelaminan, saat itu juga dia membayangkan sedang bersanding dengan seorang pria tampan yang dicintainya. Tentu saja dengan menggunakan gaun pengantin indah berwarna putih yang sangat cantik dipakainya.Namun, kini semua mimpi dan harapannya hancur. Status gadisnya akan diserahkan untuk Dokter Kenzo, seorang pria yang telah membuat kesepakatan dengannya."Kenapa diam? Ambillah! Cepat pakai ini di ruang ganti!" ujar Serena
Pagi ini Kenzo telah mempersiapkan dirinya menjadi seorang pengantin. Tidak ada persiapan spesial darinya. Baginya pernikahan kedua ini hanyalah formalitas untuk mendapatkan hak warisnya, bukan berdasarkan atas perasaan suka ataupun cintanya pada gadis yang menjadi calon istri keduanya.Balutan setelan jas berwarna putih dari designer ternama, menambah ketampanan wajahnya. Tidak ada yang bisa meragukan pesona dari seorang Kenzo Matteo, calon penguasa keturunan dari keluarga Matteo.Namun, seketika kesempurnaan Kenzo dinodai oleh penampilan calon istri keduanya. Seorang gadis dengan memakai pakaian pengantin yang sederhana, memakai sandal rumahan, rambut panjangnya diikat kuncir kuda, dan wajahnya berhiaskan makeup tebal. Persis sekali seperti seorang badut yang sedang mengamen di jalanan.Serena tersenyum puas melihat betapa hancurnya penampilan calon madunya saat akan melakukan janji pernikahan bersama suaminya. Begitu pula dengan semua orang yang berada di tempat itu. Hanya sekumpul
"Berhenti!" seru Luna sembari berdiri dari duduknya. Sontak saja semua pasang mata yang ada di ruang makan tersebut mengarah padanya. "Kamu tidak berhak mengatakan itu pada Carla. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dokter Ludwig padaku," ujarnya dengan ekspresi datar. Seketika Kenzo sadar bahwa emosinya telah tersulut oleh api kecemburuannya pada Dokter Ludwig. Dengan gerakan cepat, dia meraih kedua tangan istri keduanya, berharap sang istri tidak marah padanya. "Sayang, maaf. Maafkan aku," ucapnya dengan tatapan mengiba pada istrinya yang sedang hamil.Luna menghempaskan tangan suaminya. Wajah dinginnya membuat sang suami mengetahui betapa marah dan kecewanya saat ini. "Aku akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla," tuturnya tanpa meminta ijin pada sang suami, seperti sedia kala. Kenzo kembali meraih tangan sang istri, berusaha untuk bisa meyakinkannya. "Aku tidak akan melarang mu, tapi aku akan ikut denganmu," pintanya dengan penuh harap. Carla memang sakit hati
Makan malam kali ini berbeda dengan malam sebelum-sebelumnya. Serena berada dalam satu meja makan dengan madunya. Suasana di ruangan tersebut begitu damai. Bahkan sang nyonya bersikap ramah dan selalu tersenyum pada istri kedua suaminya.Hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja pun sangat beraneka ragam. Semuanya merupakan menu andalan dari keluarga tersebut. Bisa dikatakan jika semua menu makanan kali ini merupakan kesukaan Kenzo. "Apa mataku tidak salah melihat?" celetuk Carla sambil menatap takjub pada semua makanan yang ada di meja makan. "Sebaiknya sekarang juga kamu ke rumah sakit untuk memeriksakan matamu. Jangan mengganggu makan malam kami," ujar Serena dengan ketus.Sayangnya Carla tidak terpengaruh dengan ucapan Serena. Dia bersikap layaknya seorang bocah yang ketika dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut malah dikerjakannya."Terima kasih," ucap Carla sambil tersenyum setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan sang nyonya.Sontak saja Serena menat
Seketika Serena menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap tidak suka pada si pemilik suara yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan sewot pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. "Kenapa kamu peduli dengan kehadiranku di rumah ini?" tanya balik sang wanita pada sang nyonya rumah tersebut. Serena membalikkan badannya. Dia menatap wanita tersebut seolah sedang menantangnya. "Aku adalah nyonya di rumah ini. Semua yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuanku," ujarnya sembari menyeringai dan menaikkan dagunya.Sang tamu wanita tersenyum, seolah sedang meremehkannya. Dia menatap nyonya rumah tersebut dengan penuh percaya diri. "Begitu pula dengan tamu. Aku berhak menerima atau mengusir tamu yang tidak aku inginkan," tutur sang nyonya sembari memberikan tatapan layaknya penjahat yang sedang mengancam korbannya. Sang tamu wanita tidak gentar sedikit pun. Kakinya melangkah maju, sehingga berada tepat di hadapan wanita angkuh te
Wajah kesal Kenzo bertahan seharian. Pasalnya, dia tidak terima jika Dokter Ludwig mempunyai nomor Luna, istri keduanya yang kini telah mengandung anaknya. Pikirannya tidak tenang berpisah dengan sang istri, meskipun hanya beberapa jam saja. Sang dokter tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan makanan yang ada di hadapannya pun hanya dilihat dan diaduk-aduk saja, seolah enggan untuk memakannya. Damian yang sedang makan di depan sang putra pun menyadari kerisauan hati putranya. Seketika dia teringat akan perkataan papanya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis menyadari persamaan di antara mereka berdua."Apa rencanamu selanjutnya, Ken?" tanya Damian ketika sedang makan siang bersama sang putra.Kenzo mengalihkan pandangannya pada sang papa yang sedang menunggu jawaban darinya. Dia menatap malas pada pria paruh baya tersebut, seolah tidak ada tenaga untuk berbicara. "Apa malammu tidak menyenangkan?" tanya sang papa kembali. Kenzo menghela nafas mengingat malam yang sangat menguras hati
Saat itu juga Kenzo dan Serena menoleh ke sumber suara. Serena tersenyum puas melihat sosok wanita yang sedang berdiri dan terlihat syok dengan mata yang berkaca-kaca. Berbeda dengan Kenzo, sontak saja matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran wanita tersebut."Luna?!" celetuk Kenzo tanpa sadar, seraya menatapnya tidak percaya. Seketika Luna merasa tubuhnya lemah, tidak bertenaga, sehingga dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Bahkan untuk memaki suaminya saja tidak sanggup. Matanya berkaca-kaca menahan sekuat tenaga air matanya yang terkumpul di pelupuk mata. Bibirnya bergetar, menahan suara tangisnya yang ingin keluar dengan sendirinya. Hati Kenzo benar-benar merasa sakit saat melihat wajah sedih belahan jiwanya. Tanpa sadar kakinya pun melangkah dengan sendirinya. Seketika kaki Luna reflek bergerak dengan sendirinya. Kekuatannya terkumpul karena rasa kecewanya yang begitu dalam pada sang suami."Sayang! Tunggu aku!" seru Kenzo sambil berjalan cepat
Pagi harinya Kenzo kembali dipusingkan dengan keinginan dari kedua istrinya. Setelah pengakuan cinta Kenzo di hadapan istri pertamanya dan sang kakek, Luna seperti mendapatkan kekuatan untuk melawan kelicikan Serena. Akibatnya, kini sang suami yang kerepotan memenuhi keinginan mereka berdua. "Kenapa aku yang harus mengalah dengan wanita udik itu?! Dia yang hadir dalam rumah tangga kita. Dia yang merebut perhatianmu dariku! Seharusnya kamu lebih mengutamakan aku, dibandingkan dengan dia, Ken!" protes Serena meluapkan kekesalannya pada sang suami."Tapi dia sedang hamil anakku, Sayang," ucap Kenzo dengan tatapan mengiba pada istri pertamanya. Saat ini Kenzo hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Dia tidak ingin terjadi perdebatan lagi di dalam rumahnya. Karena itulah pria beristri dua tersebut mencoba mengambil hati istri pertamanya, agar tidak lagi membuat masalah dan mau menerima nasehatnya. "Ingat status dia, Ken! Dia hanyalah wanita yang kita sewa untuk menjadi ibu penggan
"Tadi aku sempat jalan-jalan di luar sebelum kalian ada di sini," sahut Kania sambil tersenyum palsu. Ron Matteo mengernyitkan dahinya. Dia menatap tidak percaya pada cucu menantu pertamanya.'Ternyata dia bisa berbohong juga,' batinnya sembari menahan seringainya. Kania terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menyadari pandangan kakek mertuanya yang berbeda dari biasanya. 'Apa Kakek mengetahui kebohonganku?' tanyanya dalam hati. Damian menatap istrinya seolah sedang mencari sesuatu darinya. Entah apa yang akan akan ditemukan oleh pria paruh baya itu nantinya, kejujuran atau mungkin kebohongan. Tentu saja dia berharap pikiran buruk tentang istrinya salah.Kania merasakan tatapan suaminya yang membuat dirinya tidak nyaman. 'Sepertinya dia tidak mempercayaiku. Apa dia tadi melihatku di hotel?' batinnya sambil memikirkan cara untuk bisa meyakinkan suaminya. "Sayang, apa kita bisa pulang sekarang? Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin aku harus beristirahat lebih lama lagi," pinta
Damian reflek menengadahkan kedua tangannya untuk menahan tubuh Anna yang akan jatuh ke arahnya. 'Mission complete!' batin Anna sambil tersenyum tipis ketika merasakan kedua tangan sang dokter yang berada di punggungnya. 'Sial! Kenapa dia malah pingsan?' umpat Damian dalam hati sembari melihat sekitarnya. Sontak saja tiga orang pria berpenampilan serba hitam berlari menghampirinya. Mereka sangat peka melihat situasi yang sedang dialami bosnya. "Serahkan saja pada kami, Tuan," ucap salah satu dari ketiga pria tersebut. Damian pun menyerahkan tubuh wanita paruh baya yang berpakaian seksi tersebut padanya. Dua orang dari mereka membopongnya dan meletakkan tubuh wanita itu di salah satu sofa yang ada di sekitar mereka. "Maaf, Tuan. Nyonya Kania sudah keluar dari hotel ini," bisik pria yang berpakaian serba hitam pada sang dokter. Seketika Damian membelalakkan matanya. Pandangan matanya beralih pada pintu hotel tersebut. "Apa kamu serius? Kapan dia keluar?" tanyanya dengan tidak sa
"Oke. Siap. Laksanakan," ucap Anna lirih, sambil tersenyum.Wanita tersebut merapikan rambut panjangnya yang berwarna golden brown, sembari melihat wajahnya dari kaca bedaknya. "Sepertinya wajahku kurang segar. Aku harus memakai bedak kembali," gumamnya seraya memakai bedak.Tidak hanya sampai situ saja. Anna memakai kembali lipstik merahnya untuk memperlihatkan kesan seksi dan menawan. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat garis-garis halus di wajahnya telah tertutup sempurna oleh makeup yang digunakannya. "Aku merasa kembali muda," ucapnya lirih sambil menahan tawanya. Kemudian, dia berdiri dari duduknya dan merapikan short dress ketat berwarna merah yang dipakainya. Tanpa menunggu lama, dia berjalan anggun menghampiri Damian dan membawa tas dari brand ternama dengan penuh percaya diri. "Bukankah anda Dokter Damian?" tanyanya ketika berdiri di depan pria yang sejak tadi sudah menjadi targetnya.Pria paruh baya dengan penampilan rapi tersebut menatap wanita yang menyebut namany