Share

Bab 4 Calon Direktur

"Dewi Penolong?" celetuk Luna dengan tatapan penuh tanya.

Sang dokter mendengar pertanyaan yang diajukan Luna padanya. Hanya saja, dia mengabaikannya. Dokter tampan itu menatap tajam pada kedua preman berwajah bengis, dan berkata,

"Akan saya hubungi kalian, jika semuanya sudah siap."

Dokter Kenzo tidak mau membuang-buang waktu untuk berdebat dengan kedua preman itu. Terlebih lagi saat ini mereka menjadi pusat perhatian seluruh orang yang berada di lobi rumah sakit tersebut. Tidak terkecuali orang-orang yang barada di lantai atas sedang melihatnya.

"Bagaimana anda bisa menghubungi kami, jika kita belum saling mengenal?" tanya pria berkepala botak di sela kekehannya.

Merasa kedua preman tersebut akan semakin memperpanjang percakapan mereka, sang dokter pun segera meraih tangan Luna, dan menariknya. Semua menatap heran pada Dokter Kenzo yang membawa gadis tersebut berjalan bersamanya menuju lantai atas, di mana ruangan sang dokter berada.

Wanita muda yang berpenampilan acak-acakan itu, hanya bisa menatap heran pada tangan sang dokter yang menggandengnya. Ada gelenyar aneh yang dirasakan olehnya saat ini. Jantungnya pun berdegup sangat kencang, hingga membuat gadis tersebut merasa kewalahan dan tidak nyaman.

Sang dokter melepas gandengan tangannya, ketika sudah berada di depan sebuah ruangan. Pria berjas putih itu pun menghela nafas, dan merutuki kebodohannya mengingat tindakan ceroboh yang dia lakukan di luar kebiasaannya.

"Masuklah. Kita akan membahas semuanya di dalam," tutur sang dokter setelah membuka pintu ruangannya.

Hati Luna merasa kehilangan setelah tangannya dilepas oleh Dokter Kenzo. Bibir mungilnya seolah ingin terbuka dan memprotesnya. Untung saja dia masih sadar, dan berusaha keras untuk menahannya.

"Silahkan duduk," ujar sang dokter seraya melepas jas putih yang membalut pakaiannya.

Diletakkan jas kebesarannya itu pada tempat yang tersedia. Dengan sedikit canggung, pria yang telah berstatus menjadi suami seorang pengusaha yang menjadi donatur tetap rumah sakit tersebut, duduk di hadapan sang gadis, dan menatap intens padanya, seraya berkata,

"Berapa banyak utang yang dimiliki oleh ibumu?"

Sontak saja gadis itu pun terhenyak. Sebagai gadis normal, dia merasa malu ditanya mengenai utang keluarganya oleh seorang lelaki yang berhasil membuat jantungnya berdebar. Kepala gadis itu pun menunduk, dan menjawab pertanyaan sang dokter dengan suara lirih.

Dokter Kenzo tersenyum tipis mendengar jawaban dari gadis yang akan menjadi ibu pengganti calon bayinya. Dia sangat tahu betul, jika gadis tersebut sedang malu saat ini.

"Maaf, saya tidak bermaksud untuk membuatmu malu. Hanya saja saya harus mengetahuinya, agar bisa menyiapkan uang yang akan diberikan pada para preman itu," tuturnya lirih, berusaha untuk mengembalikan suasana hati gadis tersebut.

Luna melihat ke arah pria yang ada di hadapannya. Wajah tampan itu tersenyum manis padanya, seolah menjadi pendingin hati yang sedang kalut dan merasa malu saat ini. Matanya pun berbinar melihat pesona sang dokter yang berhasil mencuri hati dan pikirannya.

"Tidak, dok. Kami berhutang banyak sekali pada Dokter Kenzo," ucapnya dengan gugup, ketika tatapan mata mereka saling bertemu.

"Lalu?" tanya sang dokter yang masih bertatap mata dengan gadis tersebut.

Seketika kepala Luna menunduk kembali, seraya berkata lirih,

"Saya malu pada dokter."

Sontak saja sang dokter mengernyitkan dahinya, dan menatap penuh tanya, seraya berkata,

"Malu pada saya? Bukankah sudah saya katakan jika semua ini tidak gratis?"

Seketika Luna kembali menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Dia mengomel dalam hatinya.

'Bodoh sekali kamu, Luna! Tidak seharusnya kamu mengatakan hal itu!'

"Nanti sore istri saya akan datang ke sini untuk bertemu denganmu. Kita akan membahas tentang perjanjian yang sudah kita sepakati," ujar sang dokter dengan tegas.

Luna terperangah. Dia menatap pria yang dianggap sebagai Dewa Penolongnya, dan tanpa sadar berkata,

"Istri?"

"Iya, istri. Istri saya yang mempunyai urusan denganmu. Dia yang membutuhkanmu, dan ingin meminta bantuanmu. Saya rasa kamu orang yang tepat untuk membantunya, karena saya percaya padamu, dan juga pada ibumu," tutur Dokter Kenzo tanpa ragu padanya.

Jantung Luna merasa seolah akan berhenti berdetak. Hatinya merasakan sakit, layaknya tergores oleh benda yang tajam. Tanpa sadar dia telah meletakkan hatinya pada pria yang menjadi dokter ibunya. Kebaikan sang dokter membuatnya kagum, dan menyukainya.

'Harusnya aku sadar, jika aku hanyalah orang biasa yang tidak pantas bersanding dengannya. Bahkan mendambakannya pun aku tidak berhak. Kami jauh berbeda. Aku harus menghilangkan perasaan ini, sebelum berakhir menyedihkan seorang diri,' batinnya menasehati diri sendiri.

"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya sang dokter ketika melihat seberkas kesedihan pada wajah gadis tersebut.

Luna menggelengkan kepalanya, sembari memaksakan senyum di bibirnya. Masalah? Tidak ada masalah pada Dokter Kenzo. Masalah hanya ada pada hati Luna. Dia pun harus mengenyahkan rasa kagum dan suka pada sang dokter yang datang dengan sendirinya, tanpa pernah diharapkan olehnya.

"Tidak, dok. Saya hanya khawatir pada Ibu. Apa Ibu bisa segera sembuh?"

"Pasti. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan dan menyembuhkan pasien. Tentu saja doa dari keluarga dan orang terdekat pasien akan sangat membantu," jawab Dokter Kenzo dengan penuh keyakinan.

Luna tersenyum. Dia merasa tidak salah pilih untuk menitipkan hatinya pada pria hebat yang bisa dengan mudah menenangkannya. Hanya dengan melihat senyuman sang dokter, dan mendengarkan perkataannya, Luna merasakan ketenangan dalam hatinya. Bahkan masalah yang tengah dihadapi olehnya dan sang ibu dapat dengan mudah diselesaikan oleh Dewa Penolongnya.

Setelah menetapkan jam pertemuan mereka, Luna pun keluar dari ruangan tersebut. Tanpa sadar senyumnya mengembang, menghiasi wajah cantiknya. Di sela langkahnya menuju ruangan sang ibu berada, gadis bermata almond itu tiba-tiba teringat akan sesuatu. Seketika langkahnya berhenti, dan dia pun bergumam,

"Kira-kira bantuan apa yang meraka harapkan dariku? Apa mereka memintaku untuk mendonorkan ginjalku, hatiku, atau jantungku? Apa mereka setega itu? Tapi, uang yang mereka keluarkan juga tidak sedikit. Bagaimana ini? Apa aku harus membatalkannya? Tapi, bagaimana jika para preman itu mengganggu kami kembali? Tidak. Aku tidak boleh membiarkan kesehatan Ibu terganggu dan kembali drop."

Beberapa saat Luna berdiri di tempat itu, tanpa bergerak sedikit pun. Dia berpikir untuk mengambil jalan terbaik yang tidak akan membuat mereka semua terluka dan mengalami kerugian.

"Tidak peduli apa yang Dokter Kenzo dan istrinya inginkan dariku, aku akan tetap melakukannya. Dia begitu baik pada Ibu. Jadi, aku harus menolongnya tanpa perhitungan, sama seperti dia menolong kami," gumamnya sembari membayangkan sang dokter sedang menolongnya dari dua preman yang akan membawanya pergi untuk menebus utang ibunya.

Luna sudah memantapkan hatinya untuk tetap menolong sang dokter, terlepas dari ketidaktahuannya tentang permintaan istri Dokter Kenzo yang menginginkannya menjadi ibu pengganti bayi mereka. Dia hanya mempunyai hati yang tulus untuk membayar kebaikan dari Dewa Penolongnya.

"Apa dokter sudah tahu mengenai Dokter Kenzo yang akan diangkat menjadi Direktur Rumah Sakit ini?" tanya seorang dokter pria yang sedang berjalan bersama dengan rekannya.

Seketika Luna menoleh ke arah dua dokter pria yang berpapasan dengannya. Tanpa sadar kakinya bergerak mengikuti kedua dokter tersebut, dan menajamkan telinganya untuk mendengarkan lebih banyak lagi tentang Dokter Kenzo dari mereka.

"Benarkah? Apa yang terjadi? Kenapa Dokter Kenzo yang menjadi Direktur Rumah Sakit ini? Kenapa bukan ayahku yang sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk rumah sakit ini?" tanya dokter pria satunya yang menanggapi perkataan dari rekannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status