"Dewi Penolong?" celetuk Luna dengan tatapan penuh tanya.
Sang dokter mendengar pertanyaan yang diajukan Luna padanya. Hanya saja, dia mengabaikannya. Dokter tampan itu menatap tajam pada kedua preman berwajah bengis, dan berkata, "Akan saya hubungi kalian, jika semuanya sudah siap." Dokter Kenzo tidak mau membuang-buang waktu untuk berdebat dengan kedua preman itu. Terlebih lagi saat ini mereka menjadi pusat perhatian seluruh orang yang berada di lobi rumah sakit tersebut. Tidak terkecuali orang-orang yang barada di lantai atas sedang melihatnya. "Bagaimana anda bisa menghubungi kami, jika kita belum saling mengenal?" tanya pria berkepala botak di sela kekehannya. Merasa kedua preman tersebut akan semakin memperpanjang percakapan mereka, sang dokter pun segera meraih tangan Luna, dan menariknya. Semua menatap heran pada Dokter Kenzo yang membawa gadis tersebut berjalan bersamanya menuju lantai atas, di mana ruangan sang dokter berada. Wanita muda yang berpenampilan acak-acakan itu, hanya bisa menatap heran pada tangan sang dokter yang menggandengnya. Ada gelenyar aneh yang dirasakan olehnya saat ini. Jantungnya pun berdegup sangat kencang, hingga membuat gadis tersebut merasa kewalahan dan tidak nyaman. Sang dokter melepas gandengan tangannya, ketika sudah berada di depan sebuah ruangan. Pria berjas putih itu pun menghela nafas, dan merutuki kebodohannya mengingat tindakan ceroboh yang dia lakukan di luar kebiasaannya. "Masuklah. Kita akan membahas semuanya di dalam," tutur sang dokter setelah membuka pintu ruangannya. Hati Luna merasa kehilangan setelah tangannya dilepas oleh Dokter Kenzo. Bibir mungilnya seolah ingin terbuka dan memprotesnya. Untung saja dia masih sadar, dan berusaha keras untuk menahannya. "Silahkan duduk," ujar sang dokter seraya melepas jas putih yang membalut pakaiannya. Diletakkan jas kebesarannya itu pada tempat yang tersedia. Dengan sedikit canggung, pria yang telah berstatus menjadi suami seorang pengusaha yang menjadi donatur tetap rumah sakit tersebut, duduk di hadapan sang gadis, dan menatap intens padanya, seraya berkata, "Berapa banyak utang yang dimiliki oleh ibumu?" Sontak saja gadis itu pun terhenyak. Sebagai gadis normal, dia merasa malu ditanya mengenai utang keluarganya oleh seorang lelaki yang berhasil membuat jantungnya berdebar. Kepala gadis itu pun menunduk, dan menjawab pertanyaan sang dokter dengan suara lirih. Dokter Kenzo tersenyum tipis mendengar jawaban dari gadis yang akan menjadi ibu pengganti calon bayinya. Dia sangat tahu betul, jika gadis tersebut sedang malu saat ini. "Maaf, saya tidak bermaksud untuk membuatmu malu. Hanya saja saya harus mengetahuinya, agar bisa menyiapkan uang yang akan diberikan pada para preman itu," tuturnya lirih, berusaha untuk mengembalikan suasana hati gadis tersebut. Luna melihat ke arah pria yang ada di hadapannya. Wajah tampan itu tersenyum manis padanya, seolah menjadi pendingin hati yang sedang kalut dan merasa malu saat ini. Matanya pun berbinar melihat pesona sang dokter yang berhasil mencuri hati dan pikirannya. "Tidak, dok. Kami berhutang banyak sekali pada Dokter Kenzo," ucapnya dengan gugup, ketika tatapan mata mereka saling bertemu. "Lalu?" tanya sang dokter yang masih bertatap mata dengan gadis tersebut. Seketika kepala Luna menunduk kembali, seraya berkata lirih, "Saya malu pada dokter." Sontak saja sang dokter mengernyitkan dahinya, dan menatap penuh tanya, seraya berkata, "Malu pada saya? Bukankah sudah saya katakan jika semua ini tidak gratis?" Seketika Luna kembali menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Dia mengomel dalam hatinya. 'Bodoh sekali kamu, Luna! Tidak seharusnya kamu mengatakan hal itu!' "Nanti sore istri saya akan datang ke sini untuk bertemu denganmu. Kita akan membahas tentang perjanjian yang sudah kita sepakati," ujar sang dokter dengan tegas. Luna terperangah. Dia menatap pria yang dianggap sebagai Dewa Penolongnya, dan tanpa sadar berkata, "Istri?" "Iya, istri. Istri saya yang mempunyai urusan denganmu. Dia yang membutuhkanmu, dan ingin meminta bantuanmu. Saya rasa kamu orang yang tepat untuk membantunya, karena saya percaya padamu, dan juga pada ibumu," tutur Dokter Kenzo tanpa ragu padanya. Jantung Luna merasa seolah akan berhenti berdetak. Hatinya merasakan sakit, layaknya tergores oleh benda yang tajam. Tanpa sadar dia telah meletakkan hatinya pada pria yang menjadi dokter ibunya. Kebaikan sang dokter membuatnya kagum, dan menyukainya. 'Harusnya aku sadar, jika aku hanyalah orang biasa yang tidak pantas bersanding dengannya. Bahkan mendambakannya pun aku tidak berhak. Kami jauh berbeda. Aku harus menghilangkan perasaan ini, sebelum berakhir menyedihkan seorang diri,' batinnya menasehati diri sendiri. "Kenapa? Apa ada masalah?" tanya sang dokter ketika melihat seberkas kesedihan pada wajah gadis tersebut. Luna menggelengkan kepalanya, sembari memaksakan senyum di bibirnya. Masalah? Tidak ada masalah pada Dokter Kenzo. Masalah hanya ada pada hati Luna. Dia pun harus mengenyahkan rasa kagum dan suka pada sang dokter yang datang dengan sendirinya, tanpa pernah diharapkan olehnya. "Tidak, dok. Saya hanya khawatir pada Ibu. Apa Ibu bisa segera sembuh?" "Pasti. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan dan menyembuhkan pasien. Tentu saja doa dari keluarga dan orang terdekat pasien akan sangat membantu," jawab Dokter Kenzo dengan penuh keyakinan. Luna tersenyum. Dia merasa tidak salah pilih untuk menitipkan hatinya pada pria hebat yang bisa dengan mudah menenangkannya. Hanya dengan melihat senyuman sang dokter, dan mendengarkan perkataannya, Luna merasakan ketenangan dalam hatinya. Bahkan masalah yang tengah dihadapi olehnya dan sang ibu dapat dengan mudah diselesaikan oleh Dewa Penolongnya. Setelah menetapkan jam pertemuan mereka, Luna pun keluar dari ruangan tersebut. Tanpa sadar senyumnya mengembang, menghiasi wajah cantiknya. Di sela langkahnya menuju ruangan sang ibu berada, gadis bermata almond itu tiba-tiba teringat akan sesuatu. Seketika langkahnya berhenti, dan dia pun bergumam, "Kira-kira bantuan apa yang meraka harapkan dariku? Apa mereka memintaku untuk mendonorkan ginjalku, hatiku, atau jantungku? Apa mereka setega itu? Tapi, uang yang mereka keluarkan juga tidak sedikit. Bagaimana ini? Apa aku harus membatalkannya? Tapi, bagaimana jika para preman itu mengganggu kami kembali? Tidak. Aku tidak boleh membiarkan kesehatan Ibu terganggu dan kembali drop." Beberapa saat Luna berdiri di tempat itu, tanpa bergerak sedikit pun. Dia berpikir untuk mengambil jalan terbaik yang tidak akan membuat mereka semua terluka dan mengalami kerugian. "Tidak peduli apa yang Dokter Kenzo dan istrinya inginkan dariku, aku akan tetap melakukannya. Dia begitu baik pada Ibu. Jadi, aku harus menolongnya tanpa perhitungan, sama seperti dia menolong kami," gumamnya sembari membayangkan sang dokter sedang menolongnya dari dua preman yang akan membawanya pergi untuk menebus utang ibunya. Luna sudah memantapkan hatinya untuk tetap menolong sang dokter, terlepas dari ketidaktahuannya tentang permintaan istri Dokter Kenzo yang menginginkannya menjadi ibu pengganti bayi mereka. Dia hanya mempunyai hati yang tulus untuk membayar kebaikan dari Dewa Penolongnya. "Apa dokter sudah tahu mengenai Dokter Kenzo yang akan diangkat menjadi Direktur Rumah Sakit ini?" tanya seorang dokter pria yang sedang berjalan bersama dengan rekannya. Seketika Luna menoleh ke arah dua dokter pria yang berpapasan dengannya. Tanpa sadar kakinya bergerak mengikuti kedua dokter tersebut, dan menajamkan telinganya untuk mendengarkan lebih banyak lagi tentang Dokter Kenzo dari mereka. "Benarkah? Apa yang terjadi? Kenapa Dokter Kenzo yang menjadi Direktur Rumah Sakit ini? Kenapa bukan ayahku yang sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk rumah sakit ini?" tanya dokter pria satunya yang menanggapi perkataan dari rekannya."A-apa? Direktur Rumah Sakit?" celetuk Luna tanpa sadar.Sontak saja kedua dokter pria tersebut menoleh ke arah belakang, di mana sumber suara yang mengangetkan mereka berasal. Beruntungnya Luna cepat menyadari kecerobohannya, sehingga dengan tanggap dia berjongkok dan membungkam bibirnya menggunakan kedua tangan.Dua pria yang memakai jas putih tersebut saling menatap heran, setelah tidak melihat siapa pun berada di belakang mereka. "Tidak ada siapa-siapa," ucap salah satu dari mereka."Aneh," sahut rekan yang ada di sebelahnya.Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanannya, tanpa mengetahui keberadaan Luna yang masih berjongkok di tempatnya. Tanpa ragu gadis yang sedang penasaran itu, kembali mengikuti kedua dokter tersebut. Dia berusaha mencuri dengar semua pembicaraan mereka mengenai Dokter Kenzo."Dokter Kenzo sangat beruntung. Dia lahir di tengah-tengah keluarga yang mempunyai garis keturunan konglomerat yang sangat kaya raya. Dan beruntungnya lagi, Ibunya merupakan pewaris d
Seketika Dokter Kenzo menoleh ke arah Luna, gadis yang akan menjadi tempat penitipan benihnya. "Enyahkan pikiran dangkal mu itu! Menjadi ibu pengganti bukan berarti harus menikah! Sekarang jaman sudah modern. Banyak tekhnologi canggih yang bisa membantu seorang wanita menjadi ibu tanpa melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya!" tegas Kenzo dengan emosinya. Terlihat kekesalan dari mata sang dokter yang sangat mencintai istrinya. Dia tidak mau jika sang kekasih hati meragukan cintanya. Bagi seorang Kenzo Matteo, Serena Hogan merupakan wanita sempurna. Selain cantik dan pintar, menurut Kenzo, Serena merupakan wanita terhebat di antara semua wanita yang pernah ditemuinya. Bahkan sejak pertama kali bertemu, sang dokter telah jatuh hati padanya. Seketika Luna beringsut ketakutan. Dia tidak berani menatap sang dokter yang sedang kesal padanya. Keberanian Luna pada Dokter Kenzo yang merasa dekat dengannya, kini pun telah sirna."Maaf karena telah lancang bertanya. Hanya itu yang ada
Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara."Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu.'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya.Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di bal
Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
"Sayang?!" celetuk Kenzo ketika melihat sang istri berdiri di depan pintu. Serena menatap tajam pada pria yang berstatuskan suami sahnya. Dengan amarahnya yang menggebu, dia melangkah menghampiri mereka. "Apa maksud semua ini?!" tanyanya dengan tatapan yang memperlihatkan kilatan amarahnya. Seketika Kenzo menghempaskan tangan Luna, dan meraih kedua tangan sang istri, berusaha untuk meredamkan amarahnya. "Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku akan menjelaskannya padamu nanti," ucapnya dengan tatapan mengiba. Serena menoleh ke arah Luna, dan menatapnya dengan penuh kebencian. Sontak saja Luna meletakkan kartu yang sedang dipegangnya di atas meja. "Maaf, dok. Saya tidak bisa memakainya." "Kenapa? Kamu tinggal memberikannya saja pada kasir saat membayar," ujar Kenzo seolah tidak terima dengan penolakan calon istri keduanya. Serena menghempaskan dengan keras tangan suaminya. Kedua tangannya berada di depan dada, dan menatap marah pada sang suami. "Apa kamu suda